Cerita bersambung
"Han, kita sudah siap buat rapat kan?"
"Hah? Oohh ... Sudah-sudah." Raihan membetulkan posisi duduknya. "Kamu tau kalo dia hari ini ulang tahun?"
"Iya. Kemarin aku makan berdua sama dia."
"Kemarin?"
Fatir hanya mengangguk. "Kemarin ngga sengaja ketemu dia dijalan. Terus aku ajakin dia makan.
Dan direstoran dia bilang kalau hari ini dia ulang tahun. Hmm ... sepertinya dia gadis yang lucu. Dia juga begitu lugu dan sangat berbeda dengan gadis lainnya." Muka Mas Fatir terlihat ceria dari biasanya.
Raihan tenggelam dalam pikirannya ke malam itu, saat dia mengajak Nana makan malam namun dia menolak. Pantas saja.
"Oiya, gimana kabar Om Erlangga sama Tante Isma?"
"Bokap belum bisa pulang dari Amerika. Keadaan nyokap juga belum stabil." Cerita Raihan sambil memperhatikan layar laptop didepannya. Namun pikirannya kosong.
"Aku turut prihatin tentang keadaan Tante Isma. Semoga beliau lekas sembuh."
"Thanks." Jawab Raihan singkat.
"Sabtu depan, acara family gathering dipuncak jadi kan buat kantor ini?" Tanya Fatir yang masih duduk didepan meja Raihan.
"Jadi." Raihan mengangguk-anggukan kepalanya. "Kamu harus ikut ya, meski bukan karyawan disini aku resmi mengundangmu untuk gabung."
"Okelah!" Ucap Fatir santai.
***
"Hei!" Sapa Mas Fatir di lobby kantor tempat kita pertama kali bertemu. Aku baru saja mau menuju basement. Disana Raihan sudah menunggu didalam mobil. Raihan memintaku tadi untuk pulang bareng hari ini. Waktu sudah hampir magrib.
"Mas Fatir belum balik ke kantor?" Tanyaku heran.
"Udah. Tapi aku kesini lagi mau jemput kamu!"
"Apa?"
"Yuk ikut aku!" Lenganku langsung digenggam Mas Fatir. Aku menurut saja. Dia membawaku ke arah mobil berwarna putih yang sengaja diparkir dihalaman depan kantor.
"Tapi, Mas ... " Aku ngga berani melanjutkan kata-katanya.
"Udah masuk aja! Hari ini kan kamu ulang tahun, aku mau ngajakin kamu ke sesuatu tempat." Tangan Mas Fatir sedikit mendorong tubuhku untuk masuk ke mobilnya.
Aku kepikiran Raihan. Dia pasti sudah menunggu disana. Apa yang harus kukatakan pada Mas Fatir? Bolehkah aku jujur?
Mesin mobil sudah menyala. Mas Fatir mengemudikan mobil tanpa aku tau kemana ia ingin membawaku.
Basement ...
"Ck ... Kemana sih dia?" Ujar Raihan sambil celingukan mencari sosok Nana dari dalam mobil. "Dia ingat kan kalo kita janjian ketemu disini?"
***
Seusai mampir ke masjid Ar Rahman untuk menunaikan shalat magrib, aku masih belum tau mau kemana Mas Fatir membawaku.
"Kamu lapar ga?" tanya Mas Fatir diparkiran masjid.
"Belum. Nanti aja."
"Dikit lagi kita sampai kok."
"Mas Fatir mau ajak aku kemana?"
"Rahasia."
"Mas Fatir ga mau macem-macem kan?"
Mas Fatir tertawa lepas. Kempot di pipi kanannya terlihat jelas.
"Anak kecil." Dia mengacak-acak sedikit rambut depanku. Kamipun melanjutkan perjalanan lagi. Memang tak butuh waktu lama, kami sampai di suatu tempat. Mas Fatir memarkirkan kendaraan nya.
Ternyata Mas Fatir membawaku ke pasar malam. Disini sangat ramai. Banyak jajanan makanan disepanjang jalan. Tak hanya itu, banyak dari mereka berjualan baju, aneka jilbab, boneka, jam tangan, dan banyak lainnya. Aneka permainan seperti bianglala, komedi putar, ombang ambing, rumah hantu, kereta mini, bahkan mainan perahu kora-kora ala di Dufan pun ada.
Mas Fatir mempersilahkan aku jalan duluan. Aku benar-benar senang berada disini. Ingat Nayla kecil yang selalu merengek meminta naik bianglala.
"Kamu ga kecewa kan aku bawa kesini?"
"Hah? Hmmmmm ... Enggalah, aku seneng bisa ke pasar malam lagi. Udah lama juga ngga pernah kesini."
"Pengen aja ngerasain jalan berdua sama anak kecil kaya kamu." Mas Fatir meraih telapak tanganku. Terasa hangat. Aku mulai canggung dengan apa yang dilakukan Mas Fatir. Aku melepaskan genggamannya.
"Maaf ..."
"Oh ... Gak apapa. Aku kira kamu mau."
Lalu Mas Fatir berjalan ke arah jajanan aneka sosis. Dan memesan sosis jumbo dua sekalian untukku. Aku mulai menikmatinya. Mas Fatir juga tak lupa membelikan aku gulali warna warni. Bahkan Mas Fatir mencoba memakaikan aku kacamata hitam besar namun terlihat bagus.
"Kaya tukang urut." Ledek Mas Fatir membuat aku tertawa. Aku melepaskan kacamata nya dan menaruhnya kembali.
Kami juga tak mau melewati semua permainan yang ada disana. Tak terkecuali dengan permainan yang entah apa namanya. Kami diberi 8 bola kecil berwarna hijau untuk dimasukan ke dalam gelas yang bertuliskan nomor acak.
Dalam jarak 1 meter, Mas Fatir mencoba untuk memasukkan bola ke lubang gelas plastik jingga. Bola kecil itu selalu memantul tak tau arah. Usahanya belum berhasil sampai bola tersisa satu ditangan.
"Aku pasti bisa." Ucapnya serius sambil menatap tajam kelubang-lubang gelas.
Daannn ... Hap ...
Akhirnya Mas Fatir memasukan bola ke salah satu gelas yang bernomor 77. Aku meloncat-loncat kegirangan. Abang yang punya permainan itu memberi Mas Fatir sebuah boneka kecil hello Kitty yang menjadi hadiahnya.
"Yeaaayyy ..." Saat Mas Fatir memberi aku boneka itu.
Tak lupa aku menaiki biang Lala berukuran sedang. Kami juga mencoba permainan ombang-ambing yang membuat perutku sedikit mual. Aku gak tau harus senang seperti apa pada saat seperti ini. Sejenak aku lupa tentang Raihan.
"Aku ngga habis pikir, bos besar seperti Mas Fatir masih mau bermain di pasar rakyat seperti ini." Ucapku saat duduk di bangku merah tanpa meja menunggu pesanan nasi goreng.
"Memangnya aku siapa? Malah aku lebih suka ke tempat-tempat kaya gini dibandingkan harus jalan ke mall. Nonton bioskop, pergi belanja, bagiku itu semua membosankan."
"Terima kasih ya!" Aku tersenyum.
"Oiya, kamu udah buka kado dari aku."
" Belum sempat, Mas. Ini masih didalam tas. Tadi dikantor banyak banget kerjaan yang harus aku kerjain. Kebayang kan nyikat kamar mandi, ngelap kaca, ngevakum karpet." Aku jadi curhat sedikit.
"Oowwhh"
"Aku juga belum sempat bilang makasih sama Mas Fatir sudah repot-repot bawa kado ulang tahun buatku." Aku tatap matanya sebentar. "Makasih ya, Mas."
"Aku harap kamu suka."
Tiba-tiba ada 2 pengamen anak muda datang menghampiri kami yang masih menunggu pesanan datang.
"Permisi ..." Sapa salah satu pengamen yang membawa gitar ditangannya. Lalu memainkan senar gitar dengan piawainya.
Lagu galau _ Al Ghazali
Cinta itu buta dan tuli
Tak melihat tak mendengar
Namun datangnya dari hati
Tidak bisa dipungkiri
Itu benar memang benar
Cinta itu ruang dan waktu
Tak sekejap harus mau
Cinta butuh ruang yang sepi
Tuk mengutarakan hati
Kamu aku bincang-bincang
Mau bilang cinta tapi takut salah
Bilang tidak ya? Bilang tidak ya?
Mau bilang sayang tapi bukan pacar
Tembak tidak ya? Tembak tidak ya?
Tembak tidak ya? Tembak tidak ya?
Tulusnya cinta yang ku berikan
Tulus dari hatiku yang paling dalam
Semoga kau mengerti
Semoga kau mengerti
Mau bilang cinta tapi takut salah
Bilang tidak ya? Bilang tidak ya?
Mau bilang sayang tapi bukan pacar
Tembak tidak ya? Tembak tidak ya?
Tembak tidak ya? Tembak tidak ya?
Suara pengamen itu lumayan enak didengar. Aku menggoyang-goyangkan tubuh sambil menikmati setiap alunan nadanya. Begitu juga dengan Mas Fatir, sesekali dia melihatku sambil bernyanyi. Mukaku memerah. Setelah selesai, Mas Fatir memberikan selembar uang biru kepada mereka.
"Kok lagunya bisa pas banget ya?"
"Maksudnya?"
"Hah? Itu .... Ahh bukan apa-apa kok." Baru kali ini aku melihat Mas Fatir kikuk. Kira-kira ada apa ya?
Akhirnya nasi goreng pesanan kamipun datang. Aku menikmatinya sampai habis. Malam semakin larut. Jam tangan merk Tag Heuer milik Mas Fatir sudah menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit.
Aku meminta Mas Fatir untuk mengantarkan aku sampai terminal blok - M. Meski Mas Fatir bersikukuh untuk mengantarkan aku sampai kerumah. Itu ngga akan mungkin. Raihan bakal marah besar kalo sampai Mas Fatir tau aku tinggal serumah dengannya.
***
Sudah hampir jam 11 malam, aku baru sampai dirumah. Kulihat dari halaman depan, kamar Raihan yang berada dilantai atas sudah gelap. Aku pikir dia sudah tidur.
Aku sedikit lega karena tak perlu lagi repot-repot untuk menjelaskan semuanya. Tapi saat mau menaiki tangga, kumelihat sosok Raihan sedang berdiri di pinggir kolam renang. Ditangan kanannya menggenggam kaleng bir Heineken berwarna hijau.
'Sedang apa dia disana?' tanyaku dalam hati.
Aku ragu-ragu untuk mendekatinya. Tapi sial, tampaknya Raihan mengetahui keberadaan ku duluan disini. Dia hanya terus menatapku. Akhirnya aku melangkahkan kaki mendekatinya. Entah apa yang harus kujelaskan padanya nanti?
Dia terus menatapku tanpa kata-kata.
"Raihan ... Aku minta maaf." Akhirnya aku membuka suara. Raihan masih tetap bergeming sambil menatap tajam kearahku. "Kamu ngga nunggu aku disana kan?" Raihan melempar senyum pahit lalu diseruputnya lagi minuman itu.
"Terlalu pede kamu." Tukasnya bengis. Kini Raihan menatap air yang tenang di kolam renang.
"Kamu biasa minum ini ya?"
"Bukan urusan kamu."
"Tapi ini ga bagus." Aku mencoba mengambil minuman itu dari tangan Raihan. Raihan menepis tanganku. Dan benar saja, ku lihat dua kaleng minuman lagi yang telah habis di atas meja dipojok kolam sana.
Didepanku Raihan malah dengan sengaja menghabiskan lagi sisa minuman itu.
"Stop, Ray!" Kali ini aku berhasil mengambil minuman kaleng dari tangannya.
"Aku bilang, ini bukan urusan kamu." Nada suara Raihan meninggi. Ekspresi Raihan begitu menakutkan. Aku tidak tau alasan apa yang membuat dia menjadi marah seperti ini. Karena aku? Atau karena dia masih berdebat dengan Lisa?
Mata nya seperti mata elang. Bagaikan ingin menangkap mangsanya, begitu tajam melihatku. Lama dia menatapku tanpa berkedip. Dadanya naik turun terasa berat.
Lalu dengan cepat Raihan mendekat dan mencoba untuk menciumi bibirku. Terlambat untukku melawan. Cengkraman tangannya begitu kuat. Bibirku dan bibirnya bertemu. Hangat. Aroma mulutnya sedikit tercium bau alkohol dari minuman kaleng.
Sekuat tenaga aku mendorong tubuh Raihan agar menjauh. Tak lebih dari tiga detik, akhirnya Raihan sendiri yang melepaskan genggamannya.
Plaaaakkkkkk !!!!!!!!!!!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Raihan. Aku menyeka bibirku yang basah dengan tangan. Nafasku terasa berat. Aku ngga bisa berkata apa-apa lagi.
Didepannya, aku menitikkan air mata. Lalu berlari ke arah kamar. Raihan tetap diam tak mengejar.
Didalam kamar, aku masih menangis. Pikiranku masih tertuju pada kejadian di kolam renang tadi.
"Hadiah yang tak pernah aku harapkan di hari ulang tahun ku." aku menarik tisu berulang-ulang lalu menyeka bibir kecil ini lagi dan lagi.
***
Pagi ini rasanya sangat malas untuk berangkat kerja. Padahal aku sudah siap sedari tadi. Aku kembali duduk dipinggir kasur. Tanganku tak sengaja menekan tas yang ada diatas kasur. Aku merasakan ada yang menonjol didalam tas. Kado Mas Fatir.
Akupun menyempatkan diri untuk membuka kado berbentuk persegi panjang itu. Betapa kagetnya aku saat melihat apa yang telah diberikan Mas Fatir untukku.
"Samsung j7 plus?" Aku benar-benar tidak percaya akan adanya kado ini. Mana bisa Mas Fatir begitu baik sama aku sampai membelikan handphone yang begitu mahal?
Kulihat ada selembar kertas kecil. Tulisan Mas Fatir.
Selamat ulang tahun Nana.
Semoga ini bisa membuat aku sama kamu lebih dekat.
Oiya, handphone ini sudah bisa langsung kamu pakai. Aku juga sudah membelikan kamu nomor baru. Dan aku juga sudah menyimpan nomorku disana.
Cepat hubungi aku ya setelah diaktifkan!
Janji?
***
Tau dari mana dia kalo aku belum punya handphone? dada ini kembali terasa sesak. Aku coba untuk mengaktifkan handphonenya.
"Na ...." Dengan mendadak Raihan membuka pintu kamarku yang memang sudah terbuka sedikit. Aku tersentak kaget. Raihan melihat tanganku yang sedang memegang handphone dari Mas Fatir.
Raihan berjalan kearahku. Akupun melihat tangan kirinya menggenggam sesuatu dibalik punggungnya. Tapi tak bisa kupastikan itu apa. Aku merekatkan kancing kemeja atas. Takut Raihan berbuat semena-mena lagi padaku.
"Hadiah dari Fatir?"
Aku tidak memperdulikan pertanyaannya.
"Cepat turun! Aku mau berangkat." Pinta Raihan sambil membalikan badannya.
"Hari ini aku mau naik ojek online."
Raihan menghentikan langkah kakinya.
"Aku bilang, aku tunggu kamu dibawah!"
"Kamu pikir aku mau? Ini masih dalam urusan pribadiku. Jadi tolong, jangan ikut campur!"
Aku bergegas pergi mendahului Raihan. Tapi lagi-lagi Raihan mencengkram lenganku.
"Bagaimana pun juga aku adalah suamimu."
==========
Aku berusaha melepaskan genggamannya.
"Dan kamu pikir, aku adalah istri yang menyukaimu?" Kenapa situasinya makin memanas seperti ini? Aku sedikit ketakutan. Tingkah Raihan kenapa semakin kasar?
"Kenapa? Kamu lebih suka sama Fatir? Karena dia kasih kamu hadiah ulang tahun?
Bahkan dia mengajak kamu pergi kemarin sampai malam!"
Aku memalingkan wajah. Bagaimana dia tahu kalau aku pergi dengan Mas Fatir? Tanya ku membingungkan hati.
"Aku sempat nanya security yang ada di lobby. Katanya kamu pergi sama laki-laki. Dan aku yakin itu Fatir, iya kan?" Penjelasan Raihan seperti tahu apa yang sedang aku tanyakan padanya didalam hati.
"Jangan jadiin aku sebagai pelampiasan kekecewaan kamu, Ray. Aku tau, kamu dan Lisa lagi ada masalah, kan?" Semenjak Raihan pura-pura perhatian padaku didepan Lisa dan berakting membuatnya cemburu, hatiku sakit. Rasanya seperti tercabik-cabik. Perih saat aku tau, aku hanya dijadikan sebagai umpan.
"Ini semua ngga ada sangkut pautnya sama dia. Aku juga uda ngga ada hubungan apa-apa lagi sama dia." Ujar Raihan yang masih menggenggam sebuah hadiah. Tapi aku tidak tau siapa pemiliknya? Aku tidak bisa menerka-nerka dengan pikiranku yang lagi kalut ini. Apakah itu hadiah untukku? Atau untuk Lisa?
"Satu hal yang harus kamu ingat, terlepas dari pernikahan kontrak ini, pernikahan kita hanya pernikahan siri. Dan semua ini terjadi hanya karena salah paham. Bukan karena kita saling jatuh cinta. Dan aku sudah sangat muak dengan tingkah kamu Ray, yang sudah banyak melanggar perjanjian pernikahan ini."
"........."
"Pernahkah sekali aja kamu memikirkan posisiku Ray? Pernikahan dadakan seperti ini membuat psikis aku terguncang. Aku harus menerima berita murahan itu dari rumahku sendiri. Dan itu terjadi hanya karena tingkah kamu yang terlalu konyol kemarin!"
"Maaf ... Kalau aku ..."
"Aku akan berusaha cari uang pinjaman untuk melunasi semua utangku ke kamu. Setelah itu, kita selesai."
Aku pergi meninggalkan Raihan yang masih ada diambang pintu kamarku. Sempat ku melihat Raihan merunduk. Ada penyesalan yang memang seharusnya ia rasakan.
Dan pagi itu mau tidak mau aku pergi berbarengan bersamanya. Semakin aku menolak semakin Raihan memaksa. Aku tidak terlalu nyaman lagi dekat dengannya.
***
Semua yang terjadi antara malam kemarin dan pagi hari ini, malah membuat aku canggung di posisi seperti ini. Aku harus tetap berada satu ruangan dengan Raihan.
"Sayaaaaaaang ..." Suara serak-serak basah milik Lisa menggema di ruangan Raihan. Aku dan Raihan terperanjat. Namun aku tetap sibuk mengelap kaca meja tamu yang ada didalam kantor Raihan. Sedikit mengusik hati mendengar kata sayang yang keluar dari mulutnya.
"Lisa?"
"Sayang, kamu lihat dech apa yang aku bawa ini?" Lisa memang membawa sebuah lukisan abstrak berukuran 20R dengan bingkai berwarna gold metalik.
"Untuk siapa?" Tanyanya begitu datar.
"Untuk kamu lah. Lukisan ini aku bikin sendiri loh. Cantik yah? Aku ingin lukisan ini dipajang dikantor kamu. Yakin bakalan cocok deh."
Raihan terlihat tak perduli.
"Heii, kamu bukannya ...?" Raut wajah Lisa mengeriting saat sadar kehadiran aku disana.
"Iya mba Lisa, aku Nana." Aku mencoba menyapanya.
"Kerja disini?" Tampangnya terlihat kurang mengenakkan.
Aku manggut-manggut.
"Oohhhh .... Ya sudah kamu ambilkan tangga sana! Aku minta tolong untuk taro lukisan ini diatas dinding!"
"Baik, mba."
Kenapa Raihan tampak diam saja? Berharap dia bisa beritahu Lisa kalau aku adalah istrinya. Aku memanyunkan bibirku melihat Raihan tampak biasa saat aku disuruh mengambil tangga.
Tangga besi lipat ini lumayan berat. Ku bawa dari gudang dilantai 6. Butiran-butiran keringat muncul di keningku. Aku langsung mengelapnya.
Raihan masih sibuk di depan laptopnya. Sedangkan Lisa sibuk dengan lukisannya. Dia mencari-cari tempat di dinding agar pas dengan lukisannya.
Bisakah Raihan membantuku ? Aku sudah sangat kelelahan membawa tangga ini. Tapi Raihan tampak tidak peka.
"Coba tangganya bawa kemari! Kayanya sudah cocok disini deh."
Aku menuruti apa maunya Lisa.
"Aku yang naik, mba?"
"Ya iyalah, masa aku si yang naik. Sudah cepat naik! Nih bawa lukisannya, hati-hati!" Lisa memberiku lukisannya. Nada suaranya selalu terdengar ketus.
Sepertinya kaki tangga itu sedikit bergoyang. Aku sedikit ketakutan. Karena aku juga phobia dengan ketinggian.
"Mba Lisa tolong pegangin tangganya, ya!" Kakiku benar-benar gemetaran.
"Udah cepat sana naik!" Lisa enggan memegang badan tangga.
Bismillah. Aku pejamkan mataku sebentar. Selangkah demi selangkah kakiku menaiki anak tangga. Alhamdulillah lancar juga. Semoga tidak sampai jatuh.
"Kekanan sedikit. Jangan kekanan banget. Kekiri lagi. Jangan miring,donk! Bawahan lagi. Dikit lagi. Oke pas disitu" Lisa sedikit ribut.
Akhirnya kelar juga. Aku membuang napas panjang. Saat aku mulai menurunkan kaki, entah kenapa salah satu pijakan anak tangga menjadi patah. Alhasil aku jatuh dari tangga kebawah.
Buuuukkkkkk ....
Entah dari kapan Raihan ada di belakangku. Tubuhku yang tidak terlalu besar ini menimpa tubuh Raihan. Kepala Raihan agak terbentur dilantai tapi tak parah. Kejadian ini terulang lagi. Bedanya, posisiku kini diatas dan Raihan ada di bawah. Mata kami saling berpandangan. Aku merasa tangan Raihan mempererat dari punggungku. Aku menelan ludah.
"Ouuugghhhh ..." Raihan merintih sakit. Aku segera membangunkan diri. Lisa dengan cepat membantu membangunkan Raihan.
"Kan udah aku bilang, kamu harus hati-hati. Kenapa jadi ceroboh banget si!" Tukas Lisa sambil melotot kepadaku.
'Sudah ditolong malah marah-marah. Memangnya tanganku ngga sakit apa?' gumamku kesal dalam hati.
"Sayang, kamu ngga apa-apa kan? Lagian si tiba-tiba kamu berdiri dibelakang tangga."
Aku melengos pergi ke pantry. Perutku tiba-tiba terasa mual melihat kemesraan mereka. Raihan hanya diam melihat aku pergi.
"Dasar cewek bodoh." Hardik Lisa dengan suara pelan. Namun masih terdengar jelas olehku. Aku tidak menghiraukan nya.
***
Nafsu makanku berkurang drastis. Nasi rames yang kupesan di kantin karyawan masih utuh tak terjamah. Aku bingung memikirkan bagaimana caranya agar mendapatkan uang lima juta rupiah.
Tiba-tiba ada getaran handphone dibalik saku depan kemeja OB ku.
Fatir. Nama itu tertera dilayar handphone.
"Mas Fatir?"
Aku dengan cepat mengangkat teleponnya.
"Halo? Assalamualaikum?" Suara Mas Fatir dari seberang telpon.
"Waa'laikumussalam."
"Kamu kenapa ga kasih kabar ke aku? "
"Itu ... Aku lupa Mas. Maaf yah?"
"Kamu lagi apa? Sudah makan?"
"Ini lagi makan."
"Sore mau aku jemput? Aku mau bilang sesuatu sama kamu."
"Mau bilang sesuatu apa?"
"Rahasialah."
"Tapi sore ini sepertinya aku ga bisa Mas."
"Mau kemana? Sekalian aja aku antar. Mau?"
"Ga usah Mas. Aku memang lagi ada keperluan mendadak."
"Besok gimana?"
"Boleh."
"....."
"Mas, makasih ya hadiahnya. Aku suka."
"Sama-sama. Ya sudah kamu habiskan ya makanannya! Jangan lupa sholat! Assalamua'laikum."
"Waa'laikumussalam."
Handphone ku taruh disamping piring. Ku taruh wajah kusut ini pada kedua telapak tanganku. Aku benar-benar stress.
***
"Aku mau kerumah bude dulu, mau ketemu Nayla. Mungkin aku pulang agak malam." Aku izin pada Raihan yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Tunggu aku sepuluh menit lagi! Biar aku yang antar kamu kesana."
"Ngga perlu. Aku yakin Nayla juga belum mau ketemu sama kamu sekarang."
Raihan mendengus kesal.
"Kalo Fatir yang antar kamu mau?"
"Maksudmu?"
"Jangan jadikan Nayla adikmu sebagai alasan. Buat apa kamu menghindariku seperti ini?"
Aku diam seribu bahasa.
"Ga seharusnya aku minta izin sama kamu. Aku benar-benar salah." Ucapku agak kasar. Aku yang sudah berganti pakaian langsung melangkahkan kaki keluar dari ruangan kantor Raihan.
Raihan tampak bergeming, tak terbangun dari kursi kerajaannya. Kupercepat langkahku menuju halte. Berharap aku bisa naik bis dengan cepat.
Hampir 2 jam perjalanan untuk sampai kerumah bude. Aku tetap mencoba menghubungi nomor nayla. Namun ngga pernah aktif.
Tok tok tok tok
"Bude ... Assalamua'laikum?"
"Waa'laikumussalam." Terdengar bude dengan cepat menjawab salamku. Daun pintu terbuka, bude tampak aneh melihatku datang malam-malam seperti ini.
"Bude?"
"Nana? Ya ampun ayo masuk." Bude mempersilahkan aku masuk kedalam rumah. "Bude kira sama suamimu." Lanjut bude membuat leherku tercekik.
"Nayla kemana?"
"Oh ... Dia tadi sore pamit pergi sama Ajeng katanya sih mau ke Gramedia. Tau nih mereka sudah jam segini belum pulang juga." Jelas bude ramah. Ajeng itu anak bude yang usianya ngga terpaut jauh dengan Nayla.
"Hp Nayla ga aktif?"
"Iya. Katanya rusak."
"Ooooww" mulutku membulat.
"Kamu mau minum apa? Biar bude ambilkan."
"Ga usah bude." Aku menghentikan tubuh bude yang hampir saja berdiri mengambilkan aku segelas minum. "Bude aku kesini selain ingin melihat Nayla, aku juga mau minta bantuan bude." Aku merunduk dalam-dalam. Bude hanya diam menunggu kelanjutan omonganku.
Aku mengambil napas panjang lalu menghempaskannya. Sedikit lega. "Bude, pinjamkan aku uang lima juta." Akhirnya aku berpikir kalo bude mungkin bisa membantu aku meminjamkan uang.
"Buat apa Na?"
"Ada keperluan mendesak bude. Tolong aku bude! Bude ada ngga simpanan uang lima juta rupiah?"
"Bukankah suami Nana orang berada ya? Kamu bisa minta uang sama suamimu. Jelaskan padanya apa keperluan mu. Bude yakin dia pasti bantu kamu sebagai istrinya."
" Malahan aku pinjam uang agar aku bisa berpisah sama dia, bude."
"Astaghfirullah, Na. Nyebut. Istighfar kamu."
"Maafkan Nana bude."
"Meski kamu menikah siri dengannya. Ini tetap sebuah pernikahan. Baru saja menikah sudah mau minta yang ngga-ngga. Bude kurang setuju."
Bude agak marah. Aku ngga berani lebih jauh lagi menjelaskan semuanya. Aku belum siap. Aku juga merasa menyesal sudah mempermainkan arti dari pernikahan ini.
"Aku ..."
"Nana, kamu harus pikir matang-matang sebelum bertindak. Ngga bagus seorang istri mengucapkan kata itu. Hidupmu pasti kurang berkah nantinya."
"...."
"Dalam pernikahan siri memang tidak terikat dengan surat. Karena belum ada catatan dalam kantor urusan agama. Tapi beribu kali kamu meminta pisah tapi suamimu belum menalakmu, kamu belum boleh pergi meninggalkannya." Penjelasan bude sedikit membuat aku frustasi. Aku bingung. Kepala seperti ditanam paku bertubi-tubi. Sakit.
Akhirnya aku pamit pulang. Banyak nasihat yang aku terima dari bude. Aku ingin sekali berlama disana, sambil menunggu Nayla pulang. Aku benar-benar kangen dengan anak manja itu. Tapi malam semakin menampakkan suasananya.
***
Ada banyak pesan WhatsApp yang masuk dari Mas Fatir. Namun belum sempat aku baca. Jam segini Raihan tidak ada dikantor. Dia sedang ada rapat dadakan untuk membahas acara family gathering. Aku sedikit bebas.
{Hai pipi merah, kamu lagi apa? (Emot sedang berpikir) }
{Jangan capek-capek yah! Soalnya aku belum boleh mijit badanmu. (Emot ketawa nyengir) }
{Tapi kalo kamu lagi sedih, kamu sakit, apalagi kalo kamu terluka, langsung hubungi aku yah! Janji? Soalnya aku jualan plester, cuma gopek kok (emot ketawa jungkir balik) }
Aku senyum-senyum sendiri membaca WhatsApp dari Mas Fatir. Tak sadar Raihan sudah masuk ke dalam ruangan kantor. Dia terus melihat ke arahku. Tapi agak sinis.
'Kenapa dengan dia?' ucapku tak bersuara.
"Besok jangan lupa untuk ikut acara kepuncak." Ujarnya sambil berjalan ke arah meja kantornya. Aku berdiri dari sofa. Menaruh kembali handphone didalam saku kemeja.
"Aku ngga ikut. Aku mau nginap dirumah bude aja. Aku mau ajak Nayla jalan-jalan."
"Ngga bisa. Acara ini wajib bagi semua karyawan dikantor ini."
Aneh. Ku tatap dia sebentar, lalu pergi ke pantry untuk membuatkan dia teh.
"Ini." Kusodorkan secangkir teh yang tidak terlalu manis rasanya. Lalu cepat kembali ke pantry.
"Pulang kerja anter aku belanja. Ada banyak sesuatu yang harus aku beli buat acara besok."
"Sore ini?" Aku terperanjat. Aku sudah ada janji dengan Mas Fatir sore ini mau ketemu.
"Iya." Jawabannya sedikit jutek. "Kenapa? Sudah ada janji sama seseorang?" Aku hanya diam.
Jam 17.05
{ Tunggu aku yah! Aku lagi diperjalanan kesana. }
Pesan WhatsApp dari Mas Fatir baru ku baca. Tapi aku sudah didalam mobil Raihan. Apa yang harus aku katakan?
{Mas Fatir sore ini aku ngga bisa juga. Ada keperluan mendadak. Aku minta maaf baru bilang sama Mas.}
Dengan cepat Mas Fatir membalas dengan emot sedih. Aku tak lagi membalasnya.
Mobil melaju dengan cepat. Raihan membawaku ke Summarecon Bekasi. Tak banyak bicara aku dan Raihan sepanjang jalan.
"Aku mau beli baju dulu." Ujar Raihan sambil melangkahkan kakinya masuk ke toko berlogo Chanel. Aku membututi dari belakang.
Aku membuka mulutku lebar-lebar saat tau harga baju ditoko ini.
'Mahal banget. Kalo beli di pasar malam pasti bisa dapet selusin baju. Orang kaya kalo beli apa-apa pasti ngga pake mikir. Tinggal ngambil bayar tinggal ngambil bayar.' ngocehku dalam hati.
"Bagusan mana yang ini atau yang ini?" Apa pentingnya pendapatku? Raihan menunjukkan aku dua warna kaos berbeda.
"Aku lebih suka warna hitam. Lebih cocok. Kulitmu kan agak putih jadi hitam lebih bagus." Aku menjelaskan pendapatku yang memang ada diotak.
"Tapi aku lebih suka kaos merah ini." Raihan lekas pergi dari hadapanku ke karyawati toko itu. "Saya ambil yang ini." Sambungnya sambil memberi kaos merah pada karyawati itu.
'Apa? Ngga jelas banget si nih orang. Minta pendapat orang lain tapi malah memilih keputusan sendiri.' aku membuang muka kesal.
"Kamu mau beli baju juga ngga?"
"Ngga usah. Disini mahal-mahal."
"Aku yang bayarin kok."
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Lapar ngga?"
"Sedikit."
"Kita makan dimana yah?" Ucap Raihan sambil celingukan mencari restoran didalam mall. Lalu kita berdua jalan santai sebentar sambil mencari restoran enak.
Dekat panggung besar ada restoran Fish n Co yang lumayan rame pengunjungnya. Alunan musik jazz dari panggung utama terdengar jelas di restoran ini.
"Kamu pesan apa?"
"Sama aja. Tapi jangan yang aneh-aneh yah. Takut ga kemakan."
Lalu raihan memesan seafood platters satu, fish and chips dua, jus alpukat satu, dan juga blackcurrant refill. Sambil menunggu makanan datang. Aku menyempatkan diri ngutak-ngatik handphone. Tidak ada pesan lagi dari Mas Fatir. Aku jadi merasa bersalah. Apa aku harus WhatsApp dia dulu menanyakan kabarnya?
Ahhhh, aku merunduk menyesal.
"Sini handphonemu!" Pinta Raihan tiba-tiba.
"Untuk apa?" Alisku mengeriting.
"Ngga mau berbagi nomor? Komunikasi itu penting. Jadi kalau ada apa-apa gampang dihubungi." Raihan serta merta mengambil handphone yang ada ditanganku.
Lalu dengan sendirinya dia menyimpan nomor teleponnya.
{Jangan lupa istirahat cantik.}
Tiba-tiba nada pesan WhatsApp berbunyi. Aku yakin Raihan bisa melihat isi pesan itu dari layar atas.
Setelah selesai Raihan langsung mengembalikan lagi handphoneku. Ku cari-cari dimana pesan WhatsApp yang baru. Aku yakin itu dari Mas Fatir. Karena aku belum menyimpan nomor siapa-siapa selain dia.
"Ini ... Kenapa pesan WhatsApp nya ga ada?" Aku akhirnya bertanya pada Raihan.
"Ngga sengaja kehapus." Ujarnya datar.
"Memang dia bilang apa?"
"Ngga tau. Aku lupa."
"Mana mungkin. Coba kamu ingat-ingat lagi dia bilang apa."
Sebelum dijawab ternyata makanan lebih cepat datang. Aku masih bertanya-tanya. Namun aku melihat Raihan makan dengan lahapnya. Lalu aku urungkan niatku bertanya lagi. Aku tidak ingin merusak suasana.
Hampir satu jam kita ada direstoran itu. Alunan musik berubah jadi lagu pop melow. Penyanyi itu membawakan lagu apik dari Naif_benci untuk mencinta. Sekejap Raihan terbawa perasaan dengan lirik lagu ini.
Aku merasa risih saat Raihan terus dan terus menatapku. Aku ngga berani melihatnya. Semua penonton yang sedang duduk dipelataran depan panggung, bernyanyi bersama.
Aku tak tau apa yang terjadi
Antara aku dan kau
Yang ku tau pasti
Ku benci tuk mencintaimu
"Sekarang aku mau nonton bioskop."
"Aku capek. Kita pulang aja ya!"
"Ngga mau. Ada film bagus soalnya."
Semakin aku menolak semakin dia bersikeras. Aku mengekori langkah kakinya ke arah tempat bioskop XXI.
Setelah memesan tiket, Raihan membeli pop corn karamel untukku dan dua buah soda drink. Tidak lebih dari sepuluh menit kita menunggu pintu taeter tiga telah dibuka.
Dingin. Itu yang ku rasakan saat pertama kali masuk ke bioskop. Aku hanya mengenakan kaos oblong biasa. Entah kenapa Raihan memilih tempat duduk dipaling pojok atas.
Ku lihat masih banyak bangku yang kosong tak berpenghuni. Aku sedikit canggung. Aku seruput minuman soda itu lagi dan lagi. Kenapa jadi panas dingin begini? Aku mengatur napas.
Aku menyenderkan punggungku ke kursi. Ku lirik sekilas ke arah Raihan, dia pun sama terasa kikuk.
Udara dingin makin bertambah terasa. Tiba-tiba lampu sekejap mati. Gelap. Hanya ada sinar dari layar jumbo didepan sana.
Aku merilekskan diri. Aku tak tau film bergenre apa yang dipilih Raihan. Semakin lama semakin dingin. Tapi tak sampai menusuk tulang. Aku hanya merinding kedinginan.
Entah kenapa mata ini terasa berat. Padahal filmnya baru saja diputar. Tak sadar, pelan-pelan
Mataku melayu. Aku memang capek sekali. Dari kemarin kurang istirahat dan tidur.
Sekarang aku seperti mimpi. Lumayan hangat. Seperti ada yang menyelimuti tubuh ini yang sedari tadi kedinginan. Makin lama makin terasa nyaman. Aku juga bisa merasakan ada bantal empuk yang menyangga kepalaku. Pipiku terasa ada yang mengelus-elus mesra.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel