Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 18 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #2

#Cerita bersambung


Meira berbaring di ranjang Clarissa. Ia meringkuk di pembaringan. Menangis.
Mengingat Fandi, lelaki yang hampir saja menjadi suaminya.

Kenangan masa kecil bersama lelaki itu berkelebatan dalam ingatannya. Fandi, teman kecilnya. Menghabiskan banyak waktu bersamanya. Bersekolah di tempat yang sama. Selalu menjadi tempat baginya menumpahkan segala rasa.

Meira yang yatim piatu sejak usia lima tahun, karena ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan bus. Akhirnya ia harus tinggal dengan adik ayahnya, paman Jamil yang memiliki istri yang sangat cerewet dan seorang putrinya.
Pamannya sangat menyayanginya. Mereka hidup pas- pasan. Istrinya, tante Erna berjualan kue keliling untuk membantu prekonomian keluarga. Paman hanya buruh bangunan yang tak tentu penghasilannya. Kerap ia mendapatkan kekerasan dari tante Erna, yang memang tidak suka dengannya karena merasa menambah beban hidup mereka.

Saat usia Meira dua belas tahun, pamannya meninggal secara mendadak, mengeluh dadanya sakit dan tak lama ia meninggal.
Dan, tante Erna semakin membenci Meira. Ia sering menyiksa Meira, jika pekerjaan yang ia minta, hasilnya tidak sesuai keinginannya. Meira hampir tak bersekolah, karena tantenya sering menyuruhnya berjualan.
Fandi yang selalu membantunya,  mengantarkan kue-kue buatan tante Erna ke warung- warung. Subuh hari ia dan Fandi membawa kue-kue itu, dan menitipkannya ke warung. Ada juga yang Meira bawa ke sekolah, dan ia jual di kelasnya.
Orang tua Fandi sangat baik pada Meira, rumah mereka tak begitu jauh. Gadis itu sering bermain di rumah Fandi dan sering ikut makan di sana. Sebab jika di rumah, tante Erna sering tak memberinya makan.

Saat SMA, ia mencari pekerjaan sampingan. Menjadi tukang cuci piring di sebuah warung makan, kadang ia juga mengambil jasa menyetrika baju bagi tetangga- tetangganya yang bekerja suami- istri atau yang repot karena memiliki bayi. Uangnya ia gunakan untuk sekolah dan juga membantu tantenya dan Nisa adik sepupunya yang sangat ia sayangi.
Cacian, hinaan, dan kadang pukulan oleh tante Erna adalah makanan hari- harinya.
Hanya Fandi yang menjadi tempat ia mengadukan segala kesedihannya.
Persahabatan yang kemudian menjadi cinta. Meira berharap sahabat kecilnya itu adalah jodohnya, yang suatu saat akan mengeluarkannya dari neraka dimana ia tinggal.
Rumah yang ia dan tantenya tinggali adalah rumah ayahnya. Tidak besar memang, tapi itulah satu satunya harta yang diwariskan ayahnya. Tapi, tante Ernalah yang menguasai. Ah, Meira tak peduli dengan rumah yang sebenarnya adalah haknya.  Baginya yang terpenting adalah menikah dengan Fandi dan meninggalkan tantenya itu.

Setelah lulus, karena tak ada biaya. Meira mengubur keinginannya untuk kuliah. Ia bekerja, sebagai pengasuh anak.  Ia menikmati profesinya, karena pada dasar nya ia memang suka dengan anak- anak.
Beberapa kali pindah majikan. Mengurusi berbagai macam karakter bayi, balita dan anak- anak membuat ia memiliki banyak pengalaman.
Fandi, ia juga tidak kuliah. Ia memilih kerja. Sempat bekerja sebagai penjaga toko mainan. Sampai akhirnya ia bekerja di sebuah restauran, disanalah Fandi merasa betah.
Meira selalu berharap dalam setiap doanya, Fandi melamarnya. Ia begitu mencintai Fandi. Ia selalu merasa nyaman berada di sisi pria itu.

Tepat dua tahun lalu. Agen penyalur yang menaunginya dalam mendapatkan pekerjaan, merekomendasikan dirinya kepada  keluarga bapak Andi Mahesa. Keluarga kaya raya, yang memiliki perusahaan kelapa sawit dibeberapa daerah di kalimantan. Juga memiliki hotel bintang lima dan dua buah toko sepatu ternama yang dikomando oleh istrinya. Siapa yang tak mengenalnya, lelaki itu sering masuk dalam pemberitaan di koran- koran lokal. Ia juga akhir- akhir ini terjun ke dunia politik.
Keluarga itu membutuhkan pengasuh yang bisa mengurus seorang balita berusia tiga tahun. Clarissa nama gadis itu.

Awalnya Meira takut, karena pasti akan menghadapi banyak aturan. Maklum, keluarga konglomerat dan terpelajar. Tapi, karena tawaran gaji yang cukup besar membuat Meira menyanggupinya. Ia butuh uang, untuk membantu tantenya dan yang paling utama adalah Nisa, sepupunya yang diketahui menderita leukemia. Butuh dana untuk berobat dan juga kuliahnya. Meira bersikeras agar Nisa bisa kuliah dan juga bisa melakukan pengobatan yang rutin untuk kanker yang dideritanya.

Saat itu, Clarissa masih kecil. Dia sudah sering berganti-ganti pengasuh. Berharap kali ini pengasuhnya bisa bertahan lama.
Clarissa sangat aktif dan sangat pandai berbicara. Awalnya Meira sedikit kualahan karena Clarissa suka tantrum jika apa yang diinginkannya tidak tercapai. Namun, dengan bekal ilmu dan pengalamannya Meira berhasil melakukan terapi setiap kali Clarissa tantrum atau berkata- kata kasar.
Ibunya, entah kemana. Kata nyonya Andi, omanya. Ibunya pergi bersama pria lain, saat usianya satu tahun. Sementara ayahnya Clarissa, putra mereka. Setelah bercerai dengan ibu Clarissa sering ke luar kota untuk mewakili ayahnya mengurus bisnis. Ayahnya Clarissa yang bernama Revan itu tak begitu dekat dengan putrinya. Ia tak terlalu memperhatikan Clarissa. Ia sibuk membantu bisnis ayahnya juga sibuk dengan teman- temannya.
Kerap Meira jika sedang menginap di rumah itu, melihat  Revan yang pulang dalam kondisi sedang mabuk. Tak jarang ada saja pertengkaran yang terjadi dengan dia dan ayahnya. Saat sarapan pun mereka sering ribut.

Satu lagi, anak mereka. Alisa, kakaknya Revan. Wanita cantik yang diceraikan suaminya karena ia mandul. Awalnya Meira sering melihat Alisa juga suka menegak minunan keras dan pergi dugem. Mungkin karena stress, membuat dia seperti itu. Tapi, tahun kedua Meira bekerja di sana. Ia melihat perubahan pada Alisa, ia berhijab kemudian meninggalkan segala kebiasaan buruknya. Menjadi wanita yang tegar dan bersemangat. Ia mulai membantu ibunya mengurus toko sepatu milik mereka.
Clarissa, tumbuh dengan kasih sayang yang tidak utuh. Meira iba padanya, ia seperti anak yang terpaksa "yatim piatu". Meira menyayangi Clarissa, sangat.

Meira menangis lagi, begitu ia teringat kembali pada perbuatan bejat Revan. Yang membuat Fandi mencampakannya.
***

Flashback, satu bulan yang lalu.

Malam naas itu terjadi. Saat semua orang pergi. Hanya Meira dan Clarissa di rumah. Malam itu, Clarissa demam. Jadi, Meira mengurusnya dan menginap di sana.
Clarissa yang sempat rewel akhirnya bisa tertidur pulas setelah Meira memberinya obat yang biasa dikonsumsi Clarissa jika demam.

Pak Andi dan istrinya sedang pergi ke luar kota untuk urusan politik.  Sedang Alisa, entah kemana. Sampai jam sebelas malam belum juga pulang. Sementara bi Jum dan pak Wito sedang pulang kampung, satu pembantu lagi sedang pergi ke rumah orang tuanya karena ibunya sedang sakit.Tapi berjanji akan kembali besok pagi.

Meira merasa haus, kemudian ia memutuskan untuk ke dapur. Saat ia ke luar dari kamar Clarissa. Ia melihat Revan yang baru datang.
' Tumben jam sebelas sudah pulang. Kata bi Jum biasanya Revan pulang diatas jam dua belas malam.' Meira membatin. Ia mencium aroma alkohol. Pasti Revan sedang mabuk. Meira diam di tempatnya berdiri beberapa meter dari Revan.
Meira sedikit takut. Revan melihat Meira. Gadis itu merasa ngeri dengan sorot mata lelaki yang sedang dibawah pengaruh minuman keras. Revan yang hendak masuk ke kamar, tapi tak jadi begitu melihat Meira.

"Hai, Meira!" Sapanya dengan suara serak.
Meira diam saja. Ia hendak kembali masuk ke kamar Clarissa. Tapi, rupanya kalah cepat. tiba- tiba tangan Revan sudah memegang tangan kanannya dengan kuat. Ia menarik Meira ke pelukannya.
Meira berteriak.
"Lepasin!"
"Hmmm, tidak!" kata Revan. Ia merengkuh pinggang Meira. Sangat kuat. Lalu menyeretnya masuk ke kamarnya.

Meira meronta, ketakutan. Berteriak sekuat mungkin. Berharap Clarissa bangun dan menolongnya, mungkin. Namun, Clarissa sangat tertidur pulas karena pengaruh obat yang ia minum. Dan percuma rumah itu terlalu besar. Jauh dari tetangga.
Revan mengunci pintu dan membuang kuncinya, entah kemana. Lalu mendorong tubuh Meira ke tempat tidur. Meira mencoba berbalik dan merangkak. Tapi Revan menarik kedua kakinya.

Meira menangis dalam rasa takut yang luar biasa. Revan memegangi tangan Meira dengan sangat kuat. Kemudian satu tangan Revan melepas jilbab Meira lalu mengikat kain jilbab itu ke mulut Meira, hingga gadis itu tak bisa menjerit lagi.
Revan benar- benar mabuk.
Ia melepas dasinya dan mengikat kedua tangan Meira dengan dasi tersebut. Tubuh Meira lemas. Dan merasakan penglihatannya gelap.
***

Meira hanya bisa menangis pilu. Ia merasakan sekujur tubuhnya sakit. Darah menghiasi tempat tidur.
Kondisi kamar yang gelap, hanya bercahayakan sinar bulan yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Meira menangis pilu. Kehormatannya telah direnggut oleh Revan. Meira terbaring di sebelah Revan yang tertidur pulas, ia tak sanggup bangun. Kedua tangannya masih terikat dan mulutnya masih tertutup oleh kain jilbabnya sendiri.
Ia merasakan pusing yang sangat. Dadanya sesak.
***

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui kaca jendela dan celah- celah pentilasi.
Revan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa pusing, ia menyingkap selimutnya dan menemukan dirinya dalam kondisi tak berpakaian, ia pun terbelalak melihat Meira di sampingnya. Ia bergegas bangun dan meraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi. Dan melilitkannya ke pinggang, menutupi sebagian tubuhnya.
Meira sepertinya pingsan. Pakaiannya acak-acakan. Darah menghiasi selimut dan seprai putih milik Revan.
"Apa yang sudah ku lakukan?" Revan menarik rambutnya. Ia bingung dan juga ketakutan.
Lalu terdengar suara Clarissa menangis. Revan panik. Ia juga mendengar suara kakaknya, Alisa sedang menenangkan Clarissa.
Gadis kecil itu mulai tenang, kemudian masuk kembali ke kamarnya.Alisa kembali lagi ke luar.

Terdengar ketukan pintu. Revan makin panik.
"Revan!" panggil Alisa.
Beberapa kali Alisa menggedor pintu dan berteriak memanggil Revan. Alisa merasa ada yang tidak beres, karena yang dia tahu Meira menginap, tapi kenapa paginya tak terlihat sementara ponsel dan tasnya ada di kamar Clarissa.

Revan bingung. Ia menggigit bibirnya.
"Revan, bangun!" teriak Alisa.
Revan menatap wajah pucat Meira. Ia mendekati Meira yang tak terjaga.

Suara Alisa tak terdengar lagi. Tapi beberapa menit kemudian terdengar suara derap langkah di depan kamar Revan. Tak lama terdengar suara kunci diputar. Rupanya Alisa mengambil kunci cadangan. Ia membuka pintu dan terbelalak melihat kondisi kamar Revan.

Revan pasrah. Ia terduduk di pinggir ranjang.
"Brengsek kamu, Revan!" Alisa marah dan ...plak!.. ia menampar wajah Revan dengan keras.
Revan diam. Alisa bergegas melepas ikatan ditangan Meira, juga jilbab yang menutupi mulutnya.
"Meira..." Panggil Alisa. Tapi rupanya Meira benar- benar pingsan.
"Aku...." Revan bingung.
"Bawa dia ke rumah sakit!" Perintah Alisa.
"Tapi."
"Cepat!" Bentak Alisa .
Revan bergegas mengambil baju di lemari kemudian pergi ke kamar mandi.

Setelah berpakaian. Ia mengangkat tubuh Meira dan membawanya masuk ke mobil. Merebahkannya di jok belakang.
Lalu Alisa duduk di jok belakang dan menaruh kepala Meira di atas pahanya.
Revan buru- buru menyalakan mesin mobilnya. Dengan cepat mobil itu melesat ke luar dari pekarangan rumah megah itu.

Clarissa di kamarnya kembali menangis mencari Meira. Ia ditemani oleh mba Ina yang tadi pagi baru datang setelah menengok ibunya yang sakit, ia pembantu di rumah itu juga.
***

"Kenapa kamu lakukan ini?" Alisa menatap tajam ke arah Revan yang duduk termangu di kursi tunggu. Sementara Meira sedang ditangani dokter.
"Aku...aku mabuk mba. Aku gak sadar." Sesal Revan.
"Kerjaan mu hanya mabuk. Lihat akibatnya, kamu akan terkena masalah!" Alisa emosi.
"Mba, aku...."
"Kita tunggu saja, apa reaksi papa jika tau hal ini!" Alisa masih menatap tajam kepada adiknya.

==========

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Revan. Andi Mahesa begitu berang mengetahui perbuatan Revan.

"Selalu saja membuat masalah. Ini akan menjadi santapan lezat bagi para wartawan dan lawan ku!" Berdiri memandang ke luar jendela.
"Pa, aku mabuk. Aku gak sadar dengan yang aku perbuat."
Revan menunjukan wajah penuh sesal. Kepalanya sedikit pusing akibat tamparan yang begitu keras dari ayahnya.

Pria berambut lurus dengan sedikit uban itu menghirup udara dengan rakus. Kemudian menghembuskannya dengan kasar, memandangi putranya yang masih duduk dengan kepala tertunduk.
"Baik Revan," lelaki yang berbadan tegap meski usianya sudah separuh abad itu mendekat ke Revan," Aku punya solusinya. Dan kamu harus mengikutinya. Ini demi reputasi ku, nama baik keluarga kita, dan tentu untuk mu."

Revan mengangkat kepalanya memandang ayahnya yang berdiri di hadapannya.
"Apa itu, pa?"
"Nikahi gadis itu."
Revan terperangah.
"Tapi...."

Andi Mahesa membesarkan matanya. Pertanda, tak ada tawar menawar.
***

Alisa menemani Meira di rumah sakit. Kondisinya sudah sedikit lebih baik dari kemarin.
"Hari ini kamu sudah bisa pulang." Alisa duduk di pinggir ranjang.
Gadis itu hanya diam. Ia masih muram. Guratan- guratan wajahnya melukiskan kepedihan yang mendalam.
"Mei...." Alisa tak melanjutkan ucapannya saat matanya menangkap kepedihan di wajah gadis malang yang terbaring lemah dihadapannya.
Ia paham, seperti apa hancurnya gadis yang telah direnggut kesuciannya. Setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya.
"Betapa bejatnya kamu Revan!" Alisa membatin penuh amarah.

Kedua mata Meira tak berhenti mengalirkan air mata. Tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Terlalu sakit.
***

Alisa mengantar Meira pulang ke rumahnya. Wanita dengan hijab sebahu itu memapah Meira menuju kamar. Membantunya merebahkan tubuh lemah gadis tersebut di ranjang kecil yang ketika ia berbaring menimbulkan sedikit bunyi derak kayu yang menopang kasur kapuk yang sudah renta.

"Kamu istirahat dulu. Setelah tenang, kita akan bicarakan soal ini." Alisa menutupi tubuh kurus yang pucat itu dengan selimut merah.
Gadis itu hanya diam, memandangi langit- langit kamarnya yang berwarna putih buram karena dihiasi bulatan- bulatan coklat seperti awan.

Alisa ke luar dari kamar, dan menemui tante Erna dan Nisa yang sedari tadi hanya duduk di kursi rotan tua di ruang tamu.
"Apa yang terjadi?" Wanita bertubuh langsing dengan tahi lalat kecil di pinggir bibir atas sebelah kirinya menatap kepada Alisa yang duduk di seberangnya.

Dengan hati- hati wanita berkulit putih itu menceriterakan peristiwa yang menimpa Meira.
Sepupu Meira, menangis begitu mengetahui kakak sepupu tercintanya telah diperkosa oleh majikannya sendiri. Sementara tante Erna lebih banyak mencecar Alisa dengan banyak pertanyaan, kadang terdengar ia mengumpat.

Kemudian Alisa pamit pulang. Saat ia hendak membuka pintu mobilnya, tiba- tiba tante Erna memanggilnya.
"Tunggu, aku ikut."
"Untuk apa?" tanya Alisa.
"Untuk membuat perhitungan dengan Tuan Mahesa!" Wanita itu berjalan menghampiri Alisa.
"Tapi...." Alisa bingung.
"Ibu?" Nisa berdiri di pintu rumah."Jangan bu!"
"Tenang saja sayang, semua akan baik- baik saja. Jaga Meira!" Tante Erna tanpa ragu langsung membuka pintu mobil sebelah kiri dan duduk di jok depan.
Alisa hanya bisa pasrah.
***

Sampai di kediaman konglomerat itu, tante Erna diminta menunggu di ruang tamu. Ia duduk di sofa putih yang empuk dan terlihat begitu elegan. Ruangan yang sejuk dan wangi. Ia berdecak kagum memperhatikan setiap inci rumah megah keluarga Mahesa.

Ada foto keluarga di dinding yang terletak berseberangan dengan tempat ia duduk. Di bawahnya ada beberapa foto dengan bingkai berukuran kecil berjejeran menghiasi dinding putih bermotif dedaunan berwarna coklat. Juga ada lukisan anggrek hitam Kalimantan tergantung di dinding sebelah kiri ruangan.
Guci- guci besar setinggi orang dewasa menghiasi sudut- sudut ruangan.
Di langit- langit rumah ada lampu hias seperti kristal yang bergelantungan.
Sebuah lemari besar terpajang di pojok kanan ruangan. Entah apa isi lemari itu. Ada lemari lain yang lebih pendek dengan ukiran- ukiran mengkilap di atasnya berjejeran pajangan semacam lampion berbentuk tabung, ada vas bunga, telepon antik, juga miniatur mobil antik abad 18an.
Sebuah jam besar  yang menjulang berdiri kokoh di dekat sofa yang ia duduki. Dipandangi jam antik tersebut.

" Jika jam dua belas malam pasti akan berdentang, membuat suasana tengah malam seperti horor, "pikir tante Erna.
Tuan Andi Mahesa dan istrinya muncul, bersama mba Ina yang membawa nampan berisi air sirup dingin berwarna orange, ia meletakkan minuman itu di meja yang terbuat dari kayu yang mengkilap kecoklatan. Setelah itu bi Ina pergi kembali ke dapur.

"Pak Andi Mahesa, dan istrinya yang anggun rupawan." Sapanya sok ramah."Aku Ernawati, tante dari Meira. Korban pemerkosaan putra kalian!" ia menyeringai.
Suami istri itu duduk berhadapan dengan Erna yang terlihat menyebalkan.
"Aku bisa laporkan kasus ini ke pihak berwajib,"  ia memandangi Andi Mahesa dan istrinya bergantian. Ada nada ancaman dalam kata- katanya.
"Tolong jangan laporkan Revan ke polisi. Aku tidak ingin putra ku di penjara," wanita berkulit coklat dan bertubuh langsing itu tampak memelas.

Erna tersenyum, sinis. Sedang ayah Revan dengan tatapan angkuh memperhatikan setiap gerak gerik wanita di hadapannya.
"Semua bisa diatur nyonya, tentu dengan kesepakatan bersama," dibalasnya tatapan angkuh Andi Mahesa.
"Apa mau mu?" Ayah Revan langsung tahu arah pembicaraan Erna.
"Ah, tuan. Anda sepertinya paham."
"Kau tenang saja, Revan akan menikahi keponakan mu. Jadi, tidak perlu repot- repot melaporkan kasus ini. Aku ingin masalah ini selesai secara kekeluargaan." Lelaki itu mengangkat kaki kanannya yang ia tumpukan ke atas paha kirinya. Ia terlihat santai.
"Waw, menikahi Meira?" Erna terkekeh.
"Kenapa?" Andi merasa aneh.
"Jika hanya menikahi saja, itu masih belum apa- apa."
"Kamu mau apa?" tanya Andi Mahesa.
"Aku butuh biaya untuk putri ku. Dia sakit leukemia, anda pasti tau betapa mahalnya pengobatan kanker itu? Kartu kesehatan tak berguna sama sekali untuknya. Ditambah dia masih kuliah semester lima."
"Baiklah, akan ku tanggung biayanya," tanpa basa basi pria itu menyanggupi.
"Oh ada lagi," Erna tersenyum,"Surat rumah orang tua Meira itu bermasalah. Bisa kah anda membantunya untuk mengurus surat- surat rumah itu, dan juga mengganti nama kepemilikan. Dari Meira beralih ke pada ku?" aroma kelicikan begitu jelas di wajahnya.
"Oke," Andi menyanggupi lagi.
"Belum selesai...aku ingin rumah itu direnovasi, juga aku ingin anda memberikan aku satu motor, juga modal usaha. Aku ingin sekali punya toko kue, agar aku tidak berjualan keliling lagi. Dan...satu lagi, tolong lunasi hutang ku yang hanya tujuh juta kepada seorang rentenir.Bagaimana tuan? Aku yakin anda sanggup!"
"Kau sedang memeras ku?" Pria itu mengangkat satu alisnya. Ia kesal.
"Pa, berikan saja apa yang dia mau. Yang penting Revan tidak dipenjara," istrinya memohon.
Ayah Revan mendengus, ia kesal dengan wanita di hadapannya. Mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Aku akan tutup mulut. Dan aku jamin, keponakan ku tidak akan melaporkan kasus pemerkosaan ini kepada polisi," ujarnya dengan nada meyakinkan.
"Hhh, baiklah. Aku sanggupi semua permintaan mu."
Erna terlihat bahagia, tersenyum penuh kemenangan.
"Tapi, jika kamu macam- macam dan berani membawa kasus ini ke polisi, aku pastikan kamu dan anak mu akan ku buat menderita!" ujarannya penuh ancaman.
"Ohhh, tenang tuan. Aku bisa diajak bekerja sama," ia meraih gelas berisi sirup yang ada di depannya, lalu melegaknya sampai habis.
"Kapan kalian akan melamar Meira?" ia taruh kembali gelas yang kosong ke atas meja.
"Besok," sahut Andi dengan ketus.
"Oke, kami akan menunggu kedatangan kalian di gubuk kami." ia berdiri dari duduknya. Tersenyum hormat lalu pergi.
"Perempuan gila!" umpat ayah Revan, kesal.
"Sudah pa, yang penting Revan tidak di penjara. Dan reputasi mu tetap terjaga," digenggamnya tangan suaminya.

Andi memandang sebentar kepada istrinya. Kemudian ia mengambil ponsel dari saku jas nya. Menerima telepon dari kaki tangannya terkait dokter yang menangani Meira.
Senyum lega terukir di wajahnya.
***

Meira melamun di tempat tidurnya. Kemudian ia teringat dengan Fandi. Bergegas turun dari ranjangnya dan mengambil ponsel dari tasnya.
Gasis malang itu menghubungi sang pujaan hati. Tak berapa lama, terdengar suara Fandi di seberang sana.

"Ya Meira...."
"Fan...aku..." Meira merasakan lelehan hangat di pipinya.
"Kenapa?" tanya Fandi, penasaran.
"Aku, di...."
Belum selesai ia bicara, seseorang dengan kasar merebut ponselnya dari belakang.
Gadis itu menoleh, dan ternyata tante Erna.
Tantenya menggelengkan kepala dengan mata melebar.
"Hallo, Mei," Fandi memanggil- manggil.
Meira ingin merebut kembali ponselnya. Tapi tantenya lebih cepat dan kuat menepis tangannya yang lemah.
"Hallo, Fandi," sapa tante Erna.
"Meira kenapa tante?" nada khawatir terdengar jelas disuara Fandi.
"Meira baik- baik saja," tante Erna melotot kepada Meira. Memberinya kode untuk diam.
"Dengar Fandi, dia akan menikah dengan Revan, putra dari bapak Andi Mahesa. Jadi, tolong jangan ganggu Meira!"
"Apa?" Fandi kaget."Bagaimana mungkin?"
"Sudah ya, jangan hubungi Meira lagi." ia mengakhiri pembicaraan, dimatikannya ponsel keponakannya itu.
Meira hanya menangis pilu.
Tante Erna membelai rambut sebahu keponakannya itu.
"Dengar sayang, besok Revan akan datang melamar mu. Tenang, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kamu akan bahagia, karena sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga kaya raya itu."
Gadis itu menangis semakin keras. Bahunya bergetar.
"Lupakan Fandi," ujar tantenya setengah berbisik," Dan jangan coba- coba membeberkan kasus ini, apalagi sampai ke kantor polisi. Kau akan tau akibatnya, karena calon mertua mu itu sangat berkuasa di kota ini. Apa kau paham?" disetiap ucapan wanita itu mengandung ancaman.
"Tante menjual ku?" Meira menatap tajam ke arah tantenya.
"Apa maksud mu?"
"Ya, tante pasti mengambil keuntungan dari penderitaan ku. Apa yang tante dapatkan dari iblis itu? Aku tau, tante itu licik!"
"Sudah sayang, jangan marah- marah. Kita akan merasakan keuntungan yang sama. Nikmati saja," tersenyum dengan jahat dan kemudian pergi dari kamar Meira. Ia membawa ponsel gadis itu dan mengunci pintu kamarnya dari luar.

Gadis malang itu menyapu seluruh barang yang ada di meja riasnya yang lusuh. Kemudian tubuhnya yang lemah luruh ke lantai. Menangis sejadi- jadinya.
***

Sementara di luar rumah, Fandi berteriak- teriak memanggil nama Meira.
"Fandi?" Meira mendengar suara Fandi. Ia berlari ke arah pintu, tapi ia tidak bisa membuka pintu. Digedor- gedornya pintu itu dengan kuat berharap tantenya membukanya.

Nisa tak berani berbuat apa- apa, gadis itu takut dengan ibunya. Jadi, ia tak berani menolong Meira.
Tante Erna mendatangi Fandi dan menyuruh lelaki itu pergi dan melupakan Meira.
"Kenapa dia harus menikah dengan Revan?" tanya Fandi.
"Karena lelaki itu jatuh cinta pada Meira."
"Gak mungkin," Fandi tak percaya.
"Tapi nyatanya, besok mereka akan melamar Meira. Apa kau paham?"
Fandi mengepalkan tangannya. Rasa cemburu membakar dada Fandi.
"Pulanglah, ini sudah malam!" usirnya, kemudian menutup pintu rumahnya.
Fandi melangkah dengan gontai. Baru saja ia ingin melamar Meira. Kini harapan itu sirna.

Meira melihat kepergian Fandi dari balik kaca jendela yang dihalangi teralis besi. Hatinya hancur.
Ia berjalan gontai menuju cermin di meja riasnya. Memandangi dirinya yang berantakan. Ada rasa jijik melihat dirinya sendiri. Merasa tak berharga. Ia mengepalkan tinju di tangan kanannya dan kemudian menghantam cermin dihadapannya.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER