Semenjak siang hatiku diserang gelisah, ada rasa takut bila Pulung menggagalkan pertemuan.
Semuanya bisa terjadi atau aku tiba-tiba harus menggagalkan entah karena apa.
Tetapi daripada aku terbawa gelisah tak menentu, sebaiknya aku menentukan lokasi, seandainya Pulung meminta ngobrol di luar, bukan di rumah batik ini.
Ternyata dugaanku benar, ketika Pulung datang pada petang hari seperti yang dijanjikan, ia meminta ngobrol diluar.
"Kafe Alang-Alang, tempatnya tak jauh dari sini, bagaimana?"
"Setuju", katanya senang.
Kami datang ke kafe itu. Setelah memesan menu, kami langsung bicara pada pokok persoalan yaitu menyampaikan pesanan batik dari Fritz untuk keluarga besannya.
Ternyata pembicaraan bukan hanya seputar batik yang sedang berjuang tetap hidup dan dicintai oleh negerinya, tetapi merembet juga tentang pengalaman-pengalaman kami yang menyenangkan dan menyedihkan.
Tentang pekerjaan dan teman-teman, tentang bioskop dan buku bacaan.
Lalu pembicaraan merembet tentang keluarga, kuceritakan bahwa kedua orang tuaku telah meninggal. Tanpa sadar pembicaraan terus terseret-seret.
"Kenapa? Begitu menarikkah Solo sehingga kamu memilihnya? Bukankah Bali begitu kuat menarik turis?"
"Justru kurang menantang, karena tanpa upaya banyak Bali sudah menarik banyak minat. Pantainya, budayanya dan tari Pendetnya, juga mistisnya. Namun Solo, aku ingin memperkenalkan bahwa Solo pun memiliki cita rasa yang sangat berpotensi ditawarkan pada turis, selain...."
"Selain apa?", tanyaku.
"Aku ingin mencari ayahku", jawabnya.
"Memang ayahmu ke mana? Mengapa harus dicari?"
"Ah, sebenarnya aku sangat *sungkan* jika harus menceritakan hal tersebut" kata Pulung.
"Oke, kalau begitu tak perlu diceritakan" kataku.
"Rintan, kamu merasa ditunggui Ayah meski hanya belasan tahun, sedangkan aku?
Aku sama sekali tidak, bahkan aku tak bisa membayangkan seperti apa wajah ayahku seandainya bertemu.
Tetapi aku masih ingat tatkala ia datang lalu menggendongku semasa kecil dulu
"Memang ayahmu ... ?"
"Pernikahan ibuku tergolong aneh, Rintan. Karena saat hari pernikahan itu, Ibu yang telah berdandan bersanggul hanya pasrah menunggu pengantin laki-laki yang tak kunjung datang. Tetapi, ah ... setelah lama ditunggu, ternyata hanya beberapa utusan yang datang membawa keris sebagai pengganti pengantin laki-laki yaitu ayahku".
Aku terdiam, aku tahu, Ibu pernah bercerita bahwa terkadang bila seorang bangsawan menginginkan seorang perempuan biasa, cara menikahinya hanya dengan keris, karena bangsawan merasa terlalu tinggi derajatnya untuk datang kepada keluarga pengantin perempuan.
Mendengar cerita Ibu, hati kecilku geram, hanya segitukah nilai seorang perempuan yang dicintai?
Hanya segitukah harkat perempuan ditandai?
Adat terkadang memang tidak adil.
"Mengapa kamu diam"_ tanya Pulung.
"Ah tidak, saya hanya membayangkan seperti apa upacara itu", jawabku.
"Bukan upacara. Itu hanya tontonan bahwa Ibu dan keluarganya tak berdaya menghadapi laki-laki bangsawan yang menganggap derajatnya ... ".
" Tapi akhirnya pengantin laki-laki itu datang 'kan?, potongku.
"Iya dong, buktinya aku lahir!"
"Dan sekarang kamu masih lebih baik, karena kamu masih punya ibu, sedang aku sama sekali tak punya".
Pulung, baru dua kali bertemu rasanya sudah mengenal sedemikian lama. Ia simpatik, baik dan bersahaja.
Ketika pembicaraan semakin seru, ponselku berdering.
"Rintan kamu sedang dimana? Aku sudah lama menunggu di rumah!"
"Aku masih bersama rekan".
"Berapa orang disana?"
"Banyak orang", jawabku, buktinya memang pengunjung kafe ini banyak.
Bagas segera menutup telepon setelah mengatakan, "Aku menunggu sampai kau pulang".
Ketika aku menutup telepon, Pulung menatapku sambil berkata, "Mengapa tiba-tiba murung?”
"Tidak apa-apa"
"Maaf siapa yang meneleponmu?" tanyanya.
"Kekasihku".
"Oh sebaiknya kita lekas pulang saja, nanti jika ada waktu saya akan mampir kerumah batikmu"
"Oke, bisa kuminta nomor teleponmu?", pintaku hati-hati. Ia menyebutkan beberapa digit, lalu aku pamit pulang.
Tapi ia tak segera beranjak, "Kamu tidak ingin pulang?", tanyaku.
“Aku masih ingin disini, menikmati malam seorang diri sambil... menyesali mengapa kamu sudah memiliki kekasih".
"Kau ini", dadaku berdebar keras.
"Maaf, lupakan kalimat tadi, saya hanya bercanda. Oh ya lupa bertanya, siapa nama kekasihmu?”
"Bagas, Bagaskoro"
"Nama yang baik, pasti dia seorang lelaki yang baik".
"Tentu saja".
"Penuh pengertian dan bertanggung jawab kan?", ia menatapku lekat, aku balas menatapnya. Ada debar terasa menyambar.
"Ya, dia seperti yang kamu katakan, baik, sangat baik malah".
Ia manggut-manggut dengan mata tak lepas padaku.
Sedikit senyum pahit tercetak di belah bibirnya yang cokelat.
Tanpa gentar ia berkata, "Salamku untuk dia Rintan".
Lalu, ia melambaikan tangan...
Catatan :
*Sungkan*, malu merasa tidak enak hati, enggan.
==========
Aku pulang dengan hati patah berkeping, sekeping buat Pulung keping lain terlanjur terpaut pada Bagas.
Sudah kuduga hari-hari selanjutnya aku kerepotan mengatasi perasaan kangen yang amat sangat.
Juga menghadapi desakan Bagas dan ibunya yang terus meminta kepastian tentang pernikahan.
Tak kusangka hariku demikian rumit, aku tahu kerumitan itu bersumber pada hati, pada keinginan.
Akhir-akhir ini aku mempunyai kebiasaan baru, waktu longgar yang biasa kupakai membaca majalah atau menonton TV, sekarang aku gunakan duduk-duduk diberanda atau di pendapa.
Memikirkan perjalanan hidup yang rasanya kini sampai di persimpangan, namun aku harus memilih atau menerima apa pun konsekuensinya.
Begitu pula dengan petang ini, ketika aku duduk memangku tangan membiarkan pikiran berkelana, mbok Yekti datang membawakan teh panas dan emping melinjo manis kegemaranku.
"mBak Rintan, maaf Simbok mengganggu, cuma mau bilang, persediaan beras tinggal untuk besok", katanya sambil meletakkan nampan di meja.
"Astaga! mBok maaf, saya sampai lupa soal-soal begitu, saya terlalu bergantung pada Simbok sehingga tak pernah memikirkan semua itu. Saya juga lupa belum memberi uang belanja buat Simbok'.
"Sudah koq mbak Rintan".
"Kapan?"
"Hmm, memang bukan mbak Rintan yang memberi tetapi mas Bagas. Dia sangat maklum kalau mbak Rintan lupa. Tetapi kalau soal beras habis, Simbok tidak berani bilang pada mas Bagas".
"mBak Rintan, Simbok perhatikan akhir-akhir ini mbak Rintan murung terus, dan ... ".
" Kenapa mBok?"
"mBak Rintan makin kelihatan kurus, tidak mengurus badan, lihat saja! Ini sudah hampir pukul delapan malam, mbak Rintan belum mandi, iya tho?"
Aku hanya tersenyum.
"Itu! Mata mbak Rintan tampak cekung, sepertinya tidur selalu larut malam. Kerja ya kerja mBak, tetapi harus tetap cantik, atau ...".
"Apa lagi? Simbok sukanya bikin tanda tanya terus!"
"mBak Rintan pusing memikirkan hari pernikahan? Simbok mengerti, karena mbak Rintan harus mengurusnya sendiri, andai saja Simbok bisa membantu ...".
"Ah, Simbok sudah sangat membantu, saya tak bisa membayangkan seandainya di rumah ini tidak ditemani Simbok".
"Tapi mbak Rintan itu pintar dan mandiri, tentu nDoro Kakung dan nDoro Putri kalau masih ada pasti bangga pada anak bungsu tumenggungan ini".
"mBok .. saya sedang bingung".
"Memang apa yang dibingungkan mBak?"
"Simbok pernah jatuh cinta?"
"Tidak!"
"Ha? Pasti bohong!"
"Tidak, Simbok tidak bohong, Simbok tidak pernah berani naksir orang. mBak Rintan ini bertanya koq aneh?”
"Iya, kalau menurut Simbok, bagaimana seandainya saya sudah punya kekasih lalu jatuh cinta lagi pada lelaki lain?"
"Jangan mBak!"
"Kenapa?"
"Kasihan yang ditinggalkan, kasihan mas Bagas. Pasti nanti mas Bagas akan sedih dan merana seperti saya. _mBak Rintan tahu kan dulu suami Simbok lari dengan wanita lain?"
"Sakit ya mBok?"
"Suuaaakiit sekali! mBak, apa sih kurangnya mas Bagas?"
"Dia sangat baik, hanya ... ".
" Sudah! Pokoknya kalau mbak Rintan meninggalkan mas Bagas, Simbok mau pulang ke desa saja!"
"Ha .. ha .. ha .. kenapa? Katanya Simbok tidak mau pulang ke desa, maunya disini sampai tua, bagaimana ini?"
"Ya ... Simbok tidak tega sama mas Bagas".
Wanita sepuh itu tampak sungguh-sungguh, sebab ia berkata demikian sambil menahan air mata yang hampir menitik di sudut mata tuanya yang keriput.
"Ya sudah, Simbok istirahat dulu ya! Ini uang untuk beli beras".
Ia beranjak, menerima uang dari tanganku dan berlalu.
"mBok ...".
mBok Yekti menghentikan langkah mendengar panggilanku.
"Jangan katakan apa-apa pada Bagas atau kakak-kakak!"
"Baik asalkan mbak Rintan tidak jadi jatuh cinta lagi!"
Aku tersenyum dengan kalimat itu.
Dengan persyaratan yang sungguh lucu didengar.
Begitu sederhana pikiran mbok Yekti, memaknai jatuh cinta sedemikian lugunya ...
Tetapi pesan atau tepatnya permintaan mbok Yekti tenyata sulit sekali dituruti.
Nyatanya, aku dan Pulung saling menelepon dan mengirim pesan.
Bahkan kami berani pergi berdua.
Aku tahu Bagas menangkap gelagat ini, sering kudapati ia sudah duduk di pendapa, ketika aku pulang dari Rumah Batik.
Seolah menepis ketakutannya sendiri bahwa aku akan berkhianat. "Maafkan aku Bagas", jeritku dalam hati.
Begitu kuatnya sosok Pulung, begitu menarik jalan hidupnya, begitu mengharukan kisah hidup keluarganya, sehingga aku sangat ingin berkenalan dengan seorang wanita yang pernah menikah dengan keris dan dari rahimnya telah lahir seorang pria yang memukau, memikat dan menjeratku sedemikian rupa.
Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana mata itu menatap kala berkata, "Rintan, bibir dan matamu mirip sekali dengan ibuku, kau cantik sekali. Sungguh berat untuk mengakui dan percaya bahwa kau sudah memiliki kekasih, aku cemburu"
Tetapi kenyataan bahwa aku telah memiliki kekasih tak membuat kami putus komunikasi, bahkan kami makin sering menelepon.
Pada malam kesekian, ketika aku dan Pulung berbincang di telepon saling menceritakan hari kami masing-masing, ia terus bercerita seperti biasa, sangat menarik!
Lalu, Pulung kaget saat mendengar permintaanku untuk boleh menemui ibunya, yang menurutnya ia adalah wanita yang perkasa dan tangguh, "Apa yang ingin kau dapatkan dari ibuku, Rintan?"
"Aku ingin sekedar berkenalan dan berbincang, boleh kan? Aku ingin membuktikan omonganmu bahwa mataku mirip ibumu".
Akhirnya Pulung memang mengizinkan.
Setelah satu jam berkereta Pramex jurusan Solo-Yogyakarta, aku dan Pulung naik andong hingga sampai di rumahnya.
Wanita itu kurus kecil, namun kecantikan khas Jawanya masih tersisa pada wajahnya. Ah seandainya ibuku masih hidup, barangkali sudah setua wanita ini.
Hanya tentu keadaannya akan sangat jauh berbeda, karena secara materi ibuku tak kekurangan.
Sedangkan wanita ini? Hanya memiliki Pulung seorang.
"Silakan istirahat dulu, biar ibu siapkan makan siang seadanya".
Wanita itu ramah, namun pandangannya dingin seolah menyembunyikan luka yang amat perih.
"Nak Rintan asli Solo ya?" dia bertanya usai menyiapkan makanan.
"Ya Bu".
"Pulung sering bercerita tentang nak Rintan".
Aku tersenyum saja, tak tahu harus berkata apa
"Nak Rintan tinggal di mana?"
"Di Kauman dekat keraton'.
Wanita itu manggut-manggut.
Sisa waktu siang itu yang banyak, aku habiskan berbincang dengan Pulung, karena ibunya sudah menyibukkan diri di dalam.
Pada suatu malam Pulung meneleponku, memberi kabar ibunya sakit.
Aku sangat ingin berkunjung dan menengok keadaannya. Sekalipun barangkali tak ada yang bisa kulakukan, aku ingin menjenguknya.
Tapi tak kukatakan pada mbok Yekti dan Bagas bahwa kepergianku ke Yogya bukan untuk urusan bisnis.
Ketika aku sampai dirumahnya, aku melihat wanita itu hanya berbaring di kasur dengan mata terpejam.
Selimut menutup tubuhnya hingga dada.
Aku datang mendekat, menjamah kakinya dan membetulkan selimutnya yang tersingkap pada kakinya, Pulung hanya menatapku.
"Ada Rintan datang menjenguk ibu", bisik Pulung seraya mendekat ke telinga ibunya.
Namun wanita itu diam saja, hanya membuka mata sebentar lalu menutup mata lagi. Aku menghela nafas.
Aku teringat saat-saat terakhir ibuku membelai rambutku, mengusap-usap punggung tanganku, sebelum akhirnya meninggal dunia menyusul Romo ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel