Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 21 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #5

Cerita bersambung


Ketika kedua mata mereka saling bertemu. Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan pandangan mereka saling beradu. Revan menikmati mata teduh di hadapannya. Meira tersadar, kemudian memejamkan matanya.
Revan tersenyum. Ia mengecup kening putrinya. Lalu Clarissa yang mulai mengantuk membaca doa tidur. Revan membelai kepala Clarissa.
***

Revan perlahan membuka matanya. Beberapa detik ia mengerjap, menetralkan penglihatannya. Kemudian ia sadar sedang berada di mana.

Dilihatnya Clarissa yang masih pulas tertidur dan Meira yang ada di sebelah putrinya juga masih terpejam. Untuk beberapa saat ia menikmati wajah Meira yang terlihat tenang.
"Aku ketiduran," gumamnya," padahal janji jika Clarissa tertidur aku akan pergi. Hhh," Revan mendesah. Ia bangun dengan hati- hati. Menyingkap selimut putih yang menutupi kakinya, kemudian perlahan menurunkan kedua kakinya ke lantai sepelan mungkin agar Meira tidak terbangun.

Meira menggeliatkan tubuhnya. Perlahan membuka mata. Setelah jelas penglihatannya, ia langsung duduk.
Revan menoleh kepadanya yang tampak waspada.
"Maaf, aku ketiduran," ucap Revan sambil berdiri dari tempat tidur. Tak ada sahutan dari bibir tipis wanita itu.
Keberadaan Revan di dekatnya ditambah cahaya lampu yang remang membuat Meira merasakan ketakutan.
Revan kemudian pergi ke luar dari kamar. Meira bernafas lega.

Terdengar suara azan subuh berkumandang. Revan bertemu dengan Alisa yang baru saja ke luar dari kamarnya dengan wajah yang basah.

"Hayooo, ada yang pindah tidur nih?" Alisa tersenyum jahil.
"Apa sih, mba?" Revan tampak malu.
Alisa tertawa pelan,"Shalat yuk!" ajaknya. Revan diam. Kemudian Alisa menepuk pundak adiknya itu.
"Clarissa butuh tauladan. Jangan sampai dia seperti kita dulu. Dan semoga kamu tidak seperti papa dan mama yang tak pernah memberikan tauladan dan pemahaman soal agama," Alisa menasehati. Kemudian ia pergi ke kamar yang ada di ujung ruangan.

Sudah setahun ini, kamar kosong itu ia manfaatkan sebagai mushalla pribadi. Hanya dia yang shalat. Kadang Clarissa ikut- ikutan shalat bersamanya.

Sebelumnya, Meira juga sering shalat di kamar itu. Tapi, sudah hampir sebulan lebih Meira tak pernah shalat. Jadi, hanya Alisa saja satu- satunya penghuni rumah yang shalat.

Revan masuk ke kamarnya. Kata- kata Alisa tadi sepertinya merasuk ke hatinya.
***

Wanita bernama Rina itu sedang melingkarkan dasi di kerah baju Andi Mahesa.

"Nanti siang, aku ada janji dengan rekan bisnis. Jadi, aku tidak bisa makan siang bersama mu," ujar Andi.
"Oke," sahut Rina. Ia telah selesai memakaikan dasi biru dongkar itu. Kemudian mengambil jas  berwarna senada dengan dasi suaminya dari tempat penggantung jas.
"Bisnis apa lagi yang kamu garap?"
Ia memasukan lengan suaminya ke bagian lengan jas.
"Bisnis properti. Aku hanya menanam modal sebagian saja. Dia dan para pekerjanya yang akan mengerjakan seluruhnya." Jas itu sudah melekat di tubuh tegap pria 50 tahun itu.
"Kapan kau berhenti berbisnis?"

Andi Mahesa berbalik menghadap ke istrinya. Wanita berhidung bangir itu mengancing
 jas suaminya.
"Aku suka bisnis, sayang. Itu duniaku," Andi Mahesa mengerlingkan matanya.
"Dan sekarang ikut berpolitik," Rina menatap mata tajam suaminya.
"Kamu tidak suka?"
"Suka tak suka, aku tetap harus mendukung mu. Karena aku istri mu," ia tersenyum.
"Kau memang istri yang hebat!" dikecupnya bibir sang istri.
"Selalu gombal," ucap Rina.
Andi Mahesa hanya menatapnya.
"Dan, apakah rekan bisnis mu yang baru ini seorang wanita cantik?" ia menatap penuh selidik.
Andi terbahak," Ayolah sayang, kenapa harus menanyakan hal seperti itu? Kita bukan remaja lagi."
"Betul, tapi kau suka tebar pesona."
"Aku tidak pernah menebar pesona. Mereka yang terpesona oleh ku!"
Sekarang Rina yang terbahak.
"Ah, sudahlah. Aku selalu percaya pada mu," ujarnya dengan mengerlingkan matanya.
"Aku hanya mencintai mu," ucap Andi Mahesa.
"Hentikan rayuanmu. Ayo kita sarapan," Ia menggamit lengan yang masih kekar itu.

Andi mengambil tas berwarna hitam miliknya dari meja rias, kemudian melangkah bersama istrinya ke luar dari kamar mereka.
***

Revan masuk ke kamar Clarissa. Membawakan sarapan untuk Meira.
Ia melihat Meira sedang duduk di ranjang. Wajahnya sedikit pucat.
"Mana Clarissa?" tanya Revan.
"Ke kamar mbak Alisa," sahut Meira dengan nada ketus.

Revan meletakan nampan berisi jus mangga dan kentang kukus di atas meja kecil.
"Sarapan untuk mu," ujar Revan yang tak dihiraukan oleh Meira.
"Kamu di rumah saja, biar aku yang antar Clarissa ke sekolah."

Masih tak ada tanggapan. Wanita itu memandang lurus ke depan, ke sofa putih di seberang tempat tidurnya.
Revan mendengus. Ia harus sedikit bersabar, karena tak mudah bagi Meira menerima dirinya sebagai suami.

Clarissa datang, dengan jilbab ungu muda di tangannya.
"Ayah?" ia senang melihat ayahnya. Gadis kecil itu mendekati ayahnya.
"Dari mana?" tanya Revan sembari menatap putrinya dengan posisi berdiri, sehingga Clarissa mendongakan kepalanya.
"Jika bicara dengan anak- anak, sejajarkan diri mu dengan matanya. Berjongkoklah," Meira berujar tapi tanpa menoleh ke Revan.
"Oh," Revan menggaruk keningnya. Segera ia berjongkok dan menatap mata bulat Clarissa. Terasa lebih nyaman dan dekat dengan putrinya.
"Dari kamar aunti," jawab Clarissa.
"Ngapain sama aunti?"
"Ini," Clarissa menunjukan jilbab ungu di tangan kanannya," ambilin jilbab buat bunda."

Revan tersenyum dan mengelus kepala Clarissa.
"Bunda, pake ini!" Clarissa mendekati Meira dan menyodorkan jilbab di tangannya.
"Terimakasih," ucap Meira, diambilnya jilbab tesebut dari tangan mungil itu.
"Oh ya, bunda. Kata aunti ukuran baju Clarissa itu M kecil. Terus kalau jilbab pake yang ukuran S," Clarissa naik ke tempat tidur.
"Nah kalo bunda, ukuran bajunya bunda apa?"
"M."
"Wah, sama," Clarissa melirik ayahnya," Kalau jilbab yang langsung pake itu, bunda ukurannya apa?"
"L."
"Bunda suka warna apa?"
"Hmmm, ungu dan pink. Tapi, hitam juga suka. Kok nanya- nayain ukuran dan warna, sih?" Meira merasa aneh.
"Gak pa- pa, cuma nanya aja," jawab Clarissa. Ia melirik ke Revan lagi dan pria itu menyatukan jari telunjuk dan jempolnya sehingga terbentuk lingkaran. Sebuah isyarat kepada Clarissa. Gadis kecil itu paham.
"Clarissa, sarapan di bawah yuk!" ajak Revan.
"Bunda, sarapan di mana?" Clarissa menoleh ke Meira.
"Di sini sayang, bunda lagi lemes soalnya. Kan semalam bunda muntah- muntah," kata Revan.
"Oke," Clarissa turun dari ranjang," tapi, bunda anter Clarissa sekolah kan?"
"Gak, biar bunda istirahat. Clarissa biar ayah yang anter," sahut Revan.
" Nanti bunda anter kok. Bunda baik- baik aja," Meira melirik sinis kepada Revan.
"Baiklah," kata Revan sambil menggandeng tangan putrinya dan mereka pergi meninggalkan Meira sendirian.
***

Mobil pajero sport hitam milik Revan berhenti di dekat  area sekolah Clarissa.
"Yuk turun!" Meira melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil.

Revan juga ke luar dari mobilnya. Meira membukakan pintu mobil untuk Clarissa.
Gadis kecil itu menenteng tas pinknya. Meira memegangi tangan kanan Clarissa, membantunya turun dari mobil.
Beberapa mobil silih berganti berhenti di dekat sekolah taman kanak- kanak itu.
Para ibu atau ayah mengantarkan putra putri mereka ke sekolah.

"Nanti, bunda jemput sama pak Wito, ya." Meira berjongkok menatap mata Clarissa.
"Iya," sahutnya riang. Kemudian ia menarik tangan kanan Meira dan mencium bagian punggung telapak tangannya.
"Ayah ada rapat nanti siang, jadi gak bisa jemput," Revan berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan putrinya. Gadis itu mengangguk. Revan mengecup pipi kiri Clarissa.
"Salim, Yah," Clarissa mencium punggung tangan ayahnya.
"Assalamualaikum," gadis itu melambaikan tangannya. Meira dan Revan berdiri.
"Walaikumsalam," sahut mereka bersamaan. Clarissa melangkah menuju sekolahnya. Gadis itu menoleh lagi saat melewati gerbang sekolah kemudian tersenyum bahagia kepada Revan dan Meira. Mereka membalas senyumannya. Gadis itu masuk ke halaman sekolahnya dan berjalan menuju kelas yang disambut hangat oleh gurunya.

Meira berlalu.
"Mei," Revan menyentuh pergelangan tangan Meira.
Secepat mungkin Meira menyentak tangan Revan.
"Maaf," Revan sadar dengan tindakannya.
Wanita itu tampak takut.
"Ayo aku antar pulang."
"Gak," sahut Meira," aku naik angkot aja. Lagian kamu harus kerja kan?" nada bicaranya terdengar kasar.
"Gak pa- pa aku antar," Revan bersikeras.
"Aku gak mau!" Meira melangkah dengan cepat.
Revan menghembuskan nafasnya, mencoba menahan emosi.

Meira berjalan dengan langkah cepat. Ia menyeberang jalan. Kemudian menyetop sebuah angkot berwarna biru muda. Ia naik ke angkot dan tanpa menoleh ke Revan yang menatap kepergiannya dari seberang jalan.
***

Tepat jam satu siang, Andi Mahesa sedang duduk di sebuah restauran mewah. Seorang wanita paruh baya tapi bertubuh langsing dan mengenakan dress biru selutut menghampirinya.

"Andi Mahesa!" tegur wanita itu sambil melepas kaca mata hitamnya.
Pria itu tersenyum melihat wanita di depannya. Ia berdiri dari kursi.
"Ema Riswanti," ia mengulurkan tangan kanannya.
"Apa kabar mu?" wanita berambut ala lady Diana itu menjabat tangan Andi Mahesa.
"Baik, sangat baik," jawab Andi," Kau sendiri bagaimana?"
"Seperti yang kau lihat," ia melepas jabatan tangannya.
"Duduk," Andi Mahesa mengisyaratkan tangannya untuk mempersilahkan Ema duduk di hadapannya.
Ema menaruh tas gucci abu- abu milik nya dan kaca matanya di atas meja.
"Luar biasa," Andi menatap Ema takjub.
"Ayolah, jangan menatap ku seperti itu," Ema tertawa," bisa- bisa Rina akan membunuhku," candanya.
Andi tertawa," Aku hanya surprise dengan perubahan mu. Tak ku sangka kita bertemu lagi setelah .... "
"Dua puluh delapan tahun!" tukas Ema.
"Ya, dua puluh delapan tahun."
"Dulu aku hanya gadis lugu kan?" Ema membalas tatapan Andi sedikit tajam.
"Ya," angguk Andi," dan sekarang kau seorang bisnis woman," Andi berdecak.
"Aku hanya meneruskan warisan bisnis almarhum suamiku."
" Luar biasa!"
"Kau juga, bahkan ku lihat sekarang kau berpolitik. Benar kah akan mencalonkan diri sebagai gubernur?"

Seorang pelayan pria dengan seragam berwarna biru dan celana bahan berwarna hitam menghampiri mereka memberikan buku berisi daftar menu.
Andi dan Ema menerimanya kemudian membuka buku daftar menu tesebut.

"Ya, begitulah," sahut Andi.
"Waw, aku siap
 jadi timses mu!" candanya.
Andi tergelak," tentu saja aku menerima mu sebagai timsesku."

Ema tersenyum. Kemudian mereka menyebutkan beberapa makanan yang mereka inginkan. Sang pelayan mencatatnya.
***

Bi Jum mengetuk pintu kamar Clarissa. Dari dalam Meira bersuara.
"Iya, masuk!"
Kepala wanita paruh baya itu muncul dari balik pintu. Kemudian ia masuk dengan kotak yang lumayan besar terbungkus kertas berwarna pink dan bergambar hati.
"Apa itu?" tanya Clarissa yang berhenti mewarnai gambar beruang di hadapannya.
"Gak tau neng Clarissa," bi Jum menaruh benda itu di tempat tidur.
Meira tampak penasaran. Ia beranjak dari sisi Clarissa.
"Katanya buat mba Meira," ujar wanita bertubuh gemuk itu.
"Buat saya?" Meira mendekati kotak itu. Tak ada nama pengirim yang tertulis di bagian atasnya.
"Dari siapa?"
"Tadi yang anter kurir mba, saya tanya dari siapa. Si om kurir bilang gak tau, katanya rahasia," kata bi Jum.
"Oh gitu," Meira duduk di tepi ranjang memandang ke arah kotak tersebut.
"Buka aja bunda!" Clarissa beranjak dari kursi belajarnya dan mendekati Meira.
"Hmmm," Meira terlihat ragu.
"Bibi pamit ya, mba. Mau nyelesain kerjaan," ujar bi Jum.
"Iya bi, silahkan. Makasih ya, bi."
"Iya mba," bi Jum pergi dari kamar itu.
"Ayo bunda, buka. Mungkin ada namanya di dalam kotaknya," Clarissa tampak antusias.
"Oke," Meira merobek dengan hati- hati kertas yang menutupi  kotak tersebut. Selanjutnya, ia membuka tutup kotak.
Clarissa tersenyum. Meira terperangah.
"Ihhh, jilbab sama baju ya bunda?"
Meira mengangguk, ia mengeluarkan jilbab- jilbab itu dan juga beberapa gamis dan rok serta baju berlengan panjang. Ia taruh di atas ranjang. Kemudian ada secarik kertas bergambar bunga mawar. Meira mengambilnya dan membaca tulisan tangan yang terukir dengan rapi itu.

'Semoga kamu menyukainya dan mau memakainya.
Dari Aku yang mengharapkan senyum di wajahmu.'

Meira meletakan kembali kertas itu ke dalam kotak. Ia tahu siapa pengirim hadiah untuknya itu. Rasa kesal tapi entah ada desir- desir aneh yang juga hadir di hatinya.

"Dari siapa bunda?" tanya Clarissa.
"Dari ...."

==========

"Dari ayah?" Clarissa menatap Meira.
"Iya," Meira mengangguk.
"Ayah baik ya, bunda."
Meira hanya menjawab dengan senyum tipis.
Dipandanginya pakaian dan jilbab yang Revan hadiahkan.
"Nanti malam, ayah janji mau ajak kita makan di luar. Bunda mau, ya?" kedua mata bulatnya penuh pengharapan.
Tak dijawabnya pertanyaan Clarissa. Sepertinya ia masih sulit untuk menerima Revan.
***

"Dari mana tadi, bro?" Indra masuk ke ruangan Revan dan  duduk di hadapan Revan.
"Toko baju," jawab Revan tanpa menoleh ke Indra. Matanya fokus ke layar laptop.
"Belanja baju?"
"Iyalah, masa belanja sayur," sahut Revan membuat Indra mendengus. Revan terkekeh.
"Baju apaan?"
"Kepo banget, sih?"
"Ya gak, biasa kamu beli baju ajak- ajak."
"Sory tadi gak ngajak, soalnya beliin untuk Meira," Revan menghentikan aktifitas mengetik nya. Kemudian sedikit melonggarkan dasinya.
"Ceilehhh, romantis amat," Indra senyum- senyum.
"Biasa aja, entar juga kalo punya bini kamu juga gitu," Revan bersandar ke punggung kursi.
"Kamu serius mau berubah?"
"Iya," sahut Revan mantab.
"Aku kaget, waktu tetiba kamu mau nikah. Suer, kaget. Apalagi tau yang kamu pilih baby sitter anak mu."
Revan diam.
"Dan yang aneh, kenapa papa kamu restuin?" ada nada heran diucapan lelaki itu," Taunya, papa kamu itu sangat memperhatikan kelas sosial. Apa ini, ada unsur pencitraan?" ia menyipitkan mata.
"Pencitraan?" Revan menautkan alisnya.
"Iya, kan sehari setelah pernikahan mu. Papa mu masuk berita di koran halaman terdepan dengan judul 'Calon Gubernur yang Tak Pandang Kasta'. Respon masyarakat pun luar biasa. Belum lagi di akun media sosialnya. Makin nambah followernya," Indra menggeleng- gelengkan kepala.
"Gak ada hubungannya dengan politik," ujar Revan.
" Tapi menguntungkan papa mu," Indra terkekeh. Revan mengangkat kedua alisnya.
"Jadi, murni karna emang suka?" Indra menajamkan tatapannya.
Revan mengheka nafasnya. Diam beberapa detik.
"Demi anak ku. Dia sangat menyukai Meira. Dia sangat mengurus Clarissa, juga banyak membawa hal positif untuknya," ujar Revan.
"Dan aku rasa papa mu memanfaatkan pernikahan beda kasta ini untuk menarik simpati masyarakat, " tukas lelaki bermata elang itu.
"Entahlah," Revan mengangkat kedua bahunya.
"Tapi," Indra memajukan tubuhnya ke arah meja kerja," se simple itu kah, alasan mu menikahinya?"
Revan tak membalas tatapan penuh selidik sahabatnya itu.
"Ya, memangnya kenapa?" Revan balik bertanya.
"Gak pa- pa, aneh aja," Indra bersandar di punggung kursi.
***

Seseorang mengetuk pintu. Meira membuka pintu kamar dan seketika raut wajahnya berubah masam.
"Clarissa mana?"
"Lagi di kamar mandi."
"Aku boleh masuk?"
"Nanti," sahut Meira.
Hening, untuk beberapa detik.
"Untuk apa membelikanku pakaian?" nada suaranya ketus.
"Karna aku ingin," jawab Revan,santai.
"Tapi aku gak mau. Aku gak butuh!"
"Terserah."
"Dengar aku gak mau memakainya. Dan hadiah serta ...," diam sesaat," pesan yang kamu tulis. Gak akan bisa meluluhkan hatiku."
"Gak masalah," Revan bersedekap, ditatapnya kedua mata Meira yang sayu itu," aku hanya berusaha memperbaiki hubungan ini. Kalau kamu mau buang baju- baju itu, buang aja. Aku akan beli lagi."
Meira mendelik, " sombong!"
"Memang," sahutnya.
"Kamu kelihatan santai banget, ya. Setelah semua yang kamu lakukan padaku, kamu seperti gak ada rasa bersalah."
"Dengar Mei, setiap malam aku merasa dikejar rasa berdosa," sergahnya.
"Oh, luar biasa!" Meira menatapnya dengan sinis," tapi kamu gak berani untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mu di depan hukum!"
Revan diam. Meira menautkan alisnya.
"Kamu pengecut. Kamu selalu berada di bawah ketiak ayah mu!"
Revan membesarkan matanya. Emosinya ikut naik.
"Ayah, bunda!" Clarissa muncul diantara mereka. Ditatapnya ayah dan bundanya bergantian, " apa kalian berantem lagi?"
Seketika emosi yang mulai memuncak tadi mulai menurun.
"Nggak sayang," Meira menyentuh dagu Clarissa.
"Jangan berantem dong,"suaranya terdengar lirih. Ia menunduk.
Revan berjongkok di depannya, memegang kedua lengan putrinya.
" Kalo berantem, Clarissa sedih," genangan terlihat di mata bulatnya.
"Hei, dengar. Ayah dan bunda gak berantem. Kami hanya sedang berbicara hal yang cukup penting," Revan mengusap sudut mata putrinya dengan ibu jarinya, lembut.

Beberapa saat hening.
"Apa kita jadi pergi makan di luar?" Clarissa mulai tenang.
"Tentu saja," jawab Revan. Meira masih terdiam.
"Apa bunda ikut?" Clarissa menatap Meira.
"Kita pergi berdua aja, bunda sepertinya gak mau ikut," sergah Revan. Ia berdiri dan melemparkan tatapan tajam kepada Meira," biar bunda istirahat."
Ada kecewa tersirat dari netra gadis lima tahun itu.
"Mungkin nanti, bunda akan ikut kita. Tapi, gak sekarang," kata Revan.
"Apa kamu sudah siap?" Revan memperhatikan baju Clarissa dan jilbab hijau yang membalut kepalanya.
"Sudah," jawab Clarissa.
"Ayo kita pergi,"  Revan menggandeng tangan mungil Clarissa.
Meira masih mematung diambang pintu kamar.
Revan dan Clarissa melangkah.
"Aku ikut!" ucapan Meira menghentikan langkah mereka. Revan dan Clarissa menoleh ke arahnya.
"Bunda ikut "
Clarissa senang. Revan tampak datar saja.
"Tunggu lima belas menit!"

Meira masuk ke kamar. Diambilnya satu gamis berwarna biru toska dan kain segi empat berwarna hitam yang sedari siang tadi berserakan di tengah ranjang bersama pakaian lainnya.

Alisa ke luar dari kamar dan melihat Revan bersama Clarissa duduk di sofa menghadap televisi.
"Hei, sedang apa?" Alisa melirik ke televisi yang tak menyala.
"Nungguin bunda ganti baju," jawab Clarissa.
"Mau kemana?"
"Makan di luar aunti," sahut Clarissa penuh srmangat.
"Wah, asik," Alisa melirik adiknya yang sibuk dengan ponselnya.
"Aunti mau ikut?"
"Gak, aunti juga ada janji makan malam sama teman- teman aunti," Alisa menyentuh hidung mungil Clarissa.
"Revan," Alisa menegur adiknya.
"Ya," Revan memasukan ponselnya ke saku blezzer warna creamnya.
"Semoga, Meira bisa merasa nyaman dengan mu. Buat dia senyaman mungkin!"
"Siap bos!" sahut Revan.
"Oh, iya. Aunti tinggal dulu, ya!" Alisa masuk lagi ke kamarnya. Ia mengambil lipstik, maskara, bedak dan perona pipi dari atas meja riasnya yang begitu banyak tersusun alat- alat make up dan parfum.

Ia kemudian pergi ke kamar Clarissa. Meira mempersilahkannya masuk.
Meira sudah selesai berpakaian.
"Hmmm, cantik," puji Alisa. Meira tersenyum tipis.
"Ini, untuk mu!" ia menaruh bahan riasan itu di meja rias yang hanya ada bedak anak dan cologne milik Clarissa.
"Ada lipstik, pakailah. Biar bibirmu terlihat segar."
"Terimakasih. Tapi, aku kurang biasa dengan lipstik dan make up," ujar Meira.
"Sedikit aja, lagian kan pergi sama suami. Boleh lah riasan sedikit."
Meira tak menyahut.
"Oke, selamat menikmati malam kalian!" Alisa ke luar dari kamar.

Meira meraih lipstik yang masih tampak baru, karena masih ada label harganya. Ia mengoleskan lipstik itu ke bibirnya yang pucat hanya sedikit saja.
Ia menatap dirinya di cermin, terlihat sedikit lebih segar. Kemudian membuka bedak yang juga sepertinya belum pernah terpakai itu, kemudian menyapukannya ke seluruh wajahnya dengan pelan. Setelah dirasa pas, ia ke luar mendatangi Revan dan Clarissa.

"Ayo, kita berangkat," ucap Meira setelah sampai di dekat mereka yang sedang asik mengobrol.
"Bunda cantik,"  celetuk Clarissa, ia menatap lekat ke Meira.
Revan melihatnya sebentar kemudian berdiri dari duduknya.
"Katanya gak butuh, dipake juga," gumamnya. Meira tak mendengar gumaman Revan.
Meira memegangi tangan Clarissa dan berjalan bersama mengikuti Revan yang berjalan di depan mereka.

Saat melintasi ruang tengah, mereka melihat kedua orang tua Revan sedang menonton berita di televisi.
"Opa, oma!" sapa Clarissa.
Keduanya menoleh. Clarissa menghampiri mereka.
" Mau kemana sayang?" tanya Rina.
"Mau makan di luar sama ayah, sama bunda."
Andi Mahesa dan Rina menoleh ke arah Revan dan Meira yang berdiri agak berjauhan dan tampak kikuk.
"Oh, bagus," Rina senang.
"Romantis," Andi melirik putranya. Revan bergeming.
"Pergi dulu ya, oma, opa," diraihnya tangan Rina dan diciumnya punggung tangan wanita itu dengan takzim, hal serupa ia lakukan kepada Andi.
"Ayah sama bunda gak pamit sama oma, opa?" Clarissa memandang Revan dan Meira,"  gak cium tangan oma sama opa?"

Andi dan istrinya saling pandang.
Revan dan Meira merasa tertampar dengan perkataan Clarissa. Apalagi Revan. Seumur hudupnya tak pernah ia mencium tangan kedua orang tuanya itu jika akan pergi.

Revan berjalan mendekati mama dan papanya. Meira mengikutinya di belakang. Kemudian Revan mencium punggung telapak tangan papa dan mamanya. Meira pun melakukan hal serupa, dengan rasa sedikit canggung.
"Assalamualaikum," Clarissa mengucap salam.
"Walaikumsalam," jawab Andi dan istrinya.

Mereka bertiga pergi meninggalkan kedua orang tua itu yang masih tampak aneh dengan kejadian tadi.
Ada bulir bening di sudut mata Rina.
"Rasanya aku tua sekali," kata Andi.
"Kita memang sudah tua," sahut istrinya," seumur- umur, baru ini Revan mencium tangan kita," Rina tampak haru.
"Ya, " Andi membenarkan.
"Kita tidak pernah mengajarkan hal itu kepada Revan dan Alisa," kini Rina terisak.
"Sudah, jangan menangis," Andi melingkarkan tangannya ke bahu istrinya.
"Clarissa yang mengajarkannya. Anak itu, karunia luar biasa."
"Kamu benar," kata Andi.
"Aku merasa dihargai," ucap Rina.
Ia sandarkan kepalanya di bahu suaminya.
***

Mereka bertiga masuk ke sebuah restauran. Di bagian pojok sebelah kiri ruangan bercat putih itu, seorang pianis sedang memainkan pianonya.  Lantunan musik dari suara piano yang terdengar romantis menyambut kedatangan para pengunjung.

Suasana cukup ramai. Banyak pasangan dan keluarga yang makan malam di tempat tesebut. Sang pianis terus memainkan jari- jarinya di atas piano.
Seorang pelayan menghampiri Revan, mereka berbicara sebentar. Kemudian pria yang mengenakan hem hitam itu menunjukan satu meja yang ada di tengah ruangan.
Semua meja berbentuk oval d ditutupi taplak berwarna putih yang menjuntai hingga nyaris menyentuh lantai.
Setiap meja dikelilingi empat buah kursi yang dilapisi kain berwarna putih dengan hiasan pita pink di punggung kursi.
Revan menarikkan kursi untuk Clarissa. Setelah gadis kecilnya duduk, ia menarik kursi untuk Meira tanpa bicara dan tanpa ekspresi. Meira duduk di sebelah Clarissa. Kemudian Revan duduk berhadapan dengan Meira.
Seorang pelayan datang dengan buku menu di tangannya. Pria itu terperangah saat melihat Meira, begitu juga dengan Meira.
Keduanya saling menatap beberapa saat. Pria itu merasakan dadanya seakan panas. Sementara Meira merasa kakinya lemas.

Pria itu memberikan buku menu kepada Meira dan Revan.
Revan membuka buku itu dan mencari- cari menu yang dia inginkan. Kemudian bertanya pada Clarissa.
Meira terpaku, masih menatap pelayan itu.
"Nasi goreng ada gak, Yah?"
"Ada."
"Tapi dikit aja, Yah."
"Oke," Revan mengangguk," Mas, saya ...," Revan menemukan keanehan antara pelayan dan Meira. Ia memperhatikan mereka yang saling pandang.
"Ehem," Revan berdehem," Kamu pesan apa, Mei?"
Meira tersentak," a- aku," ia terlihat bingung.
Revan menatapnya tajam. Membuat Meira semakin salah tingkah.
Ia membuka buku daftar menu, membaca terburu- buru.
"Hmmm," Meira menggigit bibirnya.
"Kamu kenapa?" Revan melirik ke pelayan yang masih berdiri di dekatnya dan memandangi Meira dengan lekat.
"Kalian saling kenal?" Revan bertanya tanpa basa basi.
"I- iya," angguk Meira.
Clarissa asik menggoyang- goyangkan kakinya yang tergantung.
Musik yang dimainkan sang pianis pria itu telah berganti instrumen musik yang lain.

Pria tionghoa itu melanjutkan pertunjukannya, lantunan nada "Endles love" menghiasi suasana restauran yang semakin ramai.
"Dia Fandi, teman aku," kata Meira.
Revan tak merespon. Entah apa yang ada di benaknya. Yang pasti dari raut wajahnya, Revan sepertinya kesal melihat pria itu terus menatap istrinya.
"Tolong dicatat pesanan saya!" ditutupnya buku menu agak kasar. Lalu ditaruhnya di pinggir meja.
Revan menyebutkan menu yang ia pesan. Meira masih belum menyebutkan menu yang ia inginkan. Fandi mencatat pesanan Revan di buku kecil di tangannya.
"Tambah jus mangga dan salad buah," Revan memutuskan sendiri menu untuk Meira.
Meira terlihat gelagapan.
"Kamu masih mual dan sebaiknya makan buah saja. Karena kamu sedang hamil," Revan melirik lagi ke Fandi yang tampak terkejut.
Fandi cepat- cepat ia menulis pesanan Revan kemudian mengambil buku menu dan pergi.
"Teman spesial?"  Revan menahan rasa kesalnya.
"Emmm," Meira bingung," bukan urusan mu," ujarnya kemudian.

Revan mengatupkn gigi- giginya. Entah kenapa rasanya ia begitu marah melihat adegan Meira dan Fandi yang saling menatap.
Meira merasakan pusing di kepalanya. Ruangan itu sebenarnya sejuk karena AC yang menyala. Tetapi, Meira berkeringat. Ia merasa ingin muntah.
"Aku ke toilet dulu," Meira bergegas pergi menuju toilet.
Revan mendengus. Kemudian melihat ke Clarissa yang tampak menikmati suasana romantis di restauran itu.
"Clarissa senang?"
"Iya," angguknya cepat. Revan tersenyum.
"Bunda mau muntah lagi?"
"Sepertinya."
"Lihatin,Yah. Takut bunda pingsan!"

Fandi meletakan kertas yang berisi pesanan Revan di meja yang kemudian diambil oleh juru masak.
Dadanya sesak. Ada amarah berbalut cemburu. Ia ke luar dari dapur dengan wajah cemberut.
Meira muntah di atas wastafel. Wajahnya pucat. Beberapa wanita meliriknya. Meira tak peduli dengan mereka.
Setelah puas mengeluarkan hampir seluruh isi perutnya, Meira membasuh tangan dan juga wajahnya. Membiarkan air yang mengalir dari kran menyapu sisa- sisa muntahannya.

Fandi menyandarkan dirinya ke dinding menghadap ke pintu yang terbuka. Ia melihat seekor kucing kurus kering melintas di halaman belakang restauran. Pikirannya kacau.
Meira ke luar dari toilet. Kepalanya pusing. Matanya sedikit berkunang- kunang. Tapi tetap melangkah.
Fandi melihatnya, kemudian menghampirinya.
"Meira," panggil Fandi.
"Fandi?" Meira merasa penglihatannya mengabur.
"Kamu baik- baik aja?" Fandi mendekat.
Meira memegangi kepalanya. Tubuhnya lemas, sepertinya sebentar lagi akan tumbang.

Fandi akan menangkap tubuh Meira yang lemah. Tapi, seseorang dengan cepat menghalanginya dan orang itu menangkap tubuh Meira. Fandi terkejut dan terperangah, ia mundur beberapa langkah.
"Jangan sentuh. Dia istriku!"

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER