Cerita bersambung
Entah kenapa mata ini terasa berat. Padahal filmnya baru saja diputar. Tak sadar, pelan-pelan mataku melayu. Aku memang capek sekali. Dari kemarin kurang istirahat dan tidur.
Sekarang aku merasakan mimpi. Lumayan hangat. Seperti ada yang menyelimuti tubuh ini yang sedari tadi kedinginan. Makin lama makin terasa nyaman. Aku juga bisa merasakan ada bantal empuk yang menyangga kepalaku. Pipiku terasa ada yang mengelus-elus mesra.
Aku mengulet. Mataku pelan-pelan terbuka. Aku kaget saat tau ternyata kepalaku sedang bersandar pada bahu Raihan. Jas hitam miliknya yang sedari tadi tak dipakai pun menutupi atas badanku. Ternyata ini bukan mimpi. Lalu apakah Raihan tadi mengelus-elus pipiku juga?
Aku mencoba menjauh tapi tangan kiri Raihan menahannya.
"Jangan bangun, istirahat aja kalo kamu capek." Bisik Raihan jelas.
Sesekali aku lihat pada layar bioskop. Sumpah aku ngga terlalu suka film Hollywood bergenre action. Tapi Raihan terlihat menikmatinya.
Ahhhh, Ada rasa hangat menjalar ditubuhku. Bolehkah aku tidur kembali?
***
Acara family gathering tahun ini, PT. Erlangga Group memboyong lebih dari 400 karyawan dan karyawatinya ke Citra Alam Riverside, Bogor.
Lebih dari 10 bus pariwisata siap mengantar menuju Puncak.
Aku kedapatan tempat duduk di bus nomor 5. Aku mencari bangku yang masih kosong. Kupilih bangku yang tidak terlalu dibelakang.
"Nana, aku duduk sama kamu yah!" Ujar Elis temanku yang bekerja sebagai Office Girls juga setengah berlari. Tapi tampaknya dia tidak sengaja menabrak seseorang yang tidak asing lagi di mataku.
Raihan? Aku tidak percaya kenapa aku bisa satu bus dengannya. Elis kaget saat tau orang yang ditabraknya itu adalah seorang bos besar.
"Pak Raihan? Maaf, saya ngga sengaja." Ujar Elis sedikit menurunkan kepalanya. Raihan hanya diam. Dan membiarkan Elis duduk di sebelahku dan memilih duduk dekat kaca.
Raihan berjalan kearahku. Dia memilih bangku kosong tepat disampingku.
"Bukannya semua bos besar ada di bus nomor satu yah?" Tanyaku ingin tahu.
"Kenapa? Ga boleh kalo aku disini?" Jawab Raihan agak jutek.
Aku memilih diam. Ku lihat Raihan menelpon seseorang.
"Halo? Fatir, aku ada di bus nomor 5. Kamu disini saja."
'Hah? Mas Fatir ikut juga.' tanyaku bingung diam-diam.
"Siapa? ..." Tiba-tiba Raihan menoleh kearahku. Aku pura-pura tidak mendengar percakapan mereka lalu sibuk dengan handphoneku. "Dia disini kok." Ucap Raihan melemah. Lalu mematikan handphonenya.
Tak berselang lama, kulihat Mas Fatir masuk ke bus yang sama denganku. Mas Fatir begitu nampak trendy. Kaos oblong polos berwarna abu-abu dan jeans biru membuat Mas Fatir terlihat cool. Ditambahnya lagi dengan sneaker putih merk Fila membuatnya lebih keren.
"Nana? Apa kabar?" Tanya Mas Fatir tak canggung.
"Aku baik kok, Mas." Malah aku yang terasa kikuk didepannya.
"Sibuk terus sampai lupa." Ujarnya sambil menyunggingkan senyum.
"Hehehehe ... Iya lagi banyak urusan nih, Mas."
Tiba-tiba Raihan berdiri tepat di depan Mas Fatir.
"Kamu dipojok saja, biar aku yang dipinggir." Pinta Raihan sambil mempersilahkannya duduk.
"Oke."
Tepat jam tujuh lewat lima belas menit semua bus siap berangkat. Tak ketinggalan dengan bus yang ku tumpangi. Setelah baca doa agar diberikan keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan, perlahan bus mulai berjalan.
Tidak lebih dari 40 orang ada di dalam bus ini. Aku sangat menikmati setiap perjalanannya. Kadang lancar kadang macet. Ku pasang headset ditelinga kanan dan kiri. Mencoba merilekskan badan sambil mendengar lagu-lagu terbaik dari Rossa.
Sudah lebih dari satu jam, tapi belum sampai juga. Aku mencoba untuk tidur, untuk mengusir rasa kantuk yang memang masih bergelayut di mata.
3 jam kemudian.
"Na ... Ayo bangun!" Suara Mas Fatir terdengar mesra di telingaku. Ku renggang kan otot-otot ditangan.
"Udah sampai ya?"
"Dari tadi. Lihat aja, semua udah pada turun!" Aku lihat bus sudah kosong tak berpenumpang. Aku langsung memperlihatkan senyum kudaku.
'Kenapa Raihan ngga bangunin aku? Untung ada Mas Fatir. Dasar laki-laki ngga bertanggung jawab' ujarku kesal didalam hati.
Waahhhhh ... Sudah lama tidak merasakan udara adem seperti ini di Jakarta. Tempatnya begitu luas. Banyak pepohonan rindang jadi terlihat asri. Suara gemericik air terdengar dari sungai yang tak jauh dari sini.
Acara dua hari satu malam ini mengizinkan semua karyawannya untuk tidur di tenda kemah yang telah disediakan oleh panitia. Kulihat jejeran tenda kemah menyusuri rumput yang terbentang luas.
Sebelumnya semua orang disuruh berkumpul di pelataran aula serbaguna yang ada disana. Raihan yang masih setia memakai kemeja putih memberikan sekapur sirih untuk memulai acara family gathering ini.
Dari kejauhan, ada rasa bangga aku padanya. Diusianya yang ke 29 tahun dia telah menjadi sesosok lelaki yang sukses. Tak hanya itu, tampangnya yang penuh kharismatik membuat hati wanita siapa saja meleleh, mungkin termasuk aku.
Acara selanjutnya adalah makan siang. Acara yang aku tunggu-tunggu dari tadi. Pasalnya cacing diperutku sudah demo minta makan.
"Hai Mas Fatir!" Sapaku saat melihat Mas Fatir yang sedang mengambil buah melon potong.
"Hai ..."
"Mas Fatir ngga makan?" Tanyaku kepo. Aku sudah selesai mengambil makanan.
"Ngga. Aku masih kenyang. Kamu makan yang banyak, biar gemukan dikit."
"Emang badanku agak kurus yah?" Aku jadi memperhatikan bentuk tubuhku.
"Ngga juga sih." Dia malah senyum-senyum. "Jadi kamu kemana dua hari ini?" Pertanyaan Mas Fatir membuat aku gugup.
"Itu ... Aku kerumah saudara lagi Mas." Jawabku asal.
"Acara keluarga?"
"Hmmmmm ... Iya, acara keluarga." Maafkan aku yang sudah bohong. Aku dan mas Fatir mengambil tempat duduk. Suasana begitu ramai, orang-orang sedang mengantri untuk mengambil makan.
"Nanti kita coba main flying fox yuk!" Ajak Mas Fatir santai.
"Ngga ahk. Aku phobia ketinggian. Aku liatin Mas Fatir main aja. Nanti biar aku videoin juga." Kulihat Mas Fatir tertawa kecil.
"Ngapain takut. Seru kok."
"Mas Fatir ngga sama Pak Raihan? Kok ngga keliatan yah." Raihan memang tidak terlihat disekitar sini.
"Oohh ... Tadi dia izin ke wisma sebentar. Mau istirahat. Katanya kepalanya sakit terus." Penjelasan Mas Fatir membuat aku mengingat tentang kejadian kemarin. Saat aku terjatuh dari tangga, dan Raihan ada dibelakangku. Kepala Raihan memang agak sedikit terbentur.
Nada WhatsApp dihandphoneku berbunyi.
Raihan.
{Cepat ke Wisma Citra 1, bawakan aku teh hangat! }
Sebelum aku pamit, kulihat Mas Fatir sedang diajak berbicara tim direksi lainnya. Aku langsung menaruh sisa makananku diatas bangku. Lalu pergi setengah berlari menuju wisma tanpa pamit.
Tak jauh dari aula serba guna, aku sudah memasuki wisma citra 1. Aku tinggal mencari kamar mana yang ditempati Raihan. Disini sepi. Tidak ada orang satupun. Karna semua orang sedang berkumpul untuk makan siang.
{Kamar no 5.}
Pesan WhatsApp baru dari Raihan sangat membantuku.
Tok tok tok
Raihan langsung membuka pintu.
"Kamu sakit?" Tanyaku dengan ekspresi khawatir.
"Mana tehnya?"
Ya ampun. Aku lupa membawa teh untuk dia. Sangking aku terburu-buru. Raihan tampak kesal.
"Aku lupa. Aku keburu khawatir saat tau Mas Fatir bilang kepala kamu sakit. Itu ... Apa karena kemarin kamu nolong aku yah? Pas aku jatuh dari tangga?"
Belum dijawab pertanyaanku, Raihan menengok kanan kiri diluar kamar, tanganku diseret masuk kedalam. Lalu mengunci pintu kamar.
"Karena kamu lupa bawa tehnya. Cepat pijitin kepalaku!" Pinta Raihan sambil duduk dipinggir kasur.
Aku menurut. Ada perasaan ragu-ragu saat ingin memegang kepalanya. Semakin mendekat semakin merasa aneh.
'Bagaimanapun juga aku adalah suamimu.' Kata-kata itu muncul dengan sendirinya dari ingatanku.
'Dia suamiku. Jadi gak apapa kalo seperti ini. Ya kan?' pikirku dalam hati.
Aku mulai memutarkan jemariku pada kedua sisi kening Raihan. Sangat lama aku memijiti kepalanya. Sesekali aku melihat wajahnya, dia tampak memejamkan mata tapi tidak tidur.
Hampir sepuluh menit, tapi Raihan belum juga memintaku berhenti. Kemudian Raihan membuka kancing kemeja.
Aku yang sedari tadi berdiri sambil memijat kepalanya berjalan mundur beberapa langkah.
"Kenapa buka baju lagi?"
"Sekarang punggungku, yah! Pada pegel juga" Raihan langsung merebahkan badannya, menelungkup.
Aku masih belum berani mendekatinya. Ada perasaan takut.
"Ayo!" Pinta Raihan sambil melihatku. Ku mantapkan hati untuk mendekati Raihan. Kini aku duduk dipinggir kasur. Pelan-pelan aku memijit punggungnya yang terlihat sama bidang dengan dadanya. Ada desiran aneh menyelimuti tubuhku.
"Enak juga pijatannya. Kalau tiap hari boleh?"
"Memangnya aku tukang urut ." Jawabku sedikit kesal.
"Kan nanti dibayar."
"Satu juta yah sekali mijit." Ledekku sedikit matre.
Raihan langsung membalikkan tubuhnya. Jantungku berdegup keras. Sampai-sampai aku takut Raihan mendengarnya.
Saat aku mau bangun, tangan Raihan dengan cepat menggenggam tanganku. Hanya dalam dua detik kita saling berpandangan. Lalu Raihan menarik paksa tangan ini sampai badanku ikut terdorong dan terjatuh ke dada nya.
Tangannya melingkar Memelukku.
"Bayarnya pakai pelukan aja. Biar romantis." Goda Raihan yang membuatku ingin memberontak bangun. Tapi dekapannya lebih kuat. "Please, lima menit aja kaya gini." Aku langsung terdiam.
Aku tidak berani menatap matanya. Ku biarkan tubuhku dan tubuhnya menyatu.
Tok tok tok tok
Suara ketukan pintu mengangetkan aku dan Raihan. Aku langsung berdiri diikuti Raihan.
"Itu siapa?" Bisikku bertanya pada Raihan.
Raihan hanya menggelengkan kepalanya.
Tok tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar dua kali. Aku semakin panik. Aku mencari tempat persembunyian. Ingin sembunyi di lemari tidak muat dikarenakan ukurannya yang kecil. Sembunyi dibawah kasur takut ketauan. Kamar mandi!!!! Aku langsung berlari menuju kamar mandi yang ada di kamar Raihan.
Raihan memastikan kamar mandi terkunci dari luar. Dan mengantongi kuncinya.Lalu dengan cepat membuka pintu kamar.
Ku memastikan siapa yang datang. Kudengar baik-baik dibalik pintu kamar mandi. Tapi tak terdengar apapun.
Beberapa saat kemudian.
"Raihan? Raihan?" Aku sebut namanya berkali-kali dengan nada suara pelan. Tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetok-ngetok pintu. Tetap saja Raihan tidak menjawab.
"Apa Raihan keluar kamar ya?" Aku cemberut saat sadar memang Raihan telah pergi dari kamarnya. Aku mencoba untuk menenangkan diri didalam kamar mandi. Untung masih ada ventilasi kecil dikamar mandi. Jadi tidak terlalu pengap.
3 jam kemudian.
Lama aku berjongkok sambil menundukkan kepalaku ditangan. Berharap Raihan cepat kembali. Kulit kakiku sudah terasa dingin. Beberapa kali juga aku merasakan kram. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Napas Raihan terdengar berat.
"Nana? Maaf ... Kalau aku terlalu lama." Aku langsung terbangun. Raihan Mencoba memelukku. Namun aku menepisnya. Ku tatap dia dengan sinis, tiba-tiba air mata jatuh begitu saja. Aku langsung mengelapnya.
Aku keluar dari kamar mandi tanpa aku pamit padanya. Raihan mencoba menahanku.
"Aku mau istirahat. Kaki aku kram terus." Ucapku tanpa memandangnya. Raihan melihat kakiku yang sedikit pucat kedinginan. Lalu melepaskan genggamannya.
***
Disaat orang lain sedang bersenang-senang. Entah kenapa cuma aku yang merasakan kesedihan. Padahal acara api unggun di malam ini sangat meriah. Pesta kembang api pun tak luput dari bagian acara family gathering tahun ini.
Aku lebih memilih duduk sendiri jauh dari kerumunan orang-orang itu. Roti coklat keju yang ku beli di minimarket menjadi makan malamku. Sesekali aku melahap roti, aku meneteskan air mata, mengingat kejadian tadi. Kenapa Raihan begitu lama untuk datang kembali?
"Kamu disini?" Tiba-tiba Mas Fatir ada disini, disampingku. Aku cepat-cepat menyeka air mataku yang masih ada di pelupuk mata.
"Mas Fatir?"
"Kamu nangis? Ada apa?" Tanya Mas Fatir heran. Aku hanya diam. Pandanganku menuju yang lain. "Sudah beberapa kali aku menelpon kamu, tapi ngga dijawab terus. Kamu kemana tadi?" Tanyanya bertubi-tubi. Memang, handphoneku tadi tertinggal di meja kecil disamping tempat tidur Raihan. Sedangkan aku terkunci seperti orang bodoh dikamar mandi.
"Aku taruh di tas Mas, sengaja ngga aku bawa."
"Terus kamu kemana?" Aku memejamkan mata. Apa yang harus kukatakan padanya? Aku menghembuskan napas panjang. Dingin.
"Ini pakai jaket punyaku." Mas Fatir memakaikan aku jaket tebal berwarna hitam miliknya.
"Aku kan sudah pakai."
"Jaketmu terlalu tipis. Sudah pakai saja, aku ngga kedinginan ko." Mas Fatir tersenyum manis.
"Makasih ya? Mas Fatir selalu perhatian sama aku."
"Kamu kenapa nangis? Aku paling benci lihat wanita nangis. Paling ngga bisa lihat wanita menangis. Kalau lihat wanita nangis, aku selalu ingat sama ibuku." Aku tersenyum. "Nah kalo kaya gini kan cantik." Goda Mas Fatir sambil mencubit pipiku.
"Tetep jadi dokter pribadiku ya, Mas!"
"Kalo jadi dokter cinta kamu, aku sih yess." Aku tertawa kecil.
"Mas Fatir selalu datang disaat aku sedih. Saat hati aku merasa kecewa. Selalu ada disaat aku sakit."
"Iyalah. Kan aku sudah bilang kalau aku jualan plester."
"Ishhh, aku serius tau." Raut wajahku mengambek.
"Hehehehe. Oke oke aku serius juga nih." Mas Fatir membenarkan posisi duduknya. "Jadi gimana?" Tanyanya membuat aku bingung.
"Gimana apanya?"
"Aku menyukaimu, Na." Mendadak tenggorokan terasa gatal. Aku batuk-batuk ngga jelas didepan Mas Fatir. Mana mungkin dia mengungkapkan perasaannya padaku dalam keadaan aku seperti ini?
"Suka?" Tanyaku pura-pura heran.
"Lebih dari suka."
"..."
"Aku ngga mau berpacaran denganmu. Tapi aku mau menikahimu, Na." Jantungku makin kuat berdebar. Ku lihat laki-laki berhati malaikat tanpa sayap itu mengutarakan isi hatinya.
Aku harus bilang apa? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana pun juga aku masih istri Raihan.
"Hmmmmm ... Aku ngga perlu jawab sekarang kan?"
"Tenang saja. Aku akan selalu menunggu jawabanmu. Ahhhh, rasanya lega kalo sudah bilang." Ku lihat raut wajah Mas Fatir tersirat kegembiraan. Dan aku mulai bingung.
Dikeramaian sana didekat acara api unggun, aku lihat ada sosok Raihan yang sedang memperhatikan aku dan Mas Fatir. Dengan sengaja aku memalingkan wajah dari pandangannya.
***
Hari kedua di acara family gathering.
Semalaman aku tidak bisa tidur dengan pulas didalam tenda. Dan pagi hari ini aku lebih memilih duduk-duduk dipinggir kolam renang dibanding ikut senam bersama disana. Dingin. Saat aku mencelupkan kedua kakiku keair.
Masih tenggelam dalam pikiranku tentang Raihan yang begitu tega meninggalkan aku dikamar mandi. Masih terngiang pula kata-kata Mas Fatir semalam.
Ahk, rasanya kepalaku terasa berat. Pusing. Seperti ada beban berat diatas kepalaku. Perlahan pandangan ku mengabur. Aku berusaha fokus. Lalu mencoba berdiri menjauh dari kolam renang. Aku takut terjatuh kesana.
Belum melangkahkan kaki, hal yang kutakutkan terjadi. Aku merasa tubuhku terhempas ke kolam renang berkedalaman 2,5 meter itu.
Aku mencoba berenang. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin teriak meminta tolong tapi tubuhku masih terus saja berada di bawah air. Ku coba juga untuk melambai-lambai kan tangan.Beberapa kali ku minum air kolam renang itu. Aku sudah tidak kuat.
'Tuhan, tolong aku! Aku mohon bantu aku. Aku mohon kirimkan orang yang bisa menyelamatkan aku. Siapapun dia orangnya, aku berjanji aku akan selalu membahagiakannya. Sampai kapanpun.'
Aku masih dalam kondisi setengah sadar. Masih berharap ada orang yang tau aku butuh pertolongan. Lebih dari 30 detik aku berjuang dibawah air. Lalu dengan sergapnya, laki-laki itu berenang menjemputku yang diambang nyawa. Aku sudah tidak kuat.
Laki-laki itu memelukku didalam air. Tidak jelas siapa dia. Lalu membawa tubuh ini yang semakin lemah ke tepi kolam. Ku sadar aku dibaringkan disana. Aku makin melemah. Tangannya dengan cepat menekan-nekan dadaku. Lalu mencoba membantuku lewat jalan pernapasan. Lagi dan lagi sampai akhirnya aku sadar. Air keluar dari mulutku, tak banyak. Aku terbatuk-batuk karena dada ini memang terasa sakit.
Lalu aku menoleh kearah laki-laki yang ada disampingku. Aku melihatnya.
==========
Laki-laki itu memelukku di dalam air. Tidak jelas siapa dia. Lalu membawa tubuh ini yang semakin lemah ke tepi kolam. Ku sadar aku dibaringkan disana. Aku makin melemah. Tangannya dengan cepat menekan-nekan dadaku. Lalu mencoba membantuku lewat jalan pernapasan. Lagi dan lagi sampai akhirnya aku sadar. Air keluar dari mulutku, tak banyak. Aku terbatuk-batuk karena dada ini memang terasa sakit.
Lalu aku menoleh kearah laki-laki yang ada disampingku. Aku melihatnya. Wajahnya tersirat kecemasan. Dia mencoba membangunkan badan ini. Dan memelukku erat.
"Mas Fatir?" Aku meyakinkan diri sendiri.Pelukannya semakin erat. Membuatku sulit bernapas.
"Kamu gak apapa kan?" Tanya Mas Fatir khawatir.
Aku menggeleng-gelengkan kepala lemah.
Hampir seluruh karyawan yang sedang asyik senam ria, datang melihat kejadian ini. Aku masih lemas. Dengan rasa kepanikannya, Mas Fatir membopong tubuhku yang sudah basah kuyup.
Diujung kolam, barulah aku melihat 'suamiku' berdiri. Raihan hanya mematung seperti tak punya hati. Bahkan tak punya nyawa.
'Raihan, seikhlas itukah kamu melihat tubuhku yang lemah ini disentuh laki-laki lain?' lirihku didalam hati.
Jika aku mampu berdiri, aku lebih baik berjalan sendiri. Mas Fatir membawa tubuhku pelan hingga melewati Raihan. Sekali lagi ku lirik kearah mata Raihan. Tatapannya sinis yang aneh pada Mas Fatir.
Didalam wisma aku diberikan waktu istirahat. Handuk berwarna merah masih melingkar dikepalaku untuk mengeringkan rambut. Aku seruput air putih segelas yang ada dimeja kecil sampai habis.
Saat aku ingat sekilas apa yang terjadi di kolam renang tadi, membuat dada ini terasa sakit. Aku menghela napas panjang. Aku ambil handphone yang juga ada dimeja. Tidak ada pesan WhatsApp satupun. Sepi.
Tok tok tok tok
Cepat aku menghampiri pintu dan membuka kuncinya. Aku masih berharap dia yang datang.
"Nana, ini aku bawain teh hangat sama bubur ayam. Kamu harus makan!" Dan lagi-lagi aku mendapatkan perhatian khusus dari Mas Fatir. Lalu dimanakah Raihan? Sekalipun dia tak menolongku saat aku tenggelam tadi seharusnya dia khawatir sedikit dan menjengukku.
"Makasih ya Mas Fatir." Ucapku sambil menerima nampan coklat yang berisi bubur dan segelas teh hangat.
"Aku ngga masuk kedalam. Tapi janji, nanti kamu habiskan buburnya, ya!" Pintanya terdengar mesra.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sebelum pergi, Mas Fatir mengelus pipi kananku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul dihati ini.
Jam 16.20
Semua sudah siap untuk kembali ke Jakarta. Namun sampai saat ini aku tidak melihat sosok Raihan di bus. Aku celingak-celinguk seperti orang bodoh mencari sosok si bos besar itu.
"Mas Fatir ngga lihat Pak Raihan?" Aku akhirnya menanyakan itu saat Mas Fatir masuk ke bus sendiri tanpa Raihan.
"Oohh. Dia sudah pulang duluan dari tadi. Orang tuanya tiba-tiba sudah pulang dari Amerika. Dan dia harus jemput ke bandara. Jadi dia dianter pake mobil panitia kesana." Jelas Mas Fatir santai.
Aku bergeming.
"Ada apa cari Raihan?"
"Ah? Hmm .... Ngga apa-apa kok cuma mau tanya aja Mas." Aku berpura-pura tersenyum.
'Apa? Pulang duluan? Keterlaluan! Tanpa pamit. Setidaknya dia bisa kirim pesan WhatsApp ke aku. Percuma dia menyimpan nomorku. Bilangnya untuk berkomunikasi.' kesalku dalam hati.
Ahhhh. Rasanya aku ingin tidur terus. Berharap bus ini sampai dengan cepat ke Jakarta. Aku lelah. Aku sama sekali tidak menikmati acara family gathering ini.
Sesekali bersenda gurau bersama Mas Fatir yang kini duduk bersebelahan denganku. Plester terhebat yang pernah aku miliki. Sesaat aku lupa akan bayangan Raihan, saat ocehan Mas Fatir yang selalu membuat aku tertawa.
***
Setengah sebelas malam aku baru sampai rumah. Perjalanan begitu panjang karna macet yang luar biasa. Aku berharap ada waktu sebentar untuk mengobrol dengannya.
Ku tengok ke arah kolam renang, tapi sosoknya tidak ada. Ku naiki anak tangga agak lemah sambil membawa satu tas besar. Sebelum masuk kekamarku, ku lihat pintu kamar Raihan. Ingin sekali aku membangunkannya.
Pelan-pelan aku hampiri kamarnya. Ku dekatkan kuping ini siapa tau terdengar sedikit saja apa yang dia lakukan. Tapi tak terdengar apa-apa.
Saat aku ingin mengetok pintu, tiba-tiba Raihan sudah membuka pintu kamarnya. Aku kaget bukan kepalang. Tak bisa berkata-kata, aku gelagapan.
"Baru pulang?" Tanyanya dengan nada jutek.
Aku menganggukkan kepala. Tapi tak berani menatapnya. Kemudian Dia langsung pergi kebawah tanpa ada kata-kata lagi.
'Ada apa dengan dia? Kenapa dia yang marah? Bukankah aku yang seharusnya marah? Dasar suami bodoh!' Aku jadi mengumpatnya.
"Katanya orang tuamu pulang? Mereka sekarang dimana?" Aku berusaha mendekati Raihan sebelum menuruni anak tangga.
Raihan menghentikan langkah kakinya. Matanya tak menyapa aku yang ada disampingnya.
"Fatir yang kasih tau kamu?"
"Maksudnya?"
Raihan tersenyum ketir.
"Aku kira kamu kemana. Makanya aku tanya sama Mas Fatir. Karna aku yakin dia tau dimana kamu."
"Mas Fatir? Kayaknya kalian cocok juga jadi sepasang kekasih. Segala nunjukin adegan sok romantis dipinggir kolam. Jijik." Mata Raihan baru melihatku. Lalu melengos pergi.
"Aku ngga pernah minta dia untuk datang selamatin aku. Lalu gimana dengan kamu? Kenapa kamu cuma diam saja disana? Kenapa? Takut? Belum berani bilang kesemua orang kalo aku istri kamu?" Aku setengah berteriak. Aku tak mengikutinya dari belakang.
Langkah Raihan terhenti sejenak di tengah-tengah tangga. Lalu ngeloyor pergi lagi ke arah dapur.
Aku membuang muka. Benci lagi dengan tingkahnya yang belagu. Aku pergi ke kamar. Ada baiknya aku istirahat.
***
"Bang Odin, Raihan belum turun juga ya?" Tanya ku saat menghampiri Bang Odin yang sedang mengelap mobil Raihan diluar bagasi.
"Iya nih, Neng. Padahal sudah jam tujuh lewat. Ngga biasanya Tuan Raihan terlambat." Ujar Bang Odin membuat aku agak cemas.
"Aku keatas dulu ya, Bang." Aku pun yang sudah siap untuk kerja harus balik badan lagi ke atas.
"Iya neng."
Tok tok tok tok
"Raihan? Raihan? Kamu ngga kerja?" Ujar ku sambil mengetok pintu.
Raihan tidak mengacuhkan suara yang ada dibalik pintu kamarnya. Handphone yang ada didalam tas kecilku, tiba-tiba berdering.
"Raihan? Kenapa dia video call?"
Aku menggeser layar untuk menerima video call dari Raihan.
Aku memperhatikan dia. Masih terbaring di atas kasur. Rambutnya yang selalu tertata rapi dengan model Fade terlihat acak-acakan. Dia menguap. Lalu terbangun dari tidurnya.
"Buatin aku nasi goreng!" Ucapnya terdengar samar-samar namun masih sedikit jelas.
"Kamu ngga kerja?"
"Aku libur. Kamu juga libur ya?" Aku melihat Raihan mengucek mata kirinya.
"Kenapa?"
"Gapapa. Aku suruh semua yang kerja hari ini ngga datang. Jadi aku mau kamu yang bikinin aku nasi goreng. Cepat ya? Aku lapar. Selesai mandi aku langsung ke bawah." Raihan langsung memutuskan panggilan.
Kesal rasanya melihat tingkahnya yang seperti bossy. Dasar tukang marah. Tukang perintah. Ku kepalkan tangan kananku yang hampir mau meninju layar handphone.
Dan tanpa aba-aba lagi akhirnya aku turun ke dapur untuk membuat nasi goreng. Tak butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan semua ini.
"Sudah jadi belum?" Ujar Raihan yang kini memakai T-shirt hitam dan celana pendek dari Adidas.
Wangi sabun masih tercium segar di badan Raihan. Dia duduk tepat disampingku. Dua porsi nasi goreng dengan seceplok telur siap disantap untuk sarapan pagi ini.
"Lumayan." Raihan berkomentar. Aku memasang muka masam.
"Masakan aku emang ngga seenak Mbok Ijah, tapi setidaknya ini masih bisa dimakan ko." Ucapku agak ketus.
"Ini enak ko. Boleh nambah ngga?"
"Habis."
"Yaahhhh. Padahal enak." Aku memang melihat Raihan makan dengan lahap.
"Nih..!" Aku mengambil sesendok nasi goreng untuk menyuapi Raihan.
"Kamu mau nyuapin aku?"
"Iya. Buka mulutmu!"
Raihan pun melahap abis nasi goreng yang kusuapi. Situasi seperti ini membuat aku merasa seperti istri sesungguhnya bagi Raihan. Mencoba menyingkirkan tentang nikah dadakan, nikah siri, bahkan tentang nikah kontrak diantara aku dan Raihan.
Aku senyum-senyum sendiri.
"Ayo sekarang buka mulutmu!" Pinta Raihan membuyarkan lamunan indahku.
"Aaaaa .." Saat aku membuka mulut kearah sendok dari tangan Raihan, Sendok malah mundur mendekat ke arah Raihan. Sengaja Raihan melakukan itu.
Benar saja, satu ciuman hangat mendarat di pipi kiriku. Sejenak aku terdiam. Raihan terlihat tersenyum.
Sungguh aneh orang ini. Kadang dia menjadi orang yang sangat menyebalkan. Tapi berubah jadi orang yang romantis. Kadang juga dia menjengkelkan. Dan berubah seketika jadi orang yang perhatian.
"Aku mau nyuci piring dulu." Selesai makan, aku angkut dua piring yang telah kosong diatas meja.
Aku sadar Raihan sedang memperhatikan aku.
"Kenapa ngga pake celemek dulu?" Tanya Raihan saat aku mau memulai cuci piring.
"Hah?"
Raihan mengambil satu celemek berwarna biru bunga-bunga di lemari bawah dari kitchen set.
"Sini aku pakaikan!" Raihan membalikkan badanku. Kini tubuhku tepat berada di depan tubuhnya. Aku sedikit kikuk.
Raihan mengalungkan aku tali penyangga celemek. Lalu kubalikkan badan, namun Raihan menahannya. Posisi ku masih menghadap tubuhnya yang tinggi itu.
Tubuhku sedikit didorong untuk lebih dekat lagi. Kepalaku hampir bersandar ke dadanya yang bidang bagaikan atletis. Raihan mengikat tali dibelakang pinggangku. Aku merasa seperti berpelukan. Aku menelan ludah dan mencoba rileks.
"Oke, kelar. Kalo kamu pakai ini bajumu ngga akan basah." Perlakuan Raihan membuat aku semakin bingung.
Aku ngga tau pasti perasaan apa yang sekarang aku rasakan. Aku pegang dada ini, denyutan jantungku berdetak kencang. Aku menundukkan pandanganku.
"Pipimu merah tuh!" Ledeknya sambil berlalu dari dapur.
Ku sentuh pipiku yang katanya memerah ini. Ahh, kenapa jadi malu-maluin gini sih?
"Kamu mau aku buatin jus jeruk?" Tanyaku setelah selesai menyuci piring. Raihan terlihat sibuk sedang menyetel DVD dan memasang mikrofon. Tampaknya dia ingin berkaraoke.
"Boleh." Jawabnya tanpa melihatku. Aku balik badan lagi ke arah dapur untuk membuat jus jeruk
"Ini ..." Aku sodorkan segelas jus jeruk diatas meja. Lalu ku duduk tak jauh dari sampingnya.
"Ayo nyanyi!" Pinta Raihan sambil memberikan aku mikrofon.
"Aku ngga bisa nyanyi." Ucapku sambil menggelengkan kepala.
"Bisa. Nanti aku bayar deh!"
Aku memanyunkan bibir.
"Malu ahk, udah kamu aja yang nyanyi. Biar aku yang dengerin."
"Cepet ngga!"
"Ihhkk maksa."
"Ayo mau nyanyi lagu apa? Yang bagus ya suaranya!" Raihan makin memaksa.
"Wani Piro?"
"Cinta satu malam." Raihan berbisik di telingaku.
"Isshhhh ..." kesalku seraya mencubit perut kanannya.
"Ouuugghhhh ..." Raihan merintih.
"Ya udah aku nyanyi, tapi jangan diketawain yah kalau jelek."
"Sippp."
Akhirnya aku juga yang mengalah. Ku pilih lagu dari Prilly Latuconsina. Katakan cinta. Ku berdiri disamping Raihan yang terus melihatku. Agak canggung tapi bodo amatlah.
Ku sebenarnya tahu
Kau ada sesuatu
Matamu selalu saja mencari
Kemanapun aku pergi
Katakan sayang bila sayang
Katakan cinta bila cinta
Jangan coba berpura-pura
Seperti tak ada rasa
Tapi dihati sayang
Ku tunggu sampai kapan
Kamu punya keberanian
Sudah cukup jangan sampai diriku
Yang nyatakan suka kamu
Katakan sayang bila sayang
Katakan cinta bila cinta
Jangan coba berpura-pura
Seperti tak ada rasa
Tapi dihati sayang
Selama aku bernyanyi mata Raihan tak pernah lepas memandangku. Aku malu. Tapi aku tetap bernyanyi dengan sepenuh hati. Sengaja ku pilih lagu ini untuk menyindirnya. Raihan pun tampak tersipu malu.
"Kereeeeennn." Komen Raihan sambil bertepuk tangan.
"Puas?"
"Suara kamu merdu tau. Beneran. Nyanyi lagi donkkk!" Pinta Raihan lagi.
"Ngga ahk. Gantian lah."
Tiba-tiba suara bel berbunyi. Aku dan Raihan saling berpandangan.
"Biar aku yang bukain pintu." Aku lekas pergi ke arah pintu. Raihan hanya mengangguk.
Jantungku sekejap seperti berhenti memompa setelah tau siapa yang datang. Aku benar-benar yakin siapa saja yang datang kerumah Raihan saat ini.
Aku lihat wanita setengah baya dengan raut wajahnya yang agak sedikit pucat, namun masih terlihat cantik diusianya. Dan aku mengira kalau itu adalah ibu Raihan.
Disampingnya juga ada seorang lelaki yang tak kalah gagah seperti Raihan. Dia sedikit berkumis dan berkaca mata. Dan itu pasti ayahnya.
Satu lagi, seorang perempuan cantik yang berada dibelakang kedua orang tua itu. Rambutnya pendek sebahu dicat brown dark. Dia tinggi, putih, wajahnya ayu, hampir sama seperti Lisa. Tapi aku tidak bisa mengira siapa dia. Dia jelas bukan adiknya. Raihan pernah bilang kalo dia adalah anak tunggal. Lalu siapa dia?
"Mamah? Papah?" Sapa Raihan yang membenarkan kebingunganku.
"Ini siapa Raihan?" Tanya papah Raihan kepadanya yang sudah ada disampingku.
Aku menatap mata Raihan dalam-dalam. Lama sekali dia bergeming. Lalu kutundukkan wajahku.
***
[POV_Fatir]
"Lisa? Apa kabar?" Tanya Fatir saat bertemu Lisa di lobby kantor.
"Fatir? Aku baik ko."
"Habis ketemu Raihan?" Lisa melirik kearah bunga merah yang dibawa Fatir.
"Iya. Tapi dia ngga masuk. Dari tadi aku telepon ngga diangkat-angkat. Kamu mau ketemu siapa disini sampai bawa bunga segala?" Lisa terlihat penasaran.
"Ahh? Adalah, yang pasti orang spesial."
Lisa tersenyum lebar.
"Oh ya Fatir, aku minta tolong dong. Tolong urus teman kamu yang ada di rumah Raihan. Jangan terlalu lama tinggal disana."
"Teman? Siapa?" Fatir terlihat penasaran.
"Kok pura-pura ngga tau sih? Itu loh si Nana yang kerja jadi office girl dilantai 7 yang sering ada dikantor Raihan juga."
"Nana?"
"Iya. Aku kurang nyaman kalo dia tinggal satu rumah sama Raihan. Kan kamu tau sendiri, Raihan itu tinggal sendiri ngga sama orang tuanya. Kaya pasangan kumpul kebo saja." Jawab Lisa asal.
"Apa?"
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel