Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 25 April 2020

Pulung #1

Cerita Bersambung.

Penulis : *INDAH DARMASTUTI*

Waktu itu bulan Juni, ketika tanpa sengaja aku menemukan foto-foto lama keluargaku. Warnanya sudah agak kekuningan, karena lembar-lembar itu telah usang.

Seingatku, terakhir kali melihatnya ketika aku masih duduk di bangku SD. Setelah itu, entah dimana Ibu menyimpan, aku tak pernah tahu.
Ternyata, setumpuk foto itu tersimpan dalam lemari kayu tua yang sangat jarang dibuka.
Waktu pertama kali membukanya setelah bertahun-tahun terlupakan, aku tersenyum sendiri.
Semua masih seperti dulu, ada foto ketika Romo 1) dan Ibu menikah.
Upacara panggih 2) yang terkesan sakral dan upacara tumpak punjen 3), karena Ibu anak ragil 4).

Lalu, foto-foto yang kutemukan itu menyedotku pada masa lalu. Masa ketika keluargaku mulai terbentuk.
Pada album hijau ada foto-foto mas Wisnu Wardhana, kakak tertuaku lahir.
Romo duduk di kursi menggendong bayi mungil dikelilingi para abdi yang duduk bersila di tikar memanjatkan doa-doa.
Ada pula foto mas Wisnu pada upacara tedhak siten 5). Adat keraton, ketika pertama kali seorang anak menginjakkan kaki di tanah.
Dan masih banyak lagi foto-foto yang menceritakan bagaimana mas Wisnu tumbuh.

Lalu di album cokelat ada foto-foto mas Indra Prabangkara, kakak kedua.
Sama seperti foto-foto mas Wisnu, foto mas Indra juga lengkap ketika lahir hingga masa-masa pertumbuhan.
Bahkan yang ini lebih lengkap, ada foto ketika Romo membawa payung dan menggendong gentong kecil yang berisi ari-ari mas Indra untuk dikubur di samping kiri pintu utama.

Lalu yang terakhir adalah album merah yang berisi foto-fotoku. Koleksi di album ini lebih banyak dari album-album yang lain. Jumlahnya dua kali lipat. Bahkan foto tedhak siten lebih komplit dari pada yang lain.

Wajahku bulat dengan mata bersinar-sinar duduk dalam kurungan ayam dengan beberapa macam mainan terserak.
Namun tanganku memegang sempoa kayu berwarna coklat tua. Memang dari ketiga anak Romo dan Ibu, foto-fofokulah yang paling banyak.
Tetapi ada yang kurang, karena aku tak mendapati foto kelahiranku. Tak ada foto ketika Romo menggendongku lalu dikelilingi para abdi dalem yang memanjatkan doa-doa.
Tak ada foto Romo menggendong gentong kecil yang berisi ari-ariku untuk dikubur. Aku bolak-balik tetap saja tak kutemukan foto itu.

Hal itu membuatku mengerutkan kening, kemana foto kelahiranku disimpan Romo atau Ibu.
Tak mungkin aku bertanya pada mereka, karena Romo telah meninggal sejak aku berusia 13 tahun dan Ibu menyusul pada musim hujan empat tahun lalu.

Ketiga album itu tetap kusimpan dan kurawat baik-baik, seperti kurawat benda-benda lain peninggalan keluarga Tumenggungan 6) ini.
Jika ada waktu longgar sesekali aku melihat foto-foto itu.

Sebagai seorang Tumenggung di Keraton Surakarta, Romo cukup sukses secara materi. Itu tak lepas dari usaha dan jerih payah Ibu yang sanggup meneruskan usaha pembatikan di lingkungan keraton ini.
Meskipun banyak pengusaha batik di Kampung Kauman, Romo dan Ibu sanggup bersaing.
Ibu yang menggantikan mertuanya, nenekku, membuka kios di Pasar Klewer, yang akhirnya diwariskan padaku putri bungsu Tumenggungan. Satu-satunya anak perempuan yang dimiliki Romo dan Ibu ....

==========

Sejak kecil Ibu sudah mengajarku dan mengenalkan aku pada batik.
Aku sering pergi ke kebun belakang tempat para pembatik dan tukang-tukang cap bekerja.
Dengan menggunakan canting kain-kain putih itu dilukis dengan cairan hitam yang mengeluarkan bau sengak.
Kemudian kain itu diwarnai, lalu dicuci pada air mendidih agar malam, lilin perintang pada batik itu hilang, sehingga menampakkan motif yang indah hasil karya orang-orang kebon.
Kadang sepulang sekolah aku naik becak menyusul ibu yang berdagang di Pasar Klewer.

Sebuah tempat ketika seorang wanita menjadi lain. Ketika di rumah mereka adalah isteri, ibu atau janda, di Pasar Klewer mereka adalah direktur.
Menunjukkan kemampuan hebatnya, ketika mengambil keputusan-keputusan final saat menjual atau membeli baik batik maupun berlian.
Dan teman-teman Ibu sesama pedagang yang mampir ke kios akan mencolek pipiku karena gemas sambil berkata, "Juragan cilik sudah makan apa belum?"

"Sudah, dua kali!", jawabku dengan gembira.
Lalu teman Ibu akan mengelus rambut dan mencium pipiku.
Kadang mereka membelikanku semar mendem, makanan dari ketan yang diberi saus santan kental, atau mereka belikan aku permen atau es sirop. Semua ingatan itu terekam baik dalam benakku.
Dan sekarang akulah yang melanjutkan usaha batik sejak Ibu meninggal.

Banyak kesulitan yang kuhadapi, meskipun sejak kuliah aku sudah membantu menjalankan usaha ini.
Mengatur para pembatik, tukang cap dan pekerja-pekerja lain yang berhubungan dengan batik.
Pada saat seperti itulah aku sangat mengakui betapa luar biasa ibuku.
Karena bukan hanya mengatur gaji buruh dan belanja perlengkapan batik, tetapi juga menentukan jenis batik apa yang harus banyak diproses, berapa kodi pekerja harus membuat batik kawung, ratu ratih, sekar jagad, parang barong, parang klitik atau bledak. Ibu harus memahami pasar persaingan yang begitu keras.

Beruntung pada masa remajaku, aku sering menunggui pak Minto yang meneliti hasil batikan, kalau-kalau ada yang harus diperbaiki.
Aku suka melihat dan mengajak ngobrol yu Warti atau yu Muji, ketika mereka sedang membatik. Kuamati baik-baik ketika mereka memonyongkan bibir meniup carat canting sebelum melukis kain.
Tak kusangka bahwa akulah yang meneruskan bekerja sama dengan mereka.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER