{Aku pulang cepat. Sekarang aku lagi di jalan. Kamu siap-siap yah? }
Pesan WhatsApp dari Raihan membuat aku bangkit dari tempat tidur. Bagaimana tidak, jam segini aku masih enak-enakan tidur siang dan belum mandi.
Badanku terasa pegal, karena butuh waktu lama belajar membuat brownies untuk kubawa ke rumah orang tua Raihan. Mbok Ijah banyak mengajariku cara membuat kue brownies.
Cepat-cepat aku langsung menuju kamar mandi. Tak butuh waktu dari sepuluh menit aku menyelesaikannya.
Celana jeans biru dan kaos oblong berwarna biru menjadikan aku terlihat simple. Aku hanya merapihkan rambutku tanpa menguncirnya. Wajahku tak lupa kupakaikan day cream, bedak, dan sepoles lip balm.
Aku menghela napas. Akhirnya ...
Klakson mobil Raihan terdengar dari kamarku. Setengah berlari, aku menyambutnya pulang.
"Raihan ...," ucapku saat pertama kali melihatnya.
Raihan rupanya tidak sendiri. Melainkan ada sesosok lelaki yang mulai kemarin aku enggan untuk menemuinya lagi.
"Mas Fatir?"
"Assalamu'alaikum Nana?" Sapanya tanpa ada rasa bersalah. Dia terus menyunggingkan senyumannya.
"Waa'laikumussalam." Aku sedikit ketus membalasnya.
"Aku izinin kalian bicara. Tapi jangan dekat-dekat ya!" Raihan mencubit pipiku dan berlalu ke kamar atas.
Aku dan Mas Fatir memilih untuk duduk di pinggir kolam. Lama kita berdiam dalam pikirannya masing-masing. Aku enggan membuka suara dulu.
"Pipimu masih sakit?" Akhirnya Mas Fatir membuka suara lebih dulu.
'Apa? Mas Fatir tahu kalau aku kemarin ditampar Raihan?' tanyaku berbisik dihati.
"Aku baik-baik saja." Tanpa memandangnya aku jawab pertanyaan Mas Fatir. Dimataku dia bukanlah orang yang menyenangkan lagi. Aku terlanjur kecewa dengan apa yang dia perbuat untukku.
"Aku minta maaf, atas perlakuanku yang sedikit kurang ajar padamu kemarin."
"...."
"Aku memang sengaja melakukannya. Karena aku ingin membuat Raihan cemburu. Aku ingin Raihan memberikan kamu kepastian. Aku ingin mengusir rasa trauma Raihan untuk mengatakan sejujurnya kepada kamu."
"Apa harus dengan cara seperti itu?"
"Maaf. Aku pikir kamu pasti akan menolaknya kalau kamu akan beradegan seperti itu. Jadi aku mencari cara yang lain." Tatapannya terus menujuku. Dan aku tetap tidak ingin melihatnya.
"Bagaimana kalau dia benar-benar mengucapkannya? Saat itu aku takut. Raihan sangat kasar."
"Aku sangat tahu Raihan. Dia mencintaimu. Dia tidak akan menceraikan kamu. Raihan hanya perlu gertakan sedikit supaya dia bisa melawan rasa gengsinya juga. Tapi aku tidak menyangka, Raihan bakal bermain tangan denganmu."
"Kamu harus tahu betapa sakitnya aku ditampar?" Aku mengelus-elus pipiku yang ditampar kemarin.
"Aku minta maaf soal itu."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Aku?" Mas Fatir tersenyum. "Aku tidak akan menunggu kamu menjadi janda kok." Mas Fatir tertawa kecil. Entah kenapa aku ikut terbawa leluconnya.
"Aku memang menyukaimu. Kesederhanaanmu meyakinkan aku bahwa kamu adalah gadis yang berbeda dari yang lainnya. Aku cukup bosan berpacaran dengan orang yang selevel denganku. Tapi Tuhan berkata lain, aku mencintai istri orang lain. Bahkan aku mencintai istri dari sahabatku sendiri."
"Mas Fatir ...."
"Aku senang sekarang Raihan akan berjuang untukmu demi mendapatkan restu dari orang tuanya."
"Maaf aku sudah salah menilaimu."
"Cintai Raihan sepenuh hatimu. Dia orang yang baik. Saking baiknya, dia selalu saja dikhianati wanita yang dia suka. Dan kamu ingat Lisa? Dia memang bukan gadis yang pertama kali dipacarinya. Tapi dialah cinta pertama Raihan. Kamu harus bisa mengusir rasa trauma Raihan. Dia sayang padamu. Tapi enggan mengungkapkannya."
Aku menyelipkan rambutku kebelakang kuping. Ku beranikan diri untuk menatap wajah Mas Fatir.
"Mas Fatir aku benar-benar minta maaf. Aku yakin kamu orang yang baik. Mas pasti bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari aku."
"Oh iya satu hal lagi yang ingin aku jelaskan. Kejadian waktu kamu tenggelam saat family gathering. Raihanlah yang menyuruhku untuk menyelamatkan kamu. Dialah orang pertama yang melihatmu jatuh. Tapi mungkin karena dia gengsi dia malah memintaku melakukan itu. Tapi saat itu juga aku khawatir."
"...."
"Dan ketika kamu terkurung 3 jam dikamar mandi, itu semua salahku. Aku tidak tahu kalau Raihan bisa seceroboh itu. Aku sengaja datang kekamarnya, untuk mengajaknya berkuda. Aku minta maaf."
Mas Fatir tetap terlihat tersenyum. Raut wajahnya tersirat sedikit ada kekecewaan. Tiba-tiba Raihan muncul dari dalam rumah.
"Sepertinya kita harus berangkat sekarang." Kulihat cara berpakaian Raihan yang terlihat fashionable. Sangat berbeda sekali saat dia selalu memakai kemeja dan jas serta celana bahan hitamnya.
Gaya monochrome dengan paduan celana chino hitam dan kaos oblong putih terlihat pas dia kenakan. Tak ketinggalan jaket denim pun ditenteng ditangannya.
"Aku sudah siap." Aku berdiri berusaha rileks menuju rumah orang tua Raihan.
"Siap apanya? Kenapa pakaianmu jelek sekali?"
Kulihat dari bawah kaki sampai ke atas, memang baju yang sedikit kumuh. Aku cemberut didepannya.
"Boleh, aku ajak dia ke butik?" Mas Fatir mencoba mengganggu Raihan lagi.
"Hah? Sudah tidak perlu. Biar aku saja yang bawa dia kesana. Ayo pergi!"
"Kamu harus sedikit manis dengan dia. Tidak mau kan dia berpaling dari kamu?" tanya Mas Fatir semakin meledek.
Aku hanya terdiam sambil membuang muka. Raihan mendengus. Lalu menghampiriku dan menggenggam tanganku.
"Ayo sayang kita pergi!" ucapnya sambil menarikku keluar rumah. Mas Fatir hanya tertawa kecil, sumringah.
Mobil Mini Cooper berwarna biru metalik menjadi pilihan Raihan untuk membawaku kerumah orang tuanya. Sebelumnya Raihan mempersilahkan aku masuk kedalam mobilnya. Aku bak Cinderella dalam kehidupan nyata.
"Hati-hati dijalan yah!" Sapa Mas Fatir yang berdiri disamping Raihan. "Nana telpon aku kalau dia macem-macem. Oke!" lanjutnya sambil memasang jempol. Aku hanya mengangguk.
Aku dan Raihan pamit pergi. Aku sangat berterima kasih pada Mas Fatir. Mungkin apa yang dilakukannya agak salah. Tapi aku yakin dia sudah mempertimbangkan semua ini.
Terima kasih Mas, kamu akan tetap menjadi plester terbaik untukku. Aku hanya senyum-senyum sendiri. Aku menghela napas panjang. Tinggal satu masalah lagi. Orang tua Raihan.
***
Raihan tertegun melihatku saat keluar dari butik dan salon milik Mak Igun. Dress mini motif bunga-bunga dan make up flawless jadi pilihan alternatifku.
Aku langsung masuk ke dalam mobil.
"Kenapa? Ga cocok ya?" tanyaku saat melihat Raihan tak berkedip menatapku.
"Kamu cantik."
"Baru tahu ya?" Aku pasang wajah cantikku dan tersenyum padanya.
"Ahhhh, kita ngga jadi kerumah mamah ya?"
"Apa?"
"Kita ke hotel aja yuk!"
"Isshhhh Raihan, kamu tuh suka banget godain aku yah?"
"Beneran."
"No way!"
"Bilang 'mau' susah banget sih!" ucap Raihan sambil mencibirkan bibirnya.
Mesin mobil langsung dinyalakan. Selama perjalanan kita tak banyak bicara. Hatiku semakin gugup tak karuan. Apa yang dikatakan orang tua Raihan ya? Aku tidak yakin mereka bisa menerima aku.
"Raihan, aku takut," ujarku saat sudah sampai di rumah kedua orang tua Raihan. Kulihat ada 2 mobil lagi berjejer dihalaman depan rumah.
"Memangnya orang tuaku hantu."
"Bukan. Maksudku, aku gugup."
"Kayak mau ketemu dosen saja." Raihan terlihat santai. Dia merapihkan rambutnya sambil berkaca dispion depan.
Aku mengambil napas panjang lalu menghempaskannya. Rambutku yang tadi di blow dibiarkan terurai.
Raihan mengecup keningku. "Kamu pegang terus tanganku saja. Jangan dilepas! Tapi percayalah, mamah orang yang baik kok." Raihan tersenyum hangat.
Sepanjang jalan, aku terus menggenggam tangan Raihan. Tak perduli keringat membasahi ditangan ini.
"Assalamu'alaikum ...." Sapaku dan Raihan diambang pintu.
Aku tersentak kaget saat aku tahu siapa tamu pertama yang datang. Mba Anisa dan kedua orang tuanya. Mereka bercengkrama santai bersama orang tua Raihan. Mereka sepertinya sudah bersahabat dan saling kenal.
Aku pesimis. Aku mencoba melepaskan genggamannya, namun Raihan justru menguatkannya.
Aku dan Raihan menghampiri mereka yang sedang ada diruang tamu.
"Waa'laikumussalam. Raihan maksudnya apa ini? Kenapa kamu bawa wanita ini kerumah?" Papah Raihan terlihat tegas. Aku hanya menundukkan kepala.
"Sebelumnya aku ingin minta maaf. Khususnya untuk kamu dan keluargamu, Anisa." Kepala Raihan sedikit menunduk kearah keluarga Mba Anisa. "Papah ... Mamah ... Raihan ingin memperkenalkan kalian, istri Raihan. Dia Nana, dia istri Raihan mah, pah," sambungnya begitu santai.
Aku tak tau harus bagaimana. Tangannya makin erat menggenggam tanganku. Aku coba menyapa mereka. Dengan menundukkan kepalaku dan tersenyum.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin kami menikahkan anak kami dengan laki-laki yang sudah beristri," ujar laki-laki berkepala plontos itu.
"Tidak bisa, Pah. Ayo Anisa kita pergi dari sini!" sambung wanita setengah baya yang memakai hijab biru.
Anisa pun tampak diam. Kedua orang tuanya sudah pergi dulu meninggalkannya. Wanita berparas ayu itu menghampiri kami.
"Kamu jahat Raihan. Seharusnya kamu jujur dari awal kita berkenalan. Aku kira kamu orang yang baik. Tapi kamu ngga lebih dari seorang pembohong."
"Mba Anisa, aku bisa jelaskan semuanya." Dia hanya melirik kearahku. Lalu menatap Raihan lagi.
"Ngga ada yang perlu dijelaskan. Aku sangat kecewa sama kamu. Itu saja," ujarnya sambil berlalu. Raihan hanya mematung tanpa sepatah kata pun.
"Raihan tolong jelaskan ini semua sama mamah!"
Raihan menarikku untuk duduk bersama di sofa. Pelan-pelan aku dan Raihan menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari A sampai Z sama seperti aku menjelaskan semua pada Mas Fatir. Aku hanya bisa melihat ekspresi dari keduanya. Papah Raihan selalu menggelengkan kepalanya. Sedangkan mamah Raihan terlihat lebih santai.
"Boleh ibu bicara sebentar sama kamu?" Aku tertegun saat ditanya seperti itu. "Ibu ingin bicara berdua sama kamu." Mamah Raihan beranjak dari tempat duduknya. Lalu pergi ke arah teras rumah. Aku membututinya.
"Ibu, sebelumnya saya minta maaf. Tidak seharusnya saya sembunyikan ini semua dari ibu dan bapak."
"Seharusnya saya yang minta maaf. Andai saja anak saya tidak berbuat konyol seperti itu mungkin tidak akan seperti ini."
"Saya tidak tahu lagi harus bicara apa sama ibu."
Mama Raihan membuang napasnya, terdengar berat. Lalu duduk di kursi besi bercat emas. Aku mengikutinya.
"Sebenarnya ini adalah perjodohan kami yang kesekian kalinya untuk Raihan. Ibu hanya ingin Raihan cepat-cepat menikah dan memberi ibu cucu." Aku menelan saliva yang tertinggal ditenggorokan. "Ibu dan bapak sudah semakin tua, ibupun sering sakit-sakitan. Usia Raihan pun sudah menginjak kepala tiga. Ibu sangat khawatir kalau Raihan hanya memikirkan pekerjaan saja. Apalagi dia anak ibu satu-satunya."
Aku mencoba menggenggam tangan wanita yang sudah mulai mengeriput itu.
"Ibu, apakah ibu merestui kami untuk bersama?"
"Kalian sudah tiga bulan bersama, bagaimana mungkin ibu pisahkan kalian. Kamu sudah merasakan tanda-tanda belum?"
Aku mengerutkan alis.
"Tanda-tanda apa ya Bu?"
"Yah seperti masuk angin gitu, atau mabuk, mual-mual?"
"Maksud ibu, saya hamil?"
Mamah Raihan hanya mengangguk cepat.
"Kan sudah saya jelaskan, saya dan Raihan beda kamar. Saya ngga mungkin melakukan itu juga." Tiba-tiba aku kikuk untuk membicarakan masalah ini.
"Kamu tuh gimana, jadi cewek itu harus agresif. Kamu mau suamimu pindah ke lain hati?" Aku menggigit bibir bawah. Kenapa ibu dan anak pikirannya selalu ke arah sana. Huufftt ...
Raihan dan papah keluar bersama. Aku langsung berdiri menyambutnya.
"Biar papah dan mamah bicara berdua dulu, baiknya seperti apa kedepannya buat kalian." Papah Raihan menatapku sekenanya.
"Oiya, saya buatkan brownies buat kalian. Biar saya ambilkan dulu di dalam mobil." Aku langsung berlari kearah mobil untuk mengambil kue yang sengaja aku buat untuk orang tua Raihan.
"Memang kamu bisa bikin kue?" tanya Raihan saat aku memberikan sekotak brownies kukus. Mimiknya seperti tidak yakin rasa kue yang ku buat itu enak.
"Aku sama Mbok Ijah sih yang bikin."
"Nah, kalau Mbok yang bikin pasti enak." Dasar Raihan, tidak bisakah dia berbuat manis sedikit saja didepan orang tuanya untukku?
"Saya harap ibu sama bapak suka sama browniesnya."
Aku dan Raihan pamit pulang. Entahlah keputusan apa yang nanti akan diambil oleh orang tua Raihan. Yang pasti aku sudah pegang restu dari Mamah Raihan.
***
Satu minggu kemudian.
Kalian tahu kabar yang paling terindah dalam hidupku apa? Yang pertama, adikku Nayla tidak lagi marah padaku. Dia sudah menerima keadaanku dan juga Raihan. Apalagi Raihan akan membiayai kuliahnya di universitas mana saja yang dia mau.
Dan yang kedua adalah orang tua Raihan merestui hubungan kami. Alhamdulillah, aku banyak-banyak bersyukur untuk hadiah terindah ini.
Seminggu terakhir aku sibuk belajar memasak bersama Mbok Ijah. Aku sibuk mengurus surat-surat untuk pernikahan kami agar tercatat di kantor urusan agama.
Ditambah lagi aku sibuk memilih gedung untuk resepsi pernikahanku dan Raihan. Aku sudah bilang untuk merayakan secara sederhana saja. Tapi orang tua Raihan tidak setuju. Akhirnya kita memutuskan untuk mengadakan resepsi di hotel Sheraton dibilangan Jakarta.
3000 undangan kami sebar untuk memeriahkan resepsi pernikahanku. Sungguh aku tidak menyangka, hidupku bisa sebahagia ini. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata lagi.
Gaun pengantin rancangan Ivan Gunawan dipercaya untuk membuat aku terlihat menjadi ratu sehari. Ku lihat laki-laki tampan itu selalu tersenyum untukku. Raihan, kamu sudah menjadi suamiku sesungguhnya.
"Nana, selamat ya bude senang, akhirnya kamu bisa meresmikan pernikahan kalian. Semoga kalian selalu menjadi keluarga sakinah mawadah dan warahmah," ujar bude yang ada disamping pakde. Aku memeluknya hangat. Dan berterima kasih karena selama ini sudah menjaga Nayla.
"Kak Nana ... Kak Raihan ... Selamat ya! Maaf sudah salah menilai kalian. Sekarang Nayla bahagia melihat kalian bersama."
"Sayangku ...." Aku memeluknya erat. Ada rasa kangen yang masih bergelayut dihati. Sayangnya, Nayla menolak untuk tinggal dirumah Raihan. Dia sudah cukup nyaman tinggal dirumah bude di Bekasi.
"Haaiiiiiiii ... Selamat ya bro!" Aku lihat Mas Fatir datang ke hari pernikahanku. Dia memeluk erat sahabat kentalnya semenjak SMA itu. "Selamat ya cantik, aku harap kamu selalu bahagia."
"Makasih Mas Fatir." Aku tersenyum padanya.
Ada banyak lagi tamu undangan yang memberikan aku dan Raihan selamat. Tak lupa juga karangan bunga ucapan selamat berjejer dipinggir jalan. Aku juga tak menyangka keluarga Raihan mengundang beberapa rekan artis ternama.
Tuhan, aku selalu berharap ini bukan mimpi. Jikapun ini hanya sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku dulu. Biarkan aku merasakan bahagia seperti ini lebih lama lagi.
"Kamu bahagia?" Pertanyaan Raihan menyadarkan aku, bahwa ini bukanlah mimpi. Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
Raihan mencium keningku.
"Aku nggak nyesel dipaksa nikah sama Pak RT. Ternyata kamu memang jodohku."
Aku tertawa kecil.
"Seharusnya kita undang Pak RT yah," ucapnya dengan nada bercanda. Aku menepuk lengannya. "Tapi aku nyesel nikah disini."
"Kenapa?"
"Aarggh ... Tamunya banyak banget. Nggak selesai-selesai dari tadi. Aku capek, pengen cepet-cepet diurut sama kamu." Mata kiri Raihan berkedip manja. Lagi-lagi aku cubit perutnya.
"Apaan sih, genit banget deh!"
"Rencananya kita mau punya anak berapa?"
"Dua aja, cukup."
"Dua belas yah."
"Enak aja. Tiga deh," ujarku sedikit kesel.
"Sebelas ajalah?"
Aku dan Raihan tertawa bersama.
Satu tamu undangan yang tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal aku berharap bisa bertemu dengan dia. Lisa. Aku dengar dia bertolak ke Singapura pagi hari ini. Entah alasan apa dia pergi kesana lagi.
Aku meminta Raihan untuk tidak membawaku ke hotel selepas resepsi. Istirahat di rumah membuat aku lebih nyaman.
Kulihat Raihan masih saja memakai handuk. Badannya dibiarkan mengering begitu saja. Tak lupa dia menyemprotkan body spray dibawah ketiaknya.
Aku yang selesai mandi hanya tertegun melihat tingkah Raihan. Ada rasa gugup. Tapi aku berusaha rileks.
"Sayang kamu udah selesai mandi?" Tanyanya sambil memelukku yang masih memakai handuk kimono. Aku hanya mengangguk.
"Kamu wangi sayang ... Aku suka ...." Raihan terus menciumi leherku. Sesekali dia melumat bibirku mesra. Tangannya menjalar menjamah tubuhku yang masih berdiri disamping kasur.
"Sayang ... Aku rasa pintumu belum ditutup deh!" Aku menghentikan tangannya yang mulai mencoba untuk melepaskan handuk kimonoku.
"Siapa yang perduli? Disini kan cuma ada kamu sama aku saja."
"Aku tutup dulu sebentar ya!"
Aku pergi kearah pintu yang masih terbuka sedikit. Raihan memang suka lupa untuk mengunci pintunya.
Sebelum kututup pintu, aku ingin menyapa kalian semua.
"Terima kasih ya cantik. Sudah mengikuti kisah aku. Sampai bertemu lagi!"
"Sayaaaaanngg ... Cepetan aku sudah mulai tegang nih!"
"Iya bawel."
Krrrk ... (Suara pintu terkunci)
"Baru tahu ya?" Aku pasang wajah cantikku dan tersenyum padanya.
"Ahhhh, kita ngga jadi kerumah mamah ya?"
"Apa?"
"Kita ke hotel aja yuk!"
"Isshhhh Raihan, kamu tuh suka banget godain aku yah?"
"Beneran."
"No way!"
"Bilang 'mau' susah banget sih!" ucap Raihan sambil mencibirkan bibirnya.
Mesin mobil langsung dinyalakan. Selama perjalanan kita tak banyak bicara. Hatiku semakin gugup tak karuan. Apa yang dikatakan orang tua Raihan ya? Aku tidak yakin mereka bisa menerima aku.
"Raihan, aku takut," ujarku saat sudah sampai di rumah kedua orang tua Raihan. Kulihat ada 2 mobil lagi berjejer dihalaman depan rumah.
"Memangnya orang tuaku hantu."
"Bukan. Maksudku, aku gugup."
"Kayak mau ketemu dosen saja." Raihan terlihat santai. Dia merapihkan rambutnya sambil berkaca dispion depan.
Aku mengambil napas panjang lalu menghempaskannya. Rambutku yang tadi di blow dibiarkan terurai.
Raihan mengecup keningku. "Kamu pegang terus tanganku saja. Jangan dilepas! Tapi percayalah, mamah orang yang baik kok." Raihan tersenyum hangat.
Sepanjang jalan, aku terus menggenggam tangan Raihan. Tak perduli keringat membasahi ditangan ini.
"Assalamu'alaikum ...." Sapaku dan Raihan diambang pintu.
Aku tersentak kaget saat aku tahu siapa tamu pertama yang datang. Mba Anisa dan kedua orang tuanya. Mereka bercengkrama santai bersama orang tua Raihan. Mereka sepertinya sudah bersahabat dan saling kenal.
Aku pesimis. Aku mencoba melepaskan genggamannya, namun Raihan justru menguatkannya.
Aku dan Raihan menghampiri mereka yang sedang ada diruang tamu.
"Waa'laikumussalam. Raihan maksudnya apa ini? Kenapa kamu bawa wanita ini kerumah?" Papah Raihan terlihat tegas. Aku hanya menundukkan kepala.
"Sebelumnya aku ingin minta maaf. Khususnya untuk kamu dan keluargamu, Anisa." Kepala Raihan sedikit menunduk kearah keluarga Mba Anisa. "Papah ... Mamah ... Raihan ingin memperkenalkan kalian, istri Raihan. Dia Nana, dia istri Raihan mah, pah," sambungnya begitu santai.
Aku tak tau harus bagaimana. Tangannya makin erat menggenggam tanganku. Aku coba menyapa mereka. Dengan menundukkan kepalaku dan tersenyum.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin kami menikahkan anak kami dengan laki-laki yang sudah beristri," ujar laki-laki berkepala plontos itu.
"Tidak bisa, Pah. Ayo Anisa kita pergi dari sini!" sambung wanita setengah baya yang memakai hijab biru.
Anisa pun tampak diam. Kedua orang tuanya sudah pergi dulu meninggalkannya. Wanita berparas ayu itu menghampiri kami.
"Kamu jahat Raihan. Seharusnya kamu jujur dari awal kita berkenalan. Aku kira kamu orang yang baik. Tapi kamu ngga lebih dari seorang pembohong."
"Mba Anisa, aku bisa jelaskan semuanya." Dia hanya melirik kearahku. Lalu menatap Raihan lagi.
"Ngga ada yang perlu dijelaskan. Aku sangat kecewa sama kamu. Itu saja," ujarnya sambil berlalu. Raihan hanya mematung tanpa sepatah kata pun.
"Raihan tolong jelaskan ini semua sama mamah!"
Raihan menarikku untuk duduk bersama di sofa. Pelan-pelan aku dan Raihan menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari A sampai Z sama seperti aku menjelaskan semua pada Mas Fatir. Aku hanya bisa melihat ekspresi dari keduanya. Papah Raihan selalu menggelengkan kepalanya. Sedangkan mamah Raihan terlihat lebih santai.
"Boleh ibu bicara sebentar sama kamu?" Aku tertegun saat ditanya seperti itu. "Ibu ingin bicara berdua sama kamu." Mamah Raihan beranjak dari tempat duduknya. Lalu pergi ke arah teras rumah. Aku membututinya.
"Ibu, sebelumnya saya minta maaf. Tidak seharusnya saya sembunyikan ini semua dari ibu dan bapak."
"Seharusnya saya yang minta maaf. Andai saja anak saya tidak berbuat konyol seperti itu mungkin tidak akan seperti ini."
"Saya tidak tahu lagi harus bicara apa sama ibu."
Mama Raihan membuang napasnya, terdengar berat. Lalu duduk di kursi besi bercat emas. Aku mengikutinya.
"Sebenarnya ini adalah perjodohan kami yang kesekian kalinya untuk Raihan. Ibu hanya ingin Raihan cepat-cepat menikah dan memberi ibu cucu." Aku menelan saliva yang tertinggal ditenggorokan. "Ibu dan bapak sudah semakin tua, ibupun sering sakit-sakitan. Usia Raihan pun sudah menginjak kepala tiga. Ibu sangat khawatir kalau Raihan hanya memikirkan pekerjaan saja. Apalagi dia anak ibu satu-satunya."
Aku mencoba menggenggam tangan wanita yang sudah mulai mengeriput itu.
"Ibu, apakah ibu merestui kami untuk bersama?"
"Kalian sudah tiga bulan bersama, bagaimana mungkin ibu pisahkan kalian. Kamu sudah merasakan tanda-tanda belum?"
Aku mengerutkan alis.
"Tanda-tanda apa ya Bu?"
"Yah seperti masuk angin gitu, atau mabuk, mual-mual?"
"Maksud ibu, saya hamil?"
Mamah Raihan hanya mengangguk cepat.
"Kan sudah saya jelaskan, saya dan Raihan beda kamar. Saya ngga mungkin melakukan itu juga." Tiba-tiba aku kikuk untuk membicarakan masalah ini.
"Kamu tuh gimana, jadi cewek itu harus agresif. Kamu mau suamimu pindah ke lain hati?" Aku menggigit bibir bawah. Kenapa ibu dan anak pikirannya selalu ke arah sana. Huufftt ...
Raihan dan papah keluar bersama. Aku langsung berdiri menyambutnya.
"Biar papah dan mamah bicara berdua dulu, baiknya seperti apa kedepannya buat kalian." Papah Raihan menatapku sekenanya.
"Oiya, saya buatkan brownies buat kalian. Biar saya ambilkan dulu di dalam mobil." Aku langsung berlari kearah mobil untuk mengambil kue yang sengaja aku buat untuk orang tua Raihan.
"Memang kamu bisa bikin kue?" tanya Raihan saat aku memberikan sekotak brownies kukus. Mimiknya seperti tidak yakin rasa kue yang ku buat itu enak.
"Aku sama Mbok Ijah sih yang bikin."
"Nah, kalau Mbok yang bikin pasti enak." Dasar Raihan, tidak bisakah dia berbuat manis sedikit saja didepan orang tuanya untukku?
"Saya harap ibu sama bapak suka sama browniesnya."
Aku dan Raihan pamit pulang. Entahlah keputusan apa yang nanti akan diambil oleh orang tua Raihan. Yang pasti aku sudah pegang restu dari Mamah Raihan.
***
Satu minggu kemudian.
Kalian tahu kabar yang paling terindah dalam hidupku apa? Yang pertama, adikku Nayla tidak lagi marah padaku. Dia sudah menerima keadaanku dan juga Raihan. Apalagi Raihan akan membiayai kuliahnya di universitas mana saja yang dia mau.
Dan yang kedua adalah orang tua Raihan merestui hubungan kami. Alhamdulillah, aku banyak-banyak bersyukur untuk hadiah terindah ini.
Seminggu terakhir aku sibuk belajar memasak bersama Mbok Ijah. Aku sibuk mengurus surat-surat untuk pernikahan kami agar tercatat di kantor urusan agama.
Ditambah lagi aku sibuk memilih gedung untuk resepsi pernikahanku dan Raihan. Aku sudah bilang untuk merayakan secara sederhana saja. Tapi orang tua Raihan tidak setuju. Akhirnya kita memutuskan untuk mengadakan resepsi di hotel Sheraton dibilangan Jakarta.
3000 undangan kami sebar untuk memeriahkan resepsi pernikahanku. Sungguh aku tidak menyangka, hidupku bisa sebahagia ini. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata lagi.
Gaun pengantin rancangan Ivan Gunawan dipercaya untuk membuat aku terlihat menjadi ratu sehari. Ku lihat laki-laki tampan itu selalu tersenyum untukku. Raihan, kamu sudah menjadi suamiku sesungguhnya.
"Nana, selamat ya bude senang, akhirnya kamu bisa meresmikan pernikahan kalian. Semoga kalian selalu menjadi keluarga sakinah mawadah dan warahmah," ujar bude yang ada disamping pakde. Aku memeluknya hangat. Dan berterima kasih karena selama ini sudah menjaga Nayla.
"Kak Nana ... Kak Raihan ... Selamat ya! Maaf sudah salah menilai kalian. Sekarang Nayla bahagia melihat kalian bersama."
"Sayangku ...." Aku memeluknya erat. Ada rasa kangen yang masih bergelayut dihati. Sayangnya, Nayla menolak untuk tinggal dirumah Raihan. Dia sudah cukup nyaman tinggal dirumah bude di Bekasi.
"Haaiiiiiiii ... Selamat ya bro!" Aku lihat Mas Fatir datang ke hari pernikahanku. Dia memeluk erat sahabat kentalnya semenjak SMA itu. "Selamat ya cantik, aku harap kamu selalu bahagia."
"Makasih Mas Fatir." Aku tersenyum padanya.
Ada banyak lagi tamu undangan yang memberikan aku dan Raihan selamat. Tak lupa juga karangan bunga ucapan selamat berjejer dipinggir jalan. Aku juga tak menyangka keluarga Raihan mengundang beberapa rekan artis ternama.
Tuhan, aku selalu berharap ini bukan mimpi. Jikapun ini hanya sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku dulu. Biarkan aku merasakan bahagia seperti ini lebih lama lagi.
"Kamu bahagia?" Pertanyaan Raihan menyadarkan aku, bahwa ini bukanlah mimpi. Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
Raihan mencium keningku.
"Aku nggak nyesel dipaksa nikah sama Pak RT. Ternyata kamu memang jodohku."
Aku tertawa kecil.
"Seharusnya kita undang Pak RT yah," ucapnya dengan nada bercanda. Aku menepuk lengannya. "Tapi aku nyesel nikah disini."
"Kenapa?"
"Aarggh ... Tamunya banyak banget. Nggak selesai-selesai dari tadi. Aku capek, pengen cepet-cepet diurut sama kamu." Mata kiri Raihan berkedip manja. Lagi-lagi aku cubit perutnya.
"Apaan sih, genit banget deh!"
"Rencananya kita mau punya anak berapa?"
"Dua aja, cukup."
"Dua belas yah."
"Enak aja. Tiga deh," ujarku sedikit kesel.
"Sebelas ajalah?"
Aku dan Raihan tertawa bersama.
Satu tamu undangan yang tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal aku berharap bisa bertemu dengan dia. Lisa. Aku dengar dia bertolak ke Singapura pagi hari ini. Entah alasan apa dia pergi kesana lagi.
Aku meminta Raihan untuk tidak membawaku ke hotel selepas resepsi. Istirahat di rumah membuat aku lebih nyaman.
Kulihat Raihan masih saja memakai handuk. Badannya dibiarkan mengering begitu saja. Tak lupa dia menyemprotkan body spray dibawah ketiaknya.
Aku yang selesai mandi hanya tertegun melihat tingkah Raihan. Ada rasa gugup. Tapi aku berusaha rileks.
"Sayang kamu udah selesai mandi?" Tanyanya sambil memelukku yang masih memakai handuk kimono. Aku hanya mengangguk.
"Kamu wangi sayang ... Aku suka ...." Raihan terus menciumi leherku. Sesekali dia melumat bibirku mesra. Tangannya menjalar menjamah tubuhku yang masih berdiri disamping kasur.
"Sayang ... Aku rasa pintumu belum ditutup deh!" Aku menghentikan tangannya yang mulai mencoba untuk melepaskan handuk kimonoku.
"Siapa yang perduli? Disini kan cuma ada kamu sama aku saja."
"Aku tutup dulu sebentar ya!"
Aku pergi kearah pintu yang masih terbuka sedikit. Raihan memang suka lupa untuk mengunci pintunya.
Sebelum kututup pintu, aku ingin menyapa kalian semua.
"Terima kasih ya cantik. Sudah mengikuti kisah aku. Sampai bertemu lagi!"
"Sayaaaaanngg ... Cepetan aku sudah mulai tegang nih!"
"Iya bawel."
Krrrk ... (Suara pintu terkunci)
*** Tamat ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel