Memang selain mbok Yekti dan kedua kakakku, Bagaslah orang yang selalu mendukungku, yang selalu menaruh perhatian kepadaku.
Dulu saat aku membangun Rumah Batik yang aku beri nama *PUTRI KENCANA*, ia banyak memberikan waktunya untuk mengurus tukang, memantau pembangunan.
Bahkan ketika aku membutuhkan dana mendesak, ia merelakan tabungannya.
Hubungan selama tiga tahun yang telah terjalin, tepatnya setahun sepeninggalnya Ibu, membuatku kembali mendapat kemanjaan.
Aku begitu percaya kepadanya dan rasanya tak mungkin aku jatuh cinta lagi selain dia.
Sepertinya aku sudah hentikan langkah, karena telah menemukan yang kucari. Dia anak sulung sedangkan aku anak bungsu, mbok Yekti bilang menurut hitungan Jawa itu sangat klop, cocok! Ya aku memang merasa cocok dengan Bagas.
Tetapi suatu hari pendapatku tentang hubungan kami berubah.
Sebenarnya aku takut mengatakannya, tetapi harus aku akui, bahwa aku jatuh cinta lagi!
Awalnya hanya pertemuan biasa, aku mengenalnya ketika ia datang mengantarkan turis asing berkunjung ke rumah batikku.
Saat itu menjelang malam, lampu-lampu jalan sudah dinyalakan. Ia bersama tamunya tampak lelah dalam balutan kaos oblong.
Seperti kebanyakan pemandu, penampilannya biasa saja, jauh dari necis, tetapi secara keseluruhan ia adalah pria yang menarik.
Ketika berbicara, bahasa Inggrisnya begitu fasih dan enak didengar.
Aku mengamati mereka berdua, sekilas ia menoleh kepadaku. Jika melihat cara dia memandang barangkali ia menyangka aku pengunjung juga.
Ia masih berbincang dengan kawan turisnya saat aku datang mendekat.
"Ada yang bisa saya bantu?", aku bertanya. Ia menatapku dan turis itu juga memandangku, ada senyum tipis di garis bibirnya.
"Terima kasih, apakah saya bisa bertemu dengan pemilik Rumah Batik Putri Kencana ini?"
"Saya sendiri pemiliknya".
"Oh, kebetulan sekali!" katanya senang,
"Namaku Pulung".
Lalu ia memperkenalkan kawan turisnya, "Dia Fritz kawan saya dari Belanda.
Moyangnya orang Indonesia.
Dulu juga pengrajin batik dan sekarang ia ingin lihat-lihat kreasi batik yang dulu pernah ditekuni moyangnya di kota ini".
"Oh, menarik sekali".
"Tolong, ibu ... ?”
"Rintan, nama saya Rintan", kataku memperkenalkan diri.
"Begini ibu Rintan, saya kurang menguasai batik dan segala keunikannya, tolong bantu saya memberi informasi pada Fritz'.
Dengan senang hati aku menjawab banyak pertanyaan pria itu dan teman turisnya.
Dari cara bertanya, mereka sepertinya memiliki keingintahuan besar tentang batik.
Maka aku jelaskan tentang proses pembuatan batik yang sangat memakan waktu.
Tentu saja proses itu aku hafal di luar kepala.
"Kalau yang ini motif mega mendung, ia menyimpan sejarah dan riwayat. Merupakan perkawinan dua budaya. Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Campa dari Cina. Jadi mega mendung lahir dari dua perbedaan yang disatukan".
Mereka berjalan pelan mengikutiku.
"Baik ibu Rintan, sekarang tamu saya ini ada keperluan. Ia ingin meminang gadis Indonesia dan ia ingin mengenakan batik saat acara nanti, bisakah bantu kami memilihkan mana yang tepat?"
"Satriyo manah, ambil untuk acara penyerahan *peningset*.
Batik itu menggambarkan bahwa seorang lelaki telah berhasil memanah hati gadis pujaannya.
Atau ... Wahyu tumurun, dikenakan pada acara midodareni, malam menjelang pernikahan, dan dijadikan pengingat, kenang-kenangan.
Wahyu tumurun adalah wahyu yang turun dari Yang Maha Kuasa kepada dua hati yang akan disatukan.
Mereka tampak puas dengan penjelasanku tentang dua jenis batik yang aku sodorkan.
Hasilnya kedua motif batik itu pindah dari lemari kayuku ke tangan Fritz.
"Ibu Rintan, bolehkah saya meminta kartu nama Anda?"
"Tentu saja boleh", kataku mengangguk dan mengambil selembar kartu nama motif kawung warna coklat tua ...
Catatan :
*Peningset* / *Penyingsat*, barang yang diberikan pihak calon pengantin laki kepada pihak calon pengantin perempuan sebagai tanda pengikat persetujuan diterimanya lamaran.
==========
Tak kusangka kejadian itu sangat membekas. Sepanjang sisa waktu selepas pertemuan sore itu, aku banyak melamunkan seorang lelaki bernama Pulung.
Aku tak tahu, apakah aku sedang mengalami kebosanan menjalani hubungan dengan Bagas atau memang ia terlalu menarik sehingga hatiku tertawan.
Diam-diam aku berharap ia kembali mendapatkan kerepotan tentang batik sehingga ia meneleponku dan kami berdua bisa bertemu.
Tetapi aku disibukkan lagi dengan banyak urusan dan pesanan, aku mulai melupakan tentang pertemuan sore itu.
Namun justru pada saat aku mulai lupa, Pulung meneleponku, ketika dalam perjalanan pulang dari rumah Bagas.
"Bu Rintan, saya ingin berbincang sedikit tentang batik, kapan Anda punya waktu longgar?'
"Jumat malam, saya ada waktu".
"Waduh! Hari itu saya yang agak kerepotan, bagaimana kalau Sabtu malam?"
Aku terdiam.
"Maaf, rasanya saya salah menawar hari, tentu hari itu adalah hari untuk keluarga Anda. Suami dan anak-anak".
"Saya belum bersuami dan memiliki anak".
"Ah kalau begitu berarti waktu itu untuk kekasih Anda, maaf, mungkin hari Minggu saja?"
"Baiklah, saya setuju"
Dan hari Minggu yang kami rencanakan itu adalah lusa. Dua hari mendatang aku akan bertemu kembali dengan Pulung.
Aku tak akan katakan itu pada Bagas, karena pertemuan itu adalah pertemuan bisnis, meskipun sebenarnya aku menginginkan lebih dari itu, lebih dari sekedar pertemuan biasa.
Mengatur batik pesanan kawan yang tinggal di luar Jawa, juga mempersiapkan beberapa potong kain batik yang akan dibawa kakak Bagas ke Singapura, sehingga selepas isya aku baru bisa pulang.
Usai mandi mbok Yekti sudah selesai menata meja makan.
Aku mengerutkan kening karena melihat banyak makanan yang terhidang tertata disana.
Melihatku diam memaku, mbok Yekti hanya tersenyum.
"mBok, makanan sebanyak itu siapa yang akan menghabiskan?' tanyaku.
"Ya mana Simbok tahu, ini semua mas Bagas yang nyuruh'.
"Ngapain dia menyuruh menyiapkan makanan sebanyak itu? Tanpa kompromi lagi!", kataku sedikit dongkol sambil berlalu masuk ke kamar.
Ketika aku sibuk memilih-milih kaus, mbok Yekti mengetuk pintu lagi, "mBak, sudah ditunggu mas Bagas".
"Biar mBok, suruh dia makan dulu semua makanan yang ia pesan pada Simbok!"
"Jangan begitu tho mBak, mbak Rintan jangan menyulitkan Simbok".
"Siapa yang menyulitkan? Ya sudah, mbok Yekti makan berdua dengan Bagas!"
Hening tak ada jawaban. Ketika aku menunggu beberapa menit tetap tak ada suara, aku membuka pintu kamar, dan ....
Astaga! Di ruang makan telah berkumpul kedua kakakku beserta keluarganya, juga ada Bagas.
Ketika melihat aku keluar, mereka serentak menyanyikan lagu Happy Birthday, aku terharu.
"Rintan, selamat ulang tahun", Bagas menciumku, lalu membuka bungkusan itu. Ah, cantik sekali!
Sebuah bros perak berbentuk canting. Air mataku hampir saja menetes ketika Bagas menyematkannya di kausku.
"Terima kasih Bagas".
"Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan Rintan, sampai kau lupa tanggal lahirmu sendiri”, Bagas berbisik sambil menepuk pipiku.
Tak urung kalimatnya membuatku kembali teringat akan raibnya foto kelahiranku.
Yah 28 tahun yang lalu, mestinya ada tukang foto yang mengabadikan saat pertama aku hadir di dalam luasnya dunia ini.
Aku berjalan mendekat pada kakak-kakakku.
Satu persatu mereka menyalami dan mengucapkan selamat ulang tahun.
Tetapi ketika tiba waktu aku menerima jabat tangan mbak Sita, kakak iparku, ia geleng-geleng kepala, sepertinya prihatin memandangku.
Tetapi Yosa keponakanku langsung nyeletuk, "Tante Rintan, kok bajunya jelek”, katanya.
"Maaf, Sayang, Tante...".
"Iya dik Rintan, ganti baju sana! Biar serasi dengan Bagas!"
"Maaf mbak Ambar, mbak Sita, saya benar-benar lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun saya"...
Karena kakak-kakak ipar terus mendesak, akhirnya aku ganti baju juga.
Meski kami hanya makan sup jagung, bakmi dan nasi goreng spesial masakan mbok Yekti, kami serasa makan di restoran.
Malam itu di rumah sangat ramai, meriah dan semua itu membuatku sungguh berterima kasih pada keluargaku. Aku bersyukur memiliki keluarga yang sangat perhatian, dan tentu saja terima kasih itu juga kuberikan pada mbok Yekti, juga Bagas.
Bagas yang sering mengajak mbok Yekti bersekongkol untuk memberi kejutan padaku, aku yakin memang semua ini idenya.
Bagas ... andai kau tahu bahwa besok aku akan menemui seseorang yang tanpa kusangka telah melahirkan cintaku.
Andai kau tahu ...
"Ayo pokoknya semua masakan Simbok harus dihabiskan", mbok Yekti sibuk melihat meja makan siapa tahu ada perlu yang ditambah.
Hingga jauh malam di rumah masih ramai.
"Bagas, kapan kalian akan menikah? Jangan terlalu lama menunda!". Mas Wisnu membuka pembicaraan tentang hubunganku dengan Bagas.
"Ah itu sih terserah Rintan maunya kapan Mas".
"Terlalu lama pacaran tidak baik, kalau kalian sudah merasa saling cocok tunggu apa lagi?"
"Bagaimana dik Rintan?” , mbak Sita menatapku.
"Jangan cuma dipikir saja !”, mas Indra menyahut.
Mereka tak tahu bahwa saat ini hatiku sedang tertawan oleh seseorang hanya dengan pandangan pertama, perjumpaan yang hanya beberapa menit.
Tanpa terasa malam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, kakak-kakakku pulang karena anak-anak sudah mengantuk, tetapi Bagas masih tinggal.
"Rintan, bapak dan ibuku ingin bertemu kamu besok, kamu bisa ke rumah kan?”
"Besok? Bagaimana kalau lusa? Karena aku terlanjur ada janji dengan rekan yang membutuhkan batik bukan sekedar barang tetapi juga beberapa penjelasan".
"Rintan, jika menuruti pekerjaan tak akan ada habisnya, terus terang ibu sudah ingin kita segera menikah", aku diam.
Sebenarnya aku tahu maksud pembicaraan ini, tetapi ... Pulung ...
"Ya sudah lusa juga tidak apa-apa".
"Terima kasih untuk pengertianmu Bagas".
"Jam berapa kamu janjian dengan rekanmu?"
"Sore, dia akan menelepon memastikan kedatangannya".
Bagas hanya manggut-manggut, dan aku berjuang menyembunyikan debar dan bayangan Pulung.
"Bagas sudah larut malam, aku lelah, bisakah ...?"
"Oke .. oke, aku akan pulang sekarang, terima kasih dan selamat malam", ia menciumku.
"Terima kasih kadonya", kataku.
Ia hanya mengangguk dan berlalu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel