Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 30 April 2020

Pulung #6

Cerita Bersambung.

"Sudah sejak lama aku menduganya Rintan, namun tak kusangka kau benar-benar ... ".
Setitik air mata membasah di matanya, ia berusaha menahan, "Siapa lelaki itu Rintan?"
"Pulung, dia orang Yogya. Dalam segala hal dia sangat jauh jika dibandingkan dengan kamu, namun hatiku ... hatiku ... "
"Cukup! Cukup! Aku tak ingin mendengar!", katanya seraya beranjak pergi, aku diam tak menahannya. Beberapa menit kemudian terdengar suara mesin mobil dihidupkan dan suara itu lama kelamaan hilang dari pekarangan.

Aku kembali terkungkung sepi.
Dari sekian pikiran yang menggelayut di benakku, hanya satu yang ingin segera aku lakukan, meminta mbok Yekti menunda pulang.
Aku melangkah ke kamarnya, mencoba membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

Wanita sepuh itu tidak main-main, ia sedang melipat baju-bajunya lalu memasukkan ke dalam tas.
Tiba-tiba air mataku berderai, aku hanya bersandar di pintu tanpa sanggup berkata-kata, bayangan sepi melintas.

Bukan karena aku tak sanggup mengerjakan tugas-tugas rumah, bukan aku tak bisa makan tanpa dia.
Tetapi wanita itu aku tak mungkin membiarkannya pergi, setelah begitu banyak perannya di rumah ini.

Membesarkan dan mengasuh kami, anak-anak tumenggungan, sementara Ibu berdagang di Pasar Klewer.
Memandikan dan menyuapi kami, mencuci menyetrika baju-baju dan seragam sekolah kami.
Ia mengabdi dan terus mengabdi melebihi tukang-tukang cap dan para pembatik kebon.
Aku menangis dan menangis, hingga aku sanggup bicara, meski sesekali terisak-isak.

"mBok, silahkan Simbok pergi, jika itu memang Simbok inginkan. Tetapi tolong dengar dan jawab dulu pertanyaanku"_, ia hanya mendongak dan melanjutkan melipat baju.
"Baru saja Bagas datang dan aku sudah katakan bahwa aku jatuh cinta pada pria lain"_, kutunggu reaksinya tak ada.
"mBok, entah mengapa aku begitu terpaut pada pria itu. Aku tak tahu apa yang membuatku bisa begitu. Mula-mula ia datang membeli kain batik untuk teman turisnya, lalu kami bertemu dan kami saling bercerita tentang banyak hal. Saat ini ia sedang mencari ayahnya yang pergi membawa adiknya. Konon katanya, ayah yang ia cari itu adalah bangsawan yang dulu mengirim keris, benda bisu yang menggantikan kehadirannya selaku pengantin laki-laki bagi ibunya. Suatu hari saya ke rumahnya untuk menemui wanita itu. Benar kata Pulung, bahwa mataku mirip mata ibunya, bibirku mirip bibir ibunya. Yang paling menyesakkan aku melihat dua foto kelahiran. Dan laki-laki itu rasanya mirip dengan lelaki yang memangku mas Wisnu dan mas Indra".

Sampai disitu aku menggigit bibir karena tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
mBok Yekti berhenti melipat baju, bibirnya bergerak-gerak serupa membaca mantra.
"Lalu?", ia bertanya.
"Aku mencuri foto itu".
"Dimana sekarang foto itu mbak Rintan?"

Aku keluar mengambilnya lalu kuberikan pada mbok Yekti.
"Gusti Allah! Maha Besar Gusti Allah", katanya.
"Kenapa mBok? Sepertinya Simbok pernah melihat foto ini?"
"Apa benar lelaki yang ... yang ... dicintai mbak Rintan adalah anak dari lelaki yang ada di foto ini?"
"Ya memang benar, kenapa mBok? Simbok bingung?"
"Wanita yang melahirkan bayi ini mestinya bernama Rahayu"
"Astaga! Apa benar? Saya tidak tahu siapa nama wanita itu, namun siapa dia mBok?"
"Rahayu, nama itu artinya Rah yang Ayu, darah yang cantik, kata ndoro kakung'.

mBok Yekti terdiam, pandangannya beralih pada ruang kosong, entah mata itu menjemput apa.
Aku tak bisa menduga.
"mBok? Simbok pernah menemui wanita itu?"

Tiba-tiba ia telungkup dan menangis memeluk bantal. Aku bingung dibuatnya, namun aku terus berusaha menenangkannya.
Hingga kalimat mengerikan itu tiba-tiba menyelusup di telingaku.
"Gusti Allah Maha Besar, mungkin saat ini memang sudah waktunya rahasia itu harus diungkap. mBak Rintan, sebenarnya foto yang selalu mbak Rintan cari telah ketemu. Foto ini adalah foto kelahiran mbak Rintan".
"Dan Ibu yang membesarkan aku?"
"Memang benar, ndoro Putri bukan ibu kandung mbak Rintan", kata mbok Yekti pelan ....

==========

Aku mulai terisak, tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Ingin rasanya aku segera pergi ke Yogya, memeluk wanita renta yang terbaring di kasurnya yang dingin dan membawanya ke sini.

Dipembaringan yang nyaman dan hangat.
Ingin aku memeluk Pulung, tak kusangka cinta yang merengkuhku adalah cinta karena aku dan Pulung sedarah.

Dalam keadaan seperti ini aku mengaku kalah, kalah oleh persyaratan mbok Yekti bahwa aku tak semestinya meninggalkan Bagas.
Tetapi terlanjur, terlanjur Bagas tahu bahwa aku telah mengkhianatinya.

"mBok, ternyata aku telah merampas kebon dan segala yang telah dihasilkan. Kepiawaian mengurus batik, segala fasilitas rumah ini. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya mBok?" tanyaku dalam tangis.
"nDoro Putri yang menghendaki dan memaksa nDoro Kakung untuk mengambil anak perempuan hasil kawin sirinya dengan Rahayu.
nDoro Putri sangat ingin memiliki anak perempuan, yang nantinya akan melanjutkan usaha batik di ndalem (rumah) ini.

Karena kedua anak yang telah dimiliki semuanya laki-laki, sedangkan untuk memiliki anak lagi sudah tak mungkin, karena rahim nDoro Putri telah diangkat".
"Begitukah?"
"nDoro Putri tidak bersalah!"
"Mengapa Romo tega membiarkan wanita Rahayu itu hidup melarat? Dan sekarang ini tengah sakit?"_ tangisku meledak.

"Tidak mbak Rintan, wanita mana pun tak akan rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tentu hatinya akan terluka, seperti Simbok yang terluka".

Aku terus menangis terisak dipangkuan mbok Yekti dan terus mendengar wanita sepuh itu berkata-kata.
"Waktu itu bulan Juli, nDoro Kakung tak pernah pulang sehingga nDoro Putri begitu menderita, itu berlangsung bertahun-tahun.
Mas Wisnu sudah TK dan mas Indra baru tiga tahun.

Dari pengakuan nDoro Kakung sendiri, nDoro Putri jadi tahu bahwa suaminya telah menikah siri dengan wanita lain.
Simbok kemudian ditugasi oleh nDoro Putri untuk mencari tahu wanita itu.

Ternyata ia tinggal di pinggir kota, tengah menggendong anak laki-laki yang usianya mungkin sebaya dengan mas Indra", kata mbok Yekti dengan suara tertahan.

Hening kemudian, hanya terdengar suara mbok Yekti mencoba menahan isak.
Aku menangis dipangkuannya, aku rasakan tangan mbok Yekti membelai rambutku.
Tak ada yang bisa dilakukan nDoro Putri selain menunggu suami kembali pulang dengan segala penyesalan.

Namun ternyata harapan itu teramat jauh. Kesedihan nDoro Putri makin sempurna, ketika dokter mengharuskan rahimnya diangkat.
Namun tatkala nDoro Kakung mengatakan bahwa ia memiliki anak perempuan dari isteri muda itu, nDoro Putri marah dan geram, hingga akhirnya nDoro Putri bicara dan berkeluh kesah pada romonya. 
Beliau memerintahkan nDoro Kakung untuk mengambil anak perempuan itu supaya diasuh dan dimiliki nDoro Putri.

Simbok yang menjemput bayi itu dan nama bayi perempuan itu adalah Intan, namun oleh nDoro Putri diganti menjadi Rintan".
"Simbok?"
"Ya, Rahayu menangis, tapi nDoro Kakung tetap mengambil bayi itu dan menyerahkannya pada Simbok, lalu kami pergi. Tetapi entahlah sejak kapan wanita itu pindah ke kota lain".

Kini aku menangis bukan lagi di pangkuan mbok Yekti, tapi dalam pelukannya yang rapuh, aku merasakan cinta dan kasihnya, tak akan pernah aku lupakan sayang dan perhatiannya kepadaku.
"mBok, tak kusangka laki-laki yang merebut hatiku itu adalah kakak kandungku".
"Gusti Allah telah mempertemukan garis darah itu. Dosa Simbok pada wanita itu kini terlihat makin nyata'.
"Simbok ... Simbok tidak berdosa, Simbok hanya memberikan bakti kepada ibu dan romoku",
"Sekarang saatnya mas Wisnu dan mas Indra tahu, akan aku kenalkan laki-laki dan ibunya itu pada mereka, aku kenalkan pula pada Simbok"...

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER