Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 01 Mei 2020

Pulung #7

Cerita Bersambung
Episode#6

"Oh, ternyata wanita lemah itu ibu kandungku, akan aku bawa dia tinggal di rumah ini, aku akan merawatnya, aku telah berhutang cinta padanya. Bagaimana menurut Simbok?", masih bersimbah air mata, aku meminta persetujuan wanita sepuh itu dan ia mengangguk

Hari ini aku telah siap lebih awal.
Aku akan pergi ke Yogya untuk mengembalikan foto yang kemarin aku janjikan dan akan mengatakan sebuah kebenaran.

Sebuah rahasia yang telah sekian tahun terpendam dengan rapi. Aku bayangkan apa yang akan dikatakan Pulung dan ibunya, ketika tahu akulah bayi perempuan yang terenggut itu.

Wanita itu masih berbaring lemah, apa yang dikatakan Pulung ternyata bohong.
Ia berkata ibunya sudah lumayan, baik, tetapi yang aku lihat sungguh membuatku merana.
Pulung menunggu di sisi pembaringan, wajahnya kusut, ia bangkit berdiri ketika aku masuk diantar seorang wanita paruh baya yang akan membantu menjaga dan merawat ibunya.
Tak tahan oleh perasaan yang menghimpit, aku langsung menangis dan menubruk wanita itu.

"Rintan", Pulung mengguncang punggungku, namun justru membuat tangisku kian menjadi.
"Ibu ... aku anak perempuanmu", suaraku serak, dadaku serasa hampir meledak.

Wanita itu membuka mata dan menatapku lama.
"Aku anak perempuanmu, aku anak perempuan Rahayu yang menikah dengan keris Tumenggung Rekso Darmo!"
"Kau tahu nama ibuku?", sekali lagi Pulung mengguncang bahuku.
Aku tak mau melepaskan pelukanku pada wanita itu.
"Ibu, namaku sebenarnya Intan, anakmu".
"Intaaan ... ", suara lirih wanita yang berbaring itu membungkam kami, ia berusaha bangkit.

Tangan kami segera menangkapnya.
"Ibu ... ", sebutku sekali lagi.
"Kau?"
"Ya, aku Intan, anak ibu yang dilarikan romoku untuk diberikan kepada ibuku 28 tahun yang lalu".

Perempuan itu langsung meraihku dan kami satu dalam pelukan.
Isak dan air mata kami menyatu.
Pulung diam membisu, sepertinya ia belum sadar betul apa yang tengah terjadi.
Aku membaringkan Ibu kembali dan aku keluarkan foto yang pernah aku curi.

"Ibu mencari ini?".
Ia mengangguk, namun matanya tak lepas memandangku barang sedetik, seolah ia telah membaca sejarah dan peristiwa yang terjadi masa lalu.
Bibirnya bergerak-gerak entah apa yang digumamkan. Tangannya menggenggam lemah tangan kiriku.
"Bagaimana bisa?", Pulung meraih foto itu.

Aku terisak memeluk Ibu sekali lagi, lalu keluar kamar  Pulung nenyusulku
"Pulung", kataku, begitu aku meletakkan tubuh di kursi. Suaraku terbata. Lalu ia melingkar tangannya ke bahuku.
"Rintan".
"Intan".
"Bagiku Rintan atau Intan sama saja, ternyata aku telah jatuh cinta pada adik kandungku.

Hidup ini sungguh aneh, ternyata harapan Ibu untuk bertemu dengan putrinya telah terwujud, sungguh sulit aku percaya ini.

"Pulung, cintai aku, jangan benci aku karena telah membiarkan kakaknya dan ibunya menjadi begini, bahkan nyaris tak aku percaya bahwa sebenarnya putra Romo bukan hanya mas Wisnu dan mas Indra, tetapi mas Pulung juga”.
"Bukan salahmu Rintan, selama bertahun-tahun aku selalu bertanya pada Allah, mengapa Ia buat aku dan Ibu menjadi begini menderita, tak bisa merasakan kasih sayang ayah dan suami, harus berpisah dari adik dan anak perempuannya. Tetapi kini ... ", Pulung memelukku erat, erat sekali.
"Rintan, mengapa kamu datang sendiri?”
"Sudah pernah kukatakan, Romo dan Ibu sudah meninggal, sedangkan mas Wisnu dan mas Indra, mereka belum tahu semuanya. Aku akan berencana memberi tahu setelah bertemu dengan Ibu dan kamu".
"Ternyata aku memiliki dua saudara laki-laki, seperti apa wajah mereka?"
"Mereka tampan sepertimu".
"Dan tentunya kamu ditemani calon adik iparku".
Aku menunduk sedih. Hatiku teriris tatkala mengingat terakhir Bagas datang kerumah.
"Rintan mengapa diam?"
"Aku terlanjur mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta lagi pada seorang pria dan aku katakan lelaki itu adalah Pulung".
"Oh begitukah? Kau nekat sekali! Aku tak menyangka".
"Dan sekarang ia pergi meninggalkanku".
"Jangan khawatir, aku akan menemuinya, aku akan datang dan memberi penjelasan".
"Bila sudah jodoh tak akan kemana. Sekarang aku sedang memikirkan untuk membawa Ibu ke Solo, akan aku minta Ibu tinggal dirumahku".
"Aku rasa Ibu tak akan mau".
"Kalau tak mau berarti aku yang harus tinggal dirumah ini".
"Tidak boleh!'
"Kau kakak yang jahat".
"Kakak-kakakmu yang lain tak akan mengizinkan, bukan hanya aku".
"Aku akan memaksa".
"Jika Ibu bersedia kau bawa belum tentu kakak-kakakmu mau menerima, ia bukan ibu kandung mereka"._
"Dalam banyak hal, mereka selalu kalah denganku, aku akan minta mereka memilih aku pergi atau mereka mengizinkan".
"Kamu kepala batu".
"Tetapi kamu mengaku jatuh cinta padaku 'kan?"
"Mana nomor telepon kekasihmu? Siapa namanya? Bagas ... Bagaskoro, nama yang bagus".

==========

Pulung tidak membual, ia langsung menghubungi nomor telepon Bagas, namun tak aktif.
Ketika aku menghubungi telepon rumahnya ternyata pak Atmo - supir Bagas - mengatakan bahwa Bagas sedang pergi ke suatu tempat yang tak boleh dikatakan.

Ketakutanku menjadi kenyataan, bahwa apa yang diharapkan mbok Yekti dan Pulung tak teraih.
Berkali aku bertanya pada pak Atmo, tetapi ia tak pernah memberi keterangan yang berarti selain, "Pak Bagas akan menemui seseorang di luar negeri, mungkin kawan barunya, belum tahu kapan pulang"._

Pak Atmo sepertinya tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Bagas, karena ia sering mengantar kami jika bepergian.
Tak menutup kemungkinan ia pun tahu aku telah berkhianat mencintai pria lain, sehingga ia tak rela majikannya disakiti.

Aku yang telah memulai penderitaannya, maka aku pula yang harus menebus dan menanggungnya, sehingga ketika perjalananku dengan Bagas menemui jalan buntu, aku mendatangi pak Atmo dan meminta maaf atas perlakuanku pada Bagas.

Lantas aku menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
Hanya itu, karena aku sudah mulai disibukkan dengan kondisi kesehatan Ibu yang memburuk.
Ibu tetap menolak aku bawa pulang ke rumah Solo, meski aku sudah meyakinkan bahwa ia pun wanita tercinta bagi Tumenggung Rekso Darmo, romoku.
Betapapun aku membujuk, Ibu tetap menolak.
Namun aku lega karena Ibu menurut saat aku membawanya ke rumah sakit untuk dirawat di rumah sakit di Solo bukan di Yogya, dengan alasan supaya aku bisa berdekatan dengannya.
Tak kusangka bahwa ternyata hari itu hari terakhir aku melihatnya.

Aku baru saja selesai memimpin rapat penting di Rumah Batik, ketika Pulung tiba-tiba meneleponku.
"Ibu memanggil-manggil namamu, sepertinya Ibu akan pulang sekarang", hanya itu yang ia katakan.
Tanpa mandi terlebih dahulu, aku mengajak mbok Yekti ke rumah sakit dan segera menghubungi mas Wisnu dan mas Indra.

Setiba di rumah sakit aku langsung ke bangsal Ibu. Benar kata Pulung, Ibu sedang menyebut-nyebut namaku.
"Ini saya Ibu, Ibu memanggil saya?"
Ibu menggapaikan tangannya dan kusambut, dingin dan beku.
Sepertinya ada banyak yang hendak dikatakan, namun tak sanggup.
Aku memeluknya dan itulah pelukan terakhir kali.

Tepat saat Perawat menarik kain putih dan menutup seluruh tubuh Ibu, mas Wisnu datang bersama mas Indra dan dibelakangnya menyusul pak Atmo dan astaga! Aku tertegun, lelaki itu bergegas mendekatiku dan memelukku.

"Aku turut berduka cita Rintan".
"Bagas, maafkan aku".
"Rintan, aku menyesal tak sempat bicara dengan Ibumu, menyesal karena belum sempat memintamu darinya, sekarang terlambat".

Waktu-waktu berikutnya adalah kesibukan, kesibukan menyiapkan upacara pemakaman, sehingga diantara kami tak sempat berkisah satu sama lain.

Tetapi yang pasti aku melihat pak Atmo sangat sibuk mengatur mobil jenazah dan segala peranti yang harus dibawa ke pemakaman.

Bagas dan Pulung duduk berdampingan, berjajar dengan mas Wisnu dan mas Indra.
Aku duduk berjajar dengan mbok Yekti serta kakak-kakak iparku.
Barangkali mereka belum tahu betul siapa dan seperti apa wanita yang terbaring di dalam peti yang ditutupi kain putih itu.
Tetapi aku merasakan dukacita yang mendalam melingkupi rumah ini, entah karena wanita yang meninggal itu atau karena perjalanan keluarga besarku.

Di sisi tanah merah yang menggunduk, bunga-bunga yang tertabur di atasnya masih begitu segar, sesegar ingatanku tentang hari-hari terakhir bersama seseorang yang berbaring di dalam sana.
Juga tentang kemarahan Bagas akan pengakuanku.

Tentang mbok Yekti ketika menuturkan siapa sebenarnya aku. Dan aku tertunduk kala mengingat pertama kalinya Pulung datang bersama seorang turis.

Kini ada dua lelaki berdiri di sebelahku.
Seorang memeluk bahuku dan seorang lagi memeluk pinggangku.

Gerimis datang, kembang kemboja putih jatuh di depan kami.
Aku dengar Bagas berkata pelan seolah enggan memecah keheningan, "Pulung, di depan makam Ibumu, di hadapanmu. Aku meminta Rintan untuk engkau izinkan menikah denganku'.
"Sedari awal aku tahu engkaulah pria yang terbaik baginya, ambillah! Aku yakin Ibu merestuinya", jawab Pulung aku semakin menunduk.

Pulung, tanpa kau datang sore itu, tentu selamanya aku tak akan pernah tahu sejarah hidupku, tak tahu riwayat yang tersimpan dalam keluarga besarku.

Tanpa kau datang, aku tak akan pernah tahu sejarah wanita-wanita yang membentukku.
"Kita akan langsung ziarah ke makam Romo dan Ibu", dengan suara serak Pulung berbisik di telingaku.

*** T A M A T ***

Catatan :
1) Romo , ayahanda.
2) Upacara panggih , upacara saat kedua pengantin bertemu / dipertemukan.
3) Upacara tumplak punjen  , keluarga mempelai perempuan membagi-bagikan harta sebagai rasa syukur karena putri bungsunya menikah.
4) Ragil , bungsu.
5) Upacara tedhak siten , upacara turun tanah / menginjak tanah pertama kalinya.
6) Tumenggung , gelar bangsawan, jabatan pegawai tinggi dalam lingkungan keraton, sebutan bupati.

Cerita ini pernah dimuat di Majalah Wanita FEMINA, bulan Juli 2011.
Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER