Dua tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk membuat Rumah Batik di sebelah utara garasi, aku mulai menata ulang rumah utama dan beberapa ruang yang banyak berisi benda-benda kuno milik keluarga.
Mas Wisnu dan mas Indra tak keberatan, setelah aku memberi alasan, bahwa jika tetap di Pasar Klewer, lingkup ruang gerakku sangat kurang, sangat terbatas.
Profesionalitas dan kreativitasku tak mungkin bisa tertampung pada kios yang luasnya sama dengan luas kamar mandi tumenggungan.
Tak ada ruang untuk display / pamer, sehingga beberapa kenalanku malas datang karena di Pasar Klewer terlalu berjubel.
Itulah alasan yang membuat kedua kakakku sangat mendukung keputusanku untuk pembangunan Rumah Batik.
Bahkan mereka bersedia membantu mendanainya.
Pada saat itulah, pada saat aku menata ulang barang-barang keluarga, aku menemukan foto-foto yang kini terhampar di meja kerjaku.
Aku masih memandangi dua foto kelahiran dan tiga foto tedhak siten.
Masih tetap bertanya-tanya kemanakah foto kelahiranku?
Sungguh aku ingin tahu, seperti apa saat pertama aku menghirup udara.
Mungkin seperti kedua kakakku yang telanjang masih berlumuran cairan dari rahim ibu, bayi mungil itu telah menangkap udara.
Tangannya yang menggapai-gapai lucu sekali. Tak jarang aku menitikkan air mata jika terus memandangnya.
Gorden cokelat muda motif lokcan di sebelah kananku berkibar-kibar pelan oleh hembusan angin yang menerobos dari jendela samping.
Sehingga kamar ini menjadi lebih semilir.
Memang daun jendela kubiarkan tetap terbuka, meski malam merambat datang.
Pada saat perenungan itu, aku dikagetkan suara ketukan di daun pintu dari luar.....
"Ya mBok, sebentar lagi", jawabku tanpa beranjak dari kursi.
"Nanti keburu dingin".
"Baiklah, saya akan mandi sekarang, mBok".
Bukan hanya itu, ketika aku bersiap ke kamar mandi, ternyata ia pun sudah menyiapkan teh panas di meja depan televisi. Aku menyeruput sedikit, merasakan nikmatnya teh buatan mbok Yekti.
Wanita sepuh itu telah berpuluh tahun mengabdi disini. Sejak mas Wisnu lahir hingga beranak dua.
Tentu ia lebih mengenal rumah ini daripada aku.
Betapa aku terharu waktu itu, pada hari ketika Ibu meninggal, ia terus di sampingku, menjaga dan menghiburku.
Dan betapa meluap terima kasihku, karena ia tetap bersedia tinggal disini.
Ia kasihan padaku, karena hanya seorang diri menghuni rumah besar ini.
Tempat inilah yang mempertemukan jodohnya, sekaligus membuatnya menjadi janda.
Suaminya tukang setor dagangan batik yang dihasilkan rumah ini, lalu jatuh cinta pada penjaga kios Pasar Klewer.
Mungkin ia kawin lari dengan wanita itu, karena menurut mbok Yekti ia tak pernah pulang lagi setelah kedoknya diketahui ibuku.
mBok Yekti seperti menggantikan ibuku, meringankan kerepotanku dan membantu menyiapkan segala keperluanku.
Sering karena kesibukan yang menumpuk, aku lupa memberinya uang belanja, tapi ia tak pernah meminta.
Baginya tetap diizinkan tinggal dirumah ini dan mengurusku itu sudah sangat membahagiakannya.
Begitu katanya ketika suatu hari aku memintanya supaya mengingatkan, jika aku lupa memberi uang belanja.
Aku sering memergoki ia memandangku lama, ketika aku duduk sambil bersila dan kadang *nyakrik*, saat memilah-milah batik menurut motif yang diproduksi rumah ini, atau saat aku melepas penat sembari menonton televisi.
Ketika aku bertanya apa yang sedang ia pikirkan tentang aku, ia hanya menjawab, "Den Rintan hebat. Den Rintan adalah pahlawan bagi buruh-buruh batik di rumah ini. Karena den Rintan ternyata mewarisi bakat nDoro Puteri.
Makanya tidak heran kalau buruh-buruh di kebon sangat hormat dan sayang pada den Rintan".
"Begitu ya mBok?".
"Iya, masih ingat dulu waktu nDoro Puteri bicara, bahwa den Rintan akan ujian, pakde Karto dan pakde Marji puasa senin-kamis, nyenyuwun (memohon) pada Gusti Alloh supaya den Rintan sukses.
Kemarin sewaktu den Rintan meresmikan Rumah Batik, seluruh buruh kebon mengadakan doa bersama pada malam sebelumnya. Supaya usaha yang dirintis den Rintan berjalan dengan baik, rezekinya lancar, karena lancar bagi den Rintan artinya juga lancar bagi para buruh itu".
"Ah mBok, mana bisa saya hidup tanpa pakde-pade dan mbokde itu. Jelas saya tidak mungkin bisa hidup tanpa yu Par atau yu-yu yang lain".
"Itulah! Seperti yang simbok bilang, den Rintan hebat".
"mBok, dari tadi koq manggilnya pakai "Den" terus. Kan sudah saya katakan berkali-kali panggil saya mBak atau Rintan saja, jangan pakai Den!"
"Baiklah, tetapi simbok memanggil begitu karena den Rintan keturunan Kanjeng Tumenggung Rekso Darmo".
"Tumenggung juga manusia biasa, nyatanya Romo bisa meninggal. Romo punya kelemahan, bahkan mas Wisnu bilang, Romo meninggal karena Romo ternyata mengidap penyakit ...".
"Sudahlah .. sudah den Rintan, tak perlu diingat lagi!".
"Ah simbok ini, kalau masih memanggil Den, saya tak akan meladeni".
"Iya, mbak Rintan baiklah. Tetapi seharusnya mbak Rintan percaya bahwa nDoro Kakung... ".
"Saya tetap saja ingat, sebab kata mas Wisnu, Romo sakit karena banyak berhubungan dengan bermacam wanita", aku memotong kalimat simbok.
Wanita sepuh itu menunduk dalam, lalu memandangku lagi dengan lembut.
"Ah nDoro Kakung itu priayi yang baik mbak Rintan".
"Tetapi mengapa tega berhubungan dengan wanita lain? Tanpa memedulikan perasaan Ibu?"
"Sudahlah mbak Rintan, tidak usah mengungkit lagi, nDoro Kakung dan nDoro Puteri sudah tenang di alam sana".
mBok Yekti akan terus menenangkan perasaanku, ia memang suka mengingat dan mengucapkan betapa baik hati Romo dan Ibu ...
Catatan :
*Nyakrik* / *jegang*, duduk dengan salah satu kaki atau keduanya terlipat dengan dengkul berdiri
==========
Tetapi, pada suatu hari ketika aku berbaring di sofa karena kelelahan setelah seharian bekerja di Rumah Batik, mbok Yekti datang memijit kakiku.
Seperti biasa, ia akan menceritakan banyak hal, mendongeng tentang desanya, tentang zaman Londo (Belanda) atau tentang kenakalan kakak-kakakku semasa kecil.
Seperti mendapat kesempatan, aku memintanya bercerita bagaimana suasana ketika aku dilahirkan.
"Maafkan Simbok, mbak Rintan, rasanya Simbok sudah lupa. Semuanya lupa bagaimana mbak Rintan ketika lahir. Apalagi soal den Bagus Wisnu dan den Bagus Indra lahir. Maklum sudah tua, pikun!", Ia berkata sedikit gugup.
mBok Yekti lalu bergegas ke belakang dengan alasan mau memanasi sayur. Aku jadi gelisah, seolah ia enggan kuajak ngobrol lagi. Padahal aku tahu betul tentu banyak yang dia ingat tentang rumah ini.
Aku akui, memang perasaanku terganggu ketika suatu sore Bagas datang ke rumah saat aku sedang membersihkan album-album itu dengan kemoceng.
Bagas menyempatkan membuka-buka, lantas kami berdua membuka dan membahas foto-foto itu. Ia banyak komentar tentang masa kecil kami.
Namun ketika ia tak menemukan foto kelahiranku, ia menggoda dengan berkata, "Jangan-jangan kamu bukan anak Romo dan Ibu, jangan-jangan kamu anak pungut Rintan".
"Kalau ternyata benar, bagaimana?"
"Aku tak jadi meminangmu", katanya sambil tertawa.
Aku tahu ia hanya menggoda, namun kalimat itu sangat manjur, membuatku ingin mencari foto kelahiranku.
Tapi satu-satunya orang yang tinggal di rumah ini yang tahu banyak tentang keluarga ini, sudah mengaku pikun meski usianya belum genap enam puluh tahun.
Berbeda dari Bagas, kekasihku itu, tak pernah lagi mengingat apalagi mengungkit soal foto.
Sebenarnya aku tahu Bagas biasa bercanda, meskipun kesehariannya selalu dipaksa berpikir serius.
Tetapi perkataannya sore itu, entah mengapa tak bisa kuanggap canda saja, sehingga aku masih sering terganggu dengan kalimatnya.
Ia tak jadi meminangku, seandainya aku hanya anak pungut keluarga Tumenggungan.
Ketika aku membicarakan tentang hal itu, ia kaget, "Bagaimana mungkin hanya karena kalimat candaku itu kamu begitu resah Rintan? Mestinya kamu berpikir, bisa saja saat kamu lahir tukang foto yang dipanggil Romo berhalangan datang, atau tukang foto itu datang tapi hasilnya rusak.
Sudahlah! Tak ada gunanya kamu memikirkan hal itu. Asal kamu tahu Rintan, seandainya benar kamu bukan anak kandung Romo-Ibu, aku tetap mencintaimu. Tetap menikah denganmu dan akan memiliki anak-anak dari rahimmu. Maafkan aku kemarin bercanda. Aku tidak bermaksud serius, aku hanya bercanda.
Mulai sekarang kamu tidak perlu memikirkannya lagi, oke?"
Aku mengangguk, resahku berangsur hilang ...
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel