Episode #4
"Mengapa diam Rintan?", Pulung menepuk punggungku.
"Mengapa tidak kau bawa ke rumah sakit?"
"Ibu tak mau"
"Kau harus memaksanya!"
"Ya, kalau ia demam hanya satu dua hari saja".
Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandangan pada dinding-dinding kamar.
Ruang tidur ini sangat sederhana namun rapi, tak ada perabotan mewah, hanya ada satu almari yang pada tutupnya terpasang cermin.
Lalu di sudut ruang terletak sepasang meja dan kursi.
Pada dinding sebelah kiri ada beberapa foto tertempel disana.
Ketika aku mendekat untuk melihat koleksi itu, alangkah terkejutnya aku, ketika melihat laki-laki yang menggendong bayi sangat mirip dengan laki-laki yang menggendong bayi kakak-kakakku ketika lahir.
"Ada apa Rintan?", Pulung bertanya saat melihatku mematung.
"Ah tidak, aku hanya ingin melihat foto-foto ini".
"Itu ayahku, yang digendong itu aku", katanya seraya menunjuk satu foto dalam pigura kayu.
"Yang ini?"
"Itu adikku".
Aku menoleh ke arahnya sebentar, ada yang aneh dari nada suaranya, dan entah karena ada kekuatan apa, hatiku memerintahkan tangan untuk mencuri foto itu.
Aku memasukkannya ke dalam tas, ketika Pulung kembali ke pembaringan ibunya, lalu mengusap peluh pada dahi kusut itu.
Benakku terus terisi berbagai macam pertanyaan, aku harap Pulung tak tahu salah satu foto keluarganya hilang.
Selepas hari itu, pada waktu istirahat aku suka memandang lama foto curian itu, lalu membandingkan dengan foto kelahiran kedua kakakku.
Aku tak mengerti, bagaimana Pulung bisa mengatakan bahwa ini foto adiknya, bukankah ia anak semata wayang?
Belum pernah sekali pun ia menceritakan tentang saudaranya.
Begitu kuat pertanyaan itu, sehingga aku ingin menghubungi dan menanyakan.
"Lumayan, sudah mau makan dan duduk meski cuma sebentar".
"Syukurlah aku senang mendengarnya".
"Kau baik hati Rintan, kau begitu peduli pada ibuku".
"Oh ya, sekalian aku mau bertanya tentang foto yang ada di kamar ibumu, hmm ...".
"Mengapa kau peduli pada foto itu? Adakah yang menarik?"
"Aku hanya ingin tahu cerita tentang adikmu yang kau sebut, ketika aku bertanya tentang foto kelahiran kemarin. Karena rasanya kamu tak pernah menceritakan bahwa kau punya adik, dimana dia? Kau tak ingin mengenalkannya padaku?"
"Oh itu, kemarin ibu kebingungan, mengapa salah satu fotonya ada yang hilang. Ibu mencarinya dan bertanya padaku apakah aku memindahkan foto itu. Asal tahu saja, ibu sering berlama-lama memandangi foto itu".
Aku kaget bukan main dan dihantui rasa bersalah serta malu karena kelakuanku.
"Pulung, maaf, maafkan aku ... aku ... aku telah mencuri foto itu".
"Ha ... ha ... ha ... kamu lucu sekali, apa gunanya foto itu, kau ini!! Ibu senewen mencarinya, ternyata kau yang mengambilnya, untuk apa?”
"Ah tidak, ya baiklah akan aku kembalikan, tetapi ... ".
"Tetapi apa?"
" Tetapi, kamu tak pernah bercerita dimana adikmu berada".
"Ia ikut ayahku!"
"Oh .. itulah sebabnya kamu terus mencari ayahmu?'
"Ya, atas permintaan ibu, aku harus mencarinya, supaya ia bisa melihat anaknya, meski hanya sebentar saja, ibu sangat merindukannya".
"Oh kalau begitu aku maklum, mengapa foto ini sangat berarti bagi ibumu, maafkan aku!"
"Ha .. ha .. ha .. kau selalu menyenangkan Rintan, kau wanita aneh, tetapi menarik. Tak heran kekasihmu sangat sayang padamu".
Malam itu aku tak bisa tidur.
Tindakan mencuri foto itu membuatku malu dan cerita Pulung tentang keluarganya membuatku risau.
Tentu aku tak akan risau, andai pria yang ada di foto itu tidak sama dengan pria yang menggendong mas Wisnu dan mas Indra.
Tentu aku tak akan risau, andai saja foto kelahiranku ada di dalam kumpulan foto-foto masa kecilku...
***
Sore itu aku begitu sibuk di Rumah Batik, Naning orang kepercayaan yang aku serahi mengelola dan memimpin para pramuniaga sedang menghadiri pesta pernikahan kerabatnya.
Aku sendiri yang kemudian turun mengatur semuanya.
Pukul delapan aku baru pulang, mBok Yekti sedang duduk terkantuk-kantuk di dapur.
Melihat aku datang, wajahnya tampak lega dan senang.
Ia memegang gelas teh sebentar, lalu menoleh ke arahku, "Belum menjadi dingin mbak Rintan".
"Terima kasih mBok, capai menunggu saya?"
"Ah Simbok khawatir mengapa mbak Rintan belum pulang".
"Banyak pekerjaan mBok".
"Berarti mbak Rintan lebih capai daripada Simbok, lekaslah mandi dan istirahat!"
Aku mengangguk mengiyakan
Usai mandi dan beberes, aku rebahan di tempat tidur.
Kembali kegelisahan Pulung dan Bagas mengusikku. Kembali foto yang aku curi itu mengganggu pikiranku.
Besok aku berencana ke rumah Pulung di Yogya untuk mengembalikan foto itu.
Tetapi...
Ketukan mbok Yekti yang menyuruhku segera makan tak aku perhatikan.
Hingga ketika ketukannya tak ada jawaban, mbok Yekti nekat membuka pintu dan melongo mendapati aku yang diam memandangi foto, aku menolehnya.
"Maaf mBak, Simbok kira... ".
"Tak apa, masuklah mBok".
"Ah tidak, Simbok hanya memastikan mbak Rintan baik-baik saja dan sekarang sudah waktunya makan malam".
"Baik saya akan makan malam, tetapi boleh saya bertanya mBok?"
"Apa mBak?"
"Kemarilah!"
"mBok, maukah besok Simbok menemani saya pergi?"
"Ke Yogya, ke rumah Pulung. Lelaki yang telah membuat saya jatuh hati. Saya kemarin kesana, menengok ibunya yang sedang sakit".
"Astaga!"
Tiba-tiba ia murung, lalu beranjak hendak pergi, aku menahannya.
"mBok! Kenapa mBok?"
"mBak Rintan sudah mengingkari permintaan Simbok, ternyata mbak Rintan nekat jatuh cinta lagi. Simbok akan bersiap pulang ke desa saja".
"Jangan mBok! Dengar dulu cerita saya!"
"Tidak mBak, Simbok tetap akan pergi ... ".
Mbok Yekti berjalan cepat, ia meninggalkan kamarku dengan tergesa.
Sejenak aku termangu. Aku merasa dungu dan kalah. Tak mungkin aku menyalahkan dia yang sudah terlanjur sayang sama Bagas, sehingga tak sanggup melihat Bagas tertolak olehku.
Tetapi sungguh mati, tak bisa aku pungkiri bahwa hatiku benar-benar terpaut pada Pulung dan foto itu ... sungguh membingungkanku.
Aku duduk lunglai di kasur, tak tahu harus berbuat apa.
Pipiku tanpa terasa basah oleh air mata, air mata untuk Bagas dan untuk Pulung, untuk mbok Yekti dan untuk diriku sendiri.
Foto di tanganku tampak buram oleh air mata, seburam hatiku.
Aku keluar kamar dan berjalan ke meja makan.
Tak ada nafsu, teh yang terhidang sudah dingin, sedingin hatiku.
Sayup-sayup aku dengar suara deru mobil masuk pekarangan, aku tahu itu pasti mobil Bagas.
Aku malas menyambut dan tetap diam menghadapi meja makan.
Kulihat jam dinding menunjuk pukul sembilan. Bagas masuk dengan wajah ceria, namun kaget melihatku berantakan. Ia mendekat lalu membelai rambutku.
"Ada apa Rintan?"
"Bagas, mbok Yekti memutuskan pulang ke desa selamanya'.
"Oh mengapa begitu? Apa sebabnya? Bukankah ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal disini?"
"Karena ... karena ...".
"Karena apa?” , tampak Bagas tak sabar.
"Karena aku melanggar persyaratannya".
"Persyaratan apa? Aneh-aneh saja!"
"Aku ... aku dilarang jatuh cinta lagi, tetapi aku nekat".
"Apa?! Rintan kau?"
"Maafkan aku Bagas".
Bagas jatuh terduduk dihadapanku, wajahnya yang tadi ceria kini berubah muram dan tegang.
Aku tahu ada marah di wajahnya.
Mendung segera menyelimuti dan mendung itu akulah yang mendatangkan ...
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel