Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 07 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #4

Cerita bersambung


"Kamu bisa buka jilbab kamu?"
Tuh kan! Tuh kan! Ini gimana?!
Rasanya aku belum siap jika membuka jilbab di depan laki-laki asing, walaupun dia adalah suamiku. Jantung ikut berdetak luar biasa, membuatku semakin gugup saja.
"Ada apa? Kamu kesulitan bukanya?" Adit bertanya setelah hening beberapa saat.
"Anu ... itu ... aku ... aku ...."
"Sini!" Satu kata ini bagaikan sihir, membuat tubuhku mematung. Apalagi Adit memajukan tangannya dan meraih bros di bawah dagu. Jaraknya yang terlalu dekat ternyata tidak baik untuk jantung. Aku harap, dia tidak mendengar detakannya.

Jilbab segitiga berwarna biru polos milikku jatuh begitu saja di atas tempat tidur. Kepalaku menunduk untuk menyembunyikan wajah dari tatapan Adit. Rasa hangat menjalar mulai dari hati hingga ke pipi. Semoga tidak menimbulkan warna merah. Bisa malu nanti!
"Berbalik!" Adit terlihat santai dan tenang, berbanding terbalik denganku yang sudah 'jedag jedug'.
Aku tetap patuh, lalu memutar tubuh membelakanginya. Bulu kuduk seketika berdiri saat tangan besarnya dengan lembut membawa helaian rambutku ke depan. Secara otomatis, aku menahan napas. Ini kenapa, ya?
"Sssh!" Aku meringis saat ia menekan lukaku.
"Maaf," bisiknya pelan. Suaranya juga kok jadi terdengar aneh, ya? Mungkin telingaku yang bermasalah.
Aku mencoba bertahan dengan rasa perih yang Adit kirimkan setiap kali menekan lukaku. Mataku bahkan terpejam karena rasa sakit.

Mataku terbuka lebar ketika merasakan embusan napas menyapu kulit leher. Astaga, apa yang Adit lakukan?
Apa dia tidak sadar jika perlakuannya itu membuatku merinding seketika.
"Di punggung parah, nggak?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaan mendadak darinya. "Ng-nggak usah. Nanti biar aku aja yang obatin,"
balasku, hendak memutar tubuh. Adit menahan kedua bahuku.
"Sekalian aja. Lagian hari ini saya nggak berangkat kerja, nggak sibuk," pungkasnya. "Saya boleh buka baju
kamu?"
Ini nih yang bahaya. Aku merasa belum siap jika tubuhku--walaupun hanya punggung--terekspos begitu saja di depan laki-laki.
"Adit ..., ini nggak perlu. Biar aku aja yang obatin, nggak terlalu par ...."
Sreeek!!
Ah .... Adit sudah menurunkan ritsleting gamisku. Mataku membulat seketika. Kedua tanganku meraba
punggung. Benar. Lelaki ini benar-benar membuka pakaianku.
"Udah! Diem aja!" Adit menjauhkan tanganku.
Apa dia tidak tahu apa yang kurasakan sekarang? Malu banget! Kedua tanganku menahan gamis bagian dada untuk mencegahnya melorot.
"Punggung kamu kenapa kayak gini? Ini parah banget, Nis!" ucapnya memberitahu. "Kayak sengaja ditusuk
pake kaca."
"Nggak papa ...," jawabku dengan nada pelan. Ini embusan napas Adit yang menyentuh punggung membuatku semakin merasakan sesuatu yang aneh. Entah apa, aku tidak mengerti.
Aku kembali memejamkan mata saat dia menekan lukaku. Beberapa kali aku meringis kesakitan karena rasa
perih yang melanda.
"Kamu tahan, ya?"
Aku mengangguk pelan. Sprei kamarnya menjadi pelampiasan, dengan meremasnya begitu kuat.
"Selesai."
Embusan napas lega keluar dari hidung. Bahuku terasa merosot ke bawah setelah menegang beberapa saat.
Namun, tubuhku kembali menemani saat merasakan tangan hangat menyentuh punggung.
"Ad ... it ...."
"Sssst!"
Sekuat tenaga, aku menelan ludah yang terasa sulit melewati tenggorokan saat merasakan embusan napas
Adit tepat di belakang telinga.
"Adit ... menjauh!"
"Kenapa?"
Suara seraknya itu semakin membuatku merinding.
Sapuan hangat di punggung semakin menjalar naik.
Tok Tok Tok
Aku mengerjap beberapa kali. Astaga, apa yang Adit lakukan!
Tanpa kusadari, Adit sudah melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Kamu butuh sesuatu, hm?"
"Kakak ngapain aja di dalem? Aku panggilin nggak nyahut-nyahut!"
Aku masih diam di atas tempat tidur menyaksikan Adit berbicara dengan adiknya, sambil berusaha memasang kembali ritsleting pakaian. Uh! Sulit sekali!
Aku semakin kesal saat keduanya pergi begitu saja. Tidak bertanggung jawab sekali!
Aku meraba punggung, sesekali meringis ketika mengenai luka. Dan, aku tercengang saat menemukan sebuah fakta.

Astaga! Adit melepas kaitan bra-ku.
***

Sejak kejadian tadi pagi, sampai siang ini, aku belum berbicara apapun dengan Adit. Entah itu aku yang menjauh, atau dia yang menghindar.
Makan siang pun dilalui dengan keheningan. Hanya sesekali Naura yang memulai perbincangan. Itu pun cuman Adit yang menjawab.
Aku semakin canggung saat Naura selesai makan dan meninggalkanku berdua dengan Adit. Aku mempercepat makan untuk bisa menghindarinya. Bagaimana pun, kejadian tadi pagi membuatku sangat malu.
Aku bangkit setelah menyelesaikan kegiatan makan untuk membawa piring kotor ke dapur.
"Nissa,"
Aku berhenti bergerak ketika suara Adit kembali terdengar. Mendadak, ada terasa ada sesuatu yang aneh pada diriku. Mungkin efek malu.
"Maaf, tadi saya kelepasan," ucapnya dengan nada pelan, seperti ragu meminta maaf.
"Iya," jawabku dengan nada pelan nyaris seperti berbisik. Kepala ikut menunduk memperhatikan piring-piring kotor di tangan.
Aku segera beranjak pergi, karena merasa risih dengan tatapan Adit padaku.
Selesai dengan tugas bersih-bersih di dapur, aku menghampiri Naura di kamarnya. Adit mengatakan jika ia ingin menemuiku.
Keadaan Naura tidak seburuk tadi pagi. Wajahnya kembali segar dan terlihat ceria.
"Ada apa?" tanyaku saat memasuki kamarnya. Wajah semringah tercetak di bibirnya.
"Kakak tau, aku udah bikin pelajaran sama si Irma itu." Naura terlihat menggebu-gebu menceritakan rencananya.
Wow. Aku berdecak dalam hati. Tanpa keluar rumah, ia bisa membalas wanita menjengkelkan itu.
Dia mempunyai banyak teman-teman di kampus. Dan teman-temannya itu menculik Irma dan melepaskannya nanti malam.
"Bagaimana kalau dia lapor polisi? Itu bahaya," ujarku.
"Nggak bakalan!" Naura terlihat begitu yakin.
Aku mengangkat kedua bahu, tidak acuh. Lagipula, wanita itu memang perlu sedikit pelajaran agar tidak melakukan hal-hal yang berbahaya. Aku tidak habis pikir, jika hanya untuk mendapatkan perhatian Adit, kenapa sampai harus menculik Naura?
"Aku punya kabar bahagia lagi, loh!" Wajah Naura semakin berbinar-binar.
"Apa?"
"Kak Fadil mau nikah!"
Aku terdiam seketika mencerna kalimat barusan. Sesak di dada kembali terasa.

==========

Fadil akan menikah.
Kenapa aku merasa aneh? Terasa tidak suka dan sedikit kesal mengetahui jika ustaz yang berhasil menarik perhatian seluruh penduduk kampung itu akan menikah. Dan menikahnya, bukan denganku.
Apa aku cemburu?
Mungkinkah? Aku bertemu dengannya hanya beberapa kali, bisa dihitung jari. Apa rasa itu pantas bersemayam di hati?
Bayangan Ustaz Fadil mulai memenuhi pikiran. Saat ia pertama kali datang ke kampung dengan niat memajukan penduduk dengan agama islam. Wajah tampannya itu langsung menarik perhatian semua orang, terutama kaum hawa.
Jadi aku tidak menyalahkan bapak-bapak di sana saat cemburu istrinya mengagumi lelaki lain.

"Sssh ...." Astaga, kenapa aku tidak memperhatikan pekerjaanku memotong wortel? Sekarang, ujung jari telunjukku teriris pisau dan mengeluarkan darah.
"Eh ... eh." Aku terkesiap ketika seseorang menarik paksa tanganku. Belum sempat aku berpikir, dia sudah memasukkan jari yang terluka itu ke dalam mulutnya.
"Adit?" gumamku, nyaris tidak percaya.
"Apa yang kamu lakukan, hah?! Apa kamu tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan baik?"
Bukan hanya jari, jantungku di dalam sana terasa diiris mendengar bentakannya barusan. Aku menunduk menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Maaf." Nada bicara Adit mulai melemah, memancingku untuk mengangkat kepala. Wajahnya terlihat begitu lelah. Apa ada masalah besar yang menimpanya?
"Kamu masih memikirkan kejadian kemarin?"
Dengan masih ketakutan, aku melirik takut-takut padanya. Sebuah gelengan kecil sebagai jawaban atas pertanyaannya barusan.
"Terus apa?" Wajahnya lurus ke arahku, memberikan tatapan tajam yang membuatku semakin menciut. "Maaf, kalau benar soal kemarin. Saya benar-benar kelepasan."
"B-bukan itu ...," jawabku dengan nada pelan. Entah itu karena efek malu yang kembali muncul, atau karena
takut dengan Adit. "Aku hanya memikirkan Ayah."
Huh! Aku pernah menasehati Naura untuk tidak berbohong. Dan lihatlah sekarang, malah aku sendiri yang melakukannya. Kepalaku semakin menunduk dalam karena merasa terintimidasi oleh tatapannya yang tajam.
Ya Alloh, kenapa mata dan sikapnya begitu mendukung untuk membuatku kehilangan nyali?
"Kamu sudah tahu mengenai kabar pernikahan Fadil, kan?"
Mendengar nama ustaz muda itu disebut, kepalaku mendongak secara otomatis, bertemu langsung dengan
kedua mata Adit. Perasaan aneh yang sempat hilang tadi, kini kembali datang. "Sudah."
Kali ini, bukan aku lagi yang mengalihkan pandangan, tetapi Adit. Entah ada apa, yang jelas, aura wajahnya berubah seketika. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana training hitam yang ia kenakan.
"Bersiaplah. Kita akan keluar."
Keluar? Apa mungkin dia ingin kembali ke kampung? Tapi bukankah pernikahan Fadil sebulan lagi?
"Ke mana?" Pertanyaan itu keluar dari bibirku bersamaan dengan tubuhnya yang kian menjauh menghampiri
pintu dapur.
Tanpa memutar tubuhnya ke arahku, dia menjawab, "Naura sedang bosan. Dia ingin keluar jalan-jalan dan ingin mengajakmu."
Aku terdiam, membiarkan Adit menjauh terlebih dahulu, lalu melangkah menuju kamar. Sekalian untuk mengobati tanganku yang luka.

Mengingat luka di tangan, aku kembali memperhatikan jariku. Terasa ada desiran hangat yang memenuhi hati, perlahan merayap hingga ke pipi, membuat sebuah senyuman mengembang begitu saja.
Apa aku bisa seperti matahari dalam keluargaku? Memberikan keceriaan, semangat, dan ketenangan.
Entahlah.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Aku terkesiap mendengar suara Adit yang tiba-tiba. Aku menoleh padanya tepat ketika ia duduk di sampingku, memandang lurus ke objek penglihatanku tadi.
"Bukan apa-apa," jawabku. Jujur, wajahnya itu lebih memberikan ketenangan daripada hanya sebuah cahaya
senja. Namun, malu juga jika harus menatapnya secara terang-terangan. Jadi, aku mengikuti arah pandangnya.
"Kamu lelah?" Ia kembali bertanya. Kurasakan, ia melirik ke arahku. "Maaf kalau Naura begitu merepotkan."
"Tidak papa." Aku tersenyum hangat untuk meyakinkan dirinya jika aku menyukai hal ini. "Lagipula di rumah
seharian hanya akan membuatku bosan."
"Jadi selama ini, kamu bosan di rumah?"
"Mau aku jawab jujur atau bohong, hm?" Kedua alisku terangkat bersamaan, disertai sebuah senyuman yang
belum pudar.
"Ya pastinya jujur."
Kedua ujung bibirku semakin tertarik ke atas melihat wajahnya yang menggemaskan karena kesal. Naura dan Adit memiliki persamaan jika kesal, wajah mereka menggemaskan.
"Lumayan, sih. Tapi ada Naura, jadi nggak bosen lagi."
"Kalau sama saya, kamu bosen?"
Mulutku terbuka hendak menjawab, tetapi disela dengan cepat oleh Adit.
"Saya mau jujur!"
Aku terkekeh pelan melihat tingkat kejengkelan di wajahnya semakin bertambah. Entah kenapa, aku merasa
bebas sekarang. Mungkin karena Adit yang terlihat bersahabat. Tidak seperti biasa, dingin, datar, mengintimidasi.
"Bosen, banget!" jawabku. Wajahnya kembali datar. "Tapi kalau santai kayak gini, aku merasa nyaman deket sama kamu."
Kurasa, ucapanku barusan tidak salah. Lalu kenapa Adit mengalihkan wajahnya dariku dengan dingin?
"Apa aku salah?" Aku mempertanyakan sikapnya itu.
"Nggak." Adit mengembuskan napasnya lalu berdiri. "Ayo pulang, bentar lagi magrib."
"Dit!"
Adit menunduk melihatku. Sebelah alisnya terangkat, mempertanyakan maksudku memanggilnya.
"Tarik!" Aku mengulurkan tangan kananku sambil tersenyum. Tidak ada salahnya kan, minta tolong?
Meski ia terlihat tidak ingin memenuhi permintaanku, tangannya tetap terulur. Aku meraihnya lalu berdiri.
Pandanganku beredar, menyusuri sekitar pantai untuk mencari Naura.
"Adit!" Aku kembali memanggil Adit ketika menemukan ada keanehan pada Naura yang berdiri di bibir pantai, tak jauh dariku.
"Kenapa lagi?"
"Naura kenapa?" Mataku tidak pernah berpaling dari Naura. Cukup lama gadis itu mematung. Tubuhnya
menghadap lurus ke arah sebuah pohon yang besar.
Beberapa saat berikutnya, ia berlari ke arah kami dengan air mata di wajahnya. Apa yang terjadi pada Naura?
Naura memeluk Adit sambil bergumam tidak jelas.
"Dia ... dia datang ... dia datang .... Aku takut, Kak ...."
Dia datang? Siapa?
"Ssst!! Tenang, Sayang. Kakak di sini. Tidak ada yang akan mengganggumu." Adit menenangkan adiknya yang semakin terisak.
"Ayo pulang, Nissa!"
Aku mengangguk mematuhi perintah Adit. Di belakang tubuh keduanya, aku hanya terdiam menyaksikan Adit merangkul mesra adiknya.
Orang-orang di sekitar memperhatikan kami. Adit dan Naura pasti disangka orang pacaran, sementara aku
hanya orang ketiga--obat nyamuk. Ah, Nissa. Kenapa kamu masih cemburu di saat-saat seperti ini?
Di dalam mobil, beberapa kali aku menanyai Naura mengenai 'dia' yang selalu keluar dari bibirnya. Bukannya tenang, hal itu malah membuatnya semakin menangis. Aku pun diam. Jika dia tenang, mungkin akan menceritakan semuanya.
***

Tanpa bantuan alarm, aku sudah terbiasa bangun dini hari untuk melaksanakan shalat tahajud. Namun, baru saja menginjakkan kaki di lantai, suasana tiba-tiba gelap gulita. Aku kebingungan dan meraba-raba sekitar untuk mencari ponsel. Setelah dapat, ternyata benda pipih itu sudah tidak bernyawa.
Bagaimana ini?
Keringat dingin membuat dahiku terasa lembab. Napasku pun mulai tidak beraturan. Aku takut gelap!
Kegelapan membuatku merasa pengap dan sesak napas. Jantung pun semakin berdebar-debar dengan keras.
Aku berdiri untuk mencari sesuatu dari dalam laci yang sekiranya bisa membuatku bisa melihat sekitar. Bunyi
benda-benda berdenting terdengar begitu keras saat lutut ini tidak sengaja menabrak meja. Aku menunduk untuk memungut barang-barang.
Ciiiiit ....
Aku semakin ketakutan saat mendengar pintu terbuka secara perlahan. Cahaya terang langsung menyilaukan
mata. Aku harus mencari sesuatu untuk melindungi diri. Lampu duduk yang jatuh ke lantai adalah pilihan yang
tepat.
"K-kamu siapa?" Aku tidak bisa melihat siapa yang datang karena cahaya menyilaukan itu menghalangi pandanganku.
"Nissa ...."
"Adit ...." Terasa ada napas tambahan saat mendengar suaranya. Benda di tangan langsung terjatuh begitu
saja. Aku berhambur ke pelukannya, mengeluarkan semua ketakutan yang sempat melanda. Akibatnya, benda pipih yang menghasilkan cahaya itu terjatuh begitu saja di lantai. Sinarnya tertuju langsung padaku dan Adit.
"Hey, ada apa, Nis?"
"A-aku ... takut." Isakan pelan keluar dari bibir. Kedua kaki yang menopang tubuh terasa lemas. Untungnya Adit ikut memelukku dengan erat hingga aku tidak luruh ke lantai.
"Tenang. Saya ada di sini. Jangan menangis."
Kalimat itu bagaikan mantra ajaib untuk memberiku kekuatan baru. Perlahan, rasa takut itu menguap, digantikan oleh rasa nyaman yang datang menghampiri.
"Maaf ...," ucapku diikuti sebuah isakan setelah sadar apa yang baru saja kulakukan.
"Kamu kenapa ketakutan seperti itu?"
Kepalaku menunduk, membiarkan air mata jatuh membasahi pipi. "Aku takut gelap."
"Baiklah. Saya akan memperbaiki sakelarnya. Kamu tunggu ...."
"Aku ikut!" pekikku memotong ucapannya. "Aku takut ...," lanjutku memelas.
"Oke," balasnya kemudian. Ia menggenggam lembut tangan kananku, memberikan kehangatan yang menjalar
hingga ke hati. Tanpa sadar, Adit membuatku nyaman hanya karena genggaman tangannya.
Aku mengikutinya memperbaiki sakelar lampu. Tidak terlalu lama, hingga lampu kembali menyala dengan terang. Aku mengembuskan napas lega.
"Kamu mau minum dulu?" Ia bertanya saat kami melewati dapur hendak menuju lantai dua.
"Tidak perlu. Aku mau shalat."
Adit terdiam sampai aku tiba di depan pintu kamar.
"Nissa."
Aku ingin membuka pintu kamar, tetapi terhenti karena Adit yang memanggil.
"Ada apa?"
"Kamu mau shalat tahajud?"
"Iya."
"Saya boleh jadi imam kamu?"
Deg!
Rasa hangat itu semakin terasa di dalam hati.
Imam, shalat tahajud. Itu impianku sedari dulu.
Dengan penuh rasa haru, aku mengangguk mengiyakan. Dan Adit benar-benar menjadi imam shalatku malam ini.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar ia membaca al-Quran. Surah ar-Rahman yang menjadi pilihannya setelah al-Fatihah. Sebulir cairan bening menetes dari pelupuk mata. Ma Shaa Alloh. Suaranya begitu indah nan lembut, membuatku merasa nyaman meski harus berdiri berlama-lama.
Dan untuk pertama kalinya juga, aku mencium punggung tangannya selesai shalat. Itu membuatku tercenung.
Mungkinkah aku sudah menjadi istri yang durhaka? Setiap kali suami berangkat, sikapku bagaikan orang asing yang merasa angkuh untuk mendapat ridha suami melalui tangannya. Pantas saja, aku selalu merasa menjadi orang asing di sisi Adit.
"Kenapa menangis?"
Aku tersenyum padanya sambil mengusap pipi yang basah. "Tidak papa."
"Mau lanjut baca al-Quran, atau mau tidur?"
"Baca al-Quran."
Dan lagi, aku memanjakan indera pendengaran dan juga hati dengan menikmati suaranya yang merdu.
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER