Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 28 Maret 2020

Pernikahan Melati Dan Dira #9

Cerita bersambung


Melati fokus pada layar 42 inci di depannya sampai tak sadar aku sudah duduk di sampingnya. Aku terus memperhatikannya dari samping. Lama-kelamaan dia menyadari bahwa wajahnya jadi sasaran mataku.
"Ngapain lihat-lihat?" tanyanya.
Matanya tidak beralih dari apa yang ia lihat
"Cantik," gumamku.
"Dari dulu aku emang cantik."
"Geer. Aku bilang cantik sama pembawa acaranya," aku menunjuk ke arah TV, "Mira mengundang kita ke rumahnya," sambungku.
"Kita ...? Abang aja yang pergi sendiri. Nanti aku malah mengganggu."
"Cemburu ya?" tanyaku sambil tersenyum.
"Masa bodoh."
"Malam ini dia bertunangan dengan Dafa. Ganti baju! Biar kita ke sana."
Aku langsung meninggalkan Melati agar tidak mendengar penolakannya. Ternyata dia menyusulku ke kamar.
"Kenapa pakaianku tidak ada di kamarku?" tanya Melati.
"Pakaianmu di situ."
Aku menunjuk lemari besar di dekat lemari hias.
"Kenapa ada di sini?" tanyanya lagi.
"Aku pindahin ke sini supaya kau tidak bolak-balik ke kamar itu kalo mau ganti pakaian."
"Ya sudah, Abang keluar dulu! Aku mau ganti pakaian."
"Kenapa harus keluar. Ya ganti aja sini."
Melati menatap ke arahku.
"Kita kan suami istri," sambungku sambil tersenyum menggoda.
"Apaan sih? Abang genit."
Aku mendekati Melati. Dan berdiri persis di belakangnya.
"Sini aku bukain," aku menyentuh belakang Melati.
Dia berbalik ingin menepis tanganku tapi justru menubruk hingga dia jatuh ke dalam dekapanku. Sesaat kami saling pandang. Aku tergoda lagi. Dalam hitungan detik aku sudah berhasil menciumnya. Seperti biasa, dia berontak tapi aku tidak membiarkannya lepas.
"Au ...." Melati merintih kesakitan sambil memegang perutnya setelah pagutanku lepas.
"Kenapa, Mel?" tanyaku panik.
Segera saja kulepas dekapanku. Kutuntun Melati duduk di tepi tempat tidur. Aku jadi cemas
"Tolong ambilkan bajuku, Bang!" pintanya.
Segera saja aku membuka lemari.
"Yang warnah coklat muda itu!" serunya.
Kuambil sebuah gamis berwarna coklat muda sesuai intruksi lalu menyerahkannya.
"Kalo perutmu sakit lebih baik kita gak jadi pergi,"
"Aku gak apa-apa kok. Aku hanya pura-pura biar lepas dari Abang," Melati setengah berlari menjauh sambil tertawa.
Aku sedikit kesal tapi senang juga Melati tidak pernah marah lagi jika aku menciumnya walau dia menolak. Mungkin aku yang kurang usaha.
***

Suasa di rumah Mira tidak terlalu ramai. Acara pertunangannya sederhana yang hanya dihadiri keluarga dan teman dekat saja.
"Selamat ya, Mir. Semoga lancar sampai pada pernikahan," aku menyalami Mira.
"Terima kasih sudah hadir," balasnya.
"Selamat ya Pak Dokter," ucap Melati.
Rasa haus menyerang. Aku meninggalkan mereka untuk mengambil minum. Malah bertemu Adam dan ngobrol sebentar. Lalu kembali menemui Melati. Tapi aku tidak melihat Mira dan Dafa di sana. Deg ... Ada Ridho. Dia tersenyum menatap Melati. Panas menjalar di kepalaku. Aku terbakar cemburu. Tanpa permisi kutarik Melati menjauh.
"Ngapain kau ngobrol dengan Ridho?" tanyaku kesal.
"Kebetulan saja bertemu."
"Bohong .... Kau terlihat bahagia bicara dengannya. Jangan-jangan kalian janjian ya ketemu di sini?"
"Aku bahkan gak tau dia hadir di sini."
Ridho mendekat. Dia menatap aku dan Melati secara bergantian.
"Kalian baik-baik saja kan?" tanyanya.
"Baik-baik apanya?" tanyaku kesal, "Berhentilah menggoda wanita yang sudah bersuami."
"Dir, kau salah paham. Aku dan Melati hanya ...."
Belum sempat Ridho melanjutkan kata-katanya, tinjuanku sudah mendarat tepat di pipinya sebelah kanan.
"Abang .... Hentikan!" Jerit Melati sambil menarikku.
"Kenapa? Kau tak senang aku sudah memukul kekasihmu?" tanyaku dengan nada tinggi.
Melati menatapku. Ada kebencian di sana. Lalu dia berlari. Aku khawatir dan segera mengejarnya.
"Kau mau kemana, Mel?" tanyaku.
"Aku mau pulang."
"Ya sudah. Ayo kita pulang."
"Aku mau pulang ke rumah Mama."
"Nanti Mama khawatir."
"Aku gak peduli."
"Kita pulang saja ke rumah ya!" ajakku.
"Kalo Abang gak mau biar aku naik taxi."

Kutarik Melati menuju parkiran. Lalu memaksanya masuk. Mobil meluncur kencang di jalan. Sampai di rumah, Melati langsung menuju kamar. Aku menyusulnya.
"Kau tak senang ya karna aku sudah memukul Ridho?" tanyaku sinis.
"Aku malu lihat Abang buat keributan. Untung tadi gak ada orang yang lihat."
"Mulai sekarang kau tak boleh menemui Ridho."
"Siapa yang menemuinya? Kami hanya kebetulan bertemu."
"Tapi kau terlihat bahagia bertemu denganya terlihat dari cara kau memandangnya."
"Abang jangan ngacau."

Melati meraih baju yang terletak di atas tempat tidur. Dia ingin ganti pakaian. Tapi kucegat.
"Melati .... Aku serius. Jangan pernah temui lagi Ridho," suaraku meninggi.
Dia menatap membuat aku tambah kesal.
"Abang cemburu ya?" tanyanya.
"Ya aku cemburu," suara membentak, "jangan sampai aku berbuat nekat padanya."
"Ta ...."
Aku mendekat dengan tatapan penuh amarah. Emosiku benar-benar naik melihat Melati tadi tersenyum di depan Ridho. Aku tidak percaya jika mereka secara kebetulan bertemu. Melati terlihat ketakutan. Dia mundur. Aku terus mendekat sampai tubuhnya membentur tembok dan terjebak. Aku terus mendekat.
"Kau ngerti? Jangan pernah temui dia lagi."
Melati hanya mengangguk ketakutan. Aku makin merapat dan tidak ada jarak lagi. Aku berniat mencium tapi Melati menoleh kesamping menghindari. Aku kecewa. Kutarik tubuhnya ke tempat tidur dan menghujaninya ciuman dengan paksa.
"Bang ...," suara Melati lirih.
"Kenapa? Kau menolakku?" sorot mataku tajam. Melati kian ketakutan.
Kali ini aku berhasil. Tidak ada penolakan darinya.
Satu persatu kulucuti pakaiannya hingga tak tersisa.
Aku tahu saat ini dia ketakutan sehingga tidak berani berontak. Napasku sudah tidak beraturan lagi.
"Bang ...."
"Kenapa? Kau menolak lagi?"
Melati menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kupahami. Aku jadi menyesal telah berbuat kasar padanya.
"Kenapa? Mau sampai kapan aku harus menunggu?" sambungku.
"Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Baca doa dulu."
"Apa?"
Aku kaget. Tapi langsung tersenyum. Melati menunduk. Masih terlihat raut ketakutan di wajahnya bercampur dengan malu.
"Bismillah" aku memulai dengan doa yang kutahu saja.
Melati tidak banyak bergerak karena menjaga kehamilannya. Namun masih dapat kurasakan goyangannya yang membuatku tak kuat menahan desakan benda cair yang ingin segera keluar.
Akhirnya... "Aaghkh..." dan secara bersamaan dia juga merasakan hal yang sama "Oouhh.. abaang..."

Sekali lagi aku berhasil menjalankan ibadah dalam selimut bersama istriku.
=====

Melati menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Aku ingin membuka bagian yang menutupi wajahnya tapi Melati menepis tanganku.
"Mel ..." panggilku.
"Hmmmm."
"Maafin aku ya karna sudah memaksa dan membuatmu ketakutan."
"Iya."
"Mel ...."
"Ya."
Aku sedikit kesal dengan ulah Melati. Kutarik selimut yang menutupi wajahnya. Melati berbalik membelakangiku.
Kubalikkan tubuhnya agar menghadap ke arahku. Dia malah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Mel,"
"Iya."

Kutarik lagi kedua tangannya, Melati langsung memejamkan matanya. Rona pipinya memerah. Cantik sekali.
Aku tersenyum lega. Sempat tadi berpikiran Melati sedang marah tapi tidak. Dia hanya malu.
"Aku cium ya kalo matanya tak dibuka," kata-kata spontan membuat Melati buka mata.
"Apa sih dari tadi gak melihat aku?" tanyaku.
"Malu, Bang."
Dia balik lagi menutupi wajahnya dengan selimut. Kupeluk tubuhnya, Melati langsung berdiri ingin menjauh tapi dia tersadar kalau belum memakai baju. Dia kembali berbaring dan menutupi tubuhnya. Aku tertawa melihat tingkah Melati.

"Mel ... aku ingin ngomong serius."
"Soal apa?"
"Soal hubungan kita."
"Emangnya kenapa kita?"
"Maukah kau jadi istriku?"
Melati menatap lalu tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku kan emang istri Abang."
"Aku ingin kita jadi suami istri yang seutuhnya. Bukan seperti yang selama ini."
Aku pasang wajah serius. Melati menatap dengan tatapan yang tak dapat aku mengerti.
"Dengan satu syarat," sahutnya.
"Apa itu?"
"Abang harus berubah."
"Baiklah aku akan berubah. Aku janji. Tapi ...."
"Tapi apa?"
Melati menatapku sambil menunggu aku menyelesaikan kata-kata yang ingin kuucapkan.
"Tapi ... tapi aku gak tau mau berubah jadi apa."
Aku tertawa. Melati memukul dadaku dengan bantal dan dengan wajah cemberut.
"I am sorry my wife. Baiklah kali ini serius. Aku janji akan berubah agar menjadi suami yang lebih baik lagi. Aku tidak akan meninggalkan shalat seperti yang selama ini. Aku berjanji lebih mendekatkan diri pada Alloh."
Melati tersenyum. Kembali kami saling menatap.
"Semua demi anak kita," sambungku.
"Hanya itu?"
"Demi cintaku padamu."
"Apa?"
Melati kaget mendengar ucapanku.
"Mel, aku mencintaimu. Aku janji akan berubah demi dirimu."
"Nggak boleh, Bang."
"Kenapa?"
Kali ini gantian aku menunggu Melati menyiapkan kata-kata darinya.
"Abang tidak boleh berubah demi aku tapi harus karna Alloh. Mari kita bangun rumah tangga kita agar menjadi keluarga yang sakinah semua karna Alloh agar menjadi ladang amal buat kita."
Kutatap Melati lekat-lekat dan menyentuh pipinya lalu mendaratkan ciuman di keningnya. Kuraih tubuh wanita yang sangat kucintai itu ke dalam pelukanku. Rasa hangat menjalar di tubuh kami.
"Baiklah, Sayang. Mari kita sama-sama belajar dan saling mengingatkan agar kita meraih cinta Alloh."
Melati mengangguk. Kurapatkan pelukanku. Aku bersyukur atas kehadiran Ridho tadi. Karena rasa cemburu, aku jadi memiliki keberanian untuk mengungkapkan rasa cintaku.
"Aku mencintaimu, Sayang," bisikku di telinganya.
Dia tidak menjawab hanya mempererat pelukannya. Indahnya malam ini. Kenapa baru sekarang aku menyadari betapa Melati sangat berharga bagiku.

Bisa kurasakan napas kami kian tak beraturan. Selanjutnya sudah taukan apa yang akan terjadi. Kali ini
kupastikan tidak akan lupa membaca doa.

*** End ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER