Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 09 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #6

Cerita bersambung


"Halo, Bu, apa kabar?" Aku tersenyum semringah saat mendengar suara ibu melalui telepon genggam. Hampir sebulan ini aku jarang mendengar suaranya.
"Baik. Kamu apa kabar di situ, Nak?"
"Baik, Bu. Ayah gimana kabarnya?" Rasanya ingin menangis untuk meluapkan semua rasa bahagia yang membuncah. Aku jarang menelpon ibu karena beliau tidak memiliki ponsel di desa. Hanya tetangga dekat yang sering membantunya menghubungiku.

"Ayah nggak papa, keadaannya semakin membaik. Gimana kabar suami kamu? Pernikahan kalian baik-baik aja, kan?"
"Alhamdulillah baik-baik aja, Bu." Aku terdiam sejenak mendengar isakan pelan di balik sambungan telepon.
"Ibu kenapa nangis?" Ah, bodoh sekali menanyakan itu. Tentu saja Ibu merindukanku sama seperti aku merindukannya.
"Nggak papa."
"Bu, Kak Fajar udah pulang?"
"Belum. Jangankan pulang, kabar saja tidak ada. Dia ngasih kamu kabar?"
Apa mungkin yang aku lihat kemarin itu hanya orang yang mirip Kak Fajar? Tapi lukanya itu membuatku sangat yakin. Masa iya, ada orang yang memiliki luka sama persis dengan Kak Fajar?
"Kemarin aku nggak sengaja ketemu sama orang yang mirip banget sama Kak Fajar. Atau mungkin itu cuman mirip aja, ya?"
"Mungkin cuman mirip aja. Kakakmu itu pasti ngasih kabar kalau dia pulang ke Indonesia."
"Iya ya, Bu." Suara pintu terbuka dari arah belakang tubuh membuatku menoleh.

Aku membuka pintu semakin lebar agar memberiku ruang memasuki kamar. Tubuhku terasa aneh saat memasuki ruangan berukuran sama dengan rumahku ini. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu kembali berputar, ketika aku terakhir kali memasuki ruangan ini dan berakhir dengan ciuman dari Adit. Mengingat itu, kenapa aku jadi gugup?
Ternyata bukan hanya diriku, Adit juga terlihat aneh. Jika beberapa hari sebelumnya dia tetap terjaga hingga larut malam di depan laptop dan tumpukan kertas, kali ini ia hanya duduk malas di atas kursi kerjanya. Meja sudah sepi dari tumpukan map berbagai warna.
"Kenapa belum tidur?" Kopi di tangan berpindah tempat di atas mejanya. Ia memandang lurus ke luar jendela yang memang berada dekat meja kerja.
"Belum ngantuk," jawabnya sembari menerima kopi buatanku. Berhubung di sini hanya ada 1 kursi, aku harus berdiri di sampingnya.
"Nggak lanjutin kerja?"
Adit menatapku dingin setelah menanyakan itu. Aura menakutkan darinya kembali menguar. Aku mundur
selangkah.
"Naura sudah tidur?" Ia kembali menyesap kopi di tangan. Wajahnya lurus menghadap ke depan.
"Sudah."
Embusan napas berat keluar dari hidungnya. Apa segitu beratnya beban yang ia tanggung? Kenapa masalah
yang menghadapi keluarga ini begitu sulit diselesaikan?
"Saya dipecat."
"Dipecat?" Aku mengulang kata yang sama. Bagaimana mungkin seorang Aditya Maulana Yusuf dipecat dari
pekerjaan? Bukankah dia selalu bekerja dengan giat hingga lupa waktu.
"Iya." Adit diam sejenak meminum kopinya. "Karena ada beberapa file penting hilang karena kecerobohan
saya."
Kedua bibir ini tertutup rapat karena bingung harus mengeluarkan apa.
"Kenapa harus ada banyak masalah yang saya hadapi, Nis?" Ia berkata dengan nada pelan. Kedua netranya
menatapku begitu dalam. "Adik saya belum bisa lepas dari traumanya. Saya dipecat dari pekerjaan, dan orang yang saya say...."
"Siapa?" Dahiku mengerut bingung. Adit menghentikan ucapannya begitu saja.
"Tidak penting." Ia mengalihkan pandangannya. Tubuhnya seperti menegang. Dia menyesap kopi yang belum
pernah berpindah dari tangannya.
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Perjuangan kamu selama ini nggak akan sia-sia, Dit. Semuanya akan mendapat balasan dari Alloh. Kamu harus yakin itu. Aku tahu, kamu orang yang kuat. Kamu pasti bisa menyelesaikan ini. Aku akan membantumu sebisaku." Tanpa sadar, aku menyentuh pundaknya. Ia melirikku
tanpa ekspresi. Aku menurunkan tangan dari pundaknya.
"Sebenarnya, Pak Ruslan, owner perusahaan, memberiku pilihan." Adit mulai bercerita tanpa kusuruh. Itu artinya, ia mempercayaiku untuk menjaga rahasianya. Aku tidak boleh merusak kepercayaan ini. "Saya bisa saja diterima lagi, bahkan diangkat sebagai direktur di salah satu cabang perusahaannya, dengan satu syarat: saya harus menikahi anaknya, Irma."
Perasaanku mulai tidak enak. Berbagai kemungkinan buruk berkeliaran di kepala. Jika Adit tidak menganggapku sebagai istri, pasti dengan mudah ia menceraikan diriku dan memilih menikahi Irma. Dia terlihat tertarik pada wanita seksi itu, terbukti dari sikapnya yang biasa-biasa saja saat Irma menyentuhnya. Ditambah lagi dengan penawaran yang 'wah', sepertinya Adit akan melepaskanku demi pekerjaannya. Kepala ini menunduk, mencoba menghilangkan pikiran itu. Membayangkannya saja, bisa membuat jantungku terasa diremas kuat. Perih dan sakit.

"Bagaimana menurutmu?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Kubasahi tenggorokan dengan saliva agar suaraku tidak terdengar
tertahan. "Menurut kamu aja, gimana? Kalau menurut kamu pekerjaan ini lebih penting, kamu boleh nikah. Lagian, ini kan cuman pernikahan di atas kertas, bukan di atas cinta."
Kedua netra Adit menatapku dalam. Aku harus mengalihkan pandangan agar ia tidak melihat luka di mataku.
"Kamu menganggap ini hanya permainan? Kamu tidak menganggap saya suami kamu?" Ia bertanya dengan
nada pelan.
Sepertinya ini adalah akhir pernikahan ini. Bukan 3 tahun, tetapi hanya 2 bulan. Miris sekali. Kuatkan aku, ya
Alloh.
"Aku nganggap kamu suami aku. Saat kalimat qabul kamu ucapkan, sejak itu aku menerima kamu sebagai suami aku, sebagai imam aku." Aku berdeham pelan. "Kalau kamu nggak bahagia, kita bisa cerai, dan kamu bisa nikah sama Irma. Keluarga kamu, semuanya bergantung sama kamu," lanjutku.
Aku tahu, bercerai adalah hal yang paling dibenci Alloh. Tapi aku tidak bisa memaksakan perasaan Adit. Aku mungkin mencintainya, sementara dia tidak.
"Sejak pertama kamu datang ke sini, saya udah pernah bilang, kan. Saya tidak pernah menganggap pernikahan ini permainan. Saya udah nganggap kamu sebagai istri saya, sejak saya menggenggam tangan Ayah kamu, saya menerima semua tanggung jawab yang dipikul ayahmu dulu."
"Jadi ...?" Mataku berbinar, penuh pengharapan.
"Saya tidak akan menceraikan kamu." Tubuh tegapnya berdiri menjulang. Aku mundur selangkah.
"Kamu mau ke mana?"
"Keluar sebentar, menyelesaikan masalah ini." Jawabannya ini masih membuatku bingung. Memang dia tidak akan menceraikanku, tapi bisa saja kan, dia menjadikan Irma sebagai istri keduanya. Aku juga tidak bisa ikhlas untuk itu.
"Apa kamu mau menikahi Irma?"
"Tidak." Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman lembut, aku terpukau melihatnya. Senyuman itu
akhirnya ditujukan padaku! "Jangan ke mana-mana. Kamu boleh tidur di sini."
Aku tertegun sejenak. Tidur? Di sini?
Dua tepukan pelan di pipi kembali menyadarkanku.
"Assalamu'alaikum."
"W-wa alaikumussalam."
Ya Alloh, terima kasih.
***

"Jangan ke mana-mana. Kamu boleh tidur di sini."
Suara Adit masih terngiang di telinga. Rasanya tidak percaya jika dia mengizinkanku tidur di sini. Tapi, kenapa dia begitu mudahnya membiarkan aku tidur di kamarnya? Padahal, dia kurang suka jika aku memasuki kamarnya tanpa izin.

Aku menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Jilbab instan berwarna merah muda masih melekat menutupi rambut. Mata ini tidak bisa terpejam. Setiap sepuluh detik sekali, kelopak mata akan terangkat.
Harum masculine, khas parfum Adit, menguar dari selimut membuatku begitu nyaman. Mata ini kupaksa terpejam. Aku harus segera tertidur sebelum Adit datang. Aku akan semakin gugup jika ia datang, dan
melihatnya tidur di sampingku. Memikirkan hal itu saja cukup membuat sudut bibirku tertarik ke atas.

Omong-omong, ini sudah hampir sejam setelah kepergiannya, kenapa belum pulang? Jam hampir menunjuk
angka 12. Ini terlalu larut untuk bertamu di rumah seseorang. Kenapa perasaan aneh kembali datang?
Berusaha tak acuh, aku memutar tubuh untuk mengubah posisi menjadi menyamping ke kiri, menghadap ke sisi tempat tidur yang kosong.

Lagi-lagi mataku terbuka lebar ketika mendengar pintu kamar dibuka dengan agak kasar. Aku menghembuskan napas lega karena Adit sudah pulang. Senyuman menghiasi wajah selama beberapa detik, sebelum ia menutup pintu lalu menguncinya. Perasaanku semakin tidak enak.
"Adit, ada apa?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tubuhnya berdiri di samping tempat tidur. Aku beringsut menjauh ketika aura wajahnya terlihat menakutkan.
"Adit menjauh!" pekikku ketika ia mendekat. Aku merangkak menuruni tempat tidur, tetapi kalah cepat dengan Adit yang menarik kakiku.
"Saya ingin hak saya. Kamu harus penuhi itu!"

Adit memaksaku dengan kasar. Menarik dan membuka pakaianku tanpa perasaan. Seperti kesetanan dia melepas seluruh apa yang kukenakan. Akhirnya dengan terpaksa aku merasakan apa yang diperbuatnya kepadaku.
"Aa..duuhh... aaa.." sakit yang kurasa sampai menusuk di hati. Tak kusangka Adit akan berbuat seperti ini kepadaku. Dan tanpa perasaan pula Adit mensudahi perbuatannya.
***

Setelahnya, hanya ada isak tangis selama ia mengambil haknya. Aku tahu, aku wajib memberikannya. Tapi apa harus dengan kasar seperti ini? Tanpa diawali doa, tanpa ada rasa cinta.
Cinta. Mungkin sebelum ini aku pernah berpikir jika rasa itu pernah menghampiri, tetapi sekarang rasa itu berubah, menjadi benci. Aku membenci sikap kasarnya malam ini.

==========

Bodoh!
Aku memang bodoh. Seharusnya aku tidak memenuhi permintaan yang memintaku di kamarnya Adit sebelum pergi ke rumah Irma. Namun, aku bisa apa? Semuanya sudah terjadi.
Bantal yang menyanggah kepala mulai basah oleh air mata. Bayangan-bayangan masa lalu mulai berputar, mengingat semua perlakuannya padaku. Dia memang tidak pernah mencintaiku, dan mungkin selamanya tidak akan pernah.
Tubuhku terasa remuk sebagai bukti sikapnya yang kasar malam ini.
Entah sudah berapa jam aku pindah ke kamarku, meninggalkan Adit di kamarnya sedang tertidur pulas.
Sementara aku di sini menangis menanggung rasa sakit.

Embusan napas panjang keluar dari hidung. Kedua mata perlahan tertutup karena terlalu lelah menangis.
Selimut tebal kueratkan untuk menutupi tubuh.
Semoga semua ini hanya mimpi. Mimpi terburuk yang pernah kualami.

Tok Tok Tok
Mataku kembali terbuka. Bibir masih terkatup rapat, enggan mengeluarkan suara.
"Nissa."
Dia Adit. Kenapa harus datang ke sini lagi? Ingin menyakitiku lagi? Air mata perlahan menetes satu persatu.
Aku tidak ingin bicara padanya. Selimut tebal ini menutupi seluruh wajahku.
Tidak ada suara lagi. Mungkin dia sudah pergi.
Dia tidak akan peduli denganku.
***

Pagi ini adalah hari terburuk untukku. Karena tertidur dini hari, aku jadi terlambat shalat subuh. Pun dua rakaat sebelum subuh yang pahalanya lebih besar daripada dunia dan seisinya.

Tubuhku terasa lemas. Beberapa saat aku hanya duduk lesehan di atas sajadah karena kedua kaki ini terasa seperti jelly, tidak punya kekuatan. Kepala pun terasa semakin berat. Pandangan berkunang-kunang.
Surat Al-Mulk hanya dapat kubaca setengah dari keseluruhan ayat. Perutku terasa bergejolak ingin
mengeluarkan sesuatu. Alquran di tangan berpindah di atas nakas yang letaknya tidak begitu jauh dari tempatku shalat.
Tangan kanan ini menutup mulut menahan gejolak yang sudah hampir melewati kerongkongan. Kupaksakan diri untuk bangkit menuju kamar mandi. Di wastafel inilah aku mengeluarkan semua isi perut.
Aku mengembuskan napas secara teratur. Tangan kiri meremas perut yang masih terasa aneh, sementara yang kanan memegang tissu membersihkan sisa air sisa mencuci wajah.
Dengan kaki diseret lelah, aku keluar dari kamar mandi. Pandangan di sekitar terlihat kabur dan bergerak.
Kepalaku pusing.
"Nissa." Suara lembut itu mengalun dari arah pintu yang mulai terbuka secara perlahan. Aku harus mengerutkan dahi karena tidak dapat melihat jelas.
"Adit?" ucapku pelan untuk memastikan. Tangan ini memijit pelipis yang terasa berdenyut.
"Kamu kenapa?"
Wajahku menghadap ke lantai, tetapi aku dapat merasakan tempat tidur di sampingku bergerak menandakan adanya orang yang baru saja duduk.
Sejujurnya, aku masih enggan berbicara dengannya. Namun, sakit ini begitu menyiksa. Mungkin saja dia bisa membantu mengurangi rasa sakit ini. "Pusing."
"Kamu belum makan?"
Sebuah gelengan cukup untuk menjawab pertanyaannya barusan. Ia berdecak pelan.
"Kenapa nggak makan? Di dapur masih ada makanan, kan?" Ia menggerutu kesal.
"Aku ...." Rasa mual itu kembali datang. Aku bergerak cepat menuju kamar mandi dan mengeluarkan beban di perut.
"Nissa ...." Suara Adit kembali terdengar. Ia memutar tubuhku setelah aku selesai dengan hajat.
"Kamu berkeringat." Ia mengusap dahiku dengan lembut.
Aku terdiam sambil mengelap mulut menggunakan punggung tangan. Ia menatapku dengan serius. "Kenapa?" tanyaku.
"Kamu hamil?"
Mataku mendelik. "Nggak mungkin!" Aku segera berlalu dari sana menuju tempat tidur. Mendengar kalimatnya barusan membuatku kembali kesal dengan perlakuannya semalam. Lalu sekarang, dia bilang kalau aku hamil?
Yang benar saja.
"Nissa, maaf atas semalam. Saya benar-benar kehilangan kendali." Ia berbicara dengan nada pelan.
Aku muak mendengarnya. Kehilangan kendali? Kenapa dia menyuruhku tidur di kamarnya. Itu artinya dia benar benar ingin melakukannya denganku, kan?
Aku tidak masalah jika memberi haknya. Namun, apa aku salah jika ingin dia bersikap lembut padaku?
Tubuh lemas ini kurebahkan di atas tempat tidur. Selimut yang berantakan kutarik menutupi tubuh hingga leher.
"Bisa tinggalkan aku, Adit?"
Ia terdiam sejenak. "Maaf."
Aku muak rasanya.

Adit adalah sosok yang sulit ditebak. Sikapnya berubah-ubah. Semalam, ia begitu baik padaku, mengatakan jika ia menerima diriku sebagai istrinya. Lalu beberapa saat kemudian, dia berubah seperti iblis yang ingin membunuh korbannya. Kapan aku bisa mengetahui isi hati lelaki itu?
Ah, sudah dulu berpikirnya. Perutku kembali bergejolak.
***

"Ibu Nissa tidak apa-apa. Hanya masuk angin."
Penjelasan dokter barusan membuatku bernapas lega. Sedikit risau juga karena pernyataan Adit tadi jika aku hamil.
"Baguslah kalau begitu," komentar Adit.
Sepertinya ia juga sangat khawatir jika sampai aku hamil. Dia kan tidak menginginkanku, pun anakku jika memang aku hamil.
"Apa masih ada bagian lainnya yang masih sakit?" Dokter kembali bertanya.
Kepala ini menggeleng pelan. "Tidak ada."
"Yakin tidak ada?" Adit duduk di sisi lain tempat tidur, menatapku dengan pandangan aneh.
Pastinya dia tahu jika bagian tubuhku yang lain juga merasa sakit. Masa iya aku harus mengatakannya pada dokter? Walaupun yang datang ini dokter perempuan, tetap saja aku malu jika bagian bawah tubuhku sakit karena perlakuan Adit.
"Tidak ada," jawabku yakin sembari menundukkan kepala.
"Kalau begitu, saya permisi, Bu, Pak." Dokter itu tersenyum manis sambil menganggukkan kepala sekali dengan anggun.
"Mari saya antar."
Keduanya keluar meninggalkanku.
Perut ini kembali terasa aneh. Bukan bergejolak ingin mual, tapi perih karena lapar. Ini semua sebab mual tadi.
Aku jadi tidak sempat makan. Padahal, penyakit maag yang aku derita sejak dulu bisa saja kambuh kapanpun.

"Kamu yakin tidak sakit di bagian lain?"
Aku terkesiap saat Adit sudah memasuki kamarku lagi.
"Tidak," jawabku bersikukuh. "Aku hanya ... lapar," lanjutku dengan nada pelan di bagian akhir kalimat.
"Oke. Tunggu sebentar!" Ia berlalu dari hadapanku. Tidak butuh waktu lama hingga ia kembali lagi ke sini.
"Bubur? Aku bukan orang sakit!" Aku mendelik kesal. Ini hanya masuk angin biasa, kenapa dia begitu
berlebihan?
"Tadi saya masak banyak buat Naura dan tidak sempat masak makanan lain. Jadi makan ini dulu, ya?" Nada bicaranya begitu lembut, membuatku terenyuh dengan sikapnya.
"Sini!" Kedua tangan ini terulur hendak meraih mangkok putih yang dibawa Adit. Namun, dia mengelak dan menjauhkan mangkok dari jangkauanku.
"Biar saya saja," balasnya. "Sebagai permintaan maaf saya semalam."
Kedua bibirku terbuka saat sendok berisi bubur berada di hadapan. Ia menyuapiku dengan baik.
"Bagaimana dengan Naura?" Hampir setengah hari ini aku tidak pernah menemuinya.
Adit tersenyum tipis. "Dia baik-baik saja. Sekarang, perawat Naura juga perlu dirawat. Buka mulutmu!"
Aku akui, masakan Adit benar-benar lezat. Naura tidak pernah protes dengan masakan kakaknya, bahkan selalu menambah jika Adit yang memasak. Aku pun kalah dengannya dalam urusan dapur.

"Nissa," ia berujar dengan nada pelan. Mangkuk sudah berpindah di atas meja karena aku menolak melanjutkan makan. Adit menyodorkan segelas air putih padaku.
"Saya benar-benar minta maaf semalam. Saya tidak bermaksud melakukan itu." Wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam.
"Pak Ruslan memberikan saya waktu sampai jam 12 malam kemarin, makanya saya cepat-cepat datang ke rumahnya untuk menolak penawaran yang beliau berikan. Namun di sana cuma ada Irma."
Aku terdiam, serius menghayati setiap cerita yang keluar dari bibirnya.
"Irma awalnya memaksa saya untuk menerima penawaran papanya, makanya itu, saya agak lama untuk memberinya pengertian. Akhirnya dia mengalah. Sebagai gantinya, saya diharuskan meminum jus
pemberiannya. Katanya hanya sebagai bukti persahabatan antara kami. Tapi minuman itu ternyata sudah diisi aphrodisiac. Saya baru tahu setelah efeknya terasa. Menyadari itu, saya langsung pergi dari rumahnya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Namun saat saya sampai di sini dan melihatmu di kamar, saya tidak bisa mengendalikan diri lagi. Maaf kalau tindakan saya semalam membuatmu kesakitan." Ia mengakhiri penjelasannya dengan kepala sedikit tertunduk.
"Maaf," bisikku pelan. Aku merasa bersalah sudah berpikiran negatif tentangnya. Dari salah satu teman, aku tahu jika benda bernama aphrodisiac itu bisa membuat orang kehilangan pikiran sehat mereka.
"Saya yang seharusnya minta maaf." Aditya terdiam pelan lalu melanjutkan, "Apa masih sakit?"
Aku menunduk. Jika sebelumnya merasa kesal jika Adit menanyakan itu, kini malah tersipu malu. Entah ada apa. "Nggak papa."
"Yakin?" Ia mengusap pipi kananku dengan kelembutan.
"He em."
Suara ketukan keras di pintu membuatku dan Adit terkesiap.
"Kak Adit ...!" Itu suara Naura yang terdengar ketakutan. Apa dia diganggu lagi?
"Kamu tetep di sini!" Adit seperti tahu makna nada suara adiknya. Aku hanya mengangguk menuruti.
"Ada apa, Sayang?" Adit memeluk adiknya yang berdiri di depan pintu sambil menangis.
"Dia ada di bawah. Dia ingin menyakitiku lagi. Aku takut ...." Naura terisak keras.
Aku begitu penasaran dengan sosok 'dia'. Sampai sekarang masih penuh tanda tanya.

Keduanya menghilang dari pandangan. Aku ingin ikut, tetapi kedua kaki ini masih begitu lemas untuk menopang tubuh.
Sejenak, tidak ada yang terdengar. Menit demi menit berikutnya, suara benda-benda berjatuhan terdengar begitu keras dari lantai 1. Kupaksakan diri ini untuk bangkit.
Di ujung tangga, aku berdiri. Dengan pegangan tangga sebagai penopang tubuh, aku memperhatikan pergulatan antara Adit dan lelaki berjaket hitam tebal. Ia mengenakan hoodie penutup kepala. Tubuhnya yang tidak sebanding dengan Adit jatuh terhuyung menabrak meja. Penutup kepalanya menghilang. Aku tercengang.
Dari lehernya, aku melihat titik hitam yang cukup besar yang tidak asing bagiku. Jantung berdebar-debar menanti sosok misterius itu karena belum memperlihatkan wajahnya. Barulah saat ia berdiri tegap, aku semakin tergegap. Hidungnya yang bengkok membuatku semakin yakin. Itu, Kak Fajar!
"ADIT!" Aku memekik keras ketika Adit bersiap melayangkan pukulan di wajah Kak Fajar yang sudah penuh dengan lebam.

Langkah kaki ini terasa begitu berat. Aku menuruni puluhan anak tangga untuk bisa mencapai lantai 1.
Adit mendesis kesal. "Saya bilang kamu tunggu di kamar!"
Aura Adit berubah seketika. Wajahnya memerah karena menahan amarah yang memuncak. Sementara Naura berdiri di sudut ruangan sambil berjongkok memeluk lututnya.
"Apa masalahmu?" Aku berdiri di depan lelaki yang kuyakini Kak Fajar. Alis Adit hampir menyatu karena kebingungan dengan sikapku ini.
"Menjauh atau kamu juga akan terkena dampak kemarahan saya!" Adit menggeram pelan.
"Nggak!" Aku merentangkan kedua tangan untuk melindungi Kak Fajar. Memangnya apa salah Kak Fajar sampai Adit begitu murka?
"Kamu jangan membela bajingan ini! Dia yang sudah merenggut kebahagiaan adik saya! Dia penyebab semua kehancuran yang adik saya rasakan sekarang!" Nyaliku menciut mendengar teriakannya.

Tanpa sadar, aku melangkah mundur menjauhi Adit dan Kak Fajar. Fakta apalagi ini?
Aku menoleh pada sosok yang selalu kuanggap pahlawan dalam hidupku.

"Apa benar itu?"
"Maaf, Mba. Saya benar-benar khilaf saat itu." Dia menunduk. Ternyata Kak Fajar sama sekali tidak mengingatku.
Aku pun malu mengakuinya sebagai kakak saat tahu dialah yang membuat luka dalam diri Naura.
Tubuhku semakin lemas mengetahui itu. Pahlawanku kini berubah menjadi sosok iblis yang menghancurkan kehidupan orang lain.
Aku mendekat pada Naura yang menangis sesegukan.
"Jangan! Jangan mendekat!" Ia berteriak kencang dengan suaranya yang parau.
"Naura, ini aku, Nissa." Aku berbicara pelan padanya sembari mengambil langkah satu-satu.
"Jangan mendekat!" Ia meraba sekitarnya seolah mencari sesuatu untuk perlindungan diri. Pakaiannya begitu acak-acakan. Pun rambutnya yang tidak tertutup jilbab.
"Jangan sentuh aku!" Naura berdiri lalu meninggalkanku.
Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Aku mengikutinya yang ingin naik ke lantai 2.
"Nau! Tunggu!" pintaku. Ia masih meneriakkan perintah agar aku tidak mengikutinya.

Aku memperhatikannya dengan lekat. Perasaanku seketika tidak enak ketika ia menginjak ujung gamis cokelat yang ia kenakan. Tubuhnya kehilangan keseimbangan lalu terjatuh menggelinding menuruni anak tangga.

"Naura!" Aku memekik keras ketika ia menimpaku.
Kepala ini menghantam benda keras. Aku meringis kesakitan. Dengan setengah kesadaran yang tersisa, aku merangkak menghampiri Naura. Dahinya tergores mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Adit langsung menggendong adiknya. Sebelum meninggalkanku, ia mengumpat keras. Mungkin ditujukan untukku sebagai sumber kesialan adiknya hari ini.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER