Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 21 Juni 2020

Mendadak Nikah #6

Cerita bersambung

"Aku dan dia memang menikah karena salah paham. Tapi selama aku mengenalnya, dia adalah gadis yang baik. Sama seperti pendapatmu."
"Tolong ceraikan dia!!!!!" Fatir memeras kerah kemeja Raihan. Tatapan Fatir penuh dengan amarah.
"Aku akan buat dia ngga bisa lepas dari hidupku."   Raihan melepaskan genggaman Fatir.
"Jangan pernah kamu permainkan hatinya. Dia gadis yang lugu. Kalau kamu mencintai dia, kenapa harus menyembunyikan semua ini?"
"Aku punya alasan," ujar Raihan sambil membetulkan kerah kemejanya.
"Alasan? Alasan apa?"
"Pernah mencintai lalu disakiti, itu membuat aku trauma akan jatuh cinta. Selama ini aku bertahan untuk tidak mengatakan apa yang aku rasakan. Semua karena trauma itu," jelas Raihan agak sedikit tenang.

"Trauma? Alasan konyol. Ini semua cuma karena kamu hanya menjaga image didepan semua orang. Ya kan?"
"Fatir, kalau kamu minta aku untuk menceraikan dia, itu semakin membuat aku untuk mempertahankannya." Raihan melangkahkan kakinya masuk kedalam gedung.
"Ingat, pernikahanmu hanya sebatas waktu yang dijanjikan. Selebihnya, kamu bukan siapa-siapa dia. Jadi jangan pernah sekalipun kamu untuk menyentuhnya," ujar Fatir memekik.

Meski mendengar, Raihan tetap melanjutkan langkahnya.
***

Malam ini udaranya sangat dingin. Diluar masih saja turun hujan sejak sore tadi. Aku bosan berhadapan terus dengan layar handphone.

'Raihan lagi apa ya dikamar? Aku kekamarnya aja deh,' gumamku dalam hati.
Aku beranjak dari tempat tidur. Lalu pergi ke kamar Raihan. Sudah kuniatkan untuk mengajaknya ngobrol dipinggir kolam renang.

Tok tok tok
Pintu terbuka sendiri. Sepertinya Raihan lupa mengunci pintu.
"Raihan? Raihan?" Panggilku sambil melihat-lihat keadaan kamar. Kosong. Lalu kuberanikan diri untuk masuk kekamar.

Pelan-pelan aku melangkahkan kaki. Kamarnya sepi. Pintu kamar mandinya pun dibiarkan terbuka. Ku tengok sekilas kearah balkon pun sama tidak ada penampakan Raihan.
"Raihan kemana yah?" tanyaku bingung.
Mendadak tubuhku dipeluk dari belakang.
"Raihan?"
"Ayo, kamu ngapain kekamar aku? Kangen?" Aku berusaha melepaskan tangan Raihan yang melilit di perutku.
"Aku cuma bosan dikamar. Kita kekolam yuk! Ngobrol disana," ujarku saat membalikkan tubuh ini kehadapannya.
"Diluar dingin. Sudah disini saja, mau bicara apa?" Raihan terlihat lebih santai. Dia duduk dipinggir kasur tebal dan menatapku menunggu aku bicara.

Aku mengikutinya duduk dipinggir kasur. Lalu merundukan kepala. Udara dikamar Raihan tak kalah dingin dari udara diluar. AC dibiarkan tetap menyala di suhu 16° Celcius.
"Raihan, aku boleh tanya sesuatu?"
"Tanya tentang apa? Soal Fatir?" Raihan terlihat membuang muka.
"Bukan. Tapi soal Mba Anisa."
"Kenapa dengan dia?"
"Mba Anisa mau dijodohkan sama kamu yah?" Tanyaku membuat sport jantung. Raihan diam. Matanya tertuju kebawah. Lalu menghembuskan napas panjang.
"Kamu cemburu?"
"Tidak." aku menggeleng-gelengkan kepala. "Cuma tanya aja."
"Sebenarnya, dia datang bersama orang tuaku untuk berkenalan. Hanya sebatas perkenalan saja." Jawaban Raihan belum bisa aku cerna dengan baik.
"Ya setelah itu kamu mau dijodohkan, kan?"

Raihan mengarahkan bola matanya ke arahku.
"Sebenarnya iya. Cuma mamahku orang yang mengerti aku kok. Kalau aku ngga suka, ya mamah menurut aja. Untuk saat ini, mamahku cuma ingin aku dan dia kenal lebih dekat dulu. Tapi, aku mulai tidak sreg untuk dekat sama wanita lain." Raihan memberikan aku penjelasan yang bisa ku mengerti.

Aku mengigit bibir bawahku.
"Ya sudah aku mau balik kekamar." Aku berdiri dari kasur.
"Nanti saja." Raihan menarik tanganku supaya aku tetap duduk disampingnya.

Lama kita terdiam dalam lamunannya masing-masing. Lalu Raihan mendorong badanku kebelakang. Aku tersontak kaget.
"Aku ingin bermalam denganmu!" Ucapannya membuat aku takut. Tiba-tiba tubuh Raihan menindihku. Raihan dengan nafsunya menciumi leherku.
"Raihan ... Jangan .... Please!!" Aku berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh. Namun, Raihan tak menghiraukan ucapanku.
"Sekali saja. Aku mohon." Raihan malah memohon agar aku bisa menjadi tempat luapan hasratnya. Aku menitikkan air mata. Raihan mencoba membuka kancing baju tidurku dengan paksa.
"Raihan please, aku tidak mau." Aku berusaha untuk menutup kancing bajuku yang sudah terbuka.

Tiba-tiba Raihan menghentikan perlakuannya. Nafasnya terdengar berat.
"Maafin aku yah!" Raihan mengecup keningku lalu menjauh. Aku ikut terbangun.
"Pernikahan kita tinggal dua bulan lagi. Aku tidak mau, selesai dari itu ada masalah baru yang muncul. Maafin aku Raihan. Meski aku sah sebagai istrimu, aku belum bisa melakukan itu." Aku langsung pergi meninggalkan Raihan di kamar.

Pecahan gelas terdengar nyaring mengiringi langkahku ke luar kamarnya. Aku takut sekali hal ini terjadi lagi. Satu hal yang ku sesali. Aku pergi kekamarnya.
***

{ Hari ini aku izin tidak kerja. Aku mau istirahat, lagi tidak enak badan. }
Aku mengirim pesan WhatsApp kepada Raihan. Aku hanya tidak ingin dia menungguku didalam mobil pagi ini.
Lama kutunggu, Raihan tidak juga membalas pesan WhatsApp dariku. Apakah dia marah? Aku menghela napas.

Baru saja mau beranjak dari tempat tidur, nada dering WhatsApp terdengar. Aku langsung membukanya. Tapi bukan dari Raihan melainkan Mas Fatir.
{Sore ini aku jemput, ya! }
{Hari ini aku tidak kekantor. Kepalaku sedikit pusing. } Balasku dengan cepat.
{Setelah rapat aku akan kerumahmu. }
{Jangan! Aku tidak bisa menerima tamu kalau Raihan tidak ada dirumah. }
{Aku hanya ingin melihatmu.} Mas Fatir agak memaksa.
{Kita ketemu diluar saja ya. Ada yang mau aku bicarakan juga. }
{Baiklah. Kita ketemu di restoran yang kemarin yah! }
Aku membalas dengan emot tersenyum.

Sudah lama juga aku menunggu Mas Fatir datang. Kulihat jam digital dari layar handphoneku.

13.15

Orange juice yang kupesan dari tadi kuseruput sampai habis. Aku memanyunkan bibir ini. Antara ragu atau tidak untuk mengirim pesan pada Mas Fatir.

"Nana, assalamu'alaikum?" Akhirnya Mas Fatir datang juga. Aku kira aku harus menunggunya satu jam lagi.
"Waa'laikumussalam. Kok Mas Fatir agak telat?"
"Maaf yah, tadi rapatnya agak lama. Soalnya ada masalah kecil di proyek baru." Aku hanya tersenyum saat Mas Fatir mencoba menjelaskan keterlambatannya.
"Kamu mau pesan apa?" Tanya Mas Fatir sambil melihat-lihat menu. "Mau sup buntut lagi?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak mau makan. Aku pesan minum saja."
"Ok."
Mas Fatir menatapku dalam setelah memesan makanan.
"Mas Fatir maaf ya."
"Untuk apa?"
"Seharusnya dari awal aku jujur tentang semua yang terjadi antara aku dan Raihan." Mataku tak berani menatapnya.
"Dia tidak mau menceraikan kamu."
"Apa?"
"Kemarin aku bertemu dengan dia. Aku sudah membawa uang untuk melunasi utangmu. Tapi, Raihan tidak menerimanya."
Aku menghela napas panjang.
"Aku tidak mengerti dia, Mas. Setidaknya dia memberikan aku kepastian."
"Kamu berharap dia bilang cinta sama kamu," ujar Mas Fatir langsung pada intinya. Aku terperangah. Tenggorokanku seakan mengering hingga aku tidak bisa berkata-kata.
"Dua bulan lagi pernikahan ini akan habis waktunya. Tapi, sikap Raihan selalu membuat aku semakin susah untuk menjauh."

Mas Fatir tersenyum kecut. Pesanan Mas Fatir datang. Sop iga dan nasi putih serta 2 gelas jus jeruk lagi.
Aku membiarkan Mas Fatir menghabiskan makanannya dulu. Ini memang waktunya makan siang. Entah kenapa aku tidak nafsu makan. Padahal menu di restoran ini sangat enak. Lagi-lagi kepalaku berat karena tidak tidur semalaman.

"Aku akan berusaha buat dia melepaskan kamu. Lalu aku akan menikahimu. Aku akan memperkenalkan kamu pada ibuku. Dan kita akan menikah secara resmi serta menggelar resepsi pernikahan."
Aku benar-benar tidak mengerti ucapan Mas Fatir padaku. Kembali aku menyeruput jus jeruk hingga setengah gelas.

"Maaf Mas, aku belum berani untuk melakukan sampai sejauh itu. Aku masih bingung dengan perasaan ini."
Mas Fatir mengangkat daguku ke atas.
"Mukamu pucat. Sebaiknya kita pulang."
"Aku mau ke toilet sebentar." Aku pamit lalu pergi ke toilet wanita. Tak butuh waktu lama aku didalam toilet.
"Sudah?"
Aku menganggukan kepala. Dan mengambil tas kecil yang ada di bangku.
"Hmm ... Minumanmu habiskan dulu!" Mas Fatir memberikan aku jus jeruk yang memang belum aku habiskan. Dan akupun meminumnya hingga tetesan terakhir. Mas Fatir terlihat tersenyum melihat aksi minumku.

Sepanjang perjalanan kepalaku yang terasa pusing makin terasa berat. Pandanganku tiba-tiba mengabur. Lalu Gelap.

Aku merasakan tubuh ini berada dikasur yang paling empuk. Udaranya dingin, namun selimut tebal membantu menghangatkan aku. Disini sepi dan nyaman. Aku belum pernah ketempat seperti ini sebelumnya.
"Mmmppphhhh ...." Kepalaku terasa sakit saat aku mulai sadar dari tidurku. Betapa syoknya hati ini saat mataku benar-benar terbuka sepenuhnya.

Aku langsung terbangun dari pembaringan empuk itu. Aku melihat keadaan kamar yang sungguh terasa asing. Tak lupa aku memeriksa baju yang kupakai. Alhamdulillah aku masih pakai baju yang tadi. Apa yang terjadi?
"Kamu sudah bangun?" Mas Fatir masuk kekamar membawakan aku sup krim ayam.
"Mas Fatir aku dimana? Kenapa aku disini? Bukannya seharusnya aku pulang kerumah?" Perasaanku kali ini campur aduk. Ada perasaan takut menghinggapi hati ini.

Aahhhh. Kepalaku semakin berat. Entah kenapa kepalaku yang pusing semakin berat kurasakan.
"Kamu pingsan tadi. Makanya aku bawa kamu kesini. Ini apartemenku. Aku tinggal disini sendiri. Kamu harus makan. Setelah itu baru aku antar kamu pulang."
Aku berusaha percaya pada Mas Fatir. Dia tidak mungkin melakukan hal yang seharusnya tidak dia lakukan.

Saat keluar dari apartemen aku baru sadar hari sudah mulai senja. Aku mencari handphone yang ada di tas kecilku. Ingin melihat jam berapa sekarang.

'Hp ku kenapa mati? Tidak mungkin low battery. Aku sudah mengisi baterainya sampai penuh tadi sebelum pergi.' pikiranku semakin aneh.
"Ayo masuk ke mobil!" Pinta Mas Fatir membuat lamunanku buyar.
Aku selalu berharap Raihan belum pulang sebelum aku sampai dirumahnya. Semoga dia hari ini lembur. Hati ini kenapa semakin was-was yah?

2 jam perjalanan ditempuh untuk sampai kerumah Raihan. Aku semakin optimis bahwa Raihan pasti sudah pulang.
Benar saja, dari halaman depan rumahnya aku melihat Raihan sedang berdiri di atas balkon. Dia menatapku tajam penuh amarah. Apa yang harus aku jelaskan nanti?
"Aku antar kamu sampai disini saja. Jaga dirimu baik-baik yah!" Tangan Mas Fatir membelai rambutku sebelum pergi. Lalu menatap sinis kearah Raihan.

Sementara aku hanya berdiam diri. Sampai akhirnya Raihan pergi dari balkon. Berat langkah kaki ini melangkah masuk ke dalam rumah. Aku memikirkan jawaban apa yang pantas aku berikan saat Raihan menanyakan dari mana saja aku dari tadi.

Ternyata Raihan menungguku di bawah tangga. Tatapan matanya yang sinis membuat aku merasa tersudut. Aku menghampirinya dengan perasaan resah.
"Raihan ...."
Plaaaakkkkkk !!!

Tamparan keras yang tidak pernah kurasakan selama ini, harus mendarat di pipi kiriku. Raihan dengan mimik marahnya membuat aku takut.
"Raihan kamu kenapa?" Tanyaku bingung.
"Kenapa? Harusnya aku yang nanya kamu kenapa? Dasar cewek murahan!" Raihan menghardikku kasar.
"Raihan ...." Aku menitikkan air mata. Pipi yang masih terasa perih setelah tamparan tadi terasa basah.
"Apapun yang kamu lakukan bersama dia, itu tidak akan membuat aku menceraikan kamu. Persetan dengan pernikahan kontrak kita. Selamanya aku tidak akan menceraikan kamu. Camkan itu baik-baik."
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Raihan. Kenapa dia harus sekasar ini?

Tiba-tiba dia menyeret tanganku menuju ke atas. Aku tidak menyangka bahwa aku dibawa kedalam kamarnya. Raihan membanting tubuhku ke kasur. Sakit.
"Raihan, aku bisa jelaskan kenapa aku bisa pergi sama dia."
Tanpa memperdulikan omonganku, Raihan malah membuka kemejanya bahkan celana bahan hitam yang masih dipakainya.
Aku hanya diam. Jika aku bicara aku takut Raihan semakin marah.

Kini Raihan hanya memakai celana boxer merk Galvin Klain. Dadaku semakin sesak. Panas dingin yang aku rasakan. Pandanganku beralih ke arah yang lain.
"Berapa yang dibayar Fatir supaya bisa tidur denganmu?" Pertanyaannya mulai tidak tau arah. Aku sama sekali tidak mengerti.
Raihan mendekatiku. "Raihan apa yang kamu bicarakan?"
Tangan Raihan malah membuka kancing bajuku dengan paksa lagi.
"Aku mohon Raihan, jangan!" Aku berusaha untuk terus menutupi kancing bajuku.
"Aku akan membayar lebih dari yang Fatir bayar!" Ucapannya benar-benar merendahkan aku. Tapi aku tidak mengerti kenapa Raihan bisa mengatakan itu dan memperlakukan aku seperti ini.

Brrrkkkkk ..

Kemejaku robek. Ada rasa perih di bawah leher bekas cakaran Raihan. Sekuat tenaga aku mendorong Raihan untuk menjauh.
"Cukup Raihan. Tolong jangan lakukan ini."
"Kenapa? Aku suamimu. Aku berhak atas tubuhmu."
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak mampu lagi aku mengatakan apapun.
"Tolong ceraikan aku!"

==========

Brrrkkkkk ..
Kemejaku robek. Ada rasa perih di bawah leher bekas cakaran Raihan. Sekuat tenaga aku mendorong Raihan untuk menjauh.
"Cukup Raihan. Tolong jangan lakukan ini."
"Kenapa? Aku suamimu. Aku berhak atas tubuhmu."
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak mampu lagi aku mengatakan apapun.
"Tolong ceraikan aku!"

Raihan bersimpuh dihadapanku yang duduk dipinggir kasur. Air mata terus keluar dari mata ini. Raihan mencoba menggenggam tangan ini.

"Kenapa harus dengan dia?" Pertanyaan Raihan semakin aku tidak mengerti. Kulihat matanya berkaca-kaca juga. Apa yang sudah aku lakukan? Semarah inikah saat kamu tau aku jalan bersama Mas Fatir?
Aku ikut bersimpuh disampingnya. Kuhapus air matanya yang menitik.
"Maafkan aku. Tidak seharusnya aku jalan dengannya tanpa izinmu."
"Kamu menikmatinya?"
"Mak..maksudmu?"
"Aku tanya, apakah kamu menikmatinya saat berduaan didalam kamar bersama dia?" ucap Raihan dengan nada tinggi.
"Maksudmu, kamu tahu kalau aku pergi ke apartemennya?"

Raihan memalingkan mukanya. Kulihat kedua tangannya mengepal kuat.
"Raihan, sekarang aku paham kenapa kamu bisa semarah ini. Jujur, aku memang ke apartemen Mas Fatir. Tapi, itu dikarenakan aku pingsan ditengah jalan. Dan aku tidak berbuat apa-apa sama dia," jelasku meyakinkan Raihan.

Raihan tampak diam. Aku ambil selimut yang ada dikasur. Kututupi seluruh tubuhnya kecuali kepala.
"Haruskah aku percaya padamu?"
"Aku bukan wanita murahan seperti yang kamu anggap."
"Kamu boleh lihat foto yang ada dihandphoneku."
Aku langsung mengambil handphone Raihan di meja samping kasur. Aku cek satu-satu foto yang ada dibalik galeri.
Aku terperangah saat ada fotoku bersama Mas Fatir sedang tidur bersama. Aku memang terlihat masih memakai baju, namun Mas Fatir bertelanjang dada sambil memelukku.
Sesekali aku melihat ke arah Raihan. Aku tidak percaya Mas Fatir tega melakukan ini kepadaku. Dia sengaja memfitnahku agar Raihan mau menceraikan aku. Terlalu licik.

Aku periksa lagi ke menu WhatsApp, aku ingin tau apa yang dikatakan Mas Fatir saat mengirim foto itu.
{Ini adalah alasan kenapa aku meminta kamu untuk bercerai. Dia sudah menjadi milikku. Aku dan dia sudah melewati banyak hal dikamar ini. }

Ini adalah sebuah pesan untuk memfitnahku. Tuhan, kenapa kau kirim aku teman berhati iblis seperti Mas Fatir? Setega itukah dia memfitnah demi mendapatkan aku?
Air mataku lagi-lagi menetes. Aku benar-benar menyesal pergi dengannya hari ini. Tamparan ini pantas aku dapatkan karena aku memang istri yang dzalim. Pergi keluar bersama lelaki lain tanpa izinnya.
"Raihan, tapi ini tidak benar. Kamu harus percaya sama aku?"
"Kamu mau aku bagaimana?"
"Raihan aku dijebak. Aku sama sekali tidak melakukan apapun. Mas Fatir hanya berpura-pura tidur denganku saat aku pingsan tadi."

Pingsan? Jujur selama ini aku jarang pingsan. Tapi kenapa dengan yang tadi ya? Kepalaku terasa berat dan pusing. Dan tiba-tiba gelap.
Aku langsung ingat bahwa Mas Fatir sengaja menyuruhku untuk menghabiskan jus jeruk yang kupesan. Apakah dia sudah menaruh sesuatu untukku supaya tak sadarkan diri?
Raihan mengambil handphone yang ada ditanganku.
"Tinggalkan aku sendiri! Kamu istirahat saja di kamar!"

Aku masih terdiam. Ingin sekali aku membela diri. Tapi bibirku terasa kelu.
"Raihan ... Tolong percaya sama aku. Rasanya dituduh dua kali melakukan hal menjijikkan itu membuat aku sedikit frustrasi. Aku mohon lindungi aku sebagai istrimu."

Aku menundukan kepalaku dalam. Air mata ini sedari tadi belum berhenti mengalir. Sesekali aku sesenggukan menahan sakit di dada.
Raihan memelukku. Kini dengan penuh kehangatan. Dia membelai rambutku mesra. Dia mencoba menenangkan hatiku.
"Aku akan coba percaya alasanmu."
"Raihan, aku benar-benar tidak melakukan apa-apa."

Raihan makin erat memelukku. Dia menciumi rambutku. Kepalaku dibiarkan bersandar di dadanya yang tak memakai kaos itu.
"Cerewet. Kan sudah aku bilang aku akan coba percaya sama kamu," ujarnya santai.

Aku melepaskan diri dari pelukannya. Raihan melempar senyum kepadaku. Hati ini sedikit tenang. Kaki yang sedari tadi gemetar beranjak rileks.
"Aku mau mandi dulu. Habis itu aku hangatkan makanan buat makan malam kamu yah."
"Mandi bareng yuk!"
Kucubit perutnya kenyang.
"Ouuugghhhh ... Galak banget sih sama suami sendiri," ujar Raihan sambil meringis.
"Makanya jangan suka mengkhayal yang tidak-tidak."
"Suami istri ngga apa-apa lagi mandi bareng. Sunnah nabi."

Aku tutup telingaku sambil berjalan keluar kamar.
***

Mbok Ijah masak ayam goreng yang masih diungkep didalam kulkas. Sayur sop bakso tinggal kupanaskan. Dan ada ikan teri Medan balado yang memang merupakan kesukaan Raihan.
"Kamu goreng apa?"
"Ayam. Aku lihat di kulkas mbok simpan ayam ungkep. Jadi tinggal digoreng," ucapku sambil fokus untuk menggoreng ayam bagian paha dan sayap ayam. "Kamu sudah mandi?" Lanjutku tanpa menatapnya.
"Sudah. Emang ga kecium bau sabunnya?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya karena fokus mengangkat ayam yang sudah menguning kecoklatan itu.
Aku siapkan semua diatas meja ruang makan yang menyatu dengan dapur. Raihan terus menatapku sambil senyum-senyum sendiri.

"Ada yang salah ya sama wajahku? Mau tampar pipiku lagi?" Aku mengelus-elus pipiku yang tadi ditamparnya.
Raihan yang sedari tadi duduk di bangku, berdiri disampingku.
"Maafin aku ya? Aku khilaf."

Aku hanya bisa tersenyum padanya. Aku ikhlas dihukum seperti itu. Karena aku memang pergi tanpa izinnya.
"Mmuuaaachh ... Muaaacchh ... Muaaacchh mmmuuaachhh ...." Raihan mencium pipi kiriku bertubi-tubi.
"Isshhhh ... Genit banget sih." Aku menyeka bekas ciuman Raihan dipipiku.
"Genit sama istri sendiri gapapa kan? Lagian juga itu obat. Biar pipimu nggak sakit lagi." Raihan sedikit mengambek. Lalu duduk lagi dan menyendok makanan.

Dasar aneh! Kadang galak kadang romantis sebentar lagi juga pasti marah-marah lagi. Aku mencibirkan bibir.
"Hmm ... Kamu ngga mau katakan sesuatu yang serius?" tanyaku pada Raihan yang sedang asyik melahap makanannya.
"Tentang apa?"
"Aku sama kamu. Maksudnya tentang pernikahan kita." Aku langsung menundukan kepalaku saking malunya.
Raihan malah mengacak-acak rambutku.
"Butuh kepastian ya? Atau ngga mau ditinggal sama aku?" Pertanyaan Raihan malah meledekku. Sama sekali tidak bisa diajak bicara serius. Raihan tertawa kecil.
"Anggap saja aku tidak pernah nanya!" jawabku ketus.
Dasar menyebalkan.
Kuhabiskan makan malam bersamanya. Aku sempat lupa tentang jahatnya Mas Fatir memfitnahku.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi aku masih terjaga didalam kamar. Masih banyak pertanyaan yang melintas di otakku.

Dentuman suara mesin mobil membangunkan aku dari tempat tidur. Raihan mau pergi kemana yah malam ini?
Ingin sekali aku menghubungi Raihan. Menanyakan kemana dia pergi. Aarggh lagi-lagi tidurku tak nyenyak.
***

Pagi sekali aku sudah siap untuk ke kantor. Aku masih penasaran kemana Raihan pergi semalam. Cepat-cepat aku pergi ke kamarnya. Dengan niat untuk menanyakan hal semalam.

Dan sepertinya Raihan lupa lagi untuk mengunci pintunya. Tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu kamar Raihan.
"Aaaaarrrrrrggggghhhhhhhhh ...." Aku memekik keras. Tak kusangka apa yang kulihat didepan mataku. Aku menelan ludah yang ada di pangkal tenggorokan.

Lalu kututup lagi pintunya. Apa yang kulihat tadi? Raihan sedang tak memakai busana apapun, kecuali CDnya. Dia sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Pasti dia marah besar. Ada rasa panik dihati ini.
"Yaaaa ... Seharusnya kamu ketuk pintu dulu kalau mau kekamar?" Teriak Raihan setelah membuka pintu tiba-tiba. Kini dia sudah memakai baju handuk kimononya
"Maaf, aku benar-benar ngga sengaja. Aku juga ngga lihat apa-apa kok." Wajahku memerah.

Raihan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Mimik mukanya terlihat kecewa.
"Sumpah aku ngga liat apa-apa. Dan juga kenapa harus malu? Bukankah kemarin kamu buka baju dan celana didepan aku?" Mukaku langsung cemberut.
"Ya suasananya kan beda. Lagian masih pagi gini, ada perlu apa ke kamar aku? Kangen?"
Aku menatap jutek.
"Mau tanya sesuatu."
"Apa?"
"Semalam kamu pergi kemana? Ngga pergi ke diskotik kan?"
Raihan malah melempar senyum.
"Tenang saja. Aku bukan tipe cowok yang suka pergi ke club kok," ujarnya sedikit membuat hati ini sedikit tenang. Tapi tetap saja masih kepikiran dia kemana.
"Oh iya, mulai hari ini kamu ngga usah kekantor lagi. Kamu dirumah saja. Sekalian belajar masak sama Mbok Ijah." Lanjutnya membuat aku semakin bingung.
"Kenapa?"
"Kalau suami bilang nggak usah ya nggak usah. Jangan banyak tanya."
"Ya kan aneh?"
"Ngga ada yang aneh. Kalau aku udah pulang kerja, siapin makanan langsung yah! Habis itu, kita ke rumah mamah."
"Hah? Ke rumah mamah?"
"Ya udah aku siap-siap dulu yah. Love you." Raihan mengecup keningku. Ada apa sama sikapnya?

'Ngga usah ke kantor? Ke rumah mamah? Dan ... Love you katanya? Keabisan obat kayaknya,' tanya ku dalam hati.

Aku masih bingung kemana dia semalam. Ditambah lagi mulai hari ini aku tidak diperbolehkan ke kantor. Aku duduk di sofa di ruang keluarga. Menunggu Raihan turun dari kamarnya.
"Aku ngga sarapan dirumah. Tapi kamu harus sarapan yah!" Entah kenapa Raihan jadi begitu baik dan perhatian.
"Kamu yakin ngga izinin aku ke kantor."
"Yakinlah. Seribu persen."
"Kamu aneh? Tiba-tiba kayak gini."
"Jangan banyak pikiran. Tolong bawakan jas dan tas aku ke mobil yah!"
Aku menuruti perintahnya.
"Jangan kemana-mana tanpa seizinku," ujarnya sambil masuk ke mobil. Pintu kaca terbuka, aku masih berdiri disampingnya.

"Pulangnya jangan lama-lama yah. Nanti aku bosen tinggal disini sendiri."
"Ok. Oh iya, kamu dapat salam dari Fatir?"
"Hah?"

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER