Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 16 Juni 2020

Mendadak Nikah #1

Cerbung
Karya : Mayang Si Meyong

Guuuubbbraaakkkkk

Aku dan sepedaku jatuh bersamaan. Kulihat susu sapi pesanan pelanggan ku hancur berserakan kemana-mana. Aku merintih kesakitan, ternyata sikut dan dengkulku ikut tergores aspal jalan juga.Perih.
Ku arahkan bola mataku ke belakang. Ku tatap sinis sopir yang masih anteng di dalam mobil mewahnya. Ga habis pikir kenapa dia ga lekas turun dari mobilnya?Aku terpapah menghampiri mobil yang sudah menabrak ku dari belakang itu.

Tok tok tok
Kaca mobil terbuka.

"Ini" ucapnya datar sambil menyodorkan aku beberapa lembar seratus ribu dengan tiba-tiba. Lelaki itu berbicara tanpa memandang aku sedikitpun yang lagi kepayahan. Aku benar2 tidak menyangka melihat sikapnya.

"Yaaaa ... Kamu memang harus ganti rugi karena kamu udah nabrak aku dan ngerusakin sepeda aku. Tapi apa ini, cara orang kaya untuk menyelesaikan masalah?"
"Apa segini ga cukup? Oke aku tambahin."Lelaki  berkulit sawo matang itu mengambil beberapa lembar uang lagi di dompetnya. Aku benar2 muak dengan tingkah sombongnya.
"Setidaknya kamu minta maaf dulu. Ga seharusnya kamu memperlakukan orang lain dengan cara rendahan kaya gini. Apalagi ini jelas-jelas salah kamu."
Lelaki itu terdiam. Diambilnya nafas yang panjang."Sorry" ucapnya begitu datar. "Tadi sedikit buru-buru. Jadi gak sengaja nabrak." Jelasnya masih dengan gaya tengilnya. "Lagi pula sepedanya juga ga kenapa-kenapa kok. Cuma susu aja yg berantakan." lanjut nya sambil melihat keadaan yang ada didepan mobil dan tanpa ada rasa menyesal sedikitpun. Dia tak merasa jika aku sedang merintih menahan sakit.

Aku benar-benar geram dibuatnya. Aku tatap dia dengan mata sinisku. Tersenyum pahit sambil menatap dirinya yang sok merasa tampan.

"Sikap kamu benar-benar gak bisa termaafkan ya. Kamu terlalu sombong dengan uang yang kamu punya. Jadi ini pendidikan yang kamu terima selama sekolah dulu? Aku yakin dulu kamu itu pasti sekolah di sekolahan yang mahal kan? Berstandar internasional, gedungnya bagus, biayanya mahal. Iya kan? Tapi aku rasa kamu sekolah dengan percuma. Karena kamu gak pernah ngerti apa arti dari tenggang rasa." ucapku ketus sambil ngeloyor pergi kearah sepedaku.

Aku mencoba menahan sakit di bagian yang lecet. Aku punguti susu-susu yang masih utuh kemasannya. Perlahan aku menggiring sepedaku pulang.

Tak lama berselang. Aku dihampiri mobil yang menabrakku tadi. Dia membuka kaca mobil. Dilemparnya selembar kartu nama kehadapan ku. Lalu dia pergi begitu saja. Aku menatap geram. Aku pungut kartu nama yang jatuh ke jalanan.

Raihan Wijaya Saputra
***

"Apa ka Nana bilang? Belum ada uangnya?" tanya adikku Nayla yang merasa bingung. Kulihat wajahnya penuh kegelisahan. Mondar mandir dihadapanku.
"Tadi pagi kakak dapet masalah. Dan mau gak mau kakak harus ngegantiin semua ganti ruginya dengan semua gaji kakak bulan ini. Dan bos kakak juga ga mau pinjemin uang buat bayar ujian kamu." Aku merunduk sedih.
"Ya terus gimana? Ujiannya tinggal 3 hari lagi. Dan besok batas akhir pembayarannya. Aku malu kak Nana kalo sampe besok aku belum bayar uang ujian. Dan juga aku udah nunggak pembayaran spp beberapa bulan. Apa kata temen-temen aku nanti?"

Aku terdiam. Memikirkan bagaimana caranya aku dapet uang dengan cepat. Aku pun mulai gelisah dan sedih melihat wajah adikku penuh kecemasan.
"Itu ... Kamu bisa bilang sama pihak sekolah buat kasih kita waktu seminggu lagi buat bayar ujiannya?"
"Apa? Seminggu lagi? Ya ampun kak Nana ujiannya aja 3 hari lagi. Gimana mau dikasih waktu seminggu sih?" ucapnya terlihat kesal. Nayla_pun beranjak ke tempat tidur. Berbaring membelakangi aku.

Aku merasa payah dihadapan Nayla. Setelah dipikir-pikir akupun merasa bodoh kenapa tidak diambil uang dari lelaki sombong itu. Akhirnya aku juga yang kena imbasnya. Semua kerusakan sepeda milik bos dan susu2 yang hancur harus diganti dengan semua gajiku bulan ini.
Aku menghampiri Nayla. Aku mengelus2 rambut panjangnya. Aku tau Nayla belum tidur. Tanpa sadar air mataku jatuh. Aku merasa kasian melihat keadaan Nayla.

Aku tidak menyangka, hidupku bersama adikku Nayla akan sesulit ini. Tidak ada tempat aku mengadu keluh kesah selain Alloh. Orang tua ku sudah lama meninggal. Sikap Nayla yang manja membuat aku lebih tegar untuk mengurusi semua keperluan dia.

'Maafin kak Nana ya,Nay. Sekarang kakak gak tau harus berbuat apa lagi. Engga ada satu barang pun yang bisa dijual juga. Tolong kasih kakak waktu buat cari uangnya lagi'
***

Jam menunjukkan pukul 8 lewat 10 menit. Pekerjaanku mengantar susu sapi segar kepelanggan lebih cepat selesai dari biasanya. Aku pun buru2 untuk pulang kerumah. Ada yang harus kulakukan hari ini juga.

"Nay,kamu kok ga sekolah?" Aku terkejut ketika sampai dirumah dan melihat adikku Nayla masih berleha2 diatas kasurnya.
"Aku gak mau sekolah sampe kakak bisa bayar uang ujian dan bayar spp juga." ujar Nayla sambil sibuk memainkan  handphone jadulnya. Aku terdiam seribu bahasa.

Tok tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat aku sedikit kaget. Dengan segera aku membukakan pintu.
"Ibu hanum?" jantungku semakin cepat berdegup. Aku tau pasti apa maksud beliau datang kerumah.
"Silahkan masuk,Bu!" aku membuka pintu lebih lebar lagi.
"Ga usah mba Nana. Ibu bicaranya disini aja." ucap ibu hanum dengan sopannya. Aku menelan ludah yang sudah ada di pangkal tenggorokan. Mengigit2 bibir bawahku menandakan kecemasan.
"Ibu mau nagih uang kontrakan ya?"
"Iya mba Nana.kan mbak udah janji mau bayar tanggal segini. Mba Nana udah nunggak 3 bulan lho. Ibu sendiri kan punya kebutuhan. Si Imam mau bayar semester kuliah. Jadi ibu perlu duit banget. Kamu udah ada kan?"
Aku hanya diam.
"Bu hanum kata kakak saya kasih waktu seminggu lagi. Dia baru punya uangnya minggu depan. Aku aja bayaran ujian sekolah dijanjiin minggu depan kok. Kalo ga bisa bayar juga ibu boleh ko ngusir kita." tiba2 Nayla ngerocos seperti itu. Kulihat Nayla menatap sinis kearah ku, dan pergi keluar rumah.
"Nayla ....." aku ga bisa ngomong apa-apa lagi.
"Jadi gimana nih mba nana?"
"Bu Hanum, tolong kasih saya waktu ya buat cari uangnya. Saya benar-benar dalam keadaan sulit. Saya mohon bu Hanum bisa maklumin saya." Ucapku memelas meminta keibaan dari ibu Hanum sang pemilik kontrakan.

Ibu Hanum menghela nafas panjangnya. "Ya sudah ibu tunggu sampai minggu depan ya. Kalo mba Nana ga bisa bayar juga, terpaksa mba Nana harus pergi dari sini." Ibu hanum langsung ngeloyor pergi.
"Terima kasih ya Bu." ujar ku sedikit meninggikan nada suaraku supaya Bu hanum dengar.
Aku langsung duduk dipinggiran kasur. Aku bingung. Mau pasrah pun aku tak bisa. Aku sedikit kecewa dengan tingkah Nayla tadi.

Tiba-tiba aku teringat kartu nama itu. Dengan cepat aku cari diselipan baju-baju.Dapat!!!
***

Aku celingukan saat masuk ke gedung kantor yang amat besar dan megah. Tidak tahu harus bertanya pada siapa supaya aku bisa bertemu dengan cowok sombong ini. Aku menoleh kekanan dan kekiri. Ada jarang orang disini. Suasana lobby tampak agak sepi.

"Ada yang bisa saya bantu?" Aku kaget saat tiba2 seorang laki-laki dibelakang meja besar menyapaku. Aku langsung menghampirinya.
"Hmmmmm.... sore mas ... Saya mau ketemu dengan Raihan."
"Raihan? dibagian apa ya?" tanyanya yang ku tahu dia adalah resepsionis dikantor ini. Aku kelagapan. Sama sekali tidak mengerti maksud dari 'bagian' apa.

Aku langsung mengambil kartu nama yang ada didalam tas kecilku. Aku sodorkan ke arah laki2 berdasi kupu2 itu.
"Maksudnya Pak Raihan Wijaya?"
"Bapak?"
"Dia Direktur utama di perusahaan ini. Sebelumnya mba sudah ada janji dengan beliau?"
Aku menggeleng kan kepala.
"Ini dengan siapa?"
"Aku.... Nana"
"Baik. Sebentar ya mba, aku hubungkan dulu ke sekretaris nya." Kulihat dia menelpon. Sambil menunggu kulihat sekitaran kantor ini. Aku kagum melihat aksesoris sekaligus ornamen yang ada disini. Sungguh dekoratif!

"Sekretarisnya bilang, bapak lagi gak mau bertemu dengan siapapun. Dikarenakan bapak lagi banyak hal yang harus di selesaikan." jelasnya begitu santun.
"Hmmmmm.... Mas bisa bilang gak, aku orang yang ditabrak kemarin mau ketemu."
"Ditabrak?" dia mengernyitkan keningnya.
"Aaahhh... Hehehehe .... Maksudnya ... Hmmmmm dia biasanya pulang jam berapa yah?" Aku malah terbata-bata setelah mengatakan yang sebenarnya.
"Seperti biasanya jam 5 sore mba. Tapi terkadang bapak bisa pulang malam untuk lembur." jelasnya. "Kalau begitu ada lagi yang bisa saya bantu?" tanyanya lagi dengan senyuman kecil.
Aku menggelengkan kepala. Ku lihat jam dinding besar menunjukkan pukul setengah 4 sore. Seketika aku lemas.

'Tinggal 1 jam setengah lagi.Aku harus nunggu dia sampai pulang. Aarrrrggghhh mana perutku lapar lagi. Cuma tadi pagi aku makan gorengan aja' Gumamku dalam hati sambil duduk di ruang tunggu lobby.

Beberapa menit kemudian...
Kulihat ada seorang lelaki berperawakan tinggi dan putih didepanku. Dia sibuk berbicara lewat handphonenya. Mondar mandir dihadapanku. Aku sedikit risih.
Aku membetulkan posisi dudukku. Tidak ada yang bisa kulakukan. Karna handphone saja aku tidak punya. Hanya celingukan melihat situasi disekitar kantor saja. Berharap cowok belagu itu cepat pulang.

Lelaki itu selesai menelpon. Terlihat dia mengambil sapu tangan dari saku celana belakangnya. Lalu melenggang kangkung pergi dari hadapanku.
Tapi dompetnya terjatuh. Hatiku deg2an. Berdegup ga karuan. Niat jahat terlintas dipikiranku. Aku menoleh kanan kiri yang memang tak ada orang. Karena karyawan di kantor ini belum waktunya untuk pulang. Ada yang berlalu lalang tapi ke arah yang berbeda2. Pokoknya disekitar ruang tunggu disini sangat sepi.

Aku mulai menghampiri benda itu dengan cepat. Kuraih macam maling mengambil dengan mengendap2. Alangkah kagetnya saat aku lihat isi dompetnya. Begitu banyak uang lembaran merah seratus ribu dan uang dollar disana. Beberapa kartu debit dari berbagai macam Bank pun ada. Akupun melihat foto dirinya bersama seorang wanita tua tapi masih terlihat cantik. Kupikir dia ibunya.

"Uangnya banyak banget, kalo aku ambil aku gak perlu ketemu sama Raihan si belagu itu." tiba2 aku berujar demikian. Apa yang telah aku pikirkan. Aku menggeleng2kan kepala. "Bukan... Ini bukan hak aku.Aku harus balikin sama dia."

Mataku mengarah ke tempat lelaki itu pergi.Terlihat dia masih menunggu didepan lift.Aku berlari kecil menghampiri nya.Saat itu juga dia sudah masuk ke dalam lift.
"Tunggguuuuu!!" Ujar ku ngos2an sambil menjulurkan tanganku sedikit masuk ke pintu lift. Secara otomatis pintu lift terbuka kembali.
Aku sadari dia mematung melihat tingkahku. Dia keluar dari ruang lift. Aku mundur perlahan. Aku sedikit terpana melihat sosoknya yang begitu sempurna. Tampan.Tinggi. Harum. Putih. Matanya besar. Rambutnya tertata rapih.
"Ada apa ya?" Ujarnya membuyarkan lamunanku.
"Inii ..." Aku menyodorkan dompetnya. Nafasku masih sedikit tersengal-sengal. "Tadi jatuh di lobby sana." aku sedikit memberikan penjelasan. Lalu diambilnya dompet dari tanganku. Aahh kenapa jadi berat begini mengembalikannya saat mengingat isi dompetnya?
Segera aku membalikan badan untuk pergi ke ruang tunggu lagi.
"Tunggu ..." Ujarnya menghentikan langkahku. "Sebagai tanda terima kasih ini sedikit buat kamu." Aku membalikan badan.
"Ga papa kok. Aku ikhlas." aku mencoba memberikan senyuman manis. Aku naif lagi saat orang lain memberikan aku uang dengan percuma.
"Jarang2 loh ada gadis jujur kayak kamu." senyumannya membuat hatiku meleleh. Dengkulku serasa lemas ingin copot. "Boleh tau nama kamu siapa?" Tanyanya membuat hatiku makin tidak karuan. Aku  jadi salah tingkah sendiri.
"Hmmmmm... Aku ... Aku ... Nana mas" Aku terbata2. Dan itu membuat aku malu. Kenapa aku segugup ini? Dia tersenyum lepas sampai deretan gigi putihnya terlihat.
"Aku Fatir. Hmmm ... Aku ingin sekali bicara banyak sama kamu nana. Tapi aku sedikit sibuk. Jadi aku harus pergi dulu. Sebelumnya aku banyak2 terima kasih sama kamu. Aku akan ingat kalo aku masih punya utang sama kamu" begitu ceriwisnya dia bicara denganku. Tapi tetap terlihat elegan.
Aku hanya mengangguk kan kepala.Pintu lift terbuka lagi. Ku tatap sosoknya yang begitu gagah. Dan menghilang saat dia masuk ke dalam lift.

Aku kembali ke lobby. Berharap bertemu dengan laki2 menjengkelkan itu secepatnya.
***

17.20

Aku terlihat lemas di sudut bangku lobby. Suasana berubah agak ramai. Semua karyawan berbondong-bondong untuk pulang kerumah.
Aku mencari2 sosoknya. Kearah kanan. Kearah kiri. Tak luput juga aku memandangi pintu lift siapa tau dia muncul dari sana.
Dan benar saja. Akhirnya aku bertemu dengan sosoknya. Aku terkejut melihat penampilan nya. Memang dia pantas disebut bos. Wajahnya yang manis dia terlihat seperti bos muda.
Dengan deg2an ku menghampiri Raihan. Dia tidak sendiri. Ada 3 orang lainnya yang berjalan beriringan dengannya.
"Permisi ..." Aku tepat berada didepannya. Kulihat dia menatap aneh kearahku. Dengan seksama dia memperhatikan aku dari ujung kaki sampai keatas.

==========

"Kamu siapa?"
'Apaa? Dia ngga ingat siapa aku?'
"Siapa nih Pak Raihan? Manis juga orangnya."s alah satu temannya meledek memuji diriku.
"Aku orang yang kamu tabrak kemarin?" ucapku langsung to the point.
"Ohhhh ... Akhirnya datang juga. Sudah kuduga."
"Maksudnya?"
"Ya iya ... Cewek miskin kaya kamu itu ga usah naif dan terlalu sombong. Akhirnya perlu juga kan?" Dia menyilangkan kedua tangannya di dada.

Lagi-lagi aku geram mendengar ucapannya. Raihan memberikan kode keteman-temannya untuk meninggalkan kita berdua.
"Aku kesini bukan untuk minta ganti rugi kok. Tapi karna semua ini gara2 kamu, semua gajiku bulan ini ngga ada sisa sama sekali. Dan aku butuh uang. Aku ingin pinjam uang sama kamu. Yaaa itung-itung kamu harus balas budi sama aku." aku bicara langsung pada intinya. Kusadari ada beberapa orang yang melirik kearahku dan Raihan berdiri ditengah2 lobby.

"Apa pinjam uang???"
"Iyaa. Anggap aja ini sebagai balas budi kemarin karena aku gak minta apapun dari kamu. Dan yang namanya minjam, pasti aku balikin kok"
"Terus kamu pikir aku bakal kasih kamu uangnya gitu aja?" ujarnya dengan nada sedikit meninggi. Aku coba untuk bersabar. Kupejamkan mata ini yang terasa lelah sebentar. "Aku ngga ada uang!" sambungnya lalu meninggalkan aku.
Aku buru2 menghentikannya. "Please tolong aku, ini semua juga kan gara2 kamu kemarin. Gak mungkin aku ngabisin gaji aku gitu aja buat gantiin kerusakan sepeda sama susu yang rusak."
"Terus mau pinjam uang berapa?"
"5 juta" Kali ini aku sedikit merendah. Berharap Raihan bisa bantu aku kali ini." Gajiku tiap bulan disusu dapat 1 juta, jadi aku bisa nyicil uangnya sampai 5 bulan." lanjutku untuk menerangkan semuanya.
Raihan tertawa jahat.
"Pede banget ya kamu, tiba-tiba datang kekantor dan mau pinjam uang sama aku.5 juta lagi. Kamu pikir aku bakal ngasih uang ke orang yang sama sekali ngga aku kenal? Rumahmu dimana pun aku juga ngga tau!" pekik Raihan tampak ketus melihatku.

"Tolong percaya sama aku." Ku tunjukkan raut wajah sedih. Dia menatapku sebentar. Lalu diambilnya dompet dari saku celana belakang. Dan mengambil beberapa lembar uang merah.
"Ini satu juta buat ganti yang kemarin. Dan kamu ngga perlu gantiin. Selesai kan?" Dia memberikan aku sepuluh lembar uang kertas merah lagi.
"Untuk bayar ganti ruginya memang cuma satu juta. Tapi jujur aku butuh uang lebih dari segitu. Aku harus bayar uang ujian adik aku. Dan juga, aku belum bayar uang kontrakan beberapa bulan." aku mengacuhkan uang yang disodorkan didepan mataku.
Raihan tampak serius mendengar penjelasanku.

"Aku ngga tau harus minta tolong sama siapa lagi. Tapi tolong percaya sama aku kali ini. Aku bakal gantiin uang kamu tiap bulannya kok." sambungku membuat Raihan bungkam tanpa bicara.

Di dalam kantor Raihan.
Aku lihat uang segepok bernilai 5 juta ada di depan mataku. Aku ga percaya Raihan hatinya bisa luluh juga saat mendengar cerita kesengsaraanku.
"Berapa nomer handphone kamu?" Raihan sudah tampak siap memencet tombol angka untuk menyimpan nomerku.
"Itu ... Aku ga punya handphone"
"Yaaaa ... Terus gimana aku mau hubungi kamu? gimana kalo kamu kabur bawa uang ini?" Raihan menyudutkan aku lagi. Tapi aku coba untuk sabar menahan emosi.
"Hmmmmm... Aku memang ga punya jaminan apa-apa. Tapi aku masih punya KTP. Kamu bisa simpan KTP aku. Jadi kalo aku kabur atau apa kamu bisa hubungi polisi." dengan polosnya aku berujar demikian didepan Raihan.

"Aku pikir-pikir ada baiknya, gimana kalo kamu kerja disini aja!" tiba2 Raihan mengatakan itu.
"Apa?"
"Kamu bisa jadi pelayan pribadi aku saat di kantor. Gimana?"
"Pelayan pribadi?"
"Berhubung aku tinggal sendiri dirumah, ga mungkin kan aku bawa kamu kesana? Jadi dikantor ini tempat yang paling aman buat kamu jadi pelayan pribadi aku. Dan itu selama 5 bulan"
"Maksudnya bersih-bersih macam OB ?"
"Betul. Tapi kamu jangan khawatir, kamu kerja disini cuma buat ngelayanin semua kebutuhan aku selama jam kantor. Sabtu Minggu kamu boleh ambil libur" jelasnya membuat leherku merasa tercekik.

Pekerjaan macam apa ini? Aku sudah membayangkan hal-hal yang aneh nantinya. Melayani dia seorang?Aku mengerutkan kening.
"Ngga usah berpikir macam-macam. Kamu pikir aku laki-laki bodoh yang mau merayu gadis jelek kaya kamu?" ucapannya menusuk jantungku. Beraninya dia menghina aku jelek. Aku membuang muka.
"Tapi aku harus kerja untuk nganterin susu ke pelanggan ku tiap pagi"
"Selesai itu kamu boleh langsung ke kantor"

Aku terdiam.Apa yang harus aku lakukan? Terima atau tidak terima tawaran ini? Kalau tidak terima jelas uang 5 juta itu batal dipinjamkan.
Akhirnya aku menerima tawaran nya itu. Entahlah keputusanku kali ini benar atau tidak. Sejauh ini aku sudah benar-benar bermuka tembok dihadapan cowok sombong itu.

Kulihat Raihan menandatangani secarcik kertas diatas materai.
Surat perjanjian kerjasama.
Aku membaca dengan teliti isi dari surat ini. Dan aku mengangguk mengerti. Tak lupa ku bubuhi tanda tangan ku diatas materai disampingnya juga.

Akhirnya aku pulang dengan uang yang bisa membuat Nayla bahagia. Aku juga ga perlu khawatir untuk bayar kontrakan. Ku genggam erat amplop coklat itu, bahkan ku cium bertubi-tubi.
***

"Kak Nana dapet uang darimana? Kak Nana gak macam-macam kan?" Nayla tampak sumringah saat tau aku bisa membayar uang ujian sekolahnya.
"Ya nggak lah. Kok kamu pikirannya kaya gitu sih sama kakak?"
Nayla tersenyum nakal.
"Makasih ya, kak nana." Nayla memelukku. Kubalas dengan cium hangat yang mendarat ke keningnya.
"Tapi mulai besok, kakak harus pulang malam. Ya sekitar jam 7an lah. Jadi saat kamu pulang dari sekolah kamu siapin sendiri makanannya ya.Oke?"
"Kakak dapet kerjaan baru?"
"Cuma bantu-bantu temen sih.Gajinya ya buat lunasin uang yang kak Nana pinjam buat kamu sama bayar kontrakan." jelasku memberikan pengertian pada Nayla.

Selepas itu aku pergi kerumah Bu Hanum. Alhamdulillah semua masalah teratasi dengan cepat. Memang benar uang adalah segalanya. Hanya dengan uang masalah yang ku hadapi akhir-akhir ini cepat selesai. Malam terasa dingin. Kurekatkan lagi jaket kusam yang menempel di badan ini. Semoga aku tidur nyenyak malam ini.
***

10.00 - 12.00 : ini adalah saat aku rapat rutin dengan dewan direksi lainnya. Jadi kamu bisa gunain waktu kamu untuk bersih-bersih semua perabotan yang ada didalam kantorku. Kamu harus mengvakum karpet bulu. Mengelap bagian kaca dan pintu. Jangan lupa pajangan dan lukisan ngga boleh luput dari bersih-bersih.

13.00 : Setelah selesai makan siang aku selalu ganti kemeja. Aku juga berganti kemeja saat ingin pulang kerja. Jadi sehari aku pastikan ganti kemeja sampai 2x. Dan pastikan juga kamu sudah menyetrika kemeja yang ingin aku pakai. (Didalam kabinet warna hitam adalah koleksi kemejaku.)

Disamping itu, ada beberapa hal yang musti kamu kerjakan.
1. Aku suka teh hangat dengan rasa yang tidak terlalu manis. Kamu bisa buatkan aku saat ada dikantor tanpa disuruh.
2. Aku gak suka kopi dan merokok.
3. Snack favoritku adalah brownies yang ditaburi kacang almond dan serutan keju. Kamu harus siapkan ini di jam-jam menjelang sore.
4. Ganti setiap hari bunga yang ada di vas meja kantorku. Apa saja. Aku suka dengan semua jenis bunga.
5. Bersihkan toilet setiap hari.
6. Apapun keperluan mendesak, kamu harus siap selama jam kantor berlangsung.

Aku membaca tugas-tugas apa saja yang aku lakukan selama di kantor. Tampak Raihan memperhatikan aku dari belakang meja kantornya. Aku berdiri dari sofa lalu menghampirinya.
"Oke aku setuju dengan tugas-tugas ini."

Lalu Raihan memberikan aku setelan baju yang mirip dengan OB dikantor ini.
"Cepat pakai!"

Tanpa disuruh lagi aku bergegas menuju kamar mandi yang ada didalam ruangan. Aku tampak cantik dan serasi juga dengan pakaian OB ini. Paduan warna biru dongker dan biru muda membuat aku tampak cerah memakainya. Tak lupa ku menguncir kuda rambut lurusku. Ku oles juga lip balm pink ke bibirku.

Raihan memandangku cukup lama saat aku keluar dari kamar mandi. Mungkinkah dia terpesona? Ahh pede sekali diriku.
"Gadis jelek" lirihnya namun jelas aku mendengar. Ku manyunkan bibir kecilku kearahnya.
Aku kikuk. Ga tau harus memulai dari mana.

"Pantry nya ada diluar sana. Nanti biar sekretaris aku yang kasih tau. Dan ini, tolong kamu fotocopy berkas ini masing-masing 3 lembar! Cepat ya!" Raihan memberikan aku tumpukan kertas yang disematkan dalam amplop coklat besar.

Segera kulakukan apa yang diperintahkan bosku yang nyebelin itu. Diluar ruang kantor Raihan, aku banyak bertanya dengan karyawan-karyawan disana. Sekretaris Raihan pun baik hati padaku. Dia mengajarkan ku banyak hal. Dimulai aku diajarkan bagaimana caranya mengoperasikan mesin fotocopy yang ada disudut kantor.

Hari ini tidak terlalu capek. Aku menikmati semua pekerjaan ini. Aku semakin lupa dengan hal-hal yang aneh yang muncul dipikiranku. Raihan bukanlah tipe orang yang merendahkan harga diri wanita.
Aku banyak menghabiskan waktu didalam ruang kantor Raihan yang cukup luas dari ruangan lainnya. Tak banyak bicara saat aku berada disana. Raihan terlihat sibuk didepan laptopnya. Sesekali membolak-balik berkas-berkas yang menumpuk didepan matanya.

Ahhhhhh ... Mudah-mudahan saja aku betah kerja di sini sampai 5 bulan kedepan.
***

"Nana, tolong belikan aku obat sakit kepala. Apotiknya ada diseberang kantor." Kulihat Raihan memijat-mijat kepalanya.
"Pak Raihan sakit?" Tanyaku sedikit khawatir. Memang sudah seminggu ini Raihan pulang lembur akibat banyaknya kerjaan kantor yang tak kunjung selesai. Oh ya, selama dikantorpun aku harus menggunakan sebutan 'bapak' padanya.
"Sedikit pusing."
"Ya udah bapak istirahat dulu aja di sofa. Aku beli obatnya dulu sama beberapa makanan." Sergap aku berjalan cepat menuju apotik.

Beberapa menit kemudian ...
Aku menunggu lift menuju kantor Raihan yang ada dilantai 7. Ditangan ku sudah ada beberapa roti dan obat yang ku beli tadi di apotik.

Tiba-tiba ada sesosok lelaki yang tampangnya amat familiar di mataku. Dia berdiri di sampingku menunggu pintu lift terbuka juga. Aku melirik sekilas ngga berani menegaskan. Dompet !!!! Iya aku baru ingat. Tapi aku malu untuk menyapanya duluan.

Pintu lift terbuka.
Aku dan dia masuk secara bersamaan. Tidak ada lagi orang yang ada di lift. Aku masih memalingkan muka darinya. Tapi tiba-tiba tanganku dan tangannya bersentuhan saat kami menekan tombol angka 7 bersamaan.

Seketika aku melihat wajahnya lebih dekat. Aku terpaksa tersenyum. Lelaki itu malah menegaskan wajahku.
"Nana?"
'apa?? Dia ingat siapa aku?' gumamku dalam hati. Beda sekali dengan Raihan yang lupa dengan wajahku saat pertemuan kedua kalinya.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Aku menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal. Aku selalu saja salah tingkah dibuatnya.
"Mas Fatir ya?"
"Aku kira kamu bakal lupa siapa aku." Dia melepaskan senyuman mautnya. "Kamu kerja disini?"
"Hmmmmm ... Iya." Aku mengangguk-angguk kecil.
"Waahh ... Aku harus sering-sering mampir nih kesini."
"Untuk apa?"
"Lihat kamu." Mas Fatir mencoba merayuku. Tanganku jadi berkeringat memegang plastik kecil. Padahal AC dikantor ini sangat dingin.

Pintu lift terbuka membuat mas Fatir berhenti menatapku. Kenapa begitu cepat lift mengantar kami? Aku masih mau berlama-lama disini dengan mas Fatir. Pikirku centil. Kami jalan beriringan keluar lift.
"Mas Fatir mau ketemu sama siapa?"
"Teman."
"Teman atau pacar?" Kali ini aku yang meledek.
"Memangnya aku gay. Wong teman aku cowok disini. Aku juga sekalian mau ada rapat kecil sama dia. Ada proyek yang belum selesai." Jelasnya dibarengi senyuman lebar.

Aku benar-benar terpesona pada wajah mas Fatir yang terlihat adem. Tutur katanya yang sopan. Nada bicaranya yang lembut. Aaarrggghhh beda sekali dengan Raihan.
"Ya sudah kalo gitu. Aku duluan ya mas?" Aku pamit untuk meninggalkan dia.
"Oke. Aku juga mau kekamar mandi dulu. Kebelet pipis." Mas Fatir mengedipkan sebelah matanya. Aku tertawa kecil mendengar ocehannya.
Kami pun berpisah dengan arah yang berbeda-beda.

Selang beberapa menit kemudian.
Tok tok tok
Pintu langsung terbuka.
"Bro ..." Sapa Raihan sedikit lemas. Ternyata mas Fatir yang masuk.
"Kamu sakit, Han?"
"Pusing aja nih. Kurang tidur juga." Jelasnya sambil mendorong tubuhnya ke belakang kursi.
"Istirahat lah, jangan dipaksakan. Yang ada nanti makin parah."
"Tenang aja. Kalo udah minum obat juga biasanya langsung hilang." Ujarnya sambil memejamkan mata. "Dia lama banget si bikin teh nya." Gerutu Raihan menunggu sang OB datang.

Akupun masuk dengan membawa secangkir teh hangat kesukaan Raihan. Tapi aku tidak menyangka dan kaget bukan kepalang, aku melihat sosok mas Fatir ada disini. Jadi temannya itu adalah Raihan.
"Ini pak" aku menaruh cangkir teh hangat didepan meja. Mas Fatir masih terdiam. "Mas Fatir mau minum apa?" Tanya ku membuat Raihan menyemburkan sedikit teh yang diminumnya.
"Kamu kenal dia?" Tanya Raihan yang jelas terlihat kaget. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
"Ini yang ketiga kalinya kita ketemu. Ya kan, Na?"

Aku hanya melempar senyum. "Aku buatin teh dulu ya" aku beranjak pergi dari sana. Suasananya membuat hatiku panas. Diluar ruangan, aku menggetok kepalaku. Semoga mas Fatir ngga bicara macam-macam tentang aku. Aaarrggghhh bagaimana dengan mulut Raihan?
***

Hari ini adalah hari Jum'at. Aku sangat bersyukur karena besok Sabtu dan Minggu jadwalku libur. Sudah kubayangkan untuk tidur seharian dikasur. Tapi saat ku ingat cucian menumpuk membuat aku lemas kembali.

Wajah Raihan masih terlihat pucat pasi. Sudah 2 hari Raihan tidak memberikan kesempatan tubuhnya untuk beristirahat. Dan lebih memilih memaksakan masuk kerja disaat kondisi tubuhnya yang kurang sehat.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Waktunya untukku pulang. Mba Dewi sang sekretaris Raihan pun sudah meminta izin untuk pulang. Tampak ruangan karyawan lantai 7 sudah mulai agak sepi.

Aku sudah berganti pakaian. Tapi saat ingin izin pulang, kulihat Raihan tertidur di sofa. Aku mendekatinya perlahan. Ada butiran keringat menempel dikeningnya. Wajah dan bibirnya begitu pucat. Badannya sedikit menggigil.
Telapak tanganku mendarat kedahinya. Panas. Aku sedikit panik. Ngga tau harus berbuat apa. Rasanya ngga mungkin untuk membopong tubuhnya ke rumah sakit terdekat.
Aku mencoba menaikkan suhu AC yang terlalu dingin.Ku lepaskan sepatu pantofel hitam yang masih dipakainya. Ku siapkan air dingin diwadah untuk mengompres demamnya. Semoga cepat turun panasnya. Kuselimuti sebagian tubuhnya. Untungnya perlengkapan diruangan ini lumayan lengkap.

Sejam dua jam aku menunggu dia terbangun. Sesekali aku mengganti kompresan.
"Aahhhh ..." Ujar Raihan begitu lirih. Dia mencoba bangun dari tempat tidurnya.
"Pak Raihan udah enakan?"
"Kamu ngapain masih disini?" Uughhh ... Kata-kata yang tidak sama sekali ingin ku dengar. Raihan duduk bersandar.
"Aku ga tega ninggalin pak Raihan dalam keadaan kaya gini?"
Raihan membuang muka.
"Seharusnya kamu pulang, ini sudah lewat jam kantor. Nanti minta uang lemburan lagi." Aku menghela nafas. Ku raihnya tas kecil yang ada di sampingku.
"Ya sudah, aku pulang." Aku sedikit mengambek. Tak bisakah dia menghargai apa yang sudah aku lakukan padanya? Aku pergi ke arah pintu.

Tiba-tiba tangan Raihan menarik lenganku. Ku rasakan tangannya masih terasa hangat.
"Aku anter kamu pulang!" Ini memang sudah jam setengah 8 malam. Sudah seharusnya dia mengantarkanku pulang kerumah. Aku menurut.

Didalam mobil aku dan Raihan larut dalam pikiran nya masing-masing.
"Mau makan dulu?" Tanya Raihan membuka pembicaraan. Aku terdiam malu. "Yaaa itung-itung aku balas budi ke kamu lah." lanjutnya sambil menyetir mobil.
Mobil terparkir lancar di tengah-tengah sisi mobil lainnya. Dia mengajakku ke sebuah restoran. Aku membututi Raihan dari belakang.
Raihan memilih bangku disudut ruangan. Ahh rasanya baru kali ini aku masuk kerestoran. Pasti harga makanan disini lumayan mahal. Dan benar saja mulutku sampai menganga melihat daftar menu makanan yang disertai harganya.

Aku menutup daftar menu. Kucondongkan mukaku kearah Raihan. Aku berbisik padanya.
"Kita makan pecel lele aja yuk!" Aku merendahkan nada suaraku. Semoga waitress yang ada disampingnya Raihan tidak mendengar.
"Tenang aja. Semua aku yang bayarin."

Aku kembali pada posisi dudukku. Ku dengar Raihan sudah memesan beberapa makanan dan minuman. Dan aku meminta makanan yang sama pula. Waitress itu mencatat dengan cepat di buku kecilnya.
"Ditunggu sebentar ya!" Ujarnya lalu pergi dari hadapan kami.

Ku lihat wajah Raihan belum terlihat segar. Wajahnya tersirat banyak masalah yang dia bebani sendiri. Lama aku memandangnya. Sialnya, Raihan menyadari kelakuan mataku.
"Kenapa sama muka aku?" Ujarnya membuat aku kelagapan. Aku menyelinapkan rambut kebelakang kuping. Aku dibuatnya gugup.

Tidak lama kemudian pesenan datang. Aroma daging steak yang dipesan Raihan membuat nafsu makanku membara.
Lahapnya aku menghabiskan semua makanan yang ada dipiring. Tanpa menghiraukan Raihan yang terlihat tidak nafsu untuk menyantap makanan seenak ini.
Aku bersendawa. Raihan tersenyum simpul saat mendengarkannya. Ah, aku malu sekali. Kenapa harus bersendawa didepannya?
"Sayang banget sih daging seenak itu ga kamu habiskan." Ucapku saat sudah berada di luar restoran.
"Aku lagi gak nafsu makan."
"Kenapa kamu ajak aku makan?"
"Bukannya ada yang kelaparan ya?" Ledek Raihan lalu masuk ke mobilnya. Aku benar-benar cewek bermuka tembok. Rasanya aku ingin lari. Tapi rumahku masih jauh.

Perjalanan panjang akhirnya sampai juga. Aku merasa lelah sekali hari ini. Sepanjang jalan harus menembus macet yang ngga berkesudahan. Padahal malam sudah agak larut. Kota Jakarta memang tak lepas dari kata macet.
Saat aku membuka sabuk pengaman, kulihat aliran darah kental meluncur dari lubang hidungnya.
"Raihan hidung kamu berdarah?"
"Masa?"
Aku cepat-cepat mengambil beberapa tisu yang memang ada didalam mobil. Ku bersihkan dengan pelan darah dihidungnya.
"Kamu mampir dulu yuk kerumah aku. Bersihkan dulu darah yang ada dihidungnya kamu." Aku turun dari mobil diikuti Raihan.

Malam itu memang sudah larut. Tak seharusnya aku membawa lelaki masuk kedalam rumahku. Apalagi Nayla sedang tidak ada dirumah. Tadi pagi dia izin untuk menginap di rumah bude Siti didaerah Bekasi.
Ahh niatku kan baik. Insya Alloh ngga akan ada masalah. Apalagi setelah membersihkan hidungnya, aku akan cepat-cepat menyuruh Raihan untuk pulang.

Kontrakanku hanya sepetak kamar tidur, dapur kecil dan kamar mandi. Tetangga sebelahku pun sepertinya sudah terlelap tidur. Raihan masuk ke kamar mandi. Aku menunggunya dipinggir kasur. Pintu sengaja masih ku buka lebar. Hatiku merasa was-was. Baru kali ini aku membawa lelaki kedalam rumah. Malam-malam seperti ini pula.

Berselang kemudian Raihan keluar dari kamar mandi. Aku tampak kaget karena melihat Raihan bertelanjang dada. Kenapa dia melepaskan kemejanya? Pikirku.
"Raihan kenapa kamu ngelepasin baju?"
"Kemeja ku kena tetesan darah. Aku sedikit jijik makanya aku lepas."
"Ya ampun Raihan tapi gak seharusnya kamu lepasin baju disini. Aku takut nanti tetangga ngelihat kita." Aku tersulut emosi.
"Ya udah cepat kamu ambilkan dulu baju didalam mobilku!" Pintanya membuat aku memasang wajah sinis.
"Engga. Pokoknya kamu pakai dulu bajunya!"
"Ngga mau. Aku geli kalo harus pakai baju yang ada nodanya. Apalagi itu darah."
"Pakai ngga!"
"Ngga"
"Cepat pakai dulu!" Aku malah main dorong-dorongan dengannya. Kakiku terasa tersangkut dan badanku terjatuh kebawah kasur. Tanganku yang masih memegang tangan Raihan membuat dia ikut terjatuh.

Sekarang posisiku tepat dibawah Raihan. Terdengar jelas suara nafasnya yang tersengal-sengal. Wajah kami saling berpautan. Hanya berjarak 1 inchi. Mataku dan matanya saling berpandangan. Hatiku berdetak tak karuan.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER