Gadis kecil berambut lurus dan panjang itu terkejut menyaksikan wanita yang ia sebut bunda itu menepis mangkuk berisi sup yang dipegang ayahnya. Ia tampak shock.
Meira sadar, ia telah mempertontonkan keburukan pada Clarissa. Kini ia bingung.
Revan beranjak dari sisi ranjang. Menggendong putrinya.
"Gak pa- pa, Clarissa... Bunda gak sengaja," ditatapnya mata bulat Clarissa.
"Tapi, sepertinya tadi bunda marah?" ia tampak sedih.
"Gak, bunda lagi gak marah," sahut Revan.
"Maafin bunda ya, Sa," ucap Meira. Rasa bersalah menelusup direlung hatinya.
Gadis itu mengangguk, menatap Meira sedikit takut. Revan menurunkan gadis itu di ranjang.
"Sini!" Meira merentangkan tangannya. Pelan gadis itu mendekatinya. Kemudian tenggelam dalam dekapan Meira.
Revan ke luar dari kamar. Menuju dapur, meminta bi Ina membereskan pecahan mangkuk di kamar Clarissa.
"Kata ayah. Ayah mau perhatiin Clarissa juga bunda," ujar gadis berbadan langsing itu," Jadi, bunda jangan marahin ayah lagi, ya?" ia mengurai dekapan Meira, ditatapnya mata yang tampak bengkak itu.
Meira terhenyak dengan ucapan Clarissa. Ya, setelah resmi menikah dengan Revan, Meira sering memperlihatkan sikap kasarnya kepada Revan di hadapan Clarissa. Padahal ia tahu, itu tidak baik bagi anak- anak. Tak patut mempertontonkan kebencian dan kemarahan di depan anak.
"Maafin bunda, ya."
Gadis kecil itu mengangguk.
Bi Ina masuk, dan mulai membersihkan lantai dan memunguti pecahan mangkuk dengan hati- hati.
Revan muncul lagi, dengan menenteng plastik kecil berwarna putih, berisi beberapa obat dan vitamin yang ia beli di apotek sesuai resep dokter. Ditaruhnya di atas nakas.
Bi Ina sudah selesai membersihkan lantai, ia membawa pecahan mangkuk di dalam plastik hitam. Sambil menenteng kain pel dan sapu, ia pamit untuk pergi.
"Makasih ya, bi," ucap Revan.
"Iya mas Revan," wanita berambut kriting itu pun keluar dari kamar.
Suasana untuk beberapa detik terasa kaku. Meira masih diam di tempatnya.
"Ayah, sini!" suara Clarissa mencairkan kebekuan. Gadis kecil itu menepuk- nepuk pinggir ranjang, memberi kode agar Revan duduk di sebelahnya.
"Clarissa mau makan, disuapin sama ayah," ujarnya riang.
Revan tersenyum."Baiklah," diambilnya nampan berisi nasi putih dengan ayam goreng dan semangkuk sup.
Meira membuang muka saat Revan duduk di dekat Clarissa, tepat berhadapan.
Clarissa dengan semangat membaca doa makan. Revan tersenyum memperhatikan putrinya melafalkan doa dengan wajah lucu dan mata yang berbinar.
Revan menaruh nampan itu di atas kedua pahanya. Kemudian mulai menyuapi Clarissa dengan hati- hati. Sedikit kaku, karena ini pertama bagi Revan menyuapi putrinya. Selama ini ia terlalu tenggelam dengan dunianya sendiri. Ketidak sukaannya kepada Tiara, ibu kandung Clarissa membuat ia mengabaikan putri cantiknya itu.
Tapi, kini ia bertekad ingin memperbaiki dirinya, memperbaiki hubungannya dengan Clarissa. Ingin menjadi ayah yang seutuhnya. Juga tentu sangat ingin memperbaiki hubungannya dengan Meira.
Meira mematung. Entah kemana pikirannya. Sesekali Revan meliriknya. Kasihan, melihat wanita itu. Juga merasa bersalah, karena perbuatannya telah menyisakan trauma yang teramat sangat.
"Bunda," dengan mulut penuh makanan, ia menggoyang lengan Meira.
"Hmmm," Meira tersentak dari lamunannya, menoleh kepada Clarissa.
"Bunda makan ya, biar bunda gak sakit terus," gadis itu menelan makanannya.
Meira tak menjawab.
"Makan makanan Clarissa aja,ya."
Masih diam.
"Ayah," Clarissa menatap ayahnya,"Suapin bunda, yah. Pake makanan Clarissa aja," ujarnya.
Meira mendelik kearah Revan. Tapi ia tidak mau membuat Clarissa sedih.
Revan asik menyendoki makanan dihadapannya. Clarissa mengarahkan tangan Revan kedekat mulut Meira.
Ragu, Meira membuka mulutnya. Perlahan dan sedikit kikuk, Revan memasukkan makanan itu ke mulut Meira. Dan akhirnya Meira menerima suapan dari Revan
Clarissa terlihat senang. Bola matanya berbinar sangat cerah.
"Yeiiiyyy, bunda makan!" Soraknya. Revan tersenyum melihat polah Clarissa. Sementara Meira tak berekspresi sambil mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya.
***
Revan mendorong pintu yang di depannya menempel tulisan berwarna merah "Ruang Manager".
Ia duduk di kursi empuk berwarna hitam. Kemudian menyalakan laptop dihadapannya.
Seseorang mengetuk pintu.
" Masuk!" perintah Revan.
Pintu terbuka sedikit, munculah Indra sahabat sekaligus asistennya dengan senyum sumringah.
Lelaki berkulit sawo mateng itu duduk di hadapan Revan.
"Dari mana, tumben gak makan siang bareng aku?"
"Aku pulang, jemput Clarissa dan menemaninya sebentar,"matanya tetap asik ke layar laptop.
" Ciyeee, mulai nyadar jadi ayah nih," ledek Indra.
Revan melirik Indra sebentar, senyumnya mengembang.
"Dan juga suami yang baik," Indra meledeknya lagi.
Revan tak menanggapi.
"Hhh, kamu mau tobat?" Indra bersandar di punggung kursi."Apa karena istri baru mu itu?" Indra menyipitkan matanya.
Revan menatap Indra."Entahlah, mungkin juga," kembali fokus ke laptopnya. Mengetik beberapa kata.
"Mulai move on nih, dari Nadia," Indra menggodanya.
Revan berhenti mengetik, mendengus. Nadia...gadis yang membuat dia gila karena terlalu cinta. Gadis yang telah menyeretnya ke dunia malam. Berharap alkohol bisa membuat ia lupa soal gadis itu.
"Sory bro, aku keceplosan nyebut namanya," Indra baru menyadari kalau ucapannya tadi membuat sahabatnya menjadi terkenang masa lalu.
"Gak, aku gak pa-pa," sanggah Revan. Padahal hatinya nyeri. Sudah lama tak ingin nama itu tersebut.
"Ya sudah, aku ke ruangan ku lagi. Sekali lagi maaf ," Indra merasa bersalah. Revan tersenyum, getir. Indra pun beranjak pergi dari ruangan Revan.
Kenangan bersama gadis bernama Nadia itu kembali bermunculan dibenaknya. Senyum dan tawa gadis itu seolah-olah begitu nyata diingatannya. Revan tertegun di depan laptopnya.
"Apa kabar mu, Nad? Dimana kamu sekarang?" Revan bergumam. Ada kerinduan yang begitu mendalam dikedua mata coklatnya. Juga kepedihan terlukis di sana.
***
Clarissa berkutat di depan cermin dengan gamis bergambar Frozen dan jilbab berwarna biru.
"Cantik," Meira tersenyum melihat Clarissa.
Gadis itu tersipu dan binar matanya begitu cerah.
"Bunda," Clarissa menghampiri Meira yang duduk di sofa.
"Ya."
"Kenapa bunda sekarang gak pake jilbab lagi?" mata polos itu menatapnya.
Deg.
Meira terhenyak.
"Kan kata bunda, perempuan muslim kalo sudah besar harus berjilbab."
Meira bingung. Ia membalas tatapan Clarissa dan mengusap kepala gadis itu dengan pelan.
"Hmmm," bingung mencari jawaban.
"Oh, jilbab bunda ketinggalan di rumah bunda ya. Kan habis menikah, bunda gak pulang. Jadi jilbabnya masih di sana, ya kan?"
Meira tersenyum.
"Kalo gitu, nanti minta ayah ambilkan jilbabnya bunda ya, di rumah bunda yang lama," ujar Clarissa dengan senyumnya yang mengembang cantik dibibirnya.
Hanya diam, tak tahu harus berkata apa.
"Nah, kalo sekarang bunda anter Clarissa ngaji pake jilbabnya aunti Alisa aja."
"Ng- nggak usah sayang."
"Gak pa-pa, kan aunti punya banyak. Bentar Clarissa bilang sama aunti dulu."
Gadis itu dengan lincah melangkah pergi meninggalkan Meira yang kebingungan.
Tak lama, Clarissa sudah kembali dengan sehelai jilbab segiempat berwarna pink lengkap dengan dalaman jilbabnya yang berwarna hitam.
"Ini, kata aunti ambil aja. Aunti kasih," disodorkan jilbab itu ke Meira.
Dengan ragu ia mengambilnya. Clarissa menunggu Meira memakai jilbab itu.
"Ayo bunda, dipake!"
Meira memaksakan senyuman diwajahnya.
***
Akhirnya, mahkota itu tertutupi kembali dengan jilbab pink milik Alisa. Terlihat anggun dengan rok hitam dan baju lengan panjang yang senada dengan jilbabnya. Ia menggandeng tangan kecil Clarissa.
Alisa mengintip dari balik pintu kamarnya. Senyum terpulas dibibirnya yang merah.
Di ruang tengah mereka bertemu dengan ibunya Revan yang tampaknya baru saja pulang dari jalan.
"Hei, cucu oma yang cantik. Mau kemana?" wanita itu mengelus pipi Clarissa.
"Mau ngaji oma. Clarissa baru daftar kemaren." ujarnya penuh semangat.
"Di masjid depan?" tanya nyonya Andi.
"Iya," jawab Clarissa.
"Oke, yang pinter ya sayang," Dikecupnya pipi mungil itu.
Clarissa menarik tangan kanan omanya, lalu mencium punggung tangan wanita itu.
"Hati- hati ya, sayang, " ujar sang oma.
"Hai, Meira," wanita bertubuh semampai itu menatap menantunya.
Meira hanya menyunggingkan senyuman terpaksa.
"Assalamualaikum oma."
"Walaikumsalam."
Meira dan Clarissa berjalan ke luar rumah. Gadis kecil itu terus saja berceloteh. Ocehannya seperti orang dewasa. Membuat Meira gemas.
***
Revan berjalan menuju lift, Indra mensejajari langkahnya. Beberapa office boy dan girl yang lewat memberi senyuman dan sedikit menundukan kepala sebagai rasa hormat pada Revan. Pria itu membalas dengan senyuman.
"Langsung ke bar?" tanya Indra.
"Gak, aku pulang aja," sahut Revan.
"Ehem, kamu baik- baik aja kan?" Indra menempelkan punggung telapak tangannya ke jidat Revan.
"Ck, apaan sih," Revan menepis tangan Indra.
Mereka sudah di depan lift, Revan menekan tombol di samping pintu lift. Lalu pintu lift terbuka. Mereka masuk dan kemudian ditekannya angka satu dengan arah panah ke bawah.
"Tobat beneran kamu bro?"
Revan mendelik.
"Ciyeee, dah buka hati untuk bini baru. Jadi, bakal gak ikutan minum- minum dan party lagi nih?" Indra menatapanya dengan mata menggoda Revan.
"Demi Clarissa," sahut Revan.
"Dan...?" Indra mengangkat dua alisnya dan senyum-senyum.
"Rese ya," Revan menjepit leher Indra dengan melingkarkan lengannya. Indra teriak- teriak. Kepala lelaki berambut cepak itu sekarang berada dibawah ketiak Revan.
"Ampun, Van!" Indra meronta.
Pintu lift terbuka, beberapa orang yang ada di hadapan mereka terperangah.
Revan melepaskan tangannya yang menjepit leher Indra. Sahabatnya itu menarik nafas lega. Revan membenarkan posisinya, juga jasnya kemudian keluar dari lift dengan wajah cuek disusul Indra dibelakangnya yang masih merasakan pegal dilehernya.
Orang- orang yang tadi melihat adegan kekanak- kanakan itu tersenyum, merasa lucu.
Mereka ke luar dari hotel menuju parkiran mobil.
"Gak seru deh, kalo minum- minum gak ada kamu," kata Indra.
"Tobat, tobat sudah. Makin tua," kata Revan.
"Berat eh, apalagi harus ninggalin cewek- cewek yang menggoda iman," Indra nyengir.
"Huuu!" Revan menekan tombol untuk membuka kunci mobilnya."Aku duluan, ya." Revan masuk ke mobil hitamnya.
***
Meira memilih menunggu Clarissa di taman bermain yang tepat berada di sebelah bangunan masjid. Clarissa sedang belajar huruf hijaiyah bersama anak- anak seusianya, ada juga yang sudah berusia diatas Clarissa.
Meira duduk dibangku taman yang terbuat dari besi dan bercat hitam. Ia menyalakan ponselnya dan menekan nomer telepon Nisa.
Setelah menunggu beberapa saat terdengarkah suara Nisa yang kalem mengucapkan salam. Meira menjawab salamnya.Kemudian menanyakan kabarnya dan tante Erna.
***
Revan sampai di rumah, langsung naik ke atas menuju kamar Clarissa. Tapi belum sempat mengetuk pintu kamar putrinya, Alisa yang ke luar dari kamar nya menegur Revan.
"Mereka gak ada."
"Kemana?" Revan menoleh ke kakaknya.
"Ke masjid, Clarissa hari ini mulai ikut belajar ngaji."
"Oh," Revan membulatkan mulutnya.
"Tumben pulang sore?" Ada nada menggoda dari pertanyaan Alisa.
"Pulang sore salah, pulang malam salah," gerutu Revan.
"Ciyeee, yang mulai lembaran baru," ledek Alisa.
"Apaan sih?" Revan salah tingkah.
"Mandi gih, terus susulin anak sama istri di masjid!" Alisa menatap adiknya dengan tatapan menggoda.
"Gak lah, mau istirahat aja," Revan dengan wajah bersemu pergi dari hadapan kakaknya yang cekikikan.
"Semoga kanker itu bisa disembuhkan. Mungkin saja ada keajaiban," ujar Meira yang masih mengobrol dengan Nisa melalui telepon.
"Aamiin ka," sahut Nisa.
"Nanti kaka ke sana deh, pas hari minggu. Kangen rumah," ujar Meira.
"Iya ka, aku juga kangen sama ka Meira. Rumah kita lagi di renovasi," kata Nisa.
"Hmmm, ya aku tau." Meira mendesah. Betapa licik tante Erna memanfaatkan dirinya untuk bisa merenovasi rumah ayahnya.
Seseorang melangkah mendekati Meira.
"Ya sudah, kamu banyak istirahat. Jangan kecapean. Nanti kaka telpon lagi kalau mau ke rumah."
"Iya ka."
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Meira mematikan ponselnya. Kedua matanya membesar saat melihat sosok yang tengah berdiri dihadapannya.
==========
Meira membulatkan matanya. Wajahnya kembali datar, membuang pandangannya ke arah rerumputan yang terhampar rapi dihadapannya.
Pria bertubuh tegap dan tinggi itu duduk di bangku yang sama dengannya. Segera Meira menggeser posisi duduknya hingga ke pinggir bangku.
Rasa risih dan takut masih tampak jelas terbesit diwajahnya yang putih tanpa riasan.
Saling diam.
Hanya terdengar suara anak- anak dari dalam masjid yang sedang membaca satu surat pendek dalam Al Qur'an yang kemudian berlanjut dengan membaca doa- doa.
Juga suara desau angin yang berlalu sambil menyapukan kelembutannya kewajah dua insan yang saling membisu.
Lelaki berkulit kuning langsat itu mendesah. Kemudian menatap ke arah Meira yang tampak tak nyaman dengan kehadirannya.
"Meira," panggilnya pelan. Wanita itu hanya diam, digenggam erat ponsel di tangan kanannya.
"Selama ini kita memang jarang berbicara. Walau sudah dua tahun mengasuh Clarissa, aku hanya sesekali bicara dengan mu. Hanya soal gaji, keadaan Clarissa. Selebihnya, aku acuh. Aku tidak peduli dengan putri ku. Sibuk dengan pekerjaan yang papa berikan, juga sibuk dengan teman- teman ku. Dan karna kebodohan ku, mendadak kita menjadi suami istri," kembali ia mendesah.
Meira masih diam. Asik memperhatikan seekor burung kecil yang melompat- lompat dengan kaki kecilnya diatas rerumputan. Sesekali burung itu mematuki rumput.
"Aku...." Kembali pria itu bersuara."Mei, aku ingin minta maaf atas perbuatan ku," ia menggigit bibirnya.
Sementara Meira merasakan dadanya mulai memanas. Semakin erat ia mencengkeram ponselnya.
Burung kecil yang asik melompat- lompat di rerumputan itu, buru-buru mengepakan sayap kecilnya begitu menyadari dari arah belakangnya ada seorang bocah lelaki tengah mengayuh sepeda dengan lincahnya. Burung itu menghilang dari pandangan Meira.
"Maafkan aku," ia mengulangi ucapannya," aku tau, maaf ku tak akan pernah bisa mengembalikan keadaan mu seperti dulu," ada nada penyesalan dalam ucapannya.
Meira menghela nafasnya dan kemudian menghempaskannya sedikit kasar.
Bocah lelaki yang sedang bersepeda itu terus mengayuh sepedanya dengan semangat, mengelilingi hamparan rumput yang luas. Ia begitu merasa bebas, wajahnya yang polos tampak memancarkan kegembiraan.
"Aku ingin memperbaiki diri ku, memperbaiki hubungan ku dengan Clarissa dan juga dengan...," ia merasa tenggorokannya sedikit tercekat. Ia menelan ludahnya," juga dengan mu, Meira."
Meira tersenyum sinis. Kemudian mendelik ke arah lelaki di dekatnya itu.
"Aku tau, Mei. Kamu tidak akan pernah mau memaafkan ku," ada nada kepasrahan," Tapi aku tak akan berhenti untuk membuat kamu merasa nyaman disisiku. Aku bersumpah, aku akan berusaha membuat mu kembali merasa percaya diri dan mau memulai lembaran baru bersama ku."
"Revan...," Meira menatap nanar ke arahnya,"dan selamanya aku tetap membenci mu. Jika aku bersikap manis pada mu, itu hanya demi Clarissa. Hanya jika dihadapan Clarissa. Jadi, jangan pernah bermimpi bahwa aku akan menerima mu sebagai suami ku. Bagi ku, kamu tetaplah lelaki jahat!" matanya berkilatan bagaikan pedang tajam yang terhunus, siap menebas apa pun yang mengganggunya. Revan bisa merasa kan rasa sakit yang Meira tanggung. Rasa sakit yang telah ia ciptakan.
Meira merasakan matanya mengabur karena bulir- bulir bening mulai berdesakan ingin menghambur keluar. Berusaha ia menahannya, tapi akhirnya bulir- bulir bening itu berlompatan dan meluncur bebas menggenangi pipinya.
Revan merasakan nafasnya sesak. Menatap Meira penuh iba.
Isakan Meira membuat hatinya tersayat, rasa berdosa membayanginya.
Terlihat anak- anak keluar dari masjid. Meira buru- buru mengusap air matanya dengan telapak tangannya. Kemudian beranjak pergi tanpa memperdulikan Revan yang tenggelam dalam rasa bersalah.
Meira masuk ke halaman masjid. Beberapa pasang mata ibu- ibu komplek yang tengah menjemput anak- anak mereka memperhatikan Meira. Ada yang berbisik- bisik sambil menatap Meira, entah apa yang dibicarakan.
Meira sadar, dirinya sedang diperhatikan. Tapi, ia pura- pura tak acuh.
Clarissa keluar dari masjid dan senyumnya mengembang saat melihat Meira sudah ada di depan masjid.
"Bunda," panggilnya dengan suara riang sambil berjalan dengan lincah menghampiri Meira.
"Hai," Meira tersenyum dan mengusap kepala Clarissa dengan lembut. Clarissa memakai sandal jepit bergambar kartun Frozen.
"Apa Clarissa senang?" Meira berjongkok agar sejajar dengan Clarissa.
"Iya, senang," angguknya semangat.
"Alhamdulillah," Meira kembali melemparkan senyumnya untuk Clarissa.
"Lihat di bangku taman, ada yang sedang menunggu mu!" Meira menoleh ke arah taman dengan isyarat gerakan matanya menunjukan kepada Clarissa ke sosok yang tengah duduk sendirian di bangku taman.
Clarissa dapat melihatnya dan dia sangat gembira. Kemudian gadis itu setengah berlari menghampiri Revan.
Meira melangkah untuk menyusul Clarissa, ia sempatkan memberikan senyuman kepada para ibu muda yang sedari tadi memperhatikannya. Wanita- wanita itu pun membalas senyuman Meira dengan sedikit rasa sungkan.
"Ayah," Clarissa mendekati ayahnya.
"Hai, cantik," Revan tersenyum. "Gimana, asik gak ngajinya?"
Clarissa mengangguk penuh semangat.
"Yuk pulang, Yah!" ajaknya.
"Oke."
"Eh, tunggu!" Clarissa menahan Revan yang hendak berdiri dari duduknya. Revan menurut saja.
Meira sudah berdiri beberapa meter dari Revan dan Clarissa.
"Ada apa?" Revan memandang putrinya.
"Sini!" Clarissa menyuruh Revan sedikit menunduk dan mendekstkan telinga nya ke bibirnya.
Gadis itu membisikan sesuatu. Revan sekilas menatap Meira. Wanita itu membuang pandangannya ke arah lain saat Revan meliriknya.
"Oke?" Clarissa sudah seleasi membisiki ayahnya.
" Oke, " Revan mengacungkan jempolnya tanda sepakat dengan putrinya.
Kemudian gadis kecil itu menarik tangan ayahnya. Revan mengiringi langkah putrinya.
Mereka menghampiri Meira, lalu Clarissa menggandeng tangan Meira. Kini mereka bertiga berjalan beriringan. Clarissa berada diantara Revan dan Meira yang saling diam. Hanya Clarissa yang bersuara, gadis itu terus mengoceh tentang kelas mengajinya tadi.
Sekilas mereka laksana keluarga yang bahagia, melangkah bersama sembari menikmati sang surya yang semakin berwarna jingga dan siap digantikan oleh malam.
***
Revan berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada orang tuanya dan juga Alisa.
"Hai, ma!" Revan mengecup kening mamanya.
"Hai sayang," Wanita itu tersenyum.
"Hai, pa!" Revan duduk di dekat Andi Mahesa dan berseberangan dengan mama juga kakaknya.
"Luar biasa, malam ini kamu di rumah," papanya meliriknya sesaat.
Revan mendengus.
"Pa, jangan memulai perdebatan!" tegur istrinya.
"Aku hanya merasa surprise saja," sergah pria itu," Biasanya dia pergi bersama teman- temannya."
Bi Jum meletakkan semangkuk sayur lodeh di tengah meja berdampingan dengan sepiring ayam goreng, tempura udang, sambal dan semangkuk besar berisi nasi hangat.
"Terimakasih ya, bi," ucap nyonya Mahesa.
"Iya, bu," bi Jum mengangguk dan kembali ke dapur.
Revan menegak air putih hingga setengah gelas.
"Revan ingin berubah, pa," Alisa menyela.
"Itu bagus," Andi Mahesa menyunggingkan bibirnya.
Revan diam saja.
"Tapi, ngomong- ngomong mana Clarissa dan istri mu?"
"Mereka di kamar," sahut Revan.
"Kenapa tidak kau ajak mereka kemari? Ayolah, biar malam ini kita seperti keluarga harmonis,"ujarnya sambil membalik piring yang tertelungkup dihadapannya.
"Meira masih tidak mau makan bersama," sahut Revan.
"Ah, gadis itu keras kepala. Harusnya dia bersyukur bisa menjadi istri mu. Kalau saja bukan karna kebodohan mu, aku sebenarnya tidak sudi gadis miskin itu menjadi menantu ku."
Revan menoleh kepada papanya, matanya menyiratkan ketidak sukaan atas ucapan papanya barusan.
"Pa," istrinya menegur dengan mata sedikit dibesarkan. Ia menciduk nasi dan menaruhnya di atas piring suaminya.
"Apa?" Andi merasa tak ada masalah dengan ucapannya tadi.
"Meira masih trauma, biarkan saja dulu," kata Alisa.
"Baik aku akan jemput mereka," Revan beranjak dari kursinya dengan perasaan kesal.
"Pa, bisakah berbicara yang baik- baik saja?" tegur istrinya.
"Apa tadi ucapan ku buruk?" Andi menatap istrinya.
"Hhh, kamu memang pandai berbicara positif jika di depan publik. Tapi, jika di rumah," ia mengambilkan sepotong paha ayam goreng dan menaruh di piring suaminya," sering yang kau ucapkan kata- kata negatif dan memicu pertengkaran terutama dengan Revan. "
Andi Mahesa tampak tak acuh saja dengan perkataan istrinya.
***
Revan membuka pintu kamar gadis kecilnya.
"Ayah?" Clarissa sedang duduk di sofa bersama Meira sambil memegang sebuah buku cerita.
Revan mendekati Clarissa dan Meira,
"Opa mencari mu, dia mau Clarissa makan malam bersamanya. Juga dengan bunda," Revan melirik Meira yang enggan melihatnya.
Clarissa menoleh kearah Meira.
"Bunda, yuk. Makan sama- sama opa," ajaknya. Meira menggeleng.
"Ayah, bunda gak mau," Clarissa menoleh ke ayahnya, ada sedikit kecewa dari suaranya," Kalo gitu, Clarissa juga gak mau ke sana. Soalnya bunda gak mau."
Revan mendesah. Bingung membujuk Meira untuk mau makan bersama.
"Ya sudah, gak pa- pa," ucap Revan. Kemudian melangkah ke luar dari kamar putrinya.
Clarissa menatap kedua mata Meira. Ada rasa bersalah saat gadis kecil itu menatap lekat padanya.
***
"Kenapa? Gadis itu masih tidak mau?" Andi menyuap makanannya sambil menatap putranya yang kembali tanpa Clarissa dan Meira.
Revan hanya menggeleng pelan, lalu duduk kembali ditempatnya tadi.
"Hhh, sudah sebulan lebih di sini, masih saja bersikap seperti itu," pria itu terdengar kesal.
"Papa," Istrinya kembali mengingatkan.
"Opa, oma!" suara Clarissa mengejutkan mereka. Semua menoleh ke arah pintu ruang makan. Di sana Clarissa dan Meira berdiri.
"Hai," Alisa tersenyum. Revan juga.
"Sini sayang!" ujar mama Revan.
Clarissa menggandeng tangan Meira. Revan menarikkan kursi untuk Clarissa dan Meira.
Kini mereka duduk bersama untuk makan malam. Andi Mahesa tampak biasa saja, ia terus melanjutkan menyantap makanannya.
Clarissa duduk diantara Revan dan Meira.
"Clarissa mau makan nasinya dengan ayam goreng atau udang?" Revan tampak bersemangat.
"Hmmm, udang aja ayah," jawabnya.
"Sayurnya mau gak?" tanya Revan.
"Sayur apa?"
"Lodeh," omanya menyahut.
"Clarissa gak mau. Gak suka," gadis itu menggeleng.
Sesekali Andi Mahesa melirik Meira yang terlihat kikuk.
"Oke," Revan mengambilkan nasi dan tiga ekor udang tempura untuk Clarissa.
"Clarissa makan sendiri?" Revan menaruh piring yang sudah berisi makanan itu dihadapan putrinya. Clarissa mengangguk.
"Ambilin untuk bunda juga,Yah. Bunda malu," ujar Clarissa.
Meira membalik piring yang tertelungkup dihadapannya," Gak usah, aku ambil sendiri, " tolaknya.
Tak jadi Revan mengambilkan makanan untuk Meira.
"Kau harus makan, dan jangan suka mengurung diri. Bukankah kau sedang mengandung darah daging Revan?" Andi Mahesa kembali berbicara yang kemudian mendapat tatapan sinis dari Meira, istrinya membesarkan mata ke arahnya. Memberi isyarat agar suaminya tidak usah bicara.
Tapi sang suami acuh saja.
Meira mengambil sedikit nasi dan juga sayur. Lalu Revan dengan cepat menaruh sepotong dada ayam goreng di piring Meira. Alisa tersenyum melihat adegan tersebut. Sementara Meira kurang suka dengan sikap Revan barusan.
"Jangan sampai cucu ku yang sedang ada di kandungan mu kenapa- napa. Dia pewaris ku juga, jadi aku ingin kau menjaga kesehatan mu," kata Andi Mahesa sambil mengunyah makanannya.
Meira tak berekspresi, ia menyendok makanannya perlahan. Risih dengan kata- kata ayah mertuanya.
"Sudah, kita bicara yang menyenangkan saja,"mama Revan mencoba menghentikan suaminya untuk berbicara soal kehamilan Meira.
" Memangnya yang aku bicarakan tadi tidak menyenangkan?" pria berhidung mancung itu menatap istrinya. Sang istri mendengus kesal.
Revan memilih diam saja, sambil menikmati makanannya.
"Nah, bagaimana kabar cucu opa yang cantik?" Andi Mahesa mengalihkan pembicaraannya. Dipandangnya Clarissa yang sedang menyuap makanannya.
"Baik opa," jawab Clarissa. Dan akhirnya suasana sedikit santai dengan obrolan Clarissa dan opanya.
***
Revan menemani Clarissa memasang puzzle. Mereka duduk di atas tempat tidur. Meira duduk di sofa yang menghadap ke tempat tidur. Sesekali ia memperhatikan Clarissa dan Revan. Begitu juga dengan Revan, sesekali ia menatap Meira yang sedang duduk membaca majalah.
Tiba- tiba rasa mual menyerang, Meira bergegas ke kamar mandi. Terdengar dari luar, Meira sedang muntah.
"Yah, bunda," Clarissa tampak cemas.
"Tenang sayang, mungkin bunda cuma mual karna ade bayi di perutnya," Revan mengusap rambut Clarissa.
Ia turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati kamar mandi. Menunggu Meira keluar.
Terdengar suara air mengalir, sudah tak terdengar suara Meira sedang muntah.
Suara air tak lagi terdengar. Pintu kamar mandi terbuka, Meira mendelik saat tahu Revan berdiri menunggunya.
"Kamu baik- baik aja, Mei?" Revan melihat wajah Meira pucat.
"Gak usah sok perhatian!" Meira berujar pelan tapi penuh amarah.
"Sebaiknya kamu tidur," Revan tak menghiraukan sikap Meira.
Clarissa berhasil merangkai seluruh puzzlenya, gambar kartun little pony terpsang dengan rapi.
Meira berjalan menuju tempat tidur, Revan menyingkap selimut tebal berwarna putih yang menutupi pembaringan. Meira sebenarnya kesal, tapi memilih diam karena ada Clarissa.
Dengan jilbabnya yang masih terpasang menutupi rambutnya, ia bersandar di kepala ranjang. Revan menyelimuti kedua kaki Meira.
Setelah itu, Revan mengeluarkan dua botol kecil berisi vitamin dan obat anti mual dari laci meja kecil yang ada di samping ranjang.
"Kamu harus minum ini," Revan mengeluarkan sebutir obat berbentuk tablet dari wadah berbentuk tabung kecil dan sebutir kapsul merah dari wadah yang lain.
Revan meminta Meira membuka mulutnya. Awalnya menolak tapi karena Clarissa terus memperhatikannya, akhirnya ia pasrah menerima Revan memasukan obat dan vitamin itu ke dalam mulutnya.
Revan bergegas mengambil segelas air putih yang ada di meja kecil didekatnya. Membuka tutup gelas dan menyodorkannya ke mulut Meira, dengan terpaksa ia menerima pelayanan Revan. Ia menegak air putih itu hingga tandas.
Revan tersenyum dan meletakan gelas kosong itu kembali ke atas meja.
"Clarissa sudah gosok gigi?" Revan menoleh ke putrinya yang sedari tadi memperhatikan ia dan Meira dengan binar mata yang cerah.
"Belum," jawabnya.
"Yuk, gosok gigi sama ayah!"
Clarissa turun dari ranjang dengan memegang puzzle. Ia taruh puzzle itu di meja belajarnya. Kemudian pergi ke kamar mandi bersama ayahnya.
Selesai menggosok gigi, Clarissa naik ke tempat tidurnya. Revan mengecup kening Clarissa dengan hangat. Gadis itu merebahkan tubuhnya merapat ke tubuh Meira.
"Yah, bobo bareng ya. Kan ayah gak pernah temanin Clarissa bobo."
Deg.
Meira setengah melotot kepada Revan. Lelaki itu tampak bingung.
"Gak bisa, kan ranjangnya Clarissa kecil cuma cukup untuk dua orang," Revan membuat alasan.
"Ini, masih cukup kok," Clarissa menepuk tempat disampingnya yang memang tampak luas, cukup untuk menampung tubuhnya. Ah, Clarissa ada- ada saja permintaannya.
"Hmmm," Revan bingung.
"Temenin bentar aja kok, nanti kalo Clarissa sudah merem, ayah boleh pergi," ujar Clarissa.
Revan melirik kepada Meira yang memasang wajah tidak setuju.
"Boleh ya, bunda?" Clarissa menatap Meira.
Dengan ragu, Meira mengangguk. Clarissa bersorak gembira. Revan merasa jantungnya bergetar.
Revan mematikan lampu. Meira bergegas menyalakan lampu tidur yang ada di meja kecil di dekatnya, kini hanya ada cahaya lampu tidur saja.
Direbahkannya tubuhnya di sisi Clarissa, menghadap ke arah putrinya dan Meira.
Ia menarik selimut. Dan mereka bertiga berada dalam satu selimut.
Dengan pasrah Meira merebahkan tubuhnya, menghadap kepada Clarissa.
Dan diantara cahaya redup yang kekuningan itu, Kedua netra mereka saling bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel