Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 06 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #3

Cerita bersambung


Gelisah, takut dan khawatir. Tiga perasaan itu bercampur aduk dalam hati, membuatku berjalan mondar-mandir tidak tenang. Sudah hampir sejam, keduanya masih belum kembali. Bagaimana keadaan Naura? Semoga dia baik-baik saja.
Rapalan doa terus terucap di bibir. Layar televisi sudah berwarna gelap. Tidak menarik perhatianku lagi.

Bayangan wajah pucat Naura semakin membuatku tidak tenang. Jika terjadi satu hal pada gadis itu, aku tidak akan memaafkan diri sendiri. Ini semua karena keteledoranku.

Aku mencoba menghubungi nomor Adit lagi. Selalu tidak diangkat. Membasahi mulut dengan air adalah salah satu cara menenangkan diri setelah berdoa dan berzikir.
Selalu berpikir positif, Nissa.

Beberapa menit berikutnya, suara mobil terdengar dari luar. Aku bergegas menghampiri Adit dan Naura. Tepat saat membukakan pintu, keduanya langsung masuk begitu saja. Naura terlihat lemas dalam gendongan
kakaknya.
Kenapa terasa aneh lagi?
Mencoba menetralisasi perasaan aneh di dalam dada, aku menutup pintu lalu mengekor. Beberapa kali,
embusan napas pelan keluar dari hidung untuk mencoba mengurangi rasa tidak suka yang mulai mengakar di
dalam sana.
"Gimana keadaan Naura?" tanyaku mencari tahu. Beberapa saat, ia terdiam menaiki tangga menuju lantai dua.
"Baik-baik aja. Kamu jangan suruh dia bekerja terlalu berat, dia mudah capek."
Kepalaku menunduk untuk mengalihkan pandangan. Kenapa keduanya sangat mesra begini? Aku merasa menjadi istri keduanya saja.
"Nggak bakalan aku suruh lagi," balasku dengan nada pelan. Ia berbelok hendak menuju kamar Naura. Dengan inisiatif sendiri, aku membukakan pintu untuk Adit agar bisa memasukkan Naura ke dalam kamar.
"Kamu masuk kamar kamu sana!" Suara lembut berisi pengusiran itu tertuju padaku. Sekilas, aku melihat Adit mengusap rambut hitam adiknya dengan sayang.
Tidak kuat terlalu lama di sana, aku memasuki kamar sendiri tepat di samping kamar Naura. Kamar gadis itulah yang menjadi pemisah antara kamarku dan Adit.
Embusan napas, selawat dan doa, nyatanya belum bisa mengusir rasa aneh di dalam dada. Rasanya sedikit
kesal melihat Adit terlalu dekat dengan Naura. Apa itu wajar untuk kakak adik?
Dulu, aku pun punya kakak laki-laki. Fajar namanya. Sejak 8 tahun lalu, ia hijrah keluar negeri. Sampai sekarang belum kunjung kembali. Awal pergi, dia sering mengirimi kami uang. Namun sekarang, jarang, bahkan tidak pernah. Hubungan aku dan Kak Fajar pun tidak sedekat Adit dan Naura. Peluk, memang sering. Terutama saat aku menangis karena sering diejek kesulitan menyebutkan huruf R dulu. Gendong, hanya terhitung jari. Itupun berlaku hanya saat aku masih kecil, MI (sekolah madrasah ibtidaiyah, setingkat SD -red).
Ah, ini pasti hasutan setan lagi untuk berpikiran buruk tentang keduanya. Selawat semakin sering keluar dari
bibir.

Dua puluh menit berikutnya, aku berbaring di tempat tidur. Jam 3 harus bangun shalat tahajud. Setelah shalat
subuh, harus menyiapkan sarapan. Adit hanya boleh fokus pada Naura dan pekerjaannya.
***

Sarapan sudah siap. Naura tersenyum mengembang saat memasuki dapur.
"Selamat pagi," sapa Naura setelah duduk di kursi. Wajahnya masih pucat, meski tidak seperti kemarin.
"Pagi," jawabku. "Gimana keadaan kamu? Masih lemes?"
"Dikit," ia tersenyum kecut. "Gini, ya, ternyata kalau hamil. Sering pusing. Bahkan di kampus, aku beberapa kali pingsan. Untungnya nggak sampe dibawa ke rumah sakit."
Aku tercenung. Pantas saja Adit selalu pulang awal demi bisa menjemput adiknya ini.
"Ya udah. Sarapan yang banyak, gih, biar nggak lemes lagi," ujarku. Ia mengangguk. "Adit belum turun?"
tanyaku.
"Belum kayaknya. Kasihan, Kak. Dia harus kerjain tugas kantor di rumah, ngurusin aku, ngurusin rumah juga,"
Naura curhat, membuatku sedikit mengenal Adit lebih jauh lagi.
"Aku panggil dia, ya? Kamu tetep makan. Kalau ada apa-apa, panggil aku aja. Oke?" Naura mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaanku.

Aku menaiki tumpukan anak tangga satu persatu dengan hati yang merasa ragu. Ini pertama kalinya aku
menghampiri kamarnya. Apa tidak apa-apa?
Bisikan bismillah dari hati menguatkan diriku. Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. Tidak ada jawaban.
Ketukan keempat kalinya, barulah ada sahutan dari dalam.
Kok aneh, ya? Ngajak sarapannya gimana? Ucapin salam dulu, nggak? Kok jadi bingung, sih?
"Naura?" Pintu terbuka menampilkan sosok Adit yang hanya bertelanjang dada. Secara otomatis, kepalaku
menunduk memperhatikan ubin putih.
"Kamu ternyata. Ada apa?" Nada bicaranya terdengar dingin, berbanding terbalik dengan suara saat ia
menyebut nama adiknya. Lagi, kenapa rasa tidak suka itu kembali mendominasi hati?
"S-sarapan dulu ...." Oh sial! Suaraku kenapa ingin menghilang.
Aku mengerjap beberapa kali, saat sedang sibuk menormalkan detak jantung, lalu secara tiba-tiba mendengar ucapannya yang dingin. "Ya."
"Ayo sarapan."
Saat itulah baru aku berbalik. Ia sudah mengenakan kemeja biru gelap serta celana bahan hitam. Sebuah jas
hitam berada di lengan kanannya, sementara kedua tangannya sibuk memasang dasi. Aku mengekor sambil
membawa tas kerjanya.
"Nissa?"
Aku mendongak memandang punggung tegapnya. "Ada apa?"
Adit sepertinya memelankan langkahnya, aku ikut berjalan pelan.
"Kemari, saya ingin bicara," ucapnya dengan nada kesal. Aku pun mensejajarkan langkahku dengannya.
"Bisa bantu aku lagi?"
"Ya," jawabku ragu. Dari ekspresi dan nada bicaranya, ia terlihat berat mengungkapkannya.
"Mungkin malam ini saya harus pulang malam. Kamu nanti bisa jemput Naura?"
Mendengar Adit menyebut nama Naura, kenapa aku merasa sedikit kesal. "Bisa."
Adit berpesan, "Nanti suruh Pak Anton yang antar kamu jemput Naura."
Sebuah gumaman malas keluar dari bibir.
Kenapa aku jadi begini?
***

Mulai hari itu, aku yang antar jemput Naura. Tak jarang, menunggunya pulang di sebuah restoran depan
kampus. Setidaknya dengan rutinitas ini, aku tidak terlalu bosan. Lagipula, Naura biasanya pulang sebelum jam 12, masih mempunyai waktu luang untuk mengurus rumah. Gadis itu juga tidak mengikuti organisasi apapun, membuatku kembali iba. Dari pancaran matanya, aku bisa menangkap keinginan besar dan juga kesedihan ketika ia melihat teman-temannya sibuk mengurus organisasi.
Kami berdua selayaknya sahabat. Dia sering curhat, yang kutanggapi dengan memberinya nasehat. Naura
gadis yang patuh, baik, dan menjaga diri. Terbukti ia sering mengenakan hijab setiap kali keluar rumah. Orang yang mengambil kesucian gadis itu benar-benar lelaki bajingan.

Naura dulunya kuliah di Amerika. Karena pakaian yang tertutup dan agamanya, ia sering mendapat bully-an.
Tidak masalah. Ia bisa menghadapi itu dengan tegar. Selama di sana, Naura hanya memiliki satu teman yang
berbagi satu apartemen, Gwen namanya. Sudah menjadi hal umum jika remaja--bahkan orang dewasa-- di
Amerika memiliki pacar dan biasa berhubungan selayaknya suami istri. Gwen sering membawa pacarnya ke
apartemen. Hal itu membuat Naura merasa tidak nyaman. Untungnya di tempat itu ada dua kamar yang saling terpisah. Naura menyendiri dengan buku pelajarannya, sementara orang di ruangan samping kamarnya sibuk pacaran.
Hingga suatu hari saat Naura sedang sendiri di apartemen, ada yang mengetuk pintu. Ia pikir itu Gwen dan langsung membukanya. Satu detik ketika pintu terbuka, seseorang membekap mulutnya dan memaksa Naura masuk ke dalam apartemen. Tidak ada yang tahu siapa lelaki itu, hanya Naura yang melihat bagaimana wajahnya. Apalagi Naura tidak tahu siapa namanya, jadilah ia dan kakaknya kebingungan mencari lelaki itu.
Miris mengetahui hal itu. Pernah kutanyakan kenapa tidak memberi tahu keluarganya di kampung. Pasti mereka akan mengerti. Naura mengatakan jika ia tidak ingin keluarganya malu. Apalagi Ustaz Fadil. Dia cukup keras pada Naura, membuat gadis itu semakin takut memberi tahu semuanya.
Pernah juga aku menyarankan jika mengakui anaknya nanti sebagai anak adopsi. Naura menjawab jika itu bisa berbahaya. Pikirannya terlalu jauh. Bagaimana jika anaknya nanti sakit keras, dan berhubungan dengan DNA.
Pasti keluarganya akan tahu jika itu anak Naura. Kebanyakan nonton film.
Aku sering menasehatinya, jika kebohongan itu tidak baik, dosanya banyak. Dia tahu sendiri tentang itu. Pun
kakaknya. Dan satu kebohongan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya. Alasan kehormatan keluarga menjadi bantahan atas nasehat itu. Aku bungkam.

"Lama nunggunya, Kak?"
Aku terkesiap saat Naura tiba-tiba ada di sampingku. Aku terlalu banyak melamun.
"Baru sekitar ...," aku melirik jam dinding, "30 menit. Nggak lama."
Dia duduk di depanku. Kami sedang ada di restoran tempat biasa aku menunggunya. "Mau pesan apa?"
"Es jeruk aja. Aus nih," balasnya. Aku mengangguk lalu memanggil pelayan untuk menyampaikan pesanannya.
"Nggak makan?"
Naura menggeleng. "Di rumah aja, mau makan masakannya Kak Nissa, abisnya enak banget."
Aku tersenyum menanggapinya. "Mau makan apa nanti?" Kedua tangan dilipat di atas meja, dengan mata memandang lurus ke arah Naura yang sibuk berpikir.
"Apa aja, deh." Wajah cerianya mulai meredup. "Kak ... perut aku kelihatan besar, nggak, sih?" Dia berdiri di tempatnya.
"Nggak, kok." Aku menjawab setelah memperhatikan bagian perutnya. Gamis motif bunga-bunga yang ia kenakan cukup longgar, jadi tidak membuat perutnya terlihat besar. Lagipula ini baru berapa bulan?
Mendekati 3 bulan.
"Em ... Kak ...."
"Ada apa?" Naura terlihat ingin mengatakan sesuatu, tergambar jelas dari kepalanya yang menunduk, lalu
terangkat, menunduk lagi. "Mau bilang apa?" Kini suaraku terdengar lebih lembut lagi.
"Nggak jadi," nada suaranya melemah, membuatku merasa kasihan.
"Bilang aja. Kamu mau apa?"
"Makan mangga," bisiknya.
"Ini, Kak, minumannya." Seorang pelayan datang dan meletakkan segelas jus jeruk di atas meja.
"Terima kasih," ucapku sembari tersenyum. Pelayan itu tersenyum lalu pergi.
"Mangga?" Aku mengulang pertanyaannya. Ia mengangguk sambil tersenyum.
Bagaimana ini? Adit melarang kami keluar rumah, kecuali kampus, dan area komplek perumahan.
"Bentar aja, Kak. Plis, ya. Palingan cuman di pasar doang, nggak bakalan jauh-jauh," Naura memelas.
Aku berpikir sejenak. Apa salahnya? Lagipula pasar tidak terlalu jauh dari sini.
"Oke. Kamu minum dulu, gih."
Senyuman semringah tercetak di bibirnya. Cepat ia menyesap segelas jus jeruk pesanannya. Aku berdecak dalam hati. Apa setiap wanita hamil akan lahap makan?
"Ayo, Kak." Dia menarik lenganku.
"Iya-iya. Aku bayar dulu, ya?"

Setelah selesai dengan proses pembayaran, aku menghampiri Pak Anton. Dia pun sama, sedikit ragu dengan keinginan Naura. Memang Adit sudah memberikan ultimatum pada supir berusia 40 tahun ini untuk tidak membawaku dan Naura jauh-jauh.
Naura membujuk Pak Anton dengan wajah memelas dan menggemaskan miliknya. Akhirnya lelaki paruh baya itu mengalah dan memenuhi permintaan kami.
"Kak, ini cuman perasaan aku aja, atau memang bener ...." Naura berbicara setelah beberapa saat hening di
dalam mobil. "Mobil avanza di belakang kayaknya ngikutin kita deh."
Aku memutar tubuh menghadap belakang. "Mungkin cuman perasaan kamu aja," jawabku mencoba
menenangkannya.
Dan seperti dugaanku. Mobil yang Naura kira mengikuti kami sudah menghilang entah ke mana. Gadis ini masih terlihat gusar.
"Kenapa, Nau?"
"Kok perasaan aku nggak enak, ya?"
"Jadi, kamu mau pulang?"
"Tapi pengen makan mangga."
"Kita beli mangga dulu bentar, abis itu pulang. Oke?"
Dia mengangguk lesu. Aku memaklumi hal itu. Katanya ibu hamil memang memiliki perasaan yang berubah ubah.
Tidak ada masalah apapun selama membeli mangga hingga kembali ke mobil. Namun di pertengahan jalan,
sebuah mobil yang Naura kira tadi mengikuti kami, kini berhenti tepat di tengah jalan, menghalangi mobil untuk melaju. Sekitar jalanan sangat sepi, karena Pak Anton memilih jalan tikus yang tidak terlalu ramai. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi, apalagi Naura sudah menangis. Aku mencoba menenangkannya.
Seorang laki-laki mengetuk pintu kaca mobil. Kami tetap bergeming, enggan menurunkan kaca jendela.
"WOY! BUKA! MAU GUE PECAHIN NIH KACA?!"
Naura semakin menangis. Pak Anton keluar dari mobil menghadapi lelaki berbaju selayaknya preman itu meski aku sudah melarangnya. Pak Anton mencoba berbicara sesuatu pada mereka. Namun malah berakhir dipukuli hingga tidak berdaya.
Preman bertubuh jangkung membawa batu berukuran besar. Aku memeluk Naura secara otomatis saat lelaki itu memecahkan kaca mobil di sampingku. Aku mendesis kesakitan saat ada yang menusuk punggung, sepertinya kaca jendela.
"Kak ...," lirih Naura.
"Sst! Diam!"
"CEPETAN KELUAR! ATAU GUE PAKSA LO KELUAR!"
Bagaimana ini? Apa aku harus turun dan bernasib sama seperti Pak Anton?
"Awww!!" Aku memekik ketika jilbabku ditarik dari belakang dengan keras hingga kepalaku hampir keluar jendela, ditambah lagi saat ada yang menggores leher belakangku.
"KELUAR CEPAT!" Dia mendorong kepalaku. Sekuat tenaga, aku tidak menangis.
Tidak ada pilihan lain lagi. Akhirnya aku keluar dari mobil, menghadapi keduanya.
"Kalian butuh apa? Uang?" Aku meraih tas di dalam mobil, hendak mengeluarkan uang jika seandainya salah satu dari mereka tidak menarik paksa tasku dan membuangnya ke jalanan.
Preman bertubuh pendek mencekal kedua tanganku di belakang tubuh. Sementara yang satunya menarik
paksa Naura dari luar.
"Jangan! Jangan sentuh dia!" teriakku yang tidak mereka tanggapi sama sekali.
Preman yang menahan kedua tangan ini mendorong tubuhku hingga menabrak mobil. aku meringis kesakitan, lalu mencoba mengejar. Sial! Mereka sudah pergi!
Sialnya lagi, aku tidak tahu caranya mengendarai mobil.
"Adit," gumamku pelan. Segera aku meraih tas di jalanan lalu menghubungi Adit. Tubuhku gemetar, sebelumnya tidak pernah menghadapi situasi seperti ini. Kaki pun ikut lemas, jantung ikut berdetak lebih keras.
Ya Alloh, selamatkan Naura.

==========

Aku menunggu di dalam mobil. Pak Anton pun sudah kumasukkan. Tinggal menunggu Adit yang akan kemari.
Tak henti-hentinya air mata ini keluar membanjiri wajah. Hati ikut tidak tenang. Keadaan Naura yang mengambil alih semua pikiranku.
Rasa takut itu masih memenuhi hati. Sedikit takut setiap kali ada mobil yang melewati kami. Bayangan peristiwa beberapa menit yang lalu meninggalkan trauma yang begitu besar untukku.
Aku tersenyum penuh pengharapan ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam menghampiri. Itu mobil Adit!
Aku turun dari mobil ketika ia menghentikan mobilnya tepat di depan mobil ini.
"DI MANA NAURA?!" Ia langsung membentakku. Wajahnya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Aku belum memberi tahu keadaan Naura saat di telpon tadi. Kepalanya celingak-celinguk ke dalam mobil.
"Maaf, Dit ...," cicitku pelan. Pandanganku tertuju ke arah aspal untuk menghindari mata tajamnya. "Naura diculik."
"APA?" Ia memegang bahuku dengan erat. Aku mencoba bertahan untuk tidak meringis kesakitan. "KENAPA BISA DICULIK?!"
Mataku tertuju ke bawah, dengan air mata terus mengucur membasahi wajah. Detak jantungku semakin tidak beraturan karena rasa takut yang semakin bertambah melihat kemurkaan Adit.
"Tadi ... ada yang ngikutin kami. A-aku pikir bukan siapa-siapa. Terus pas mau pulang ke rumah, mereka menghentikan kami. Mereka mukul Pak Anton terus nyulik Naura," jelasku dengan nada pelan. Sesekali terdengar isakan dari bibirku.
"Sial!" umpatnya sambil mendorong tubuhku dengan kasar. Tangisku semakin menjadi-jadi.
"Ngapain juga kalian ke sini, hah?! Bukannya saya udah bilang jangan pernah keluar rumah selain kampus tanpa seizin saya!"
Aku diam menerima semua amukannya. Lagipula, ini kesalahanku.
"Maaf ...," ucapku dengan suara nyaris tidak terdengar.
Adit menggeram kesal sambil menjambak rambutnya. Ia menghubungi seseorang untuk datang ke sini, membawa pulang mobil.
Adit bergegas memasuki mobil dengan cepat. Aku berlari mengikutinya.
"Adit! Aku ikut!" teriakku. Aku tidak akan bisa tenang jika belum bertemu Naura dalam keadaan baik-baik saja.
Namun, ia tetap menjalankan mobilnya, dan meninggalkanku sendiri. Di tengah jalanan yang sepi yang jarang dilalui orang-orang. Tangisan semakin keras, disertai isakan yang tak kunjung berhenti. Kakiku lemas, karena ketakutan. Tubuhku luruh di aspal begitu saja. Mata berkabut milikku memandangi mobil Adit hingga
menghilang.
Dari sikapnya barusan, dia membuatku semakin sadar jika aku sama sekali tidak berharga baginya.
***

Hingga malam tiba, Adit belum pulang juga. Hal itu membuatku semakin khawatir dengan keadaan Naura.
Berkali-kali kucoba menghubunginya. Tidak aktif..
Shalat isya sudah selesai kulakukan sejak 30 menit yang lalu, tetapi aku masih enggan beranjak. Sedari tadi,
membaca al-Quran adalah kegiatanku untuk menenangkan diri.
Beberapa kali aku menghentikan bacaan karena rasa sakit di bagian punggung dan leher. Kalau bagian leher,
memang karena kepalaku ditarik hingga keluar jendela yang sudah hancur. Sementara punggung? Bagaimana
bisa ada kaca yang bisa menembus gamis yang kukenakan? Jika sengaja ditancapkan, itu memang wajar.
Preman itu kan cuman memecahkan kaca jendela. Bagaimana bisa tembus? Karena itu, aku sulit bergerak
banyak.

Al-Qamar, Ar-Rahman, dan Al-Waqi'ah sudah selesai kubaca. Namun belum ada tanda-tanda mereka kembali.
Kuputuskan untuk menghentikan bacaan.
Makanan yang kumasak tadi pasti sudah dingin. Jadi aku akan memanaskannya kembali.
Di tengah-tengah kegiatanku memanaskan makanan, suara deru mobil berhenti di halangan rumah. Kumatikan kompor dan segera menuju pintu dengan hati berdebar-debar. Semoga Naura tidak apa-apa. Gadis itu sudah terlalu banyak menanggung masalah.
Hampir sama seperti semalam, Adit pulang menggendong Naura. Kali ini, rasa bahagia sekaligus lega mengalahkan rasa tidak suka yang pernah kurasakan. Aku membuka pintu lebih lebar. Saat baru saja ingin menutup pintu, seorang wanita menahan pintunya. Aku tercengang, dia wanita yang pernah berpelukan dengan Adit.
Senyuman mengejek tercetak jelas di wajahnya yang tirus.
"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku dengan nada kesal. Untuk apalagi dia datang kemari malam-malam? Adit juga mengatakan jika dia bukan pacarnya.
Kedua tangannya dilipat di depan dada. Terlihat begitu santai dengan binar mata yang memandangku remeh.
"Nissa, biarkan dia masuk!" Suara bariton milik Adit membuat senyuman pongahnya semakin lebar. Aku
menurut dan memberinya ruang untuk masuk, lalu menutup pintu.
Aku bingung sekarang. Mengikuti mereka bertiga, atau kembali ke dapur untuk menghapus rasa jengkel di hati?
Mungkin pilihan kedua lebih baik. Aku akan ke dapur, jika seandainya suara Adit tidak terdengar.
"Nissa, tolong bawakan makanan ke kamar Naura!"
"Iya," jawabku dengan nada pelan, lalu bergegas menuju dapur. Sekilas, aku melihat sudut bibir kanan wanita seksi itu terangkat membentuk senyuman iblis. Dasar!

Tidak butuh waktu banyak, aku sudah menaiki tangga dengan sepiring nasi goreng di tangan. Sebelum masuk, kuketuk pintu beberapa kali.
Adit tengah mengompres kepala Naura dengan kain basah. Dari wajah pucat Naura yang tengah memejamkan mata, tidak ada bekas luka apa. Aku berharap, ia tidak terluka di bagian lain.
"Naura, makan dulu, yuk." Adit menepuk wajah Naura dengan lembut. Sangat lembut, seolah tidak ingin menyakiti wajah mulus adiknya.
Naura mengerjapkan matanya beberapa kali. Dengan dibantu oleh kakaknya, ia duduk dan bersandar di kepala ranjang. Dengan telaten, Adit menyuapi adiknya itu hingga Naura menolak lagi untuk makan.
"Kamu istirahat, ya?" Adit mengelus rambut hitam milik Naura. Ia membantunya untuk kembali berbaring di
tempat tidur.
"Kak Nissa temenin Naura, ya?"
Aku terkesiap ketika namaku tiba-tiba terpanggil. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan permintaannya sambil tersenyum.
"Dit, kamu makan, ya? Dari tadi kamu belum makan, lho. Naura kan udah baik-baik aja."
Aku menggeram dalam hati melihat wanita berpakaian kurang bahan itu bergelayut manja di lengan Adit. Dan
yang lebih menyebalkan lagi, Adit sama sekali tidak menepis tangan perempuan itu.
"Lagian kan ada istri kamu yang jagain Naura, giliran kamu yang istirahat." Lagi, wanita itu membuat telingaku terasa panas. Ingin rasanya aku memasukkan semua air di dalam baskom ke mulutnya itu, lalu keracunan dan meninggal. Sebuah khayalan yang indah.
Astagfirullah. Aku berdecak dalam hati karena tidak bisa mengendalikan pikiran yang semakin liar. Bisa-bisanya aku menginginkan keburukan pada orang lain.

Aku duduk di samping Naura ketika keduanya melangkah keluar. Aku mengembuskan napas berat berkali-kali untuk menghilangkan amarah dalam hati.
Kenapa juga aku harus marah? Mereka siapa?
"Dia jago bela diri, atau karate, atau apa gitu?"
"Setahu aku, sih, enggak. Kan dia model, mana ada waktu belajar kayak gituan."
"Kok aneh, ya?" Aku bermonolog setelah mendapat kabar demikian dari Naura.
"Apanya yang aneh?"
"Pak Anton aja bisa dikalahin sama preman itu, masa Irma bisa ngalahin dia seorang diri?" Aku memperhatikan ekspresi wajah Naura yang terlihat bingung. Detik berikutnya, kedua matanya melebar sempurna.
"Jangan-jangan ...." Kami berdua bersamaan mengucapkannya.
"Sialan tuh, cewek. Kayaknya perlu dikasih pelajaran!" Naura menggeram dengan kedua tangan mengepal kuat.
"Siapa yang butuh pelajaran?"
Aku dan Naura sama-sama terkesiap saat Adit tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
"Preman semalam, Kak. Pengen Naura karungin terus masukin ke tempat sampah. Kesel aku, Kak!"
Adit hanya tersenyum menanggapi kalimat tersebut, sembari mengusap rambut hitam Naura. "Ada yang sakit?"
"Nggak ada, kok, Kak." Naura tersenyum mengembang. "Mungkin Kak Nissa yang luka, kemarin kena pecahan kaca, kan?"
Aku terlonjak kaget karena Naura menyebut namaku secara tiba-tiba. "Nggak papa, kok. Udah diobatin."
"Gimana caranya? Kan lukanya di punggung,"
"Nggak papa kok, nggak serius."
"Semua luka bakalan serius kalau diabaikan, Kak," Naura terlihat malas. "Kak Adit obatin gih!"
"Hah?" Adit ikut kaget. "O-obatin?"
"Nggak usah. Aku mau ke dapur dulu!" pamitku lalu beranjak pergi. Yang benar saja jika Adit yang harus
mengobati punggungku. Itu artinya kan .... Kepalaku menggeleng kasar. Jangan berpikiran aneh-aneh, Nissa!

Aku ke dapur untuk mencuci piring bekas memasak tadi. Tapi ternyata sudah bersih. Pasti Adit.
Yang ingin kulakukan sekarang adalah menyapu dan mengepel. Namun, rasanya tidak bisa, mengingat rasa
sakit di bagian punggung dan leher yang membatasi pergerakanku.
Mungkin waktunya istirahat, berharap luka ini segera sembuh.
"Nissa."
"Eh, Adit. Ada apa?" tanyaku ketika Adit memanggil.
Dia terdiam sesaat. Kebiasaan! Setiap kali aku berbicara padanya, pasti selalu ada jeda sejenak. Atau dia baru belajar berbicara hingga harus berpikir terlebih dahulu?
"Ikut saya!"
Bingung dan ragu. Tapi aku tetap mengikutinya menuju lantai dua hingga masuk ke kamarnya. Aku semakin
gugup ketika ia menutup pintu kamarnya. Duh, ini apalagi, sih?
Aku bergeming tak jauh dari pintu. Takut-takut jika Adit melakukan 'sesuatu', jadi aku bisa langsung lari.
Ish! Aku berdecak sebal. Kenapa pikiranku sulit diatur?
"Ayo duduk!" Ia kembali memerintah. Meski bingung, aku tetap patuh tanpa menanyakan tujuannya menyuruhku duduk di atas tempat tidur.
Dia mengeluarkan kotak P3K dari lemari.
Oh tidak! Jangan sampai dia benar-benar berniat mengobati lukaku. Kalau di tangan, nggak papa. Lah ini, di
punggung!
"Boleh saya nanya sesuatu?" Dia menatapku begitu dalam.
"Apa?"
"Kamu beneran nggak nganggap saya suami kamu, ya? Sampai-sampai, kamu nggak pernah buka jilbab di
depan saya."
Bagaimana cara menjawabnya?
"Anu ... itu ... aku belum siap aja," jawabku.
"Luka kamu ada di mana aja?"
Perasaanku mulai tidak enak. "Leher sama punggung."
"Kamu bisa buka jilbab kamu?"
Tuh kan! Tuh kan! Ini gimana?!

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER