Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 13 Juli 2020

Medina #2

Cerita bersambung

Sesaat memasuki MGU alias McGill University, di Kota Montreal, Medina sudah terkesima dengan bangunan-bangunan keren, klasik, dengan bentuk kerucut-kerucut di atasnya. Seperti kastil-kastil di buku dongeng.
Taman hijau menghiasai area kampus. Indah dan sejuk terasa apalagi beberapa pohon maple yang tumbuh tengah menggugurkan daunnya. Semarak menutupi rumput.

Daun maple merah itu menjadi lambang negara tersebut.
Medina tak mengira ia akan sampai di sini. Bumi Alloh bernama Kanada di salah satu provinsinya yang terkenal padat dan ramai, Provinsi Quebec.

Pagi itu ia mengenakan celana panjang hitam sedikit longgar dengan coat biru dongker dibawah dengkul . Kerudung merah marun membuat pipinya terlihat putih. Ia belum terlalu beradaptasi dengan cuaca Montreal yang sejuk.

Memasuki kelas sudah ada puluhan kepala. Wah...rata-rata mereka sudah berusia. Namanya juga S3. Calon peraih gelar Ph.D. Doctor of Philosophy.

Sambil nunggu dosen mereka berkenalan sebisanya kiri kanan. Dan jumlah mereka kurang lebih 25 orang berasal dari segala penjuru dunia. Ada yang dari Asia 3 orang. Ken, cowok putih bermata sipit dari Jepang, Meghan dari Filipina dan Medina sendiri. Indonesian!.
Lainnya beragam ada yang dari Perancis, Turki tapi rata-rata dari Kanada sendiri dan Amerika Serikat tetangga negara.

Jam 9 tepat, seorang lelaki berjas hitam mengenakan dasi biru bergaris masuk melalui pintu satu-satunya itu. Wajahnya terlihat charming.

Okay, seminggu di Kanada, Medina sudah menyimpulkan bahwa warga di sini cukup ramah dan welcome. Bahkan ia kerap mendengar kata "sorry" terucap beberapa kali. Layaknya basa basi orang Indonesia. Bentar-bentar bilang maaf padahal lebaran masih lama. Ha...ha.
Semua mata memandangnya penuh fokus. Ia melirik Meghan, cewek Filipina yang ternyata masih jomblo sepertinya tampak memandangi makhluk di depan screen itu tak berkedip.
"Wow...He looks like Justin...Justin Trudeau" bisiknya ke telinga Medina.
Jidat gadis itu mengernyit. Masak sih?
"But he is a blanket" canda Medina untuk mengartikan brewokan yang menghiasi pipinya.
Mereka terdiam sesaat waktu sang dosen mulai introducing dirinya. Tertulis di slide besar-besar. Prof. Nolan James Ramirez.

Widih...masih muda sudah bergelar profesor?. Ya ampun efektif amat umurnya, jangan-jangan dia tak pernah bercanda sedikitpun selalu serius, gumam Medina.
Gadis itu seperti mengingat sesuatu. Ia seolah pernah membaca nama itu tapi di mana ya?.
Ia menyesali kenapa daya kognitifnya mendadak tumpul gegara profesor muda di depannya?.
"Call me Nolan. I'll teach and accompany you with Environment and The Law" ujarnya tertawa.
Kayaknya sih nggak garing, Medina segera meralat kesimpulannya.

Dosen tegap yang ternyata sudah profesor itu tak langsung cuap-cuap materi. Tapi ngajak berkenalan dulu. Satu-satu dari mereka disuruh nyebutin nama dan asal dari negara mana. Wah kayaknya pengen mencitrakan kalau dirinya sangat friendly.
"I'm Medina from Indonesia" ucap gadis itu dan seketika melirik wajah cerah sang dosen.
"Medina, are you from Aceh?" Gadis itu terkaget. Tak disangka Mister Nolan akan menanyainya. Padahal yang lain tak ada satupun yang direspon.
Gadis itu mendadak gelagapan.
"My Mom. She's Aceh. But My Pa from Java." Medina mengoreksi dalam hati, tapi Mama juga nggak Aceh banget soalnya lama tinggal di Jakarta.
Aih, Prof Nolan tersenyum humble. Mungkin karena Medina paling muda dan beda sendiri kali di antara mereka. Ya satu-satunya yang berjilbab.

Selesai mengajar, para mahasiswa baru itu mengerubunginya. Entah nanya apa saja. Mungkin pada minta nomer seluler atau alamat email. Atau jadwal ujian?. Ya ampun niat banget, baru juga masuk sudah mikirin ujian.
Medina masih jengah untuk sok akrab dengan dosen yang baru dikenalinya itu. Biarlah nanti nanya teman saja ke Meghan atau Ken, mereka sepertinya seumuran jadi lebih enak buat komunikasi.

Medina duduk di kursi taman nunggu Meghan yang lagi ke toilet. Jam 13 ada kuliah lagi. Sambil nunggu mereka berencana jalan-jalan keliling kampus untuk lebih kenal dekat tempat-tempat di sana. Terutama ke perpusnya.
"Medina!". Ada yang memanggilnya.
Gadis itu menoleh. Matanya membulat lebar. Prof. Nolan sudah berdiri di belakangnya.
"Sudah jalan-jalan kemana?"
What!!. Kuping Medina terkaget. Dia bisa bahasa Indonesia??.
Medina menggeleng.
"Baru ke Old Montreal" ujarnya tertawa malu. Tempat itu mirip Kota Tua kalau di Jakarta.
Lelaki di depannya pun tersenyum jenaka.
"Sayang sekali. You've been here a week"
Kok dia tahu aku sudah seminggu di sini, Medina jadi penasaran.
"Prof pernah ke Indonesia?"tanya Medina.
"Tiga tahun penelitian di Aceh"jawabnya singkat.
Oh...pantesan tadi dia nebak aku orang Aceh, pikirnya. Dan bahasa Indonesianya not bad lah. Pembelajar cepat. Sebenarnya dia pengen nanya penelitian apa di Aceh, tapi rasanya sok akrab. Tengsin ah.
"Kamu sudah betah di sini?"
"Mudah-mudahan" jawabnya ragu.
"Jangan sungkan minta tolong ke Jeane. Dia adik saya.."
Medina terbelalak. Jadi dia...?
"Sorry, Prof. Berarti anda temannya Prof Dahlia?. Saya anak bimbingannya" jawab Medina mulai sedikit menemukan benang merah.
Entah kalau benang warna lain masih harus ditelusuri.
Dia mengangguk.
"I know. Umur kamu 30 tahun, lahir di Jakarta dan aktif di NGO Karisma menangani masalah KDRT dan woman trafficking?".
Ajiib. Medina terbelalak lagi. Ya ampun!. Dari mana dia tahu?.
"Saya sudah terima CV dan aplikasi kamu dua bulan sebelum kakimu nyampai di sini" Jawabnya enteng.
"Oh...I see" jawab Medina sekenanya. Ada rasa malu dan nggak enak.
"Kamu sudah sempat ke Embassy di Ottawa?"
"Sudah kemarin diantar kenalan yang tinggal di Ottawa. Lumayan jauh dari Montreal sekitar 2 jam. Tapi senang ketemu beberapa teman dari tanah air walaupun kuliahnya nyebar di seantero Kanada yang luasnya kayak benua ini" celoteh Medina.
"Datanglah minggu depan ke Islamic Centre of Quebec kalau ingin ketemu teman-teman dari Indo" ujarnya lagi.

Dan hei...dia masih berdiri tegap lho sedari tadi. Medina nggak enak menyadari kalau ia tak menawarkan duduk di bangku sebelahnya.
"Pasti Prof banyak kenal orang Indonesia sampai tahu Islamic Centre segala?"

Medina sempat dijelaskan oleh pihak kedubes bahwa orang-orang Kanada sangat welcome dengan segala multikultural termasuk agama dan ras. Bahkan perdana menterinya, Justin Trudeau berkali-kali bilang di media bahwa tidak ada Islamophobia di Kanada.

"Sebenarnya...saya bisa saja ngajak Medina jalan-jalan. Banyak tempat indah di Quebec dan sekitarnya" serunya.
"Maksudnya?". Medina nggak ngeh. Pria ini mau ngajak jalan-jalan?.
"Ya, saya teman baik Ibu Dahlia, jadi saya anggap kamu tamu saya juga" tukasnya. Medina geli mendengar sebutan 'ibu' ke Prof Dahlia. Tapi kan umur mereka memang jauh kayak anak dan ibu.
"Tapi,..saya tahu Medina aktivis muslimah. Perempuan Indonesia apalagi yang berjilbab tak boleh pergi-pergi dengan sembarang laki-laki bukan?" Ujarnya sopan.
"Right..Prof. Betul banget!" Jawab Medina dengan wajah kemerah-merahan karena malu.
Prof Nolan hanya tersenyum lalu ijin meninggalkannya karena harus ngajar kembali.

Sungguh senyum humblenya amat misterius.
***

Akhirnya Medina kenal cewek Indonesia lainnya yang kuliah di Montreal juga.
Namanya Dias, lagi ambil S2, usianya masih 26 tahun. Dia berjilbab juga dan sepertinya sangat enerjik. Ia baru menikah setahun yang lalu. Habis nikah langsung berangkat ke Kanada. Kedua suami istri muda itu dapat beasiswa LPDP tapi beda tempat. Suaminya kuliah di Universitas Ottawa.

Medina ketemu tak sengaja dengan Dias di perpustakaan. Dari situlah mereka mulai akrab dan janjian mau datang ke acara pengajian umum di Islamic Centre of Quebec. Dias sudah lebih hapal Provinsi Quebec karena ini tahun kedua ia di sana.
Pusat Kebudayaan Islam Kota Quebec adalah organisasi yang didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, sosial dan ekonomi dari komunitas Muslim yang tinggal di Quebec City. Tempat utamanya adalah di Masjid Agung Kota Quebec.

Usai mereka shalat zhuhur berjamaah di masjid, mereka mulai mendengarkan ceramah agama dari beberapa ulama lokal dan pendatang.
Karena berada di barisan cukup depan meskipun duduk di bagian perempuan Medina bisa melihat penceramah itu dengan jelas.

Saat pembawa acara memanggil penceramah kedua itulah matanya dibuat terkaget-kaget. Sang MC memanggil seorang bernama Nolan Abdurrahman sebagai penceramah yang dipandang memiliki kemampuan di bidang hukum Islam.
Medina hanya terbelalak ketika tahu sosok yang dimaksud adalah Prof. Nolan dosennya sendiri!
Jadi ternyata dia seorang muslim?. Bule mualaf?.
"Mbak ternyata kenal dia?" Tanya Dias.
"Dosen saya. Dia juga pakar antropologi hukum".
"Saya sudah baca buku motivasinya. Seru habis. Jadi dia masuk Islam 2 tahun lalu setelan melakukan penelitian dan tinggal di Aceh. Dia membaca syahadat di depan ulama-ulama Aceh di Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang terkenal itu lho. Keren kan." celetuk Dias. Jujur membuat Medina sangat terperangah. Masak sih?.

Buku motivasi?. Ya ampun Medina baru keingetan sebuah buku hadiah Prof Dahlia yang ia lihat di pesawat dan ia belum menyentuhnya sama sekali. Ternyata penulisnya dia?!
***

Akhirnya Medina menemukan buku yang berbungkus plastik itu di antara buku teks yang sengaja ia bawa dari tanah air. Dilihat plastiknya yang sudah sedikit terbuka ia yakin Prof Dahlia sempat membacanya dulu.
Judul buku itu SOUL ADVENTURE, petualangan jiwa. A motivation book ditulis oleh Nolan J. Ramirez.
Medina membuka lembar pertamanya. Terselip sebuah memo kecil dari Prof Dahlia.

“Prof. Ramirez, usianya mungkin 5 tahun diatas kamu, Medina. Kenalan saya waktu kuliah dulu. Dia sudah jadi profesor di usia 32 tahun. Penelitiannya banyak. Ia seorang mualaf, pegiat Masjid dan Islamic Center di Ontario dan Montreal. Ia tengah mencari jodoh seorang muslimah. Dia sangat terobsesi dengan perempuan Asia. Mungkin karena pernah tinggal di Indonesia.
Waktu membaca biodata aplikasi beasiswa mu dulu ia bilang ingin berkenalan. Tapi saran saya bacalah bukunya dulu sampai selesai. Engkau akan mengenal dirinya dengan baik.”
Tanda tangan Profesor Dahlia terukir di bawahnya.

Seketika jantung Medina berdegup kencang. Apakah Mister Nolan memang jodoh yang ia harap? Tapi...dia bule. Ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan lelaki bule!

==========

Jam di dinding kamar sudah menunjuk angka 11 malam. Beberapa rekan satu apartemen di pinggiran Montreal sudah lelap dalam mimpinya.
Tapi tidak gadis itu. Mata Medina masih terpaku menelusuri lembar demi lembar Soul Adventure. Semakin lama semakin penasaran mengikutinya.

Sebenarnya ia sudah bisa membaca garis besar novel motivasi Nolan Ramirez ini. Sebuah pencarian jati diri, tapi dikemas dalam bahasa tutur yang asyik dan mengalir sehingga tak nampak sebagai karya berat. Banyak personifikasi dan bahasa metafora yang mungkin hanya bisa diserap oleh mereka yang memiliki rasa humor berkelas. Ia pun kerap mengulangnya.
Jangan-jangan aku yang kurang asyik ya, benak Medina.

Bab-bab awal Nolan berkisah bagaimana petualangan hidupnya yang tak tentu arah dan semau gue karena dia dibesarkan dalam keluarga yang bercitarasa atheis.
Tapi ada satu pantangan yang benar-benar ia patuhi meski hidup dalam kebebasan tak berbatas karena takut mendapat kualat sang nenek dan ibunya; seks bebas. Sampai usia 20an ia bahkan diceritakan ta punya pacar.

Serious??. Untuk sosok yang mirip Justin Trudeau di belantara negara barat?

Ayahnya adalah ilmuwan tangguh yang sangat mengagungkan logika dan kebebasan berpikir. Ibunya seorang pekerja seni yang lukisannya banyak dipuja para aliran surealisme.
Adventurenya bermula di halaman 125, ketika umur 24 tahun ia berkelana untuk merayakan kelulusan magisternya di bidang hukum. Jadi setelah lulus bachelor alias sarjana, Nolan mengambil kuliah magister di 2 tempat. Satu fakultas hukum dan satunya lagi antropologi di 2 universitas yang berbeda.
Tahun 2003 itu ia mendapat biaya fieldtrip free ke Aceh bersama seorang kawannya.
Di Aceh itulah ia bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis anak dari pemangku adat namanya Cut Medina.

Deg!. Medina terperanjat dan tarik nafas. Jadi...apakah karena namanya sama dengan Cut Medina, lelaki itu menyimpulkan aku dari Aceh? Atau karena namanya sama pula profesor muda itu ingin berkenalan dengannya?.
Ah,.. kenapa tiba-tiba ia jadi tak suka. Semacam pelarian saja. Pelarian apa? Entahlah. Lelaki itu masih menyimpan misteri bagi Medina.
Yang jelas Cut Medina, gadis yang digambarkan oleh Nolan sebagai perempuan Asia yang berwajah klasik namun berkarakter itu membuat jiwa sang penulis sedikit goyah dengan pandangan hidupnya selama ini.
Akan tetapi itu tak serta merta membuatnya tertarik dengan Islam. Agama yang dipeluk begitu hangat oleh gadis bernama Cut Medina itu , karena baginya agama adalah hambatan, mengekang kreativitas berpikirnya.

Medina mencoba membayangkan secantik apa sosok bernama Cut Medina yang sepertinya memiliki tempat khusus di jiwa Nolan yang tengah berpetualang.
Namun...dada Medina tersentak ketika di beberapa lembar berikutnya ternyata ada kejadian yang memilukan. Dan itu juga mempengaruhi perjalanan hidup Nolan?

"Jadi, Cut Medina meninggal sebagai salah satu korban musibah tsunami 26 Desember 2004?. Inna lillahi" Medina kaget sendiri dan menutup mulutnya.

Sekarang menjelang akhir tahun 2015. Sebelas tahun yang lalu, berarti. Medina mencoba mengingat kembali peristiwa itu yang jelas ia mengetahuinya dari berita. Siapa yang tak tahu kisah tsunami Aceh yang merenggut ratusan ribu korban jiwa?. Bahkan Mama pernah bilang ada saudaranya yang menjadi korban.

Nolan lalu pulang ke Kanada dan melanjutkan kembali studi S3 nya dari tahun 2005-2008. Peristiwa Aceh itu mulai mengubah pandangannya tentang hidup. Bahwa kekuatan manusia tiada arti apa-apa saat ditaklukan oleh kekuatan alam.
Selama 8 tahun selain sibuk dengan penelitian-penelitian akademisnya, jiwanya berpetualang dari satu sumber keyakinan ke keyakinan lain untuk memenuhi kehausannya akan kebenaran hidup. Ia mempelajari beragam agama tak terkecuali Islam. Bahkan ia pun beberapa kali tamat mendalami Al Quran, ungkapnya.

Tahun 2011 ia dinobatkan jadi profesor termuda di almamaternya, MGU.
Berkat fellowship (beasiswa untuk penelitian) yang diterima dari sebuah lembaga dunia ia terbang ke Aceh kembali akhir tahun itu dan menetap di sana selama 3 tahun untuk penelitian tentang hukum adat.
Puncak soul adventurenya adalah ketika tahun 2012 ia memutuskan menjadi mualaf dan berikrar syahadat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh.

"Wow..sebuah perjalanan hidup yang sangat fantastis. Jadi baru setahun juga ia kembali ke Kanada setelah 3 tahun terakhir tinggal di Aceh?. Pantas sajà bahasa Indonesianya masih terdengar fasih", gumam Medina.
Selama setahun ini Nolan Ramirez banyak beraktivitas di Islamic Centre of Quebec.
Akhir petualangan yang mengesankan.
***

Medina melihat Meghan yang sudah nongkrong di kelas pagi itu.
"Wah tumben sudah duluan sampai" sapa Medina.
"Aku tak mau telat mengikuti kelas Prof Ramirez". Ia tertawa menyeringai.
Wih, diam-diam Meghan mengagumi cowok itu?. Akankah menjadi saingannya?.
Please Medina jangan norak, bisik hatinya.
Sepertinya dia belum tahu kalau Nolan itu seorang muslim. Tapi ah apa pentingnya ia kasih tahu kata hatinya lagi.

Sejak jadi mahasiswi S3 di MGU, baru 3 kali ia ketemu dengan Nolan Ramirez. Ia pun baru ngobrol dengannya 2 kali. Satu di taman satunya lagi pun karena tak sengaja. Itu sebelum ia melihatnya di Islamic Centre.
Waktu itu ia kelaparan. Bekal dari apartemen yang ia sewa berempat dengan mahasiswi lain ketinggalan. Di depan perpus ia berpapasan dengannya.
"Hei, Medina. Kamu mau kemana?" Tanyanya.
Ia sangat kaget karena Prof Nolan nampak akrab sekali memanggilnya. Ya dia pikir lelaki itu sudah lupa namanya. Sebagai dosen beberapa mata kuliah, tentunya mahasiswa yang ia ajar banyak.
"Ke kafe. Bekal saya ketinggalan, Prof" jawabnya jujur banget. Dan untuk kesekian kali Medina menangkap senyum humblenya.
"Saya antar".
What?!
"Eh...eh nggak usah Prof. Saya sudah tahu tempatnya". Maksudnya, Medina memang belum pernah ke kafetaria kampus tapi sudah tahu jalan ke arah sana.
"Kamu muslim kan, jangan sembarangan makan di tempat yang belum kamu ketahui." Deg!. Medina baru nyadar.

Tapi saat itu ia belum tahu posisi Nolan. Pikirnya mungkin ia sekedar ingin membantu dan mengingatkan.
Sambil jalan mereka ngobrol. Ya ampun, baru dia kali mahasiswa yang diantar dosen hanya untuk cari sarapan. Tak tanggung-tanggung profesor pula.
"Penelitian apa di Aceh, Prof?" Akhirnya Medina menyampaikan uneg-uneg penasarannya.
Mimik pria dengan brewok di pipi itu sedikit kaget.
"Qanun" tukasnya singkat.
Apa?. Qanun?...oh maksudnya Qanun Aceh?.
"Apa menariknya peraturan daerah rakyat Aceh di sana?." Setahu Medina qanun itu kayak peraturan yang mengatur pemerintahan dan masyarakat di Aceh.
"Banyak sekali, Medina" jawabnya. Ia masih memasukkan tangan ke saku jasnya. Syal di lehernya makin membuatnya terlihat keren. Medina jadi grogi.

Sayang sekali kaki mereka sudah keburu sampai. Nolan menunjukkan kafe yang menurutnya bersih dan halal di kampus itu. Letaknya agak di pojokan. Jadi kantin di sana terdiri atas beberapa gerai kedai begitulah.

"Hei...hei...Nona Medina kamu bengong apa ngantuk?" Medina terkesiap. Tampak Ken, mahasiswa Jepang itu sudah duduk di samping kirinya. Ia menyodorkan permen.
Medina menggeleng.
"Thanks. Saya lagi ingat rumah" ujarnya bohong.
"Wow..baru dua minggu sudah homesick?" Ken tersenyum ramah. Medina hanya angkat bahu.

Seseorang masuk. Perempuan dengan blazer rapi. Rambutnya pirang sebahu dengan kacamata list putih. Cantik. Siapa dia?. Kenapa bukan Prof Nolan yang lagi ditungguinya?.
"Okay, saya Doktor Rosemary, panggil saja Rose pengganti sementara Prof Nolan. Kebetulan dia lagi di luar kota seminggu ini."
Yaaaaah. Terdengar suara kecewa Meghan. Medina dan Ken tertawa lirih.
Aih kemana dia?. Katanya mau berkenalan, tapi pergi kok nggak bilang-bilang?. Kayaknya tak serius. Tiba-tiba suara Medina bergemuruh.
"Sst...katanya dia mantan pacar Prof Nolan. Cantik ya". Meghan ngomong sendiri. Medina menjengit.
Bisa saja, mungkin dulu sempat pacaran. Bukankah semua orang punya masa lalu. Ia seolah menghibur dirinya.

Tiba-tiba pagi ini mood Medina terasa kacau.
***

Ia tahu nomor dosen itu, alamat emailnya juga tahu. Tapi apa mungkin dia berani berbasa-basi menanyakan keberadaannya?. Seharian ia mengontak Jeane tapi handphone nya non aktif.
Kenapa tidak Medina, Rahman saja berani kau lamar masak sekedar basa-basi saja tak bisa?.
Suara hatinya terdengar riuh rendah. Tidak. Ia tak mau mengulangi 'kekonyolan'nya dulu meski dengan dalih masuk akal.

Tiba-tiba ia teringat Prof Dahlia. Ia belum menghubunginya sejak di Montreal. Dasar anak bimbingan yang tak tahu terima kasih!
Ia pun mengirim sms.
"Prof, terima kasih bukunya. Saya sudah baca. Dan Prof Ramirez dosen saya. Ia sudah mengajar 2 kali. Saya juga sudah dengar ceramahnya di Islamic Centre."
Prof. Dahlia membalas.
"Apa kalian sudah ngobrol?"
"Ngobrol apa?"
"Berkenalan menuju keseriusan." Dada Medina berdesir entah kenapa.
"Tidak Prof. Dia hanya mengantar saya beli sandwich he..he.." gurau Medina.
Setelah itu Prof Dahlia tak menjawab lagi.

Medina masih mencari literatur untuk tugas makalah diskusi lusa ketika ada notifikasi email masuk di layar notebooknya.
Yahoo messenger berkedip.
Siapa mengajak chatting malam-malam begini?
Ia mengklik sesaat. Prof. Ramirez!. Panjang umur.
Kenapa dia mendadak deg-degan.
"Assalamualaikum Medina"
"Waalaikumussalam, Prof. Ramirez??. Benarkah?"
"Ya. Call me Nolan, please. Saya nggak lagi ngajar kamu."
"Oh saya pikir mau nagih tugas makalah buat minggu depan."
"Bisa tebak saya lagi di mana?"
"Di laptop saya"
"Kamu bisa bercanda juga. Ha...ha"
"Saya kan belum jadi professor"
"Ha...ha..saya lagi di Indonesia"
Medina tersentak. Benarkah?. Ya bisa saja. Dia kan sering jadi dosen tamu.
"Oya?. Pasti di Aceh"
"No. Di Manado, Sulawesi. Ada undangan acara AICIS dari MoRA, Kementerian Agama"
"Wah...pasti seru. Kasih ceramah agama ya kayak di Islamic Center yang lalu?"
"Bukan. Ini semacam pertemuan ilmuwan muslim. Pesertanya selain dosen-dosen juga peneliti dari dalam dan luar negeri. Kebetulan ada kerjasama Kementerian Agama dengan MGU"

Wew...panjang penjelasannya.
"Medina, lusa saya mampir ke Jakarta. Boleh saya main ke rumah kamu?"
Deg!!. Ngapain?
"Kok diam?"
.......
"Boleh saja. Tapi Papa saya agak galak"
"Ha..ha..jadi boleh?"
"Untuk apa?. Mau laporin kalau saya waktu itu telat masuk kelas?"
"Mau ijin, menemani Medina di Montreal"
"Katanya nggak boleh jalan-jalan sama orang asing?"
"Saya mau minta ke mereka, kamu jadi istri saya".
"Apa??"
Medina mau pingsan. Secepat itu!??. Benar-benar lelaki misterius!.
Tapi masak sih dia tolak?. Mungkin nggak papa dapat bule. Jodoh kan dari mana saja?. Yang penting seiman.
"Medina...kalau kamu diam saja berarti mau ya."

Gubrak!.

Bersambung#3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER