Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 05 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #2

Cerita bersambung


Bibir ini tersenyum kecut saat mataku membaca kata demi kata yang tertera pada dua lembar kertas di tangan.
Memang tadi hanya membaca satu kertas, tetapi Adit memberi selembar lagi sebagai penjelasan dari semua tujuannya.
Adit tidak bisa menemukan pria yang sudah memperkosa adiknya di luar negeri. Demi menjaga nama baik keluarga, anak Naura akan dianggap sebagai anakku dan Adit. Dia sendiri tidak ingin menggugurkan kandungan adiknya, karena bisa membahayakan Naura, sekaligus dosa yang sangat besar.

Lucu. Lalu apa tidak berdosa jika mempermainkan perasaan orang lain? Bukankah Ustaz Fadil sering mengingatkan orang-orang untuk selalu menjaga perasaan orang lain?
Lelah rasanya. Bukan hanya tubuhku karena perjalanan yang cukup lama ke kota, tetapi juga hati dan pikiran.

Kenapa jadi serumit ini? Impian masa kecil akan pernikahan bahagia nan selamanya, menguap begitu saja.
Semua impianku hancur, dan kebahagiaanku menyusul pergi.
Dua lembar kertas yang sudah dibubuhi tanda tangan kedua belah pihak itu beralih ke atas meja samping tempat tidur. Kedua indera penglihatanku memperhatikan seisi kamar dengan seksama. Sangat megah. Lemari tinggi berwarna cokelat berada di sudut ruangan tak jauh dari kamar mandi, sudah diisi dengan puluhan gamis, serta jilbab mahal. Meja rias beserta perlengkapan make up pun tersedia. Kasur empuk berukuran tiga kali tempat tidurku di kampung. Tak lupa sebuah meja nakas di samping tempat tidur yang menjadi isi dari kamar berukuran 5 × 6 meter ini.
Aku akan diperlakukan seperti ratu di sini. Ditambah gaji sepuluh juta per bulan. Orang lain akan beranggapan
ini kehidupan yang membahagiakan. Sayangnya tidak. Lebih baik hidup bersama orangtua meski pas-pasan, tetapi setidaknya ada kasih sayang di dalamnya.

Tok Tok Tok
"Kak, makan dulu, yuk!"
Itu suara jernih milik Naura.
Sebenarnya, sangat malas menghampiri keduanya. Namun, kakiku tetap melangkah ke arah pintu. Gadis itu sudah berdiri dengan senyuman mengembang. Kasihan juga rasanya melihat gadis cantik ini harus menerima ujian yang begitu besar. Melihat wajahnya itu membuatku teringat adikku yang sudah menghadap Ilahi lebih dulu.
"Kakak kenapa?" Suaranya mengagetkanku dari lamunan sekilas.
"Yuk makan. Kak Adit udah masak yang spesial, lho." Ia menarik lenganku, seolah-olah tidak ingin kehilangan satu detik untuk bisa menikmati masakan kakak tertuanya itu.
Mungkin karena masalah ini jugalah, Adit tidak mempekerjakan seorang pembantu di rumah ini. Hanya ada seorang supir yang bernama Pak Anton. Itu pun dilarang masuk rumah. Jadi dia sendiri yang mengurus
rumah sebesar ini.

Adit datang dari dapur bersamaan aku menginjakkan kaki di ruang makan. Kaus hitam miliknya ditutupi oleh
celemek putih. Di kedua tangannya terdapat piring yang berisi omelet dan nasi goreng. Meja makan sendiri sudah diisi sop kaki kambing, ayam goreng, ikan bakar, dan nasi putih.
"Ini buat princess-nya Kakak." Adit meletakkan nasi goreng buatannya di atas meja, lalu menarik sebuah kursi di
depan nasi goreng itu. Naura terlihat berbinar-binar sambil mendudukkan diri di kursi.
Kesal rasanya ketika Adit berlalu begitu saja ke dapur. Di sini, istrinya itu aku atau Naura?
Tamparan kenyataan kembali membuatku sadar. Aku hanya istri penutup 'aib' di sini. Akhirnya tubuhku mendarat di sebuah kursi samping Naura.
Tak lama kemudian, Adit datang tanpa celemeknya lagi. T-shirt hitam itu terlalu ketat dan mencetak bentuk
tubuhnya. Aku menunduk mengalihkan pandangan.
"Ayo makan, Kak."
Aku tersentak kaget. Kudapati senyuman dari Naura dan tatapan dingin dari Adit. Tanpa berbicara lagi, kusajikan makanan ke piring lalu menyantapnya dalam diam.
"Kak?"
Aku mendongak, melihat Naura menatap kakaknya dengan pandangan mengandung beban.
"Kenapa, Sayang?"
Kenapa aku merasa aneh melihat perlakuan Adit? Tatapannya begitu lembut pada Naura, tangannya mengusap
lembut tangan adiknya di atas meja. Sangat romantis. Sekilas, mereka terlihat seperti orang yang sedang pacaran.
"Gimana kalau tiba-tiba nanti aku ketemu sama kak Fadil, atau Abi sama Umi?"
"Kamu jangan keluar rumah terlalu sering, usahakan pakai pakaian yang tertutup juga."
Aku dilanda kebingungan. Menjadi apa aku di sini? Menjadi saksi keromantisan mereka, atau menjadi
pajangan?
Mungkin yang kedua lebih cocok. Istri pajangan.
"Aku takut, Kak ...." Suara Naura terdengar lirih. Rasa iba mendorongku untuk memeluknya. Namun, kalah
cepat dengan Adit yang menggeser kursinya demi bisa merangkul dan menenangkan adiknya. Embusan napas
penuh beban keluar dari hidung. Kepalaku menunduk dalam ketika bayangan tadi pagi berputar dalam benak,
saat lelaki tegap itu mengucapkan akad di depan orang-orang, bersedia menerima diriku menjadi istrinya, menjadi pendamping hidupnya. Tetapi malah berakhir seperti ini, menyaksikan keduanya berpelukan mesra seolah tidak ada diriku.
Memang. Mereka memang bersaudara. Tapi tetap saja, sedikit rasa cemburu mulai mengakar dalam hati. Apa
aku mulai mencintainya?
Tidak!
Keduanya baru melepas pelukan ketika suara bel rumah terdengar. Adit berdiri meninggalkan makan malamnya untuk membuka pintu. Naura mulai berhenti menangis. Tangan kananku perlahan menyentuh tangannya, mengusap punggung tangan lembut itu untuk menyalurkan kekuatan.
"Kamu yang kuat, ya?" bisikku pelan. Bagaimana pun, ini bukan keinginannya.
Senyuman tulus tercetak di bibirnya.

Aku meringis saat mengingat satu hal. Aku belum sholat isya.
"Kamu udah shalat, Nau?" tanyaku pada Naura. Sebuah anggukan cukup sebagai jawaban pengganti 'ya'.
"Aku shalat dulu, ya?" Lagi, ia mengangguk. Cukup meminum seteguk air dan membawa piring bekas makan ke
dapur lalu mencucinya sebentar, aku kembali ke ruang makan. Adit belum kembali.
Aku mencoba untuk tidak acuh. Kulangkahkan kaki menuju kamar yang terletak di lantai dua. Sebelum itu, harus melewati ruang tengah. Aku juga penasaran siapa tamu yang datang sekarang?
Saat berdiri di ruang tengah, mataku membulat seketika, kedua kaki terpaku di lantai melihat Adit berpelukan
dengan seorang wanita memakai pakaian yang kelewat minim, hanya menutupi setengah gumpalan daging di
bagian dada dan bagian bawah hampir tersingkap. Wanita itu melihatku, cukup terkejut.
Kedua tanganku mengepal kuat, mencoba menahan diri untuk tidak melabrak keduanya.
'Jangan peduli! Jangan peduli!' Aku terus merapalkan kalimat itu sembari melangkah pergi. Namun, hati kecilku
meminta untuk melepaskan kedua tubuh yang saling melekat di sofa itu. Karena bagaimana pun juga, lelaki itu
sudah 'sah' menjadi suamiku. Dan kurasa, aku berhak untuk ini.
Kakiku berputar arah menuju mereka. Dengan sekuat tenaga, aku menarik Adit hingga berdiri. Tubuhku menjulang tepat di depannya. Wanita memakai dress merah menyala itu menatapku dengan mata membulat.
"Eh, lo siapa?" bentak wanita itu. Deru napasku mulai tidak beraturan? Memangnya dia pikir apa, saat seorang
wanita ada di rumah seorang laki-laki jika bukan sebagai istri?
"Kamu yang siapa? Kamu tahu siapa yang kamu peluk ini?" Aku menekan setiap kalimat yang keluar dari bibir,
sambil balas menatapnya tajam.
"Dia, pacar, gue!"
Tanganku semakin mengepal kuat. "Kalau mau pacaran, di luar rumah. Di sini, dia suami saya!"
"Apa?" Pekikan itu terdengar dari belakang, bersamaan dengan sepasang tangan kokoh yang memutar tubuhku.
"Kenapa? Aku nggak mau lihat kalian melakukan dosa di rumah ini. Aku mau hidup tenang!"
Ada pancaran tidak suka dari kedua mata tajam miliknya. Aku tidak peduli. Setelah mengeluarkan itu, aku
langsung melenggang pergi.

Aku menyerah; ingin mengakhiri ini semua.

==========

"Bodoh!"
Aku terkesiap. Tentu saja. Baru sampai di ambang pintu dapur, kata-kata--yang entah ditujukan pada siapa--
menyapa indera pendengaranku. Mencoba mengabaikan hal itu, aku meraih gelas dan mengisinya air minum.
Nyatanya, tidur berjam-jam pun bisa membuat seseorang haus. Ditambah lagi mengurung diri di kamar dari
waktu subuh sampai jam 7.
Setelah hajat terpenuhi, aku memutar tubuh hendak kembali ke kamar. Namun, baru dua langkah, suara bariton milik lelaki yang sedang mencuci piring itu kembali terdengar.
"Budeg!"
Lagi-lagi aku terkesiap. Sebenarnya dia itu bicara padaku atau pada dirinya sendiri? Dilihat dari posisi tubuhnya yang membelakangiku, rasanya tidak. Mungkin otak agak 'geser'.
"Kamu bicara sama aku?" ucapku kemudian dengan nada pelan penuh keraguan, takut-takut jika ia tidak bicara denganku.
"Menurut kamu siapa lagi?" Tubuhnya berputar ke arahku. Ia mengelap kedua tangannya menggunakan kain.
Tugasnya mencuci piring selesai.
Kedua alisku hampir menyatu karena kebingungan. Maksudnya apa tadi mengatakan 'bodoh' dan 'budeg'.
"Maksudnya apa kamu bilang bodoh?"
"Emang itu bener, kan?" Dia berjalan begitu saja, melewatiku menuju ruang makan. Aku mengekor di belakang.
Masih dalam kebingungan, aku mencoba mencerna maksudnya.
"Seharusnya semalam kamu marah liatin suami kamu dipeluk orang, eh malah dukung suami sendiri pacaran
sama cewek lain. Bodoh!"
Dahiku semakin mengerut ketika otak sibuk memproses ucapannya.
Aku. Harus. Marah?
Tawa meledak sebagai respon atas kalimatnya barusan. "Jadi kamu mau aku cemburu, terus jambak-jambakan, gitu?"
Wajahnya yang santai berubah seketika. Dari yang awalnya tenang dan santai, kini mulai terlihat dingin. Sangat jelas dari rahangnya yang mengeras dan matanya yang melirik tajam.
"Adit ...," panggilku ketika ia mencoba pergi menjauh. Kakinya yang hendak melangkah, kini berhenti, terpaku di atas lantai putih.
"Kenapa nggak pilih pacar kamu itu aja sebagai istri?" tanyaku setelah diam beberapa detik. Kuperhatikan leher belakangnya yang tetap tertuju ke depan, enggan menatapku.
"Kapan saya bilang dia itu pacar saya?"
"Emangnya kamu pikir aku budeg, apa? Kemarin wanita itu bilang kamu itu pacarnya. Apa perlu ada siaran
ulang?"
"Kan dia yang bilang, bukan saya." Dia duduk di sebuah kursi, lalu menuang air ke dalam gelas kemudian
meminumnya.
Lelaki ini benar-benar membakar emosi.
"Terserah. Pertanyaan aku, kenapa kamu nggak nikah sama dia aja? Kenapa harus sama aku?" Lagi, aku
mengulang pertanyaanku.
"Dia matre," jawabnya sembari memperhatikan gelas berisi setengah air yang sedang dimainkan tangannya.
"Dia bakalan peras saya kalau saya beneran nikah sama dia."
"Apa masalahnya? Toh kamu bayar aku juga, kan?"
"Makanya saya pilih kamu, kamu nggak nuntut banyak uang. Kalau dia, minimal seratus juta perbulan."
Wow. Apa saja yang akan dibeli wanita itu dengan uang seratus juta?
Mengenai gaji sepuluh juta perbulan itu, Adit sendiri yang memaksa. Katanya ingin membantu melunasi hutanghutang Ayah di kampung.
"Udah saya jawab, kan? Silakan pergi. Saya mau ke kantor." Dia berdiri begitu saja. "Oh ya, kalau kamu bosan di rumah, ada pengajian tiap minggu di rumah Bu Hajja Dewi. Kamu suka dengerin ceramah, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan tawarannya.
"Oke. Setiap hari saya bakalan ceramahin kamu. Siapin kuping supaya tidak panas." Ia mengedipkan mata
kanannya. Sudut bibir kanannya terangkat membentuk sebuah senyuman tipis.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa alaikumussalam," balasku lirih. Cium tangan, nggak, ya?
Dia berlalu begitu saja menuju ruang tengah di saat aku masih bingung dengan pikiran sendiri.
Ini kan cuman pernikahan di atas kertas. Apa iya aku tetap menjalankan tugas sebagai istri? Tapi kan dia juga tidak pernah menganggapku sebagai istri.
Pikiranku buyar ketika suara klakson mobil terdengar dari luar.
***

Pengajian di rumah Bu Hajja Dewi selesai pada jam sepuluh pagi. Sebelumnya, ada wanita paruh baya
bernama Bu Tuti yang menjemputku. Selama di sana, sudah ada beberapa wanita yang kuajak berkenalan.
Tema pengajian tentang pernikahan, seolah memang dikhususkan untuk menyindirku.
"Kalau kita pengen suami kayak Rasulullah, kita pun juga harus bisa kayak Khadijah ...." Sepenggal kalimat
ustazah yang memberikan ceramah tadi masih terngiang di telinga. Apa aku harus menjadi seperti istri
Rasulullah, Khadijah agar dia menerimaku? Jika memang dia tidak bisa memperlakukanku selayaknya
Rasulullah pada Khadijah, setidaknya Adit bisa menganggapku sebagai istrinya. Ya ... walaupun hanya 3 tahun.
"Penuhi kewajiban, maka hak akan datang menyusul. Sama seperti kita dan Allah. Surga itu haknya hamba
Allah. Tapi bagaimana kita bisa dapat hak kalau kewajiban belum dikerjakan? Bagaimana kita meminta surga, jika belum beribadah?" Lagi, kalimat ustazah itu kembali menampar diriku.
Apa yang kulakukan dari kemarin hingga saat ini?
Makan, suami yang masak.
Bersihin rumah pun, suami yang kerjakan.
Aku mengusap wajahku yang terasa lelah.
Sekarang, mulai darimana? Rumah semuanya sudah bersih. Sepertinya Adit memang sudah terbiasa
membersihkan rumah sendiri. Sementara Naura berangkat kuliah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Mungkin masak untuk makan siang.
Aku tersenyum semringah lalu menuju dapur. Beberapa saat, aku hanya terdiam. Jari-jari tangan mengetuk
kompor. Apa makanan kesukaan mereka?
Sialnya, aku tidak memiliki kontak mereka. Atau, aku masak makanan seperti yang semalam?
"Bismillah," gumamku. Kumulai kegiatan memasak seperti menu semalam. Semoga mereka bisa menerimanya.
Hampir 30 menit berkutat dengan alat dan bahan memasak di dapur, suara jernih terdengar dari arah pintu.
"Wih, wanginya enak banget nih ...."
Aku menoleh dan tersenyum sekilas. "Udah pulang, Nau?"
"Hehe, iya, Kak. Enak banget nasi goreng Kakak, jadi laper, nih," ucapnya dengan wajah berbinar. Aku
tersenyum.
"Bentar lagi. Kamu duduk, gih."
Kepalanya mengangguk antusias, mirip anak kecil yang dijanjikan beli permen oleh ibunya. Sangat
menggemaskan.
Setelah matang, aku membawanya ke ruang makan. Naura sedang mencicipi sayur sop buatanku. Ia tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-giginya yang putih rapi.
"Enak?" Aku duduk di sampingnya.
"Banget," jawabnya semangat.
"Ini," aku menyodorkan nasi goreng ke depannya. Memang agak berbeda dengan buatan Adit. "Semoga suka."
"Pasti suka," ucapnya tidak sabaran.
"Aku mau nanya boleh?"
Naura menghentikan kegiatannya makan sejenak demi bisa melihatku. Sejenak ia terdiam, seolah ragu. "Apa?"
"Makanan kesukaan Adit apa?"
Wajahnya kembali normal setelah mendengar pertanyaan barusan, membuat dahiku berkerut bingung.
"Apa aja. Dia mah perut karet, makan semua makanan, yang penting halalan thayyiba." Naura terkekeh pelan.
"Kalau kamu?"
"Hampir sama, sih. Cuman ada beberapa doang yang aku nggak suka. Tapi kalau suka banget, ya nasi goreng."
Kasihan juga melihatnya makan sambil menjawab pertanyaanku. Jadi membiarkannya makan dengan tenang
adalah pilihan yang terbaik.
"Kamu makan aja. Makan yang banyak, ya."
Kembali, ia tersenyum ceria. Gadis yang baik.
"NAURA!!"
Aku maupun Naura sama-sama tersentak kaget mendengar suara keras dari arah luar. Tak lama kemudian, Adit sudah datang dengan wajah penuh amarah. Apa lagi ini? Bahkan Naura terlihat takut melihat ekspresi
kakaknya.
"Kakak udah bilang, jangan pulang sendiri, kenapa keras kepala?"
Nada bicara Adit terdengar begitu menakutkan, meski sangat pelan. Kedua netranya menatap tajam Naura. Ia menarik gadis mungil itu hingga berdiri dan mencengkeram kedua bahu Naura. Kenapa jadi begini?
"Aku ... aku ...."
Naura mulai menitikkan air mata. Memang pernah kudengar jika wanita hamil itu lebih sensitif, apalagi terhadap bentakan.
Aku tetap diam, memperhatikan keduanya berinteraksi. Adit mulai luluh lalu memeluk adiknya. Benar-benar
romantis. Tolong sadarkan diriku jika mereka hanya adik dan kakak.
"Kakak khawatir banget tadi pas datang ke kampus kamu terus kamu udah nggak ada," ujar Adit dengan nada penuh kekhawatiran. Semakin sesak rasanya hingga aku harus mengatur napas agar bisa tenang.
Kenyataannya, rasa cemburu melihat keduanya membuat paru-paruku terasa dihimpit. Untuk mengurangi rasa itu, aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Udah jangan nangis lagi ...."
Meski tidak melihat keduanya, aku yakin Adit tengah menghapus air mata adiknya. Persis seperti di film-film
yang pernah kutonton.
"Kamu yang masak?"
Aku mendongak mendengar ucapan Adit barusan, tetapi lelaki itu mengarahkan wajahnya pada Naura seakanakan aku tidak ada di sini. Derita istri pajangan.
"Kak Nissa. Yuk makan," Naura kembali ceria. Ia menarik kakaknya itu untuk duduk di sampingnya. Naura
menjadi pemisah antara aku dan Adit.
"Enak loh, Kak, masakan Kak Nissa. Bersaing nih ama masakan Kakak," Naura terdengar mengejek Adit. Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya.
"Oh." Rasa kecewa kembali menghampiri saat respon Adit hanya itu, seolah-olah apa yang kulakukan sama
sekali tidak menarik perhatiannya.
'Sabar,' bisikku pada hati yang tengah merasakan perihnya kekecewaan. Intinya jadi istri yang baik aja. Kalau dia ngak mau jadi suami yang baik, kan masih ada Allah yang Maha Adil. Semua yang kulakukan pasti ada balasannya.
***

"Ganti lagi, Kak. Jelek!"
Aku patuh pada perintah gadis cantik yang sedang duduk di sampingku ini. Memencet remote dan mengganti
channel tv adalah kegiatanku sedari tadi. Dia terlihat begitu bosan, sama sepertiku yang bosan karena tidak
bisa menonton dengan baik.
"Nggak ada yang bagus. Bosen jadinya!" Ia menempelkan punggungnya di sandaran sofa.
"Jadi kamu mau apa?" tanyaku mencoba mencari tahu. Adit sudah menyerahkan kepercayaan padaku untuk
menjaga adik bungsunya ini.
"Mmm ...," Naura menggumam seolah berpikir. "Masakan Umi," la lanjutnya lirih. Kasihan melihatnya. Dia pasti merindukan ibunya.
Untuk menenangkannya, aku mengusap lengannya lembut. "Sabar."
"Iya, Kak," jawabnya. "Aku ke dapur dulu, ya? Ambil minum." Tubuh mungilnya menjulang tinggi.
"Biar aku aja," aku ikut berdiri hendak mendahuluinya menuju dapur. Namun, ia menahan tanganku sambil
tersenyum.
"Aku aja. Nggak papa, kok."
"Baiklah." Aku mengalah dan membiarkannya. Toh dia cuman ke dapur, bukan ke laut.
Segera aku menonton film kesukaanku. Sejak tadi, Naura tidak mengizinkanku menonton.
Lama.
Kenapa Naura belum kembali? Mungkin sedang makan. Karena dia memang doyan makan. Katanya, faktor ibu hamil. Jadi aku tetap diam menonton televisi.
Lama.
Kulirik jam putih yang menempel di dinding. Ini sudah lebih dari 30 menit, kenapa belum datang juga? Rasa
khawatir mulai merayap menyentuh hati. Aku berdiri hendak mengecek keadaan Naura di dapur. Baru beberapa langkah, terdengar teriakan dari ruang makan. Aku berlari.
"Naura ...," ucapku saat melihat gadis berwajah pucat itu kini berbaring di lantai dalam pelukan Adit.
"Kamu ke mana aja, hah? Saya sudah nyuruh kamu buat jagain Naura!! Apa kerjaan kamu?!"
Nyaliku menciut seketika mendengar bentakan itu. Sesuatu tak kasat mata seolah meremas jantungku di dalam sana. Sakit, tetapi tidak terlihat.
Kepalaku hanya menunduk ketika Adit menggendong Naura lalu melewatiku begitu saja.
"Semoga dia baik-baik saja," gumamku cemas.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER