Cerita bersambung
Cermin dihadapannya kini membentuk garis- garis tak beraturan, sedang di bagian tengahnya remuk. Tetesan demi tetesan berwarna merah berjatuhan di meja rias.
Ia tarik kepalan tangannya dan seketika cermin retak itu luruh ke meja rias dan lantai dengan suara yang membuat tante Erna dan Nisa terkejut.
Cermin itu, kini menjadi kepingan- kepingan yang siap melukai kulit yang jika menyentuh mereka dengan sembarangan.
Dirasakannya saja perih di punggung jari- jarinya yang kini dihiasi cairan merah segar. Perih itu tak berarti dibandingkan dengan hatinya yang telah remuk seiring dengan harga dirinya yang porak poranda.
Tante Erna masuk ke kamarnya. Kemudian berteriak memerintah putrinya mengambil kotak P3K. Secepat kilat putrinya yang bernama Nisa itu mengambil kotak yang diperintahkan ibunya dari sebuah lemari di dekat dapur.
Wanita itu mengumpat perbuatan keponakannya. Ia mendudukan gadis malang itu di pinggir tempat tidur. Lalu mengambil tisu di atas nakas. Pelan ia mengelap dan membuang serpihan kaca yang menempel di punggung jari Meira. Ia sedikit meringis.
Nisa masuk dan langsung menaruh kotak berisi obat- obatan itu di ranjang. Tanpa diperintah gadis itu bergegas keluar untuk mengambil sapu dan serok. Kemudian disapunya kepingan- kepingan kaca yang berserakan dengan sangat hati- hati.Sesekali menatap kepada kakak sepupunya dengan tatapan sedih.
Meira membiarkan tantenya mengolesi jari- jarinya dengan betadine dan kemudian ditutup dengan perban.
"Jangan menambah masalah," omel tante Erna. Ia merapikan kotak P3K.
"Biar saja, aku ingin mati," sahut Meira dengan pandangan kosong.
"Hhh, kamu ini sudah bagus akan dinikahi oleh Revan yang kaya raya itu masih saja ingin bunuh diri hanya karena...." ia menghentikan ucapannya.
Meira menoleh ke arah tantenya, menatapnya tajam."Apa? Tante seperti menganggap perkosaan yang dia lakukan hanya perkara sepele? Dimana perasaan tante sebagai perempuan?!" Suaranya penuh amarah.
Nisa tampak takut, ia kemudian keluar membawa pecahan- pecahan kaca di serok dan kemudian membuangnya kedalam tempat sampah. Ia merasakan matanya memanas.Sedih melihat kondisi sepupunya yang menjadi korban kebiadaban.
"Sudahlah, dengan kejadian itu sebentar lagi kita akan menjadi orang yang dihormati, berkecukupan. Karena kita akan menjadi bagian dari keluarga Mahesa," wanita itu tampak santai, ia berdiri dari sisi Meira.
"Istirahatlah, dan jangan membuat kegilaan lagi. Besok mereka datang untuk melamar mu."
Meira terisak. Kembali matanya dibanjiri air mata. Tante Erna hanya mendengus kemudian pergi dengan membawa kotak P3K nya. Ia kembali mengunci kamar Meira dari luar.
***
Revan termangu di balkon kamarnya. Memandangi langit malam yang bertabur bintang dan sepotong bulan sabit. Angin bertiup menghapus wajah rupawannya dengan lembut.
Alisa masuk ke kamarnya dan ikut berdiri di samping adiknya itu.
"Mba," Revan menyadari kehadiran kakaknya.
"Belum tidur?" Alisa menikmati bintang- bintang yang berkilauan laksana berlian menghiasi langit malam.
"Aku," Revan terdengar sedih. "Aku memang tolol!" ia meremas pagar balkon.
"Ya, memang," sahut Alisa."Sangat tolol!" wanita berwajah oval itu geram.
Revan menggigit bibirnya. Sesal menyelimuti pikirannya.
"Sebagai perempuan aku marah. Karena kamu sudah melecehkan kaum ku. Tapi aku juga marah pada diri ku karena aku tidak bisa berbuat apa- apa untuk membantu gadis itu. Aku tak bisa berkutik dihadapan papa. Aku tak bisa menghukum adik ku sendiri," amarah bercampur dengan kesedihan terdengar dari setiap ucapan Alisa.
Revan mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Gadis itu harus menanggung trauma, menanggung kesedihan dan derita yang entah sampai kapan akan berakhir. Apalagi dia nanti harus selalu melihat diri mu. Betapa berat beban yang harus dia hadapi," Alisa menyapu bulir bening yang mulai menetes dengan tangannya.
Revan semakin terpojok. Semakin merasa berdosa.
"Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Karena besok sore kita akan melamar gadis itu," Alisa menepuk bahu Revan.
"Penyebab dari semua ini, apa kau tau?" Alisa menatap adiknya yang tak berani membalas tatapannya,"alkohol, minuman haram itu."
Revan menunduk.
"Aku berharap setelah pernikahan mu. Kamu bisa berhenti mabuk-mabukan."
Alisa pergi meninggalkan Revan yang kembali termangu.
***
Seluruh tetangga tahu kalau Meira akan dilamar oleh Revan, putra konglomerat yang terkenal di kota ini.
Semua tak percaya, dan mulai bergosip aneh- aneh.
Tante Erna terlihat santai, ia yang menyebarkan berita itu. Dia bangga akan menjadi bagian keluarga terpandang.
Fandi yang mendengar berita tentang Meira yang akan dilamar oleh putra Andi Mahesa, hanya bisa pasrah. Ia tak menyangka Meira akan menikah dengan pria kaya raya itu. Pikiran- pikiran aneh mulai bermunculan dibenaknya.
Ia berpikir, Meira menggoda pria itu. Juga berpikir Meira sengaja membuat majikannya menyukainya agar ia bisa terbebas dari kesulitan ekonomi yang selama ini begitu akrab dengan hidup gadis itu.
Fandi melempar cincin yang dia beli untuk melamar sahabat kecilnya itu ke lantai. Cincin itu menggelinding kemudian masuk ke bawah kolong ranjang.
Dadanya sesak. Kedua matanya mulai memanas. Ia berusaha menahan air bening yang hendak berlompatan dari netranya. Sakit hati, kecewa, dan cemburu bercampur jadi satu mengaduk- aduk perasaannya.
***
Meira tak menyentuh sarapan nya yang ditaruh oleh tante Erna di atas meja rias.
Melamun saja sejak membuka matanya subuh tadi. Ia pun melewatkan subuhnya tanpa shalat. Ia merasa kotor.
Ia turun dari ranjangnya, melangkah menuju pintu kamar. Mencoba memegang handle pintu, berharap pintu itu tidak terkunci. Dan ternyata, pintu itu bisa terbuka. Sepertinya tante Erna lupa menguncinya.
Bergegas Meira mengganti bajunya. Merapikan rambut nya. Disambarnya tas coklatnya dari atas nakas. Sempat memandangi kain- kain jilbabnya yang tersusun rapi di lemari, tapi kemudian tak ada yang diambilnya. Ia keluar tanpa jilbabnya.
Entah kemana Nisa dan tantenya. Ia tak peduli, yang terpenting baginya bisa pergi dari rumah.
Beberapa tetangga tengah berbisik- bisik saat melihat Meira keluar dari rumah tanpa jilbab. Ia tak peduli dengan tatapan para tetangga yang sedang membicarakan dirinya.
***
Kini ia sudah berdiri di depan rumah Fandi. Tapi, tak seperti yamg diharapkannya. Ibunya Fandi justru mengusirnya.
Meira berusaha menjelaskan pada Fandi soal dirinya yang menjadi korban pemerkosaan. Tapi malang, lelaki itu tak percaya dengan penjelasan Meira.
"Gak mungkin. Masa iya, lelaki terpelajar seperti majikan mu itu memperkosa mu?" Fandi tampak sinis.
"Fan, aku serius. Aku korban dan untuk menutup mulut ku. Mereka akan menikahkan ku dengan Revan biar dia gak di penjara." Meira berusaha menjelaskan dengan air matanya yang mulai berderai.
"Sudah lah, pergi Meira. Lupakan semua hal tentang kita. Kamu sudah memilihnya."
"Aku gak memilihnya, mereka memaksa ku!"
"Aku gak mau melihat mu lagi. Dimana- mana perempuan memang matrealistis," Fandi menyeringai,"Lihat, kemana jilbab yang selalu kamu pakai?" Fandi menunjuk bagian rambut Meira. Ia menggelengkan kepala. Ada semburat kekecewaan di wajah lelaki berkulit coklat itu.
Meira tertegun.Bingung.
"Fan...."
"Pergi Meira!" Usir ibu Fandi dengan wajah garang.
Fandi masuk ke dalam rumahnya. Pintu pun ditutup dengan kasar oleh ibunya Fandi.
Dengan langkah gontai gadis itu berjalan meninggalkan rumah Fandi.
***
Tante Erna panik mengetahui Meira menghilang. Nisa pun terkena omelannya.
Lalu ia pergi dengan motornya menuju rumah Fandi.
Turun dari motor, ia langsung menggedor- gedor dengan kasar pintu rumah Fandi.
Ibunya Fandi yang muncul, dan langsung ribut dengan tante Erna. Saling mengumpat. Fandi akhirnya turun tangan untuk melerai mereka. Para tetangga menontoni keributan tersebut.
Dengan baik- baik Fandi menyuruh tante Erna pergi dan mengatakan bahwa Meira tidak bersamanya.
Sambil mengendarai motornya, ia mengomel.
"Kemana gadis sialan itu!"
Kemudian ia tahu harus kemana."Ah, dasar anak sialan. Awas kamu!" gerutunya penuh emosi.
***
Di kantor polisi.
Gadis berambut sebahu itu sedang duduk dihadapan seorang petugas polisi.
"Saya mau melapor, pak."
"Silahkan," Polisi berkumis tipis itu mempersilahkan Meira untuk berbicara. Ia mulai mengetik sesuatu pada komputer yang ada di mejanya.
"Melaporkan tentang kasus pemerkosaan," Meira menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan.
"Kasus pemerkosaan?"
"Ya, pak. Saya korbannya, tiga hari yang lalu saya diperkosa oleh...."
"Meira!" Suara seseorang menghentikan ucapan gadis itu.
==========
"Meira!" Suara wanita itu menghentikan ucapan Meira.
"Tante?" Meira menoleh ke belakang.
"Kok ke sini, sih?" Tante Erna dengan gemas meremas bahu Meira. Gadis itu meringis.
"Maaf ya,pak. Ini ponakan saya. Dia lagi kurang sehat, suka berhalusinasi...." wanita itu nyengir.
Pria berseragam coklat itu mengerutkan dahinya, bingung.
"Gak pak, tante saya bohong!" Meira membantah.
"Ehhh, Meira kok gitu," Ia menunduk, dan bibirnya tepat berada di dekat telinga keponakannya. "Jangan buat masalah. Kita tidak akan sanggup menghadapi tuan Mahesa. Apa kamu paham?" Bisiknya.
"Tapi...."
"Ayo pulang!" wanita berambut panjang terikat kebelakang itu menarik tangan kanan Meira.
"Aw...." Meira merasakan sakit.
"Oh ya,maaf." Tante Erna melepas tangan Meira.
"Jadi ini bagaimana sebenarnya?" pria berkumis itu menatap mereka berdua."Jangan main- main!" katanya tegas.
"Iya, pak. Saya minta maaf atas kelakuan keponakan saya. Jadi, tidak ada laporkan apa pun," ia memulas senyum .
"Ayo, pulang!" suaranya pelan, tapi ada nada mengintimidasi.
Meira pasrah, akhirnya ikut pulang dengan tante Erna.
"Kamu harus pikirkan Nisa. Andi Mahesa bersedia membiayai pengobatan dan kuliah adik mu itu. Bukan kah kamu sangat menyayanginya? Gaji mu gak akan pernah cukup untuk membiayai pengobatannya." Wanita itu menyerahkan helm kepada Meira yang murung."Pake helmnya!" ia duduk di motor dan mulai menyalakan mesin.
Meira mengenakan helm. Lalu duduk di belakang tantenya dengan perasaan yang tak menentu.
***
Sampai di rumah. Meira kembali melamun. Kemudian ia memandangi tumpukan kain jilbab yang terlipat rapi di lemari tanpa pintu itu. Tetesan bening bergulir dari sudut matanya.
"Kata Mu, jilbab akan melindungi wanita dari fitnah?" ia bergumam." Kau bilang, akan menghindarkan wanita dari nafsu binatang lelaki jalang? Mana? Buktinya, aku jadi korban nafsu binatang pria itu. Nyatanya, aku terlempar dalam kehinaan ini!!!" emosi nya membuncah. Dilemparinya jilbab- jilbab itu ke lantai.
"Aku benci kalian!" teriaknya pada kain- kain segiempat yang berserakan di lantai.
Nisa berlari masuk ke kamar Meira. Ia kaget melihat seluruh jilbab milik Meira berhamburan.
"Kenapa ka?" Nisa mendekati Meira yang tergugu di depan lemari.
"Buang semua jilbab itu. Aku gak mau memakainya lagi. Aku gak mau!"
Nadanya penuh amarah.
"Ka...."
"Lakukan apa yang ku minta!" hardiknya.
Nisa kemudian memunguti kain- kain dengan beraneka warna itu.
"Ka Meira pernah bilang, jilbab adalah kewajiban muslimah ketika dia sudah aqil baligh. Tak peduli siapa diri kita, pelacur sekali pun selama ia muslim, ia wajib berjilbab," gadis itu terisak dengan tumpukan jilbab dikedua tangannya.
"Diam Nisa!"
"Aku tau, ini berat buat kaka. Tapi apakah kita harus menyalahkan Tuhan???" Nisa menatap mata Meira.
Meira hanya menangis, pilu.
"Baiklah, akan ku buang semua ini," ujar Nisa dengan air mata yang berguguran membasahi pipinya.
"Ka," Nisa menoleh ke Meira." Maafkan aku. Aku gak bisa bantu kamu,"ujar Nisa diantara isakannya,"Maafkan ibu ku, yang sudah memanfaatkan situasi ini."
Meira hanya terus menangis.
Nisa pun keluar dari kamar Meira. Membawa semua jilbab Meira yang kemudian ia simpan di dalam lemarinya. Berharap nanti Meira akan memakainya kembali.
***
Andi Mahesa dan keluarganya datang ke rumah Meira sore itu, untuk melamar gadis malang itu. Telah disepakati, pernikahan akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Para tetangga di luar sana, heboh. Ada beberapa ibu- ibu yang sedang duduk di warung penjual gorengan yang berada tepat di seberang rumah Meira, mereka asik bergosip. Membuat opini berdasarkan apa yang mereka lihat. Lalu menduga- duga berdasarkan pemikiran mereka soal Meira yang tiba- tiba dilamar oleh putra konglomerat itu.
Meira tampak tersiksa, ia hanya menunduk dan diam saja saat berhadapan dengan Revan dan keluarga nya. Ia tampak jijik melihat Revan.
Pun lelaki dihadapannya itu hanya membisu, diliputi rasa bersalah. Sementara orang yang paling berbahagia dialah tante Erna.
***
Pernikahan yang menyedihkan bagi Meira akhirnya terjadi juga. Tak ada seutas senyum pun diwajahnya yang cantik dengan polesan riasan yang menawan. Tatapannya kosong. Revan juga, tak banyak tersenyum dan bicara. Pasrah pada takdir mereka.
Dan gadis kecil bernama Clarissa, dia terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ayahnya. Dia bahagia karena Meira, wanita yang selama dua tahun mengasuhnya kini menjadi ibunya.
Usai pesta resepsi yang mewah itu, Meira dan Revan meninggalkan aula hotel menuju sebuah kamar yang disediakan untuk mereka.
Rasa takut menyelimuti perasaan Meira saat harus berjalan bersama Revan. Ia begitu menjaga jarak.
Revan membukakan pintu kamar, kemudian Meira masuk. Ia tak selera melihat kamar itu, walau dihiasi begitu banyak bunga mawar merah dan putih di sudut- sudut ruangan, serta tempat tidur besar yang ditaburi kelopak mawar merah ditengahnya. Ia hanya diam, melangkah lesu dan duduk di pinggir ranjang.
Revan berdiri di dekat pintu. Menatap sesaat ke arah Meira.
"Tenang saja, aku tidak tidur di sini," ucap Revan memecah keheningan. Tak ada sahutan dari Meira.
"Tidurlah," Revan ke luar dari kamar itu meninggalkan Meira sendirian. Ia menuju kamar sebelah, dan tidur di kamar tersebut. Mudah saja baginya, karena itu hotel milik ayahnya.
Meira mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Ia merasakan dadanya begitu sesak. Bulir- bulir bening kembali berdesakan di kelopak matanya. Ia biarkan bulir- bulir itu berlompatan melesat bebas di pipinya. Ia rebahkan tubuhnya di ranjang. Tak pernah ia menyangka pernikahannya seperti ini. Sungguh menyakitkan.
***
Sekarang, setelah sebulan berlalu. Meira berada di istana neraka ini, hidup satu atap dengan lelaki yang telah merenggut kehormatannya.
Meira mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya. Seseorang mengetuk pintu.
"Meira, apa aku boleh masuk?" suara Alisa terdengar di balik pintu bercat putih itu.
"Ya, masuklah," jawabnya dengan suara parau.
Alisa membuka pintu, wanita itu mengembangkan senyuman kepada Meira. Ia msuk dan duduk di tepi ranjang berhadapan dengan Meira yang menyandarkan punggingnya di kepala ranjang.
"Hai, gimana kabar mu?" suaranya begitu ramah.
"Masih buruk, dan akan selalu buruk," jawab Meira, datar.
"Oke," Alisa menghela nafasnya," aku hanya ingin bilang pada mu, kalau kamu bersedia ikutlah dengan ku besok. Kita ke psikiater, aku rasa kamu butuh itu. Untuk pelan- pelan memghilangkan trauma mu," ujarnya dengan semangat.
Meira tersenyum sinis.
"Menghilangkan trauma?" menatap Alisa dengan sinis," Bagaimana aku bisa berhenti dari trauma ini jika setiap hari aku berada dekat dengan pemerkosa itu!" ada kemarahan dalam ucapannya.
Alisa tertegun beberapa saat. Ia bisa memahami betapa berat derita gadis dihadapannya.
"A-aku tau, ini berat untuk mu. Ta-tapi gak ada salahnya kamu pergi ke psikiater untuk sedikit membuat diri mu kembali memiliki gairah hidup, kembali memiliki rasa percaya diri."
Meira membuang pandangannya ke arah pintu kaca yang terbuka. Angin menyibak- nyibak tirai putih yang menutupi pintu kaca itu.
"Dulu aku juga pergi ke psikiater saat aku depresi karena perceraian ku. Dan akhirnya aku bisa move on dari masalah ku dan mantan suami ku."
"Masalah kita berbeda," Meira menatap nanar ke Alisa."Kamu gak kehilangan kehormatan mu. Tapi aku? Aku kehilangan mahkota ku, harga diri ku, mimpi- mimpi ku. Semuanya lenyap...." kembali mata gadis itu basah.
"Aku tau, masalah mu lebih berat. Tapi, mau sampai kapan seperti ini, tenggelam dalam kesedihan."
Meira tak menyahut. Air matanya menganak sungai. Alisa mengusap air mata Meira dengan ibu jarinya.
"Oke, kalau saat ini kamu belum mau. Aku berharap nanti jika kamu mau, kapan pun. Aku siap mengantar mu."
Meira diam. Alisa melirik jam berbentuk kepala beruang di atas meja kecil di samping ranjang. Sudah jam 11. 15 .
"Clarissa harusnya sudah dijemput kan?"
Meira baru sadar, kalau Clarissa harus dijemput tepat jam 11.00.
Ia terlalu tenggelam dalam kesedihan, hingga melupakan Clarissa.
Tapi tiba-tiba gadis kecil itu muncul dari balik pintu.
"Bunda!" Clarissa tersenyum sambil melangkah masuk ke kamarnya.
"Lho, sudah pulang? Sama siapa?" Meira bingung.
"Sama ayah. Tadi ayah yang jemput," Clarissa naik ke atas ranjang. Ia duduk di dekat Meira.
"Ayah?" Alisa seakan tak percaya dengan ucapan Clarissa. Begitu juga dengan Meira.
"Iya," angguk gadis kecil bermata coklat itu dengan mimik wajah serius.
"Waw," Alisa merasa surprise.
"Sekarang ayah sudah tau sekolah Clarissa dimana," ucap Clarissa dengan matanya yang berbinar.
Ia menatap Meira.
"Bunda sedih lagi?"
"Gak sayang," Meira menggeleng.
"Oh iya, tadi ayah sudah beliin obat yang disuruh pak dokter waktu itu. Obatnya bunda, biar bunda cepat sembuh."
Meira tersenyum getir.
"Oke, aunti pergi dulu ya. Biar Clarissa bisa ngobrol sama bunda," Alisa mengusap kepala keponakannya itu dengan lembut.
Kemudian ia pergi.
Di luar kamar, ia bertemu dengan Revan yang sedang membawa nampan berisi makanan.
Alisa benar- benar tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Hei, sebuah kemajuan," tegur Alisa. Revan berhenti dihadapan kakaknya dan tersenyum, malu.
"Bagus Revan, kamu harus berubah. Mulailah menjadi ayah yang baik untuk Clarissa dan juga... suami yang baik untuk Meira."
"Ya," sahutnya singkat.
"Dan tinggalkan alkohol juga dunia malam mu!" Alisa menepuk bahu adiknya itu dan melangkah pergi.
Revan berjalan menuju kamar putrinya. Ia mengambil nafas panjang. Berharap bisa bersikap baik pada Meira.
Ia membuka pintu dengan tangan kirinya.
"Ayah!" Clarissa girang sekali melihat ayahnya datang ke kamarnya.
Sementara Meira menatap penuh benci kepadanya.
"Ayah bawain makan siang untuk kamu dan ..." diliriknya sekilas wanita yang duduk di sebelah Clarissa.
"Bunda," lanjutnya pelan. Meira merasa kesal mendengar ucapan Revan.
"Asyikkk!" Clarissa bersorak.
"Clarissa ganti baju dulu!" Revan menaruh nampan berisi makanan itu di atas nakas.
"Oke," Clarissa turun dari ranjang.
"Perlu ayah bantu?" tanya Revan.
"Clarissa bisa sendiri ayah," gadis cerdas itu mengambil baju di laci lemari. Kemudian pergi ke kamar mandi.
Revan mengambil satu mangkuk sup ayam yang masih mengepulkan asap tipis. Ia mendekati Meira.
Seketika gadis itu melotot ke arahnya. Revan mengabaikannya, ia duduk di sisi ranjang. Meira bergeser sedikit ke tengah ranjang.
"Mei...aku ingin memperbaiki apa yang mungkin masih bisa untuk diperbaiki," Revan menatapnya, lembut.
Tapi Meira takut dan juga jijik.
"Makanlah, aku suapin ya," Revan menyendok sup hangat itu, ia menyodorkannya ke arah mulut Meira. Tapi dengan kasar Meira menepis sendok ditangan Revan dan juga mangkuknya.
Mangkuk itu terlempar dan terhamburlah sup didalamnya dan berserakan di lantai. Tepat saat itu Clarissa keluar dari kamar mandi, gadis itu melihat peristiwa tersebut.
Mata kecil gadis itu membelalak.
"Bunda?"
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel