Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 08 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #5

Cerita bersambung


Pagi ini terasa berbeda dari biasanya. Bukan pada cuacanya, tetapi suasana hati. Terasa ada yang aneh pada diriku. Senyum terus mengembang sedari tadi, semangat memasak semakin bertambah dan bayangan Adit malah mengganggu.
Hanya satu malam, tetapi lelaki itu benar-benar membuatku tidak bisa mengalihkan pikiran darinya.
Yang paling kutakutkan adalah senyum yang tidak bisa pudar.
Bagaimana jika Naura atau Adit datang memasuki dapur dan memergokiku sedang tersenyum-senyum sendiri. Malu nanti.

Sarapan selesai disajikan. Tumben sekali Naura belum datang ke dapur. Biasanya dia akan datang dan mencicipi masakanku. Atau mungkin kejadian kemarin masih membuatnya trauma? Masalahnya, Naura hanya diam saja. Sejak kemarin sore, dia hanya melamun dengan pandangan kosong ke depan. Porsi makannya menurun 50%.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya aku memilih memanggil Naura terlebih dahulu, baru Adit.
Mengetuk pintu beberapa kali, aku tidak menemukan jawaban dari dalam kamar Naura. Perasaanku mulai aneh. Jadi, aku langsung masuk ke dalam untuk memeriksa keadaan gadis itu.
Embusan napas lega keluar dari hidung seolah ingin mengeluarkan beban kekhawatiran yang sempat melanda tadi. Naura terdiam di atas tempat tidur sambil melamun.
Memangnya, apa yang ia lihat kemarin?
"Naura ...."
Ia tersentak kaget saat aku menyentuh bahunya. Wajahnya semakin pucat dan terlihat lemas.
"Ayo sarapan."
"Aku tidak lapar," jawabnya datar sembari menunduk menatap kedua tangannya yang berada di atas pangkuan.
"Kakak duluan saja," lanjutnya.
"Kamu harus makan, Nau. Kasihan anak kamu di dalam sana, dia pasti laper. Aku bawain makanan ke sini, ya?
Mau makan apa, hm?" Aku mencoba menghibur Naura. Dia tidak boleh egois, karena ada nyawa lain yang ada dalam dirinya.
"Anak ...," Naura tersenyum tipis, sejenis senyuman mengejek yang ditujukan pada dirinya sendiri. Kepalanya menunduk memerhatikan perutnya yang dibalut kimono satin berwarna merah muda. Dadanya naik turun karena mengembuskan napas. Terlihat jelas sekali jika dia memiliki beban yang besar. "Ayo makan," lanjutnya.
Aku tersenyum melihat Naura berdiri di depanku. Untunglah dia tidak keras kepala. Selama perjalanan menuju ruang makan, ia terlihat lesu dan murung. Apa gadis ini mencoba menyembunyikan beban yang ia tanggung?
Sebuah punggung tegap yang dibalut kemeja putih menjadi objek pertama yang kulihat. Lelaki itu sudah siap
berangkat. Ia tengah menyesap kopi di atas meja. Aku meringis pelan karena lupa membuatkannya kopi.
"Selamat pagi ...," sapaku padanya, terdengar canggung yang membuatku semakin malu. Debaran di dalam
dada semakin menggila. Tidak perlu menggunakan toa karena suaranya terdengar hingga keluar. Semoga Adit sedang tuli sekarang.
"Pagi," balasnya. Matanya mengikuti pergerakan Naura yang duduk di kursi tempatnya biasa duduk. "Ada apa, Nau?" tanya Adit.
"Nggak papa."
Jelas sekali dari kalimatnya barusan, Naura memiliki masalah besar. Aku semakin yakin dia memendam masalah.
"Sebenarnya ada apa, Nau?" Aku kembali bertanya. Tv sudah kumatikan agar kami bisa berbicara dengan
tenang. Semoga ia merespon kali ini.
"Tidak papa."
"Kamu tahu, Nau. Bercerita bisa membuat beban sedikit berkurang. Kamu kan sudah menganggapku sebagai teman. Apa kamu tidak mempercayai aku lagi untuk menjaga rahasiamu?"
Kepala Naura menunduk dalam, seolah beban itu sudah sampai di ubun-ubunnya dan begitu berat untuk ia tanggung. Tetesan demi tetesan air keluar dari matanya.
"Dia datang, Kak," jawabnya setelah hening. "Dia datang lagi, mau ngehancurin hidup aku."
"Dia? Siapa 'dia'?" Semoga dia terpancing dan menjawab pertanyaanku. Cukup dari kemarin hingga saat ini aku penasaran dengan 'dia'. Aku ingin tahu siapa yang Naura maksud.
"Dia ... dia ...." Isakannya semakin keras, menarikku untuk memeluknya.
"Tenanglah! Tidak perlu cerita sekarang." Aku iba mendengarnya menangis. Jadi membiarkannya tenang adalah pilihan yang tepat, kurasa.
Bahu Naura perlahan luruh dalam pelukanku. Tubuhnya terasa lebih berat. Apa dia tertidur, atau pingsan?
"Nau? Naura?" panggilku. Tidak ada respon.
Aku terdiam dan mendengarkan deru napas Naura yang mulai teratur. Mungkin tidur.
Sekarang, bagaimana caranya membawa Naura ke kamar seorang diri? Masa iya, membiarkannya tidur di sofa sempit ini. Atau aku harus meminta tolong pada Pak Anton.
Mungkin pilihan kedua lebih tepat.
***

Menoleh ke kanan, ke kiri, telentang, tengkurap, bahkan posisi sujud, tidak ada yang bisa membuatku memejamkan mata.
Untuk ke sekian kalinya, aku melirik layar ponsel untuk mengecek jam. Hampir pukul 12 malam. Adit belum kembali.
Tidak biasanya dia pulang terlalu larut malam. Biasanya jam 8 atau 9, ia sudah ada di rumah. Namun, kali ini berbeda. Dia juga tidak memberikan kabar atau pesan. Ini yang membuatku gelisah seperti saat ini.
Aku menurunkan kedua kaki menyentuh lantai. Kalau tidak salah, ini yang ke-5 kalinya aku keluar kamar hanya untuk mengecek apa Adit sudah datang atau tidak. Cara yang sia-sia. Karena dari dalam kamar pun, aku bisa mendengar suara mobilnya di halaman atau suara pintu kamarnya yang tertutup.

Kembali ke tempat tidur, aku berbaring. Seluruh tubuh kututupi dengan selimut. Mataku terpejam dengan hati yang terus berbisik, memintaku memejamkan mata.
Tidak bisa!
Indera pendengaranku menangkap suara dari lantai 1. Mungkin Adit sudah pulang. Aku meraih jilbab instan,
dan langsung keluar kamar untuk mengecek. Senyumku mengembang karena benar dia yang datang.
Wajahnya terlihat lelah, terbukti dengan beberapa garis kerutan di wajahnya. Bawah matanya pun mulai
menggelap. Aku baru menyadari fakta itu.
"Assalamu'alaikum." Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya sejenak. "Kok baru pulang?" lanjutku
sembari meraih tas kerjanya.
Adit terkejut beberapa saat, lalu berjalan di sampingku menuju kamarnya. "Banyak kerjaan."
"Kamu mau apa? Makan?" Aku membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan memberinya ruang untuk masuk terlebih dahulu.
"Kopi aja." Ia duduk di kursi kerjanya. Tas yang aku bawa pun, ia letakkan di atas meja.
"Lanjut kerja?" Aku bertanya dengan nada bingung. Yang benar saja jika ia harus lanjut kerja malam ini.
"Hm."
"Nggak bisa besok?"
"Nggak bisa ditunda." Suaranya pun terdengar malas, pun tatapannya padaku. "Bisa tolong buatkan saya kopi?"
Aku mengangguk mengiyakan permintaannya. Beberapa menit berikutnya, aku kembali dengan secangkir kopi di tangan.
"Ini kopinya." Aku menyodorkan kopi di atas meja kerjanya. Ia bergumam pelan sambil terus fokus pada layar monitor di depannya.
"Mau aku temani? Siapa tau kamu butuh kopi lagi nanti," tawarku. Setelah mengatakan itu, aku menggigit bibir bawah karena malu. Ini tidak terlalu ... agresif, kan?
"Ya. Duduk di tempat tidur, jangan mengganggu! Boleh bicara, hanya saat saya menyuruh!"
Aku mendelik kesal mendengar ucapannya. Tidak masalah.
Di kamar Adit ini ada sebuah rak yang cukup tinggi diisi oleh buku-buku tebal, tepat di samping sebuah rak khusus oleh map dan kertas. Dari rak bawah sampai tengah, tidak ada buku yang menarik perhatianku.
Mungkin karena aku hanya lulusan SMA, jadi tidak tertarik dengan buku yang membahas pekerjaan Adit.
Mata ini meneliti rak bagian paling atas. Sebuah buku tebal menarik perhatianku.
Bukan buku, tapi album foto. Aku berjinjit mencoba meraihnya. Derita orang pendek. Aku hanya bisa
menyentuhnya tanpa bisa menarik album itu.
Sedikit lagi! Aku berpegangan kuat pada rak untuk bisa menggapai album itu. Sangat sulit, tetapi karena dorongan rasa penasaran tentang keluarga Adit, aku berhasil memegang buku itu. Tinggal tarik dan ....
"Nissa!"
"Hah?" Peganganku terlepas karena terkejut panggilan mendadak dari Adit. Tubuhku terjatuh ke lantai diikuti
album yang kutarik tadi. Kepalaku menjadi tempat pendaratan empuk si album. "Aww!"
"Kamu nggak papa?" Belum hilang keterkejutan karena suara Adit yang tiba-tiba, kini aku kembali kaget dengan kemunculannya tiba-tiba di depanku.
"Tidak papa," jawabku dengan nada malas.
Itu mata Adit, bisa lihat ke yang lain dulu? Aku malu banget nih. Dia malah menatapku dengan pandangan aneh. Jangan sampai Adit tertawa melihatku jatuh.
Sebuah usapan lembut di kepala membuatku mau tidak mau melihat Adit. Dia masih di posisi yang sama, menatap lurus ke dalam mataku. Ada yang aneh pada ekspresinya. Atau otaknya yang bermasalah tiba-tiba?
"Adit?" Aku berbisik pelan ketika sapuannya mulai turun ke pipi, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuh.
Tangannya baru berhenti tepat di sudut bibir.
Perasaanku terasa tidak enak ketika wajahnya semakin mendekat. Pikiranku meminta aku menjauh sekarang, sementara hati kecil mengatakan sebaliknya; diam dan terima perlakuan Adit.
Perutku bergejolak, merasakan sapuan lembut bibirnya di atas bibirku. Memejamkan mata adalah reaksi otomatis yang diberikan tubuhku atas perlakuannya ini.
Suara benda-benda berjatuhan dari kamar sebelah terdengar begitu keras. Adit menjauhkan wajahnya secara tiba-tiba.
"Naura," ujarnya pelan.
Tidak buang waktu terlalu lama, ia berdiri dan meninggalkanku yang masih mematung.
Tubuhku terasa lemas, pikiran masih kosong.
Itu ciuman pertamaku!
Ah, abaikan itu! Bagaimana dengan Naura sekarang?
Keadaan Naura begitu berantakan saat aku menginjakkan kaki di kamarnya. Dia memeluk lututnya di atas tempat tidur seolah ketakutan. Saat Adit berusaha membujuknya, ia memberontak keras, meminta agar tidak disentuh.
Pandanganku tertuju pada sebuah kotak persegi tak jauh dari tempat tidur. Hanya ada sebuah kain berwarna
hitam dan kertas di dalamnya.
"Naura, tolong temui aku." Aku membaca isi surat tersebut. Tidak ada nama pengirimnya, membuatku kebingungan.
"Siapa itu, Naura?" Adit mengguncang pelan bahu Naura. Mungkin untuk menyadarkan Naura dari sikapnya ini.
"Dia ...," Naura terisak pelan. "Dia yang memperkosaku, Kak." Tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Adit, untuk meredam isak tangisnya.
Aku masih bingung. "Orang Indonesia?"
CUT!!!!!

==========

Lampu duduk di atas meja menjadi satu-satunya penerang di kamar Naura. Hampir semua barang tidak pada tempatnya. Ia benar-benar kacau, terbukti dari keadaan kamarnya sekarang. Aku duduk di sudut tempat tidur memperhatikannya dengan seksama yang masih tersedu-sedu dalam pelukan kakaknya.
Naura begitu terbuka pada kakaknya. Padahal sejak tadi pagi, aku sudah memintanya bercerita. Tetap tidak mau. Barulah dalam pelukan Adit, ia menceritakan semuanya, tanpa terkecuali.

Orang yang mengambil kesucian Naura datang lagi mengusik kehidupannya. Dimulai saat kita liburan ke pantai.
Pantas saja sikap Naura berubah seketika. Trauma yang hampir ia lupakan 3 bulan lalu, kembali mengusiknya.

Aku memperhatikan wajah Adit dan Naura secara bergantian. Keduanya menampilkan ekspresi yang saling berbanding terbalik. Naura menangis, sementara Adit terlihat begitu marah. Memangnya siapa yang akan diam saja jika adiknya dinodai?
Aku mulai membayangkan, diriku yang menjadi Naura. Aku rasa, aku tidak akan bisa sekuat dirinya. Ia terlihat ceria dengan beban besar yang ditanggungnya.
Adit beberapa kali menciumi puncak kepala Naura sambil membisikkan kata-kata bahwa ia akan selalu bersama adiknya. Kali ini, aku tidak cemburu lagi. Malu juga rasanya mengingat aku yang terus cemburu pada perlakuan Adit pada Naura. Aku mengerti sekarang, Adit memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan adiknya ini.
Karena kuatnya Naura sekarang, karena adanya Adit yang selalu ada di sampingnya.
"Sayang, dengarkan Kakak. Kakak di sini, bersamamu. Kamu tidak perlu takut pada siapapun lagi. Kakak akan menjagamu. Jangan menangis lagi, apalagi hanya untuk dia yang merenggut kehormatanmu. Cukup, Nau. Sudah cukup kamu terluka. Kamu harus bangkit, melawan masa lalu yang buruk itu. Kamu adik Kakak yang kuat," ujar Adit. Kedua tangannya berada di sisi pipi Naura, berhadapan langsung dengan wajah Naura.
Jemarinya menghapus air mata adiknya dengan lembut.
Mengingat perlakuan Adit, aku jadi ingat Kak Fajar saat aku di-bully oleh teman-teman sekolah hanya karena tidak bisa menyebutkan huruf R. Dia juga memelukku, menenangkan diriku, lalu mengajariku mengucapkan huruf R. Kurasa, semua kakak laki-laki akan melakukan banyak hal untuk adik perempuannya. Karena mereka memiliki insting penjaga yang Allah berikan pada mereka.
"Nissa!"
"Ya," jawabku seketika saat Adit memanggilku.
"Kamu bisa tidur di sini, menemani Naura?" Wajahnya masih kaku, menampilkan amarah yang meluap. Aku
mengangguk mengiyakan.
"Tidur, ya, Sayang. Besok Kakak bawa kamu ke temen Kakak. Oke?" Sebuah kecupan mendarat di kepala Naura.

Acara membersihkan kamar Naura berakhir dengan hembusan napas lega. Sebelumnya, ruangan ini sangat berantakan dengan barang-barang yang tergeletak tidak pada tempatnya. Aku jadi ngeri sendiri membayangkan bagaimana kemarahan Naura semalam hingga harus membanting benda-benda di sekitarnya.
Mengingat bunyi benda semalam, memori otak malah memutar kejadian di kamar Adit. Tanpa sadar, aku
menggigit bibir bawah karena malu.

Sudah dua kali aku memasuki kamar Adit dan berakhir ....
Ah, Nissa. Kenapa malah mengingat itu?
Senyuman di bibir semakin mengembang lebar. Kepalaku melirik ragu pada cermin di dekat tempat tidur.
Menatap bayangan saja aku malu.
Merasa gila karena terlalu sering tersenyum, aku menepuk kepala dengan keras lalu tertawa. Benar-benar gila.
Dengan langkah kaki yang lambat, aku mendekati cermin, memperhatikan bayanganku dengan seksama.
Tangan kanan ini perlahan terangkat, menyentuh sudut bibir, merasakan kembali kehangatan dari bibir Adit
yang memberikan getaran aneh ke seluruh tubuh.
Drrrt
Aku terkesiap lalu merogoh saku rok hitam yang kukenakan. Pesan dari Adit.
'Tolong jemput Naura di rumah sakit. Jangan lupa siapkan sarapan nasi putih dan sop sayur bening'
Aku mengembuskan napas mengeluarkan semua luapan-luapan kebahagiaan. Memperhatikan ekspresi wajah sejenak di cermin, aku memasang wajah datar.
"Jangan tersenyum, Nissa!" ucapku dengan nada mengancam.
"Ck. Aku udah gila!"
***

"M-maaf!" ucapku terbata saat menabrak seseorang.
"Kalau jalan, hati-hati dong, Mba!"
Aku hanya tersenyum kikuk menanggapinya. Bahaya. Aku takut Adit akan marah karena terlalu lama menunggu.

Sehabis memasak tadi, aku niatnya ingin shalat duha sebentar sebelum ke rumah sakit. Malah tidak
sadar jika aku shalat memakan waktu yang terlalu lama.
Di rumah sakit ini ada beberapa teman Adit. Salah satunya ada yang seorang psikolog. Naura diajak konsultasi pada teman Adit itu agar ia bisa sedikit tenang.

Aku hampir memasuki ruangan yang diberitahukan Adit melalui pesan singkat saat di jalan tadi. Namun, tubuhku ditabrak keras dari arah samping. Jelas kali ini bukan salahku, tetapi salah lelaki yang memakai jaket hitam ini. Hoodie hitam yang menutupi kepalanya, sedikit tersingkap. Membuatku tertegun sejenak saat melihat wajahnya.
"Maaf!" Ia bergegas menjauh dengan langkah buru-buru.
Aku masih bergeming di tempat, mengingat-ingat wajah itu. Terutama pada luka di bagian pangkal hidung dekat mata kanan. Aku tidak mungkin salah mengenai luka itu meski sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Karena aku penyebab luka itu.
"K-kak Fajar!" Aku berteriak. Sial sekali. Ia sudah menghilang di antara kerumunan orang-orang.

Apa benar dia Kak Fajar? Namun, kenapa dia tidak mengingatku? Atau aku salah orang?
Tidak mungkin! Pangkal hidungnya itu sedikit bengkok dengan ciri khas yang sama seperti 13 tahun lalu.

Saat itu aku dan Kak Fajar bermain petak umpet. Aku bersembunyi di antara sofa ruang tamu. Kak Fajar bisa dengan cepat menghampiriku. Karena terlalu kesal ia menemukanku dengan cepat, aku menarik kakinya hingga terjatuh. Hidungnya mengenai tepat di sisi meja. Karena kelakuanku itu juga, adikku Dinda tidak ingin berbicara padaku selama seminggu. Aku dilarang makan cokelat selama beberapa hari. Hukuman yang berat bagiku yang masih berusia 10 tahun.

Kedua kakiku melangkah, menuntun untuk mencari jejaknya yang mungkin masih tersisa. Aku tidak boleh
kehilangannya lagi. Aku sangat merindukannya.
Namun, langkahku terhenti ketika indera pendengaran ini menangkap suara benda-benda jenis logam berjatuhan dari ruangan tak jauh aku berdiri. Itu ruangan Naura. Apa dia mengamuk lagi?
Aku memutar arah. Nanti saja mencari Kak Fajar. Naura lebih penting sekarang.

Berdiri di ambang pintu membuatku melihat dengan jelas sikap Naura yang memberontak. Berkali-kali ia
menepis, bahkan memukul Adit yang berusaha menyentuhnya. Ia menangis terisak.
Barulah saat ia diberikan sebuah suntikan penenang, Naura perlahan melemah. Aku memasuki ruangan berukuran 4 × 4 meter ini.

"Sebenarnya, ini ada apa dengan Naura? Kenapa jadi memberontak begini?" Adit bertanya pada seorang lelaki berjas putih ala dokter.
"Biasanya mereka stress jika trauma yang mereka alami terulang kembali, ada kejadian hampir sama di depan mata, atau melihat pelaku penyebab trauma itu," jelas lelaki bermata sipit itu.
Adit menunduk, mengusap lembut rambut hitam Naura. Dari matanya itu, aku melihat kekecewaan yang mendalam, luka, pun rasa penyesalan.
Apa yang bisa kulakukan untuk menghapus duka itu?
"Saya permisi dulu, Dit, Mba."
Aku membalas ucapan dokter ini dengan anggukan kepala. Pandanganku beralih pada Adit dan Naura.

"Adit!!" Pintu terbuka lebar, aku melirik ke arah pengunjung yang belum dipersilakan masuk itu.
Aku berdecak kesal dalam hati melihat wanita yang mengenakan pakaian kurang bahan ini datang lagi merecoki keluargaku. Apa dia tidak bisa mencari mangsa lain selain Adit?
Jika ada yang namanya skala kekesalan dari nomor 1 sampai 10, mungkin aku berada di nomor 5. Ditambah Adit yang diam saja, kini naik ke nomor 7. Aku ingin menarik rambut panjangnya, lalu berteriak jika lengan yang sedang ia genggam itu adalah lengan suamiku. Sayangnya tidak bisa.
Aku. Hanya. Istri. Pajangan. Ingat itu, Nissa!

Untuk mengalihkan rasa dongkol, aku melirik Naura yang terlihat tenang dengan kedua matanya yang tertutup.
Namun bayangan kejadian di kamar Adit semalam meruntuhkan ketenanganku. Dia pasti menganggap insiden di kamarnya hanyalah sebuah hal biasa, berbanding terbalik denganku. Pagi-pagi aku sudah menjadi orang gila hanya karena ciuman itu. Akhirnya, aku kembali menelan pil pahit.

"Dit, kok kamu diam aja, sih? Dari kemarin-kemarin aku bilang adik kamu ini jahat, dia udah ...."
"Jangan bicara yang buruk tentang Naura sekarang!" Dengan menekan setiap suku kata yang keluar dari bibir Adit, Irma menjadi ketakutan. Kedua tangannya yang semula bergelayut manja di lengan Adit, kini luruh di samping tubuhnya.
Berapa tadi angka skala kekesalanku? Tujuh? Kini sekarang turun hingga ke nomor 4 karena kemarahan Adit sekarang.
"Tapi, Dit, dia udah culik ...."
"Diam, atau, keluar?"
Aku tertawa dalam hati melihat wajah Irma yang berubah jengkel. Hanya Adit yang bisa berbicara santai, tetapi terdengar menakutkan bagi orang lain, terutama yang menyulut amarahnya.
"Aku akan lapor ke ...."
"Ini!" Adit menyodorkan ponsel seharga hampir sepuluh juta miliknya kepada Irma. "Telpon orang tuamu, pamanmu yang polisi itu, pengacaramu, menajermu, asistenmu, bahkan pembantumu sekalian untuk
membawamu pergi dari sini!"
Irma menghentakkan high heel yang ia pakai di lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Bibirnya
maju beberapa senti, lalu menghilang di balik pintu. Aku harus menunduk untuk menahan senyum penuh
kemenangan.

Drrrt
Getaran gawai yang ditolak mentah-mentah oleh Irma mengagetkanku. Adit meraih ponselnya. Sejenak, ia
memberi isyarat lewat tatapan mata agar aku menjaga adiknya. Aku mengangguk mengiyakan.

Aku duduk di sebuah kursi plastik samping ranjang rumah sakit. Tangan Naura terasa dingin dalam genggamanku. Wajahnya semakin pucat. Sebenarnya, siapa yang membuat Naura kembali mengingat masa lalu kelamnya?
Dalam hati, aku berbisik pada Alloh, agar memberi Naura kekuatan yang lebih lagi agar bisa menjalani masa ujian ini. Wanita yang malang. Ia telah kehilangan banyak hal karena kejadian tiga bulan yang lalu.

"Bagaimana bisa? Bukannya lemari itu selalu terkunci? Bagaimana berkasnya bisa dicuri?"
Aku terkesiap mendengar bentakan Adit di luar ruangan. Dari pintu ruang rawat yang terbuat dari kaca tebal,
aku melihat wajahnya begitu tegang. Tidak jauh berbeda dari Naura, dia pun pasti menghadapi banyak
masalah.

Adit mengusap dahinya, kemudian turun ke arah pelipis, untuk memberikan pijatan lembut di sana. "Iya. Saya akan ke sana untuk memeriksa semuanya. Kumpulkan semua data-data dari CCTV dan juga satpam. Itu berkas penting!"

Aku mengalihkan wajah ke arah Naura saat Adit tiba-tiba menghentikan obrolannya dan menoleh ke arahku.
"Nissa!"
"Ya?" Aku berdiri cepat, takut-takut ia akan memarahiku setelah kegiatan 'mengintip' wajahnya tadi.
"Bisa tolong jaga Naura? Saya ada urusan di luar," ucapnya memberitahu.
Aku mengangguk pelan, "Bisa."

Adit menghilang dari pandangan mata. Masih tercetak jelas bagaimana wajahnya lelahnya barusan, membuatku sedikit kasihan. Tapi, aku bisa apa? Aku hanya lulusan SMA yang tidak mengerti apapun yang berkaitan dengan pekerjaan Adit.

Ya Alloh, bantu kami menghadapi semua masalah ini.
Hanya doa yang bisa kukirimkan, berharap Sang Maha Mengetahui dapat mendengar lirihan hati.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER