Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 20 Juni 2020

Mendadak Nikah #5

Cerita bersambung

"Jadi kamu kerja disini sudah berapa lama?" Tanya Ibu Isma, mamah Raihan, saat aku menyuguhkan segelas air putih dihadapannya. Ku suguhkan juga tiga cangkir teh hangat untuk Raihan, Pak Erlangga, dan wanita yang duduk disebelah Raihan. Aku belum tau siapa sebenarnya dia.

"Sudah dua bulan lebih Bu." Raihan menatapku dalam-dalam. Namun aku tidak memperdulikannya.
"Wah sudah lama juga ya? Ibu baru tau loh." Ucap Ibu Isma setelah menyeruput air putih. "Tapi tumben, kamu ngizinin yang kerja ada di rumah saat kamu ada di rumah?" Mata Ibu Isma langsung melihat ke arah Raihan. Penasaran.
"Itu .... Hmmmmm ..." Raihan kembali gugup menjawab pertanyaan mamahnya sendiri. Sekali lagi ku buang napasku dengan berat.

"Itu karena saya tinggal disini, Bu. Karena saya belum sempat cari kontrakan. Tapi saya berusaha secepatnya buat cari kontrakan untuk tempat tinggal saya." Akupun berusaha menutupi kebohongan ini.
Ibu Isma dan suaminya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Lalu aku pamit ke dapur untuk memberi kesempatan mereka berbicara.

Tuhan, apa yang kulakukan tadi tidak salah kan? Membohongi orang tua jauh lebih berat untuk dilakukan. Aku terpaku sebentar dibalik tembok pemisah ruangan dapur dan ruang keluarga.
Air mata menetes tiba-tiba. Kenapa hati ini terasa sakit? Seperti sedang tercabik-cabik oleh kuku tajam si raja hutan. Aku berjongkok perlahan. Kakiku mendadak lemas.

Tergiang lagi jawabanku didepan pintu tadi. Jika aku mengatakan bahwa aku hanyalah seorang pembantu di rumah ini. Aku tidak bisa diam saja saat Raihan masih dalam kebimbangan juga.
Ingin sekali kudengar apa saja yang mereka bicarakan. Aku coba mengintip dan sedikit menguping. Aku ingin sekali tahu siapa perempuan itu.

"Anisa ini seorang dokter loh, Han. Lulusan dari Universitas Indonesia juga. Ga hanya pintar, Anisa juga cantik, punya kepribadian yang baik, dan juga dia sama sekali belum pernah pacaran. Hebat kan?" Puji Ibu Isma yang kudengar agak jelas. Raihan hanya tersenyum pada ibunya.
"Tante terlalu berlebihan." Senyumannya memang membuat dia semakin manis. Anisa? Nama yang bagus.

Aku menyudahi acara mengintipnya. Tidak mau lagi dengar apa-apa dari pembicaraan mereka.
***

Mataku sama sekali belum bisa diajak untuk tidur. Pikiran masih melayang pada wanita cantik yang dibawa ibu Raihan tadi. Dia pasti mau dijodohkan sama Raihan? Kira-kira Raihan suka juga ngga ya? Benar-benar tipe Raihan.
"Kamu belum tidur?" Raihan tiba-tiba masuk kekamar.
'Ya ampun aku lupa kunci pintu.' gumamku dalam hati.
Aku langsung bangun berdiri. Membetulkan posisi baju daster rilakuma yang kupakai malam ini.
"Yaaaa ... Seharusnya kamu ngetok-ngetok dulu sebelum masuk kekamar cewek." Ujar ku kesal.
"Sudah kok. Tapi kamu kayaknya ngga dengar deh." Raihan memang orang yang ngga mau disalahkan. Kutatap matanya sinis. "Aku minta maaf ya?" Lanjutnya lagi dengan mimik wajah agak serius.
"Minta maaf untuk apa?"
"Masalah ... Hmmmmm ..."
"Kamu ngga ngakuin kalau aku istri kamu?"
Raihan menatapku lalu menundukkan kepala.
"Kamu ngga perlu minta maaf kok. Sudah seharusnya aku jaga rahasia ini. Bukannya kita juga sebentar lagi akan selesai? Aku pastiin semua ngga akan ada yang tau hubungan kita."
"Hm ... Kalau sudah selesai, kamu ngga tinggal disini lagi?"
"Ya iyalah. Jangan lupa kalau kamu harus bilang ..." Terlalu berat untukku melanjutkan kata-kata ini.
"Bilang apa?" Tanya Raihan penasaran.
"Bilang .... Kamu harus bilang, kalau kamu mau menceraikan aku." Lagi-lagi kaki ini lemas seketika.
"Kalau aku ngga mau?"
"Kenapa ngga mau? Memangnya aku ngga boleh nikah sama orang lain secara resmi?"
"Maksudnya sama Fatir?" Ucapannya membuat leherku tercekik.
"Hah?"

Handphone yang ada diatas kasur tiba-tiba berbunyi.
Mas Fatir!

Tanpa kuperdulikan Raihan, aku mengangkat panggilannya.
"Hallo assalamu'alaikum?" Sapaku sedikit menjauh dari Raihan. Sengaja aku membelakanginya dan menghadap ke jendela.
"Waa'laikumussalam. Kamu lagi apa?" Tanya Mas Fatir dari seberang telepon.
"Hmm aku baru aja mau tidur." Jawabku asal.

Tiba-tiba Raihan memelukku dari belakang. Tangannya melingkar diperutku. Aku spontan terperanjat. Aku berusaha melepaskan tangannya sambil mendengarkan apa yang dikatakan Mas Fatir ditelepon.
Pelukannya semakin erat saat aku berusaha melepaskan genggamannya. Aku berusaha menatapnya dengan mata melotot. Namun kepala Raihan malah bersandar pada pundakku.

"Hmm kamu lagi apa sih? Ko berisik-berisik gitu?" Tanya Mas Fatir heran.
"Hah? Itu ... Hahahaha ... Biasa ada nyamuk. Nyamuknya nakal gigitin aku terus." Alibi yang aneh. Aku benar-benar ngga percaya apa yang dilakukan Raihan saat ini.
"Owh. Aku mau bilang besok aku mau jemput kamu. Please, sekali aja kamu jangan nolak lagi ya? Aku mau bicara serius sama kamu."

Leherku tiba-tiba terasa basah dan hangat. Aku memejamkan mata seakan menikmati permainan bibirnya. Darah berdesir naik ke atas.
"Nana?"

Panggilan Mas Fatir membuat aku sadar. Lagi-lagi aku berusaha melepaskan tangan Raihan yang masih belum mengendur memelukku.
"Iya ... Iya Mas. Besok kita ketemu di lobby aja ya." Ucapku sedikit kikuk. "Aawwww ..." Aku memekik saat Raihan mengigit kecil leherku.
"Nana? Kamu kenapa? Kamu lagi ngapain sih?" Aku benar-benar ngga fokus antara percakapan dengan Mas Fatir dengan tingkah Raihan yang sedikit kurang ajar.

Raihan akhirnya melepaskan pelukannya. Dan menyunggingkan senyum puas kepadaku. Aku menatapnya kesal
"Nana? Ayo jawab!"
"Iya Mas. Maaf tadi ada ... nyamuk lagi." Aku baru bisa menjawab pertanyaan Mas Fatir setelah Raihan keluar dari kamarku.

Buru-buru aku mengunci pintu kamar.
"Ya udah jam 5 aku jemput kamu. Aku tunggu kamu di lobby ya. Sekarang kamu tidur sana. Assalamu'alaikum?" Salam Mas Fatir mengakhiri sambungan telepon seluler nya.
"Waa'laikumussalam."

Aku menggigit bibir bawah. Meraba leher yang masih agak basah. Cepat-cepat aku menyeka dengan tisu yang ada di atas meja.

'Dasar bodoh!'
***

Selesai ganti baju, aku langsung menuju ke arah lobby. Aku tidak sempat meminta izin langsung pada Raihan. Niatnya biar kukirimkan pesan lewat WhatsApp saja.
Ternyata Mas Fatir sudah menunggu di lobby. Perlahan aku menghampiri lelaki beralis tebal namun rapih itu.
"Maaf ya menunggu lama. Hari ini banyak kerjaan yang harus diselesaikan dulu." Jelas ku pada Mas Fatir.
"Ok, gapapa. Yuk langsung pergi."

Mas Fatir dan aku tanpa banyak bicara lagi menuju mobil. Aku ngga tau Mas Fatir mau membawaku kemana. Yang pasti bukan ke pasar malam lagi.
Mau bicara serius? Serius tentang apa? Apakah dia menagih jawaban aku? Ada banyak hal yang membuat aku bertanya-tanya.

Sepanjang perjalanan Mas Fatir terlihat aneh. Dia banyak diam tanpa kata-kata. Tidak seperti biasanya. Aku jadi takut untuk membuka suara memulai pembicaraan.
Mas Fatir memasuki gedung yang kutahu itu sebuah apartemen. Namun tak jelas ini didaerah mana. Mas Fatir memarkirkan mobilnya di basement.
"Mas Fatir kita mau kemana?" Tanyaku sambil celingak-celinguk melihat keadaan sekitar basement yang sepi. Lalu aku melepaskan sabuk pengaman.
"Tolong kamu jujur sama aku, katakan semua rahasia yang kamu simpan baik-baik dibelakang aku!" Ucapan Mas Fatir membuat aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
"Rahasia? Rahasia apa maksudnya?"
"Sudah sejauh apa hubungan kamu dengan Raihan?"

Aku terperanjat saat mas Fatir menanyakan hal yang seharusnya tidak dia tanyakan. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam.
"Ayo jawab! Aku ngga akan marah kalo kamu bisa jelaskan semua ini, Na."
"Mas Fatir sudah tau apa aja tentang aku sama Raihan? Dan Mas Fatir tau darimana?" Aku malah balik bertanya. Kulihat wajahnya ada guratan kecewa disana.
"Jelaskan kenapa kamu selama ini ngga pernah mau aku antar sampai kerumah? Apa sebabnya? Kenapa harus disembunyikan dariku?" Tanya Mas Fatir penuh kebingungan. Bagaimana dengan aku? Akupun ngga tau harus mulai dari mana menjelaskan ini semua. Aku bingung.
"Mas Fatir maafin aku, kalo sejak awal aku ngga jujur sama kamu, Mas."
"Jadi benar kamu satu rumah sama Raihan?" Tanya Mas Fatir risau. Lalu aku hanya menjawab dengan menganggukan kepala.
"Astaghfirullah ..." Mas Fatir beristighfar.
"Mas, tapi aku ngga ngapa-ngapain sama dia."
"Boleh aku ngga percaya sama kamu tentang hal itu saja?"
"Maksud Mas Fatir apa?" Dahiku mengeriting.
"Lelaki dan perempuan yang hidup dalam satu atap yang sama, pasti ada kemungkinan untuk melakukan hal yang buruk terjadi." Jawaban Mas Fatir terlalu menyudutkan aku.
"Aku bukan perempuan murahan, Mas."
"Aku mau kamu pergi dari rumah Raihan. Akan aku carikan kamu kontrakan untuk tempat tinggal."
"Aku sudah menikah siri sama Raihan, Mas?" Sengaja aku beranikan diri untuk membuka rahasia ini. Semoga kedepannya Mas Fatir bisa membantuku.
"Apa? Rahasia apa lagi yang baru aku tau tentang kamu Na?" Raut wajah Mas Fatir berubah agak kesal. Aku masih terpaku didalam mobil Mas Fatir yang sengaja tidak dimatikan mesinnya.
"Semua ini terjadi cuma karena salah paham aja ko, Mas. Aku mohon percaya sama aku. Aku emang ngga pernah ngapa-ngapain sama dia. Bahkan kita tidur dikamar yang berbeda."
"Aku masih belum mengerti." Ucap Mas Fatir datar.

Handphone yang ada di tas berdering.
Raihan
Aku mau mengangkatnya. Tapi Mas Fatir lebih dulu mengambilnya. Lalu mematikan handphoneku agar tidak aktif.
"Ayo jelaskan lagi." Pinta Mas Fatir yang kini lebih posesif.

Aku berusaha tenang. Dan pelan-pelan untuk meluruskan cerita yang masih simpang siur dipikiran Mas Fatir. Kuceritakan semuanya dari A sampai Z.

Dari pertama kalinya aku bertemu dengan Raihan. Sampai aku berani meminjam uang untuk keperluan Nayla. Lalu ku ceritakan semua kejadian yang terjadi di kontrakan lama. Hingga aku mendadak menikah siri dengannya kemudian melakukan perjanjian nikah kontrak.

"Tapi selama ini kamu ngga ngapa-ngapain sama dia kan?" Aku hanya jawab dengan menggelengkan kepalaku.
Dia memelukku hangat. Ku membiarkannya agar dia merasa tenang. Lalu tiba-tiba dia mengusap leherku dengan tangan kanannya.
"Ini kenapa?"
"Ahh?"
Aku mengambil kaca kecil yang ada di tas aku. Lalu kuarahkan ke bagian leher yang dimaksud Mas Fatir.
Aku terperangah saat melihat ada tanda berwana merah ati kecil dileherku. Aku pikir ini bekas semalam yang Raihan lakukan padaku.

'Ya ampun kenapa aku baru sadar?'
Dasar Raihan !!!!!
"Aku akan selesaikan ini dengan Raihan. Ada baiknya kamu siap-siap untuk pergi dari rumah dia."

Aku menunduk malu.
***

"Kamu dari mana aja jam segini baru pulang?" Tanya Raihan agak kesal. Padahal aku baru sampai ruang tamu.
"Aku ... " Aku ngga bisa melanjutkan kata-kata.
"Malam Raihan?" Sapa Mas Fatir yang memang sengaja masuk kerumah Raihan.
"Fatir?" Ujar Raihan kaget.
Ku lihat Raihan dan Mas Fatir saling bertatapan aneh.
"Kamu ngga perlu kaget ada aku disini. Aku sudah tau semuanya."
"Maksudmu?" Raihan mengernyitkan keningnya.
"Tolong ceraikan Nana!!"

==========

"Kamu dari mana aja jam segini baru pulang?" Tanya Raihan agak kesal. Padahal aku baru sampai ruang tamu.
"Aku ... " Aku ngga bisa melanjutkan kata-kata.
"Malam Raihan?" Sapa Mas Fatir yang memang sengaja masuk kerumah Raihan.
"Fatir?" Ujar Raihan kaget.

Ku lihat Raihan dan Mas Fatir saling bertatapan aneh.
"Kamu ngga perlu kaget ada aku di sini. Aku sudah tau semuanya."
"Maksudmu?" Raihan mengernyitkan keningnya.
"Tolong ceraikan Nana!"

Raihan bergeming mendengar ucapan Mas Fatir dan aku sendiri cukup kaget Mas Fatir bisa seberani itu. Aku hanya berpikir kalau Mas Fatir bisa menolong aku untuk melunasi semua utangku.

"Mas Fatir, sepertinya kita butuh bicara lagi deh." Aku mendekat ke arah Mas Fatir.
"Permisi ...." suara perempuan itu tidak asing lagi kudengar. Ku tengok kearah pintu suara berasal, benar itu suara Anisa. Mau apa dia malam-malam begini datang?
"Anisa?" Tanya Raihan terdengar lirih olehku.
"Wah lagi pada ngumpul yah? Aku ngga ganggu kan?" Wanita itu benar-benar sempurna dengan balutan blouse batik dengan rok hitam polos diatas lutut. "Raihan ini aku bawa makanan untuk kamu!" Anisa memberi plastik putih berisi makanan yang aku tak tahu pasti apa isi makanannya.

Raihan tak menyambutnya hangat. Dia tak memperdulikan makanan dari Anisa. Raihan malah menghampiri aku yang sedang berada disamping Mas Fatir.
"Cepat kamu masuk kekamar!" Pinta Raihan seraya menarik tangan kiriku.
"Dia akan keluar dari rumah ini. Aku akan bayar semua utangnya." Tangan kananku pun digenggam Mas Fatir.

Adegan ini sama sekali tidak membuat aku senang. Diperebutkan oleh mereka yang mungkin tidak mengerti perasaanku. Aku ingin kembali hidup seperti dulu. Aku ingin hidup menjadi Nana yang biasa. Aku ingin sama-sama lagi dengan Nayla.
Aku berusaha melepas tangan keduanya. Tangan kiriku sedikit memerah karena Raihan lebih erat genggamannya. Anisa hanya terpaku didepanku. Aku yakin dia pasti akan mengadu ke orang tua Raihan.
"Tolong jangan seperti ini. Sepertinya kalian sudah salah paham. Ada baiknya aku dan kamu bicara dulu besok." Pandanganku ke arah Raihan, "Sama Mas Fatir pun sama." Lalu beralih bola mata ini memandang Mas Fatir.
Mas Fatir menghela nafas panjang. "Aku akan telepon kamu nanti. Kamu istirahat saja malam ini. Jangan lupa kunci kamarmu!" Ucap Mas Fatir mereda, "Assalamua'laikum." Salamnya sambil berlalu pulang.
"Ini ada apa ya?" Raihan bukan menjelaskan kebingungan Anisa malah pergi ke atas. Tinggallah aku berdua dengan Anisa.
"Malam mba Anisa?" Sapaku untuk pertama kalinya.
"Malam. Hmm jujur aku ngga ngerti apa yang terjadi disini. Boleh kamu jelaskan sama aku." Pinta Anisa membuat bibirku kelu.
"Mohon maaf mba Anisa, tapi mba bisa tanyakan langsung ke Raihan saja."
"Raihan?"
"Maksudnya Tuan Raihan." Hampir saja.

Mau tidak mau Anisa pulang lagi tanpa sempat mengobrol dengan Raihan. Ahhhh mata ini sudah terlalu berat. Mau istirahat saja. Aku beranjak ke atas kamar.
***

01.45

Tok tok tok tok
Aku terbangun saat ada yang mengetuk pintu kamar. Gelap. Aku tidak bisa melihat apapun disekitar. Cahaya bulan hanya sedikit yang masuk terpancar ke kamarku.

Aku meraba-raba mencari handphone yang ada dimeja. Aku pikir ini mati lampu. Pantas saja, dari tadi aku kepanasan karena gerah.
"Nana? Nana? Bangun!" Suara Raihan agak sedikit ribut sambil mengetuk pintu.
"Ada apa?" Tanyaku agak lemas saat membuka pintu.
"Mati lampu nih." Ujar Raihan sambil memegang senter besar berwarna merah.
"Ya terus kenapa?" Tanyaku heran.
"Kita ke ruang bawah aja yuk! Jujur aku agak iseng. Atau aku masuk kekamar kamu aja?" Ucapannya membuat aku menutup pintu sebagian.
"Ngga boleh."
"Kenapa? Ini kan rumah aku. Terserah aku mau tidur dimana aja."
"Ya udah kita kebawah." Aku langsung keluar kamar dan menutup pintu, "laki-laki kok takut gelap. Sama cewek aja berani." Ucapku agak ketus dan berlalu ke bawah.
"Cuma iseng bukan takut."
"Sama aja." Jawabku singkat. Cahaya senter dari handphone lumayan menerangi jalan menuju ke ruang keluarga.
"Duduk disini aja. Aaarrggghhh mana gerah banget lagi." Raihan mengibas-ngibaskan bajunya. Aku duduk didepannya, handphone aku tegakkan ditumpukkan buku yang aku susun.

"Bang Odin masih disini kan?"
"Dia pamit pulang, nanti subuh balik lagi. Istrinya lagi sakit. Anaknya masih kecil jadi ngga ada yg jaga." Jelasnya membuat aku semakin canggung.

Tinggal berdua dirumah yang besar. Mati lampu. Diluar pun sudah mulai gerimis. Lengkap bin komplit.
Aku masih diam. Lagi malas bicara dengannya. Namun Raihan terus memperhatikan aku yang ada didepannya.
"Kenapa ngeliatnya kaya gitu? Emang aku pisang?" Tanyaku ketus. Raihan tersenyum.
"Kalau kamu pisang aku monyetnya ya?"
"Bukan. Kingkong."
Raihan mencibirkan bibirnya.
"Kenapa kamu bilang sama Fatir?" Akhirnya Raihan menanyakan kejadian yang tadi.
"Mas Fatir tahu dari Lisa."
"Lisa?" Dahi Raihan mengeriting.
"Dia bilang kita satu rumah. Makanya Mas Fatir nanya ke aku. Aku cuma ngga mau Mas Fatir salah paham. Ada baiknya aku ceritakan semuanya sama dia." Jelasku santai.
"Kenapa Fatir suruh aku menceraikan kamu? Kamu yang suruh?" Tanya Raihan mulai tampak serius.
"Ngga ... Yang itu ... Diluar pikiranku. Aku sama sekali ngga nyangka juga Mas Fatir bisa bilang kaya gitu."

Raihan menatapku dalam. Sedangkan aku tidak berani membalas tatapannya. Atmosfir di sini terasa panas. Padahal diluar sudah mulai hujan besar.
Lagi-lagi Raihan membuka kaos oblongnya. Membuat aku tidak merasa nyaman didekatnya.
"Aku gerah. Udaranya panas banget disini kalo ngga pake AC." Aku diam saja mendengarnya.

Tiba-tiba senter dihandphoneku mati. Sial, baterainya lowbad.
"Yah kok mati sih." Geramku sambil mencoba menghidupkan kembali handphoneku. Berkali-kali tidak bisa. Aaaarrghhh lowbad total.
"Ya udah tenang aja sih, kan masih ada senter ini." Raihan menunjukkan senter yang memang ada disampingnya. Aku melirik kearahnya sebentar.
"Aku ngantuk. Kira-kira sampai jam berapa ya mati lampunya?" Ucapku mengeluh.
"Ayo tidur disini!" Raihan menarik tanganku kearahnya. Kepalaku mendarat di paha kanannya. Sejenak aku melihat kearah wajah manisnya. Lalu aku terbangun.
"Aku ngga mau."
"Ya udah aku aja yang tidur." Raihan malah tidur dipangkuan ku tanpa pamit. "Tolong kipasin juga ya!" Pintanya sambil memberiku buku tipis panjang.

Bodohnya aku, mau saja menuruti perintah yang diberikan olehnya. Tak lama, Raihan memejamkan matanya. Ini adalah saat dimana aku bisa menatapnya sepuasku.
Aku tersenyum saat tau ternyata dia miliki beberapa tai lalat dipipinya. Aku ingin sekali mengusap wajahnya, membelai rambutnya.

Namun tiba-tiba Raihan membuka matanya.
"Wajahku tampan yah?" Aku langsung salah tingkah dibuatnya. Raihan bangun dari pangkuanku.

Raihan semakin mendekat. Lama kita saling berpandangan. Dia membelai rambutku. Diusapnya pipi kananku. Jarinya pun tak luput untuk mengelus bibirku.
Perlahan bibir Raihan mendekat ke bibirku. Kali ini aku tidak menepisnya. Ku biarkan semua terjadi begitu saja.
Aku merasakan kehangatan dibibirnya. Ku pejamkan mata ini sekejap. Bibir Raihan kubiarkan melumat mesra dibibir ini. Raihan memelukku erat. Seperti tak ingin melepas.

Tiba-tiba ruangan menjadi terang. Raihan menghentikan aksinya. Kulihat Raihan menyunggingkan senyum.
"Bilang pada dia, aku ngga akan menceraikan kamu sampai akhir perjanjian." Raihan kembali mengecup bibir ini. Lalu pergi ke kamar atas.

Aku masih terpaku disini. Jantungku berdetak tak normal. Ku ingat lagi apa yang dikatakannya tadi. Benar-benar membuat aku bingung harus melakukan apa.
***

[Pov_author]

"Ini uang yang dipinjam Nana." Fatir memberikan satu amplop coklat kepada Raihan.
Angin berhembus kencang diatas gedung. Raihan tak mengacuhkan amplop yang ada didepannya.
"Tolong ceraikan Nana!" Pinta Fatir dengan mimik serius.
"Kamu pikir aku mau?" Tanya Raihan menantang. Fatir tersenyum kecut.
"Dasar keparat!!!!"

Bbuugggkkk !!!!

Satu tinju mendarat di pipi kanan Raihan. Pukulan itu membuat hidung Raihan mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Raihan tersenyum sambil mengelap cairan itu dengan tangannya.
"Aku tidak akan melepaskannya." Ujar Raihan dengan mimik menyebalkan.
"Kamu tau kalau aku suka sama dia. Kamu tau kalau aku mencintai dia. Kenapa kamu sengaja menyembunyikan ini semua, hah?" Fatir memekik kesal.
"Aku dan dia memang menikah karena salah paham. Tapi selama aku mengenalnya, dia adalah gadis yang baik. Sama seperti pendapatmu"
"Tolong ceraikan dia!!!!!" Fatir memeras kerah kemeja Raihan.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER