Melati meninggalkanku dengan mata berkaca-kaca. Kekhawatiran menghampiri. Dia tadi meninggalkanku dengan tangis yang ditahan. Pasti saat ini dia butuh penjelasan. Segera saja kuhampiri dia ke kamarnya.
Ternyata dia sedang shalat. Aku jadi malu pada diri sendiri. Lupa kapan terakhir aku menghadap Sang Pencipta. Inilah salah satu alasan aku ingin menceraikan Melati. Dia wanita yang sholeha sedangkan aku shalat pun jarang.
***
Diam-diam aku membenarkan perkataan Adam, seharusnya aku memantaskan diri bukan malah meninggalkannya. Sudah saatnya buang sifat ego dalam diri. Melati mengandung benih dariku. Dia membutuhkanku sekarang. Ya Alloh inikah rencanaMu agar aku dan Melati bersatu untuk selamanya?
Sungguh Alloh Maha Mengetahui apa yang terselubung dalam hati hambaNya. Ya..., walaupun aku mengatakan ingin bercerai dari Melati tapi di hati yang paling dalam, ada keinginan untuk bersama.
Kuambil wudhu lalu shalat Isya. Untuk pertama kalinya aku shalat selama menikah dengan Melati. Kucurahkan tangisan memohon ampunan karena sudah melupakannya. Tak lupa pinta petunjuk atas apa yang tengah kualami.
Selesai shalat, kembali kuhampiri Melati ke kamarnya. Dia tidak ada. Kucari ke teras depan. Ketemu..., dia duduk sambil menatap langit yang penuh dengan taburan bintang. Aku sudah paham dia pasti di sana jika sedang bersedih.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyaku sambil duduk di samping Melati.
"Ngapain juga nanya. Belum dijawab pun Abang udah duduk."
Aku tersenyum. Sejenak kami terdiam.
"Aku udah memutuskan...," serentak kami bicara.
"Abang duluan ngomong," sambung Melati.
"Kau aja deh."
"Aku akan merawat calon bayi ini dengan atau tanpa Abang."
"Mel..., wanita hamil itu butuh dukungan dari suami. Aku tidak akan menceraikanmu. Kita rawat bersama anak kita. Mulai sekarang kau jangan banyak gerak."
--------
Suatu sore kedua keluarga kami datang berkunjung. Mereka tampak bahagia. Mama dan Mama Wina bergantian memeluk Melati.
"Ada apa ini?" tanya Melati heran.
"Kakak pura-pura gak tahu. Sebentar lagi Lija kan bakal punya ponakan," jawab Lija.
"Mama bahagia sekali. Setelah sekian lama akhirnya Melati hamil," sambung Mama.
"Sayang..., mulai besok biar buk Yum yang mengerjakan semua pekerjaan rumah," kata Mama Wina.
"Tapi, Ma..., Melati bisa kok mengerjakan semuanya."
"Wanita hamil gak boleh kecapekan, sayang," sambung Mama lagi.
Malam itu kami makan bersama. Setelah selesai, semua keluarga ngumpul sambil ngobrol diiringi canda. Sampai lupa waktu. Bahagia sekali bisa merasakan kehangatan keluarga. Berkah pertama atas kehamilan Melati. Jam 22.00 semua keluarga sudah balik.
"Kenapa Abang kasih tau mereka soal kehamilanku?" tanya Melati.
"Emang kenapa? Mereka kan berhak tau kabar bahagia ini."
"Apa menurut Abang ini kabar bahagia?"
"Tentu saja. Sebentar lagi aku akan jadi Ayah."
"Ayah anak dari wanita yang tidak Abang cintai."
Aku menoleh ke arah Melati. Kami saling tatap.
"Apa aku boleh pegang?" tanyaku.
"Apa?"
"Anak kita."
Kuelus perut Melati. Dia jadi gugup.
"Baik-baik ya Nak di dalam," kataku.
Melati tersenyum geli.
"Kok senyum sih?" tanyaku.
"Lucu. Udah ah..., aku mau tidur."
Melati berjalan meninggalkanku. Aku mengikutinya.
"Mulai sekarang kau tidur di kamarku!" seruku.
"Lalu Abang tidur dimana?"
"Ya di sini juga. Wanita hamil tidak boleh tidur sendiri."
"Hmmmm..., gak mau tidur dekat Abang."
"Kalo kau gak suka setidaknya pikirkan bayi dalam kandunganmu. Dia butuh kasih sayang dari Ayahnya."
"Alasan....," kata Melati tapi dia menurut ketika kubimbing masuk ke kamar.
Melati tidur membelakangi. Aku mendekat lalu memeluknya dari belakang tetapi dia menepis tanganku. Tidak berapa lama terdengar dengkuran halusnya. Melati tipe wanita yang gampang tidur. Kupeluk lagi dari belakang. Dia berbalik. Tiba-tiba....
"Aakkkk..." jeritnya.
"Ada apa?" tanyaku panik.
"Aku terkejut kok ada orang tidur di sampingku."
"Astaga Melati..., aku pikir ada apa."
"Aku kan gak terbiasa tidur bersama seseorang."
"Makanya mulai sekarang harus dibiasakan biar kau tau tidur bersama itu enak dan menyenangkan."
"Apaan sih....?"
"Kan sebelumnya kita pernah tidur bersama."
"Kapan?"
"Waktu kau ketakutan karena suara petir dan... saat kejadian itu."
Wajah Melati memerah. Aku tersenyum.
"Semoga malam ini turun hujan disertai petir," timpalku.
"Huhhhh..., dasar genit. Awas ya kalo macam-macam," sahutnya sambil mengambil bantal guling dan meletakkannya di antara kami.
Sepuluh menit sebelum adzan Subuh berkumandang, aku terbangun karena suara alarm yang sengaja dipasang. Belum terbiasa bangun sepagi ini, jadi aku butuh bantuan alarm.
Guyuran air di tubuh tidak membuatku kedinginan. Segar rasanya. Selesai mandi, aku berwudhu dan berniat shalat Subuh. Beruntung dulu sempat mengenyam pendidikan di pesantren jenjang Tsanawiyah walau hanya enam bulan. Setelah itu pindah ke sekolah umum karena tidak tahan mondok. Aku jadi tahu tata cara shalat dan juga baca Al-qur'an. Selesai Shalat, aku ke dapur untuk masak. Melati datang.
"Aku senang lihat Abang shalat," sahutnya.
Aku cuma berdehem.
"Biar aku saja yang masak, Bang."
"Udah gak apa-apa aku saja. Kau duduk aja sana!"
"Abang baik-baik saja kan?"
"Tentu saja. Ini semua kulakukan demi anakku."
Selesai sudah masakannya. Ku hidangkan untuk Melati dan menuang segelas susu.
"Ayo makan!" seruku, "kau harus banyak makan buah dan sayur biar bayi dalam kandunganmu sehat. Jangan lupa minum susunya. Itu khusus untuk wanita hamil."
"Gak selera bang."
"Makan dikit aja ya. Sini aku suapin."
Aku menyuapi Melati. Tapi hanya 5 sendok. Dia tidak mau lagi.
"Kalau kau pengen sesuatu bilang aja biar aku belikan. Wanita hamil biasanya banyak maunya."
"Abang kok tau banyak soal wanita hamil?" tanyanya.
"Tadi malam aku gak bisa tidur. Jadi aku nyari-nyari info di internet. Oh ya..., kata Mama buk Yum udah di jalan mau kemari jadi kau jangan mengerjakan apa pun."
Aku berangkat ke kantor setelah buk Yum datang. Sampai di sana sudah ada Mira menunggu dan membawa sesuatu.
"Kau ngapain, Mir, pagi-pagi begini?" tanyaku.
"Aku bawakan sarapan untukmu," jawabnya sambil memperlihatkan bekal yang dibawanya.
"Aku sudah sarapan."
"Dimana?"
"Di rumah."
"Jadi kau masih di sana? Kenapa gak jadi pindah?" tanyanya.
"Hmmmm...."
"Dir..., jangan bilang kau gak jadi menceraikannya."
"Sepertinya begitu, Mir."
"Kenapa?"
"Aku gak bisa."
"Benarkan dugaanku kau mulai mencintainya?"
"Bukan begitu."
"Lalu apa?" suara Mira meninggi.
Aku tarik napas dalam-dalam lalu menjawab, "Melati hamil jadi aku gak bisa menceraikannya sekarang."
"Apa? Hamil?"
"Iya."
Mira kaget. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya. Air matanya langsung mengalir.
"Maafin aku, Mir."
Mira berlari meninggalkan ruanganku. Aku mengusap wajahku. Adam masuk.
"Serius, Dir..., Melati hamil?" tanyanya.
"Kau nguping ya?" tanyaku balik.
"Gak sengaja. Kok bisa Melati hamil? Kalian kan pisah ranjang dan sudah berjanji untuk tidak melakukan hubungan suami istri."
"Aku memperkosanya."
"Apa...? Memperkosa?" Adam tertawa lepas.
"Dia itu istrimu jadi yang kau lakukan itu sah bukan memperkosa," sambungnya lalu tertawa lagi.
Aku tersenyum menertawakan kebodohanku.
"Aku memaksa untuk melakukan itu."
"Dasar..., kau gak ada romantisnya. Main paksa aja. Dirayu dong!"
"Aku khilaf malam itu. Gak bisa menahan hasratku."
"Ya jelaslah. Melati cantik dan kalian tinggal bersama. Aku malah heran kok kau bisa bertahan selama ini. Dir, udahlah..., akui saja kalo kau mencintainya dan jalani kehidupan normal layaknya suami istri. Jangan kayak Tom dan Jerry."
"Aku nggak mencintainya."
"Munafik loe..., buktinya aja Melati hamil. Okelah selamat kalo gitu. Akhirnya sobatku yang satu ini akan jadi Ayah. Jangan lupa traktir aku merayakan keberhasilanmu. Salut aku..., cuma sekali langsung jadi. Benar-benar bibit unggul," cerocos Adam sambil tertawa.
***
Jam makan siang, aku pulang ke rumah ingin pastikan apakah Melati makan atau belum dan membawakan buah untuknya. Dia tertidur di kamar. Aku berdiri di sisinya sambil menatap wajahnya lekat-lekat. Kusentuh pipinya. Melati terbangun.
"Abang...," panggilnya.
Tumben tidak menjerit, bathinku.
"Kau kenapa?" tanyaku khawatir.
"Pusing..."
Kutarik kursi ke dekat Melati lalu kupijat lembut pelipisnya.
"Sudah makan?" tanyaku.
"Belum."
"Aku suapin ya...?"
"Gak usah. Biar aku makan sendiri nanti."
Kubelai rambut Melati. Perlahan aku menunduk mendekatkan wajahku ke wajahnya lalu kukecup keningnya. Tidak ada penolakan dari Melati, bibirku turun ke bawah, berhenti tepat di bibirnya dan... aku kecewa. Melati menoleh ke samping. Aku jadi malu segera saja kualihkan perhatian.
"A... aku ambilkan makan untukmu," kataku.
"Gak usah. Aku mau makan di dapur saja," sahutnya gugup.
***
Selesai makan siang, aku kembali ke kantor. Masih ada pekerjaan yang ingin kuselesaikan. Pekerjaan selesai, langsung pulang. Aku melewati Restaurant Mira dan singgah di sana. Aku harus menjelaskan semuanya. Di dalam ruangannya, Mira bersama Dafa.
"Aku lega, melepas Mira ke tangan orang yang tepat," sahutku.
"Apa maksudmu, Dir...?" tanya Dafa.
"Bukankah kau mencintai Mira? Aku yakin kau bisa membahagiakannya. Sebentar lagi aku akan jadi ayah. Jadi aku harus bertanggung jawab pada keluargaku. Aku tidak bisa lagi menjaga Mira."
Aku mendekat ke arah Mira. Kuraih tangannya lalu berkata, "Maafin aku, Mir. Aku gak bisa tepati janji. Aku yang salah atas semua yang terjadi. Cobalah buka pintu hatimu untuk pria yang dari dulu mencintaimu."
Kulepas tangannya lalu meninggalkan mereka. Mira mengejarku lalu memeluk dari belakang sambil menangis.
"Jangan seperti ini, Mir," kataku.
"Jangan tinggalkan aku, Dir! Aku mencintaimu."
"Kita tidak bisa bersama."
"Aku bersedia jadi istri keduamu jadi kau tidak perlu menceraikan Melati.
"Apa???" aku melepas pelukan Mira lalu berbalik menghadapnya.
=====
Aku terkejut mendengar permintaan Mira. Jadi ingat dulu aku yang memintanya agar bersedia menikah tapi dia selalu menolak dengan alasan belum siap. Disaat aku sudah beristri, justru dia mendesak agar aku segera menikahinya bahkan rela jadi yang kedua. Satu hal kusadari, Mira adalah wanita yang egois.
"Kau tidak usah menceraikan Melati," Mira mengulang kata-katanya.
"Itu tidak mungkin," sahutku.
"Kenapa tidak mungkin."
"Aku tidak pernah berniat punya dua istri."
"Kalo anak Melati sudah lahir kau bisa menceraikannya. Aku bersedia merawat bayi itu dan berjanji akan memperlakukannya seperti anak sendiri."
"Maaf, Mir, aku tidak bisa."
"Kenapa ....?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya."
"Kenapa tidak bisa?" suara Mira meninggi, "beri aku alasan yang jelas supaya aku mengerti dan akan mencoba menerimanya."
Aku terdiam. Sulit rasanya berkata yang sebenarnya. Aku tidak mau menyakiti hati Mira.
"Kenapa diam? Apa kau mencintai Melati?" tanyanya, "jawab ,Dir!"
Mira menarik kerah bajuku.
"Ya..., aku mencintai Melati. Aku sangat mencintainya. Maafin aku."
Mira melepas pegangannya. Air matanya menganak sungai. Aku meninggalkannya sebelum rasa kasihanku muncul.
Sebelum pulang ke rumah, kusempatkan mampir di Toko bunga dan buah. Juga membeli sebuah boneka Teddy
bear . Begitu sampai di rumah kumasukkan semua buah ke dalam kulkas dan masuk ke kamar menemui Melati.
Ku serahkan bunga dan boneka padanya.
"Apa ini?" tanyanya.
"Boneka dan bunga."
"Ya aku tau tapi untuk apa? Aku tidak sedang ulang tahun."
"Supaya kau senang dan itu baik untuk kesehatanmu dan bayi kita."
"Oh .... Makasih."
"Hanya itu?" tanyaku.
"Apa lagi?"
"Cium."
"Apa...?" Melati kaget.
Aku tersenyum.
"Tapi bang..., aku tidak suka boneka."
"Kenapa?"
"Gak suka aja. Lagian di sini tidak ada anak kecil jadi gak baik ada boneka di rumah ini."
"Hmmm..., ya sudah ntar aku kasih ma anak tetangga."
"Mel..., apa kau bahagia dengan kehamilanmu?" tanyaku serius.
"Sebagai wanita tentu aku bahagia karna sebentar lagi akan jadi ibu. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Bagaimana nanti nasib anak ini. Bukankah kita bertahan hanya karna kehamilanku. Berarti kalo dia sudah lahir,
kita akan bercerai."
"Aku tidak akan membiarkannya besar tanpa Ayah."
"Berarti Abang ingin pisahkan dia dari ibunya?"
"Nggak..., aku akan mempertahankan rumah tangga kita agar dia tidak kekurangan kasih sayang."
Kuraih tangan Melati.
"Mel..., apa kau mau jadi istriku?" tanyaku.
Melati diam sambil melihatku. Tiba-tiba dia tertawa. Aku jadi merasa seperti orang bodoh. Akhh .... Aku jadi
kesal. Sekuat tenaga aku memberanikan diri mengatakan itu malah ditertawakan.
"Emang lucu ya?" tanyaku.
"Kitakan emang suami istri jadi kenapa Abang bertanya apa aku mau jadi istrimu. Ahahahaa .... Itu lucu sekali."
Melati tertawa lagi. Aku tambah kesal padanya.
"Kau jangan baper. Ini semua demi anakku. Kau bukan tipe wanita yang kusukai. Huhh..., " aku mendengus kesal
lalu meninggalkannya.
Pagi sebelum berangkat kerja, kutemani Melati ke dokter kandungan. Pemeriksaan pertama setelah
kehamilannya. Dia masuk ke ruangan. Aku menunggu di luar. Tidak berapa lama dokter memanggilku.
"Bagaimana kondisi janinnya, Dok," tanyaku.
"Ibu dan bayi sehat. Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Syukurlah, Dok."
"Ibunya tidak boleh stres. Bapak harus kasih perhatian lebih. Wanita hamil muda biasanya emosinya labil jadi
bapak harus banyak mengalah."
"Baik, Dok."
"Untuk hubungan intim tidak masalah. Cari posisi yang nyaman," sambung Dokter.
Aku dan Melati saling tatap. Wajah Melati jadi merah. Setelah Dokter selesai memberi penjelasan, kami pamit
pulang.
"Mel..., aku gak sempat ngantarmu balik ke rumah," kataku setelah mobil meluncur di jalan.
"Ya udah aku naik taxi aja."
"Jangan. Kau ikut aja ke kantor."
"Malas ah..., ntar bikin bosan."
"Sebentar aja. Nanti jam istirahat baru aku antar pulang ke rumah."
Melati duduk di sofa dekat meja kerjaku. Dia asik dengan hapenya. Aku fokus pada pekerjaan. Sesekali melirik
ke arahnya. Sepertinya Melati mulai bosan. Malah tertidur.
Aku mendekat. Melati sungguh cantik walau tanpa make up. Kubelai pipinya. Dia menggeliat. Tambah gemas
melihatnya. Aku tak tahan untuk tidak menciumnya segera saja kukecup keningnya sebelum dia terbangun.
Getaran itu, tidak bisa dipungkiri lagi, Melati sudah mengambil separuh jiwaku. Tiap kali berdekatan dengannya, jantungku berdetak lebih cepat. Dia membuka mata dan kaget melihat jarak kami sangat dekat.
"Ab ...."
Belum sempat dia menyiapkan kata-katanya, aku sudah lebih dulu melumat bibirnya. Melati berontak tapi tenagaku jauh lebih kuat. Dia memberi perlawanan tapi aku tidak memberi celah untuknya melepaskan diri.
Melati jadi pasrah dengan apa yang kulakukan. Terdengar ketukan pintu. Akh..., sial. Segera saja kulepas
pautan bibir kami.
"Masuk...," sahutku setelah napas mulai teratur.
Tika masuk dan memberikan dokumen yang akan kutanda tangani. Dia tersenyum curiga melihat Melati merapikan jilbabnya. Aku cuek saja. Toh..., Melati istriku jadi tidak ada yang salah dengan apa yang kami lakukan.
Dia keluar setelah semua selesai.
"Kita makan di luar aja ya, Mel!" ajakku.
"Aku mau pulang aja," sahutnya.
"Kenapa?"
"Aku gak selera makan apa pun."
"Jadi seleranya apa? Atau seleranya seperti tadi ya?" tanyaku sambil tersenyum menggoda.
"Apaan sih?" tanya Melati sambil matanya melotot ke arahku.
"Kalo mau dilanjut di rumah dengan senang hati."
"Dasar genit."
"Kalo aku gak genit kan gak mungkin kau bisa hamil. Aku kan gak salah. Kau istriku."
"Salah."
"Dimana letak kesalahannya?"
"Seenaknya maksa-maksa. Udah ahh...."
Dia meninggalkanku. Aku yakin Melati malu. Terlihat dari rona wajahnya yang berubah. Aku senang Melati tidak
marah setelah apa yang aku lakukan tadi.
Mira menelpon ketika aku dan Melati sudah balik lagi ke kantor. Ragu untuk mengangkatnya tapi hapeku terus berdering. Ku angkat.
"Halo, Mir."
"Kau lagi dimana?" tanyanya.
"Di kantor."
"Datang ya nanti malam ke rumahku."
"Aku gak bisa ninggalin Melati sendiri di rumah."
"Ajak dia."
"Emangnya ada apa?"
"Pertunanganku dengan Dafa."
"Apa?" tanyaku tidak percaya, "kau serius, Mir?"
"Tentu saja."
"Tapi kok mendadak?"
"Bukankah pernikahan kalian juga mendadak dan kalian bisa saling mencintai. Kenapa aku tidak?"
"Posisiku saat itu denganmu berbeda, Mir. Pernikahan itu bukan main-main. Pikirkan lagi!"
"Aku ingin secepatnya bisa melupakanmu dengan cara ini."
"Tapi ...."
"Tenanglah. Aku akan baik-baik saja. Jangan mikir macam-macam. Ini hidupku jadi terserah aku. Kita kan sudah
punya kehidupan masing-masing."
"Baiklah, semoga kau bahagia. Dafa pria yang baik."
Lega akhirnya Mira menerima Dafa.
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel