Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 04 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #1

Cerita bersambung
Karya : Es Pucil


Jam masih menunjukkan pukul delapan saat aku hendak keluar mesjid, tetapi rasa dingin terasa langsung menusuk kulit yang sudah dilapisi gamis polos panjang berwarna krem dan jilbab senada. Mukena dan sajadah semakin kupeluk erat untuk mengusir dingin.

Jalanan setapak agak ramai. Memang, karena baru saja ada pengajian di mesjid. Ustaz yang memberikan ceramah pun termasuk lelaki yang memiliki wajah yang mempesona.
Tak heran jika banyak ibu-ibu yang ingin bertemu dengannya.
Dari bisik-bisik di mesjid tadi, kudengar bahwa nama Ustaz yang datang ke kampung kami ini adalah Ustaz Fadil. Usianya masih duapuluh enam. Masih muda bukan?
Selama Ustaz Fadil memberikan pencerahan bagi para penduduk, aku malah sibuk dengan fisiknya. Sungguh, aku berusaha untuk fokus dengan inti ceramahnya. Namun, selalu gagal bahkan meski kepala sudah menunduk. Suaranya yang begitu merdu bahkan masih terngiang di telinga. Astagfirullah. Aku gagal menjaga hati. Ampuni hambaMu ini, ya Alloh.

Aku baru hendak mengejar rombongan ibu-ibu di depanku ketika suara bariton yang menyebabkan jantungku berdebar-debar, terdengar dari belakang. Aku menunduk saat ia berdiri di sampingku, masih menjaga jarak.
"Assalamualaikum, Ukhti," sapanya lembut.
Astagfirullah, kalimat itu terus kuucapkan dalam hati. Mendengar suaranya, menatapnya atau bahkan
merasakannya di sampingku, memberikan efek yang besar bagi detak jantung. Dia amat berbahaya untuk imanku.
"W-wa alaikumussalam," jawabku sedikit gugup. Entah karena cuaca dingin atau karena gugup. Mungkin keduanya.
"Anti ... sudah ada yang khitbah?"
Kepalaku mendongak seketika saat mendengar pertanyaannya. Beberapa detik, kedua mata ini bertemu
dengan manik hitamnya. Dia menunduk, begitupun diriku.
"Belum," suaraku terdengar tertahan. Embusan napas keluar dari hidung untuk mengurangi rasa gugupku.
"Besok, keluarga ana boleh melamar anti?"
Bagaimana kabar jantungku? Oh, mirip bom yang meledak di dalam sana. Rasa bahagia membuncah, menyebabkan senyuman lebar tanpa bisa kucegah, kemudian menjadi rasa panas yang merayap hingga ke kedua pipi.
Kuanggukkan kepala malu-malu. Kalimat hamdalah terus terucap di dalam hati.
"Assalamualaikum," pamitku.

Aku harus segera sujud syukur di rumah nanti.
Senyumanku semakin lebar saat mendengar jawaban salam darinya. Kedua tanganku yang dingin bersinggungan dengan pipiku yang hangat. Kepala menggeleng untuk menghilangkan bayangan manis barusan.
Ya Allah, sadarkan diriku.
"Kamu kenapa, Nis?"
Aku mendongak ke arah ibu-ibu di depanku. Mereka memandangku sambil tersenyum aneh, terlihat mengejek oleh mataku.
"Nggak papa, Bu," jawabku sambil menunduk. Oh astaga, kenapa senyum ini tidak bisa kutahan?
Bu Fatma menyenggol lenganku. "Padahal, Ibu baru aja pengen jodohin ama si Anin, eh keduluan sama Nak
Nissa. Nggak papa, deh, soalnya Ibu udah anggap Nak Nissa sebagai anak ibu," bisiknya.
Senyuman ramah sebagai balasan atas ucapan Bu Fatma, karena bingung harus membalasnya dengan kalimat
apalagi.

Ibu dan Ayah pun bahagia mendengar berita yang kusampaikan. Mereka bersyukur kepada Alloh berkali-kali.
Mungkin karena baru kali ini aku dilamar, padahal usia sudah memasuki duapuluh tiga, usia yang seharusnya
wanita menikah di desaku. Bahkan, jarang ada gadis yang mencapai usia itu di desa. Kebanyakan dinikahkan setelah lulus SMA.

Seperti yang disampaikan Ustaz Fadil sebelumnya. Mereka benar-benar datang ke rumah membawa anggota keluarganya yang tinggal di desa sebelah. Setelah memperkenalkan diri, barulah aku tahu bahwa yang ikut bersamanya adalah Pak Zainal, Bu Dina, dan Adit, kakaknya. Sebenarnya masih ada satu lagi adik perempuan Ustaz Fadil, tetapi sedang belajar di luar negeri.

Di sofa single berwarna cokelat, aku hanya menunduk mendengar perbincangan antara mereka. Adit terlihat
pendiam. Dari cara bicara Ustaz Fadil, ia begitu ramah dan menyenangkan. Bahkan Ayah yang biasanya sulit
akrab dengan lelaki berusia muda, kini sangat semangat berbincang dengan Ustaz Fadil.
"Jadi, baiklah, Pak, Bu. Kedatangan kami ke sini, untuk melamar Putri Bapak Nissa Maulina menjadi menantu kami, pendamping dari Aditya Maulana yusuf."
Penjelasan dari Pak Zainal barusan membuat kepalaku mendongak seketika. Kulihat senyuman Ustaz Fadil
tertuju padaku, seolah meyakinkanku untuk menerima lamaran ini.
Kepalaku menunduk, mencoba menutupi cairan bening yang melapisi iris mata. Di dalam dadaku terasa diremas begitu kuat. Kecewa. Pasti. Aku sudah terlalu banyak berharap menjadi pendamping Ustaz Fadil.
Bahkan semalam, aku lupa sholat tahajud karena terlambat bangun. Itu semua karena Ustaz Fadil. Rasa sakit
dari dada mulai menggerogoti kekuatanku, membuat bahuku sedikit bergetar. Sebulir cairan bening lolos begitu saja. Secara samar, kucoba menghapus air mata.
"Bagaimana, Nak? Apa kamu berkenan menerima lamaran ini?" Ayah bertanya padaku. Kulihat ada raut kekecewaan di wajah keriputnya. Ayah pun sudah berharap begitu besar, sama sepertiku.
Aku terdiam, memilih melampiaskan kekesalanku pada ujung jilbab biru yang kukenakan sekarang, tanpa peduli jika jilbab ini akan kusut nantinya.
"Kami akan memberi waktu. Kalian boleh taaruf dulu," usul Ustaz Fadil.

Tak tahukah dia apa yang kurasakan sekarang? Aku kecewa. Seandainya tidak melanggar norma, mungkin aku akan berteriak di depan wajahnya, mengutarakan apa yang menyebabkan jantungku terasa ditusuk di dalam sana.
Sebuah anggukan kepala dariku membuat mereka tersenyum bahagia. Aku semakin dongkol dibuatnya.
Mungkin sebaiknya aku menolak lamaran ini. Tapi, apa itu sopan? Baiklah. Akan kutolak lamaran ini pekan
depan. Aku tidak bahagia, mereka pun juga.
***

Angin berembus pelan melewati jendela yang terbuat dari kayu, menyapa wajahku. Bayangan tadi pagi masih
terekam jelas dalam benakku. Sakit hati karena kecewa, masih terasa menyiksa. Angin, tidak bisakah kau bawa luka ini bersamamu?
Selimut dari atas ranjang sudah menutupi seluruh tubuhku. Dalam kehangatan ini, pikiranku terbang jauh. Rasa kagum pada Ustaz Fadil berubah seketika menjadi rasa kesal. Seringkali ucapan istighfar keluar dari bibir ini, tetapi tak jarang, rencana jahat bisikan dari setan masih terdengar. Embusan napas keluar untuk menambah pasokan oksigen dalam paru-paru.

Untuk lamaran itu, aku tidak perlu istikharah lagi. Karena sudah jelas, aku akan menolak lamaran itu.
Pernikahan itu ibadah, dan tidak seharusnya dimulai dengan rasa kecewa seperti ini. Bagiku, menikah harus
diawali dengan rasa bahagia, agar terus bahagia selama menjalankan pernikahan. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menerima Adit sebagai suamiku.

"Nissa! Nissa! Ke sini, Nak!"
Aku tersentak dari lamunan ketika suara cemas dari Ibu mengalun sampai ke kamarku. Tanpa menunggu teriakan kedua, aku menjatuhkan selimut dari tubuh dan berlari keluar kamar. Tidak biasanya Ibu berteriak di tengah malam seperti ini.
"Ada ap ... Ya Alloh!" pekikku saat mendapati Ayah sudah berbaring tak sadarkan diri di lantai.
"Kamu cepetan panggil bantuan!" pinta Ibu yang langsung kuangguki.

Setelah mendatangi beberapa rumah, sekitar sepuluh orang laki-laki dan limabelas perempuan datang ke
rumah. Salah satu dari mereka menyediakan mobil untuk membawa Ayah ke rumah sakit.

Selama perjalanan, Ibu tersedu di pundakku. Ia menceritakan semua awal dari kejadian ini. Ayah merasa terganggu dengan gunjingan beberapa orang-orang yang mengatakan aku tidak laku, karena belum menikah hingga sekarang. Ayah mencoba tenang. Namun, pikirannya tidak bisa dialihkan dari ucapan tetangga.
Ditambah lagi rasa kecewa karena bukan Ustaz Fadil yang melamarku. Beliau sudah begitu bahagia saat aku
memberitahunya tentang lamaran itu. Ini semua salahku.

Rumah sakit mulai lengang. Aku, Ibu dan beberapa warga yang membantu kami ke sini, menunggu di depan pintu UGD. Jantungku berdegup kencang. Kedua bibirku terus merapalkan doa sambil menenangkan Ibu yang sedari tadi menangis. Dalam keadaan seperti ini, aku harus terlihat kuat.
Namun, pertahanan itu meluruh seketika saat dokter mendiagnosis bahwa Ayah terkena serangan jantung dan harus dibawa ke rumah sakit yang memadai. Air mata membanjiri wajahku yang dingin.

"Assalamu'alaikum!"
Aku dan Ibu mengangkat wajah ke arah Pak Zainal yang baru saja datang bersama Adit. Seandainya bukan karena teringat keadaan Ayah, pasti aku sudah melenggang pergi dari sini.
"W-wa alaikumussalam."
"Kami dengar Pak Abdul masuk rumah sakit?" Wajah keriput itu menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
Kujelaskan secara singkat masalahnya.
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung menawarkan bantuan kepada kami setelah mendengar ceritaku. Aku dan Ibu mengucapkan terima kasih. Namun, jawaban Pak Zainal menyentak kesadaranku. Mereka membantu kami karena menaruh harapan besar agar aku mau menjadi menantunya.
Pak Zainal menyewa ambulans yang membawa kami ke rumah sakit yang lebih besar. Tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu satu jam.

Saat pemeriksaan Ayah, Pak Zainal pamit pulang karena istrinya membutuhkan dirinya. Aku dan Ibu mengucapkan banyak terima kasih padanya. Tersisa Adit yang menemani kami. Sifat lelaki itu sangat berbeda dengan adiknya. Ia jarang berbicara. Bahkan aku belum pernah mendengar suaranya. Jika disuruh, ia hanya menganggukkan kepala. Atau, dia bisu?
Dan lagi. Seakan pernyataan dokter sebelumnya belum cukup membuatku putus asa, dokter di rumah sakit ini malah mengatakan jika Ayah harus dioperasi. Pikiran kedua setelah keadaan Ayah adalah, bagaimana cara melunasi biaya rumah sakitnya?
"Akan kubantu kalau kamu mau." Suara bariton itu keluar dari Adit. Untuk pertama kalinya ia berbicara padaku.
"Tapi ada syaratnya," sambungnya setelah jeda beberapa saat.
"Syarat?" ucapku dengan nada tertahan.
Kepalanya mengangguk, senyuman tercipta di bibirnya. Sebuah senyuman yang membuatku merasa resah.

==========

Rasa dingin menyeruak menusuk kulit ketika tubuhku terpaku di halaman rumah sakit. Lelaki hemat bicara inilah yang mengajakku kemari.
"Apa syaratnya?" tanyaku sekali lagi, karena pertanyaan pertama belum terjawab.
Adit memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana bahan yang ia kenakan, mungkin untuk mengusir dingin. Aku pun ikut memeluk tubuh sendiri berharap sedikit merasa hangat.
"Kamu nikah sama saya."
Mataku melotot. Detik berikutnya, tawa terbahak dariku membuat beberapa garis kerutan di dahinya.
"Nikah? Nggak bakalan! Aku mau nolak kamu!" ungkapku tanpa merasa segan lagi. Biarkan saja jika dia sakit
hati, toh keluarga mereka juga yang awalnya membuat keadaan keluargaku seperti ini.
"Oke. Terserah kamu. Saya cuman menawarkan bantuan. Keselamatan Pak Abdul ada di tangan kamu."
"Keselamatan orang tuh di tangan Alloh, buk ...."
"Kamu perantaranya," potongnya cepat. Ia melangkah pergi begitu saja.

Dari obrolan barusan, dia seakan meremehkan diriku. Baiklah, akan kubuktikan jika aku mampu menghadapi semua ini tanpa bantuan keluarga mereka. Keluarga Ayah masih banyak yang bisa membantu kami. Kalau pun tidak bisa, tetangga masih ada.
***

Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya sudah hampir seharian ini aku mencari bantuan, tetapi tidak ada yang berkenan membantu. Jangankan tetangga, keluarga saja tidak ada yang mau. Miris rasanya. Dulu, saat Ayah masih sehat, beliau selalu membantu keluarganya. Bahkan ia rela berutang pada orang lain demi membantu keluarganya. Lalu balasannya? Aku tersenyum kecut. Sebulir air mata jatuh begitu saja.
Kedua mata ini beralih ke sosok paruh baya yang sedang memenuhi pikiranku. Lelaki yang mengajariku tentang dunia dan kebaikan kini sudah terbaring tak berdaya. Netra cokelat yang mulai memutih miliknya tertutup rapat oleh kelopaknya sendiri. Hanya alat-alat kedokteran yang menjadi perantara Alloh memberikan kesempatan hidup untuknya.

Rasa hangat terasa di telapak tangan ketika menggenggam tangan Ayah. Bisikan doa terus kuucapkan dekat telinganya, berharap ia mendengar lalu membuka mata. Memberikan senyuman dan kekuatan lagi padaku dan juga pada Ibu.
Cairan bening mulai memenuhi iris mata ketika ingatan beberapa menit yang lalu terputar kembali di ingatan,
saat dokter mengatakan waktu Ayah bertahan kurang dari 24 jam jika tidak segera dioperasi. Hatiku menjerit kala itu, Alloh yang menentukan hidup manusia, bukan dokter.
"Ayah bangun," bisikku serak karena suara yang terasa tertahan.
Bibirku terkatup rapat. Mencoba menunggu reaksi yang akan diberikan Ayah. Tidak ada. Hanya suara monitor jantung yang terdengar.
Aku tersentak kala suara monitor terdengar berbeda dari biasanya. Kedua mataku melebar saat melihat benda kotak itu memberikan isyarat jika detak jantung Ayah kian melemah. Segera kupanggil dokter dan perawat yang berada di dekat ruangan Ayah. Mereka memeriksa keadaannya, sementara aku di luar, merapalkan doa sesering mungkin.
"Bagaimana, Dok, keadaan Ayah saya?" tanyaku cepat ketika dokter yang masuk tadi kini sudah keluar.
"Kami harus segera mengoperasi Tuan Abdul. Waktunya tinggal sedikit, atau beliau tidak akan bisa kami
selamatkan."
Dadaku bergemuruh hebat saat indera pendengaranku menangkap penjelasan dokter. Aku menunduk untuk
menyembunyikan air mata yang akan menetes.
"Apa anda sudah bisa melunasi biaya administrasinya?"
Hanya gelengan sama sebagai jawaban atas pertanyaan dokter tersebut.
"Cepat dilunasi, ya, supaya beliau bisa dioperasi secepatnya. Saya permisi dulu."

Kepalaku terasa pusing seketika. Bayangan semalam diputar kembali oleh memori otak. Apa mungkin aku
menerima tawaran Adit?
Tidak! hatiku menjerit. Aku tidak ingin menikah dengannya. Jikalau pun harus meminta bantuan, aku hanya
akan berutang padanya, bukan menjadi istrinya. Aku masih ingin hidup bahagia, bukan terjebak dalam pernikahan yang dimulai dengan keterpaksaan.

Dengan bisikan 'bismillah' dari hati, aku melangkahkan kaki. Tujuanku sekarang adalah Pak Zainal. Semoga
saja beliau tidak segila anak pertamanya.
***

"Oh gitu, ya?"
Kulirik Pak Zainal yang mengangguk-anggukkan kepalanya setelah aku selesai menceritakan semuanya.
Tangan kanannya mengusap rambut tipis yang tumbuh di daerah dagu, ia sedang berpikir.
"Coba tanya sama Adit. Soalnya dia yang mengatur keuangan rumah."
Pupus sudah harapanku. Pasti lelaki itu akan memberikan tawaran gilanya lagi. Tepat saat itu, dia muncul dari
dapur menghampiri kami. Wajahnya begitu santai, berbeda dengan dua pertemuan kami sebelumnya yang terkesan kaku dan dingin.
"Ada apa, Bi?" tanyanya sangat tenang. Samar, kulihat seringai tipis di bibirnya.
"Ini, Nak Nissa mau minjem uang buat operasi Ayahnya. Kamu bisa bantu?"
Kepalaku tertunduk dalam. Jujur, aku harus mengalahkan rasa malu untuk bisa sampai di rumah ini. Aku dan keluarga Pak Zainal baru berkenalan kemarin, dan aku sudah berani meminjam uang padanya?
"Bisa, Bi. Adit punya uang. Adit ambil dulu, ya?" Ia berdiri kemudian melenggang pergi.
Beberapa menit kemudian, ia sudah kembali dengan sebuah amplop cokelat di tangannya. Senyum semringah mengembang di bibirku.
"Saya janji, Pak, bakalan lunasi segera," ucapku penuh keyakinan.
"Nggak usah ...."
"Kamu kan bakalan jadi istri saya," Adit memotong ucapan Pak Zainal.
Mataku mendelik seketika. Kapan aku menyetujuinya?
"Iya, kan?" Sebuah kedipan mata ia berikan padaku. Bukan kedipan manja dan gombal, tetapi kedipan mengejek.
Lidahku kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Ini tentang nyawa Ayah dan kehidupanku kelak.
"Udah, jangan banyak bicara. Cepetan sana! Pak Abdul harus segera dioperasi, 'kan?" Pak Zainal berujar.
Aku baru hendak menerima uang dari Adit, tetapi lelaki itu malah menjauhkannya dariku. Alisku mengerut.
"Biar saya antar. Nggak baik perempuan bawa uang banyak. Apalagi jaraknya lumayan jauh. Bahaya," balasnya saat tahu arti raut wajahku.
Bergeming adalah satu-satunya pilihanku. Embusan napas keluar dari hidung untuk mengurangi beban yang
menghimpit dada.

Dalam mobil, tidak ada yang berniat mengeluarkan suara. Beberapa kali, kulirik dia melalui ekor mata.
Wajahnya menggambarkan kebahagian, meski samar.
"Jadi kamu terima penawaran saya?" ujarnya secara mendadak.
Aku tersentak mendengar ucapannya yang tiba-tiba.
"Nggak," balasku, bersikukuh terhadap pendirian. "Ini aku anggap utang, bakalan aku bayar nanti."
Ciiit!!
Tubuhku terdorong ke depan ketika Adit mengerem secara mendadak. Tanpa mempedulikan mataku yang
melotot lebar ke arahnya, ia berbalik arah.
"Eh, kamu mau ke mana?!" pekikku panik.
"Pulang ke rumah saya. Mau ke mana lagi?"
"Bukannya kamu udah janji sama Pak Zainal bakalan bantu aku?"
"Iya, kalau kamu nerima tawaran saya."
"Kamu kok maksa gitu, sih? Aku nggak mau nikah sama kamu!" ucapku hampir berteriak karena kesal.
"Ya udah. Saya nggak maksa, cuman nawarin."
"Itu bukan nawarin, tapi maksa! Nyawa Ayah aku dalam bahaya!"
"Itu pilihan kamu sendiri, keselamatan Ayah kamu, itu di tangan kamu."
Dilema dan kesal. Itu yang kurasakan sekarang. Geraman kesal keluar dari mulutku. Sekuat tenaga, kutahan
keinginan untuk mencakar wajahnya.
"Oke," jawabku lemah. Otakku terasa kosong sekarang. Hanya keadaan Ayah yang kupikirkan.

==========

Satu minggu setelah acara lamaran seharusnya adalah hari aku menolak lamaran Adit. Namun, malah berakhir menjadi istrinya. Setelah akad, ia membawaku ke rumahnya di kota. Awalnya ingin menolak, tetapi kondisi Ayah yang membaik, tidak ada alasan lagi yang mampu membuatku menolak perintahnya.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di rumah Adit yang benar-benar mewah.
Bangunan berlantai dua itu berwarna abu-abu dengan beberapa bagian berwarna putih. Halaman hijau di depan rumah membuat setiap mata begitu nyaman berlama-lama memandangnya.
Aku mengikuti Adit yang memasuki rumah megah itu. Langkahku terhenti bersamaan dengan tubuh Adit yang
berputar ke arahku.
"Kamu nggak suka nikah sama saya, kan?" tanyanya dengan nada dingin. Wajah santai yang biasa menghiasi wajahnya hampir enam hari ini hilang seketika. Aura dingin menguar dari wajahnya itu. Kepalaku mengangguk pelan.

Dia duduk di sofa abu-abu. Dengan telaten, ia membuka sebuah laci di meja depan sofa. Sebuah map berwarna hijau tua ia keluarkan, menyusul sebuah kertas dari map itu, berikut dengan pulpen.
Alisku hampir menyatu melihat sikapnya yang terkesan aneh dan membingungkan. "Kita hanya akan menikah
selama 3 tahun ...."
Mataku membulat mendengar ucapannya. Jadi dia menikahiku hanya untuk bermain-main? Meski aku tidak
menyukainya, tetap saja, aku ingin konsisten pada rumah tanggaku.
".... Abis itu kamu bebas. Tanda tangani surat ini!" pintanya sembari mendorong kertas itu padaku.
"Dit, ini pernikahan, bukan ...."
"Saya tidak menganggap ini permainan, kalau kamu menyangka hal itu sebelumnya. Jika hanya ingin bermain-main, masih ada ratusan wanita di luaran sana yang mengantri untuk masuk ke hidup saya."
Aku mendelik mendengar ucapannya. "Terus kenapa pilih aku?"
"Baca suratnya!"
Aku menurut.
Kami tidak boleh saling mengganggu privasi, Adit memegang kendali rumah ini dan juga diriku, serta pernikahan ini hanya berlangsung 3 tahun. Hanya itu perjanjian yang tertera di kertas
"NAURA!!"
Kembali aku tersentak kaget mendengar teriakannya. Pandanganku tertuju pada tangga yang dituruni oleh
seorang wanita cantik. Wajahnya hampir mirip dengan Ustaz Fadil dan Adit. Apa iya, dia itu adik Adit? Tapi
bukannya ia sedang ada di luar negeri?
"Ini istri Kakak?" Pertanyaan itu keluar dari bibir wanita itu. Matanya menelusuri penampilanku. Sedikit risih.
"Iya," jawab Adit tak acuh. "Nissa, ini adik saya, Naura."
Kami berjabat tangan sambil tersenyum kikuk.
"Saya akan mengatakan semuanya. Tapi kamu tidak boleh mengatakan ini pada siapapun!" Adit menekan
setiap suku kata yang ia keluarkan.
Aku terdiam, menunggu penjelasan darinya.
"Dia hamil ...."
Ini kejutan yang ke berapa? Kenapa keluarga ini penuh kejutan? Naura, hamil? Bukannya dia masih sekolah di luar negeri? Bukannya dia ....
"Kamu saya nikahi, untuk menyembunyikan kehamilannya."

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER