Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 12 Juli 2020

Medina #1

Cerbung
Karya : W. Rusdi

Perempuan muda berambut ikal di depan Medina terisak-isak perih.
“Saya sudah nggak tahan, Mbak Dina.  Saya ingin bercerai.  Harus. Dua tahun ini saya mengalah hanya karena anak.  Tapi saya capai lahir batin.  Dia tak hanya menyakiti fisik saya yang semakin kurus, tapi juga hati saya dengan perempuan-perempuan simpanannya tanpa merasa bersalah” tangisnya.

Medina memeluknya dan membiarkan tangis sang perempuan membanjir membasahi lengan bajunya.

Entah dia ibu muda ke berapa yang ia dampingi dalam konseling KDRT di bawah LSM Karisma yang ia menjadi salah satu pegiatnya. LSM ini lebih seperti lembaga bantuan hukum cuma-cuma untuk membantu wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga.

Dan ternyata jumlahnya kian banyak, membuatnya  ikut-ikutan perih jika memikirkan tentang pernikahan.  Bukankah harusnya pernikahan itu menjadi pelabuhan yang membahagiakan.
Kenapa justru sebaliknya?. Padahal mereka rata-rata sudah mengenal pasangan sebelumnya.
Bahkan ada yang sudah melewati masa pacaran beberapa tahun.
Lalu ia pun berkaca pada dirinya sendiri yang tahun ini menginjak 30 tahun dan belum ada tanda-tanda pasang janur kuning di rumah.
Sementara semua penghuni rumah sibuk bertanya-tanya terus. Kapan nikah, kapan nikah?. Seperti menanyakan cemilan pinggir jalan saja.

"Kapan mau nikah, Nduk?". Dari sekian kepala yang bertanya maka pertanyaan mama lah yang paling sering membuatnya tersayat.
“Ayolah please Dina, positif thinking. Tak semua laki-laki seperti suami-suami klien kamu itu. Yang baik dan bijaksana masih banyak di luar sana” ujar Mbak Yaya, rekannya di kantor.
Ia peneliti senior, entah sudah berapa ratus kali menangani masalah sejenis.

Jadi kru LSM Karisma terdiri dari dosen dan peneliti-peneliti perempuan muda di bidang sosial, hukum dan kemasyarakatan. Ibaratnya mereka tempat mengadu. LSM ini mendapat support dana dari berbagai kalangan yang concern pada dunia perempuan.
Medina bergabung sejak 2 tahun lalu setelah terdaftar sebagai asisten dosen sekaligus mahasiswi pasca sarjana. Selain sebagai tempat untuk mendapatkan sumber data penelitian, ia juga ingin jadi penyeimbang. Medina ingin membantu permasalahan perempuan namun dengan pendekatan agama tentunya. Beberapa rekannya memang ada yang mengikuti aliran feminis dari yang biasa hingga akut. Dan baginya itu hal yang harus diluruskan.

“Iya sih, Mbak. Tapi njaringnya yang susah” gurau Dina kembali menimpali Mbak Yaya perihal jodoh. Tentu saja ia hanya sebatas bercanda.
“Ikan kali dijaring. Atau mau enggak saya kenalin dengan seseorang. Dia single juga sepertimu. Pekerja keras, bertanggung jawab deh pokoknya.”
Medina cuma nyengir dan langsung pamit menyalami Mbak Yaya. Ia yakin Mbak Yaya nggak serius.  Karena ia tahu persis standar pria idaman Medina.
***

Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.

Medina bukan tak mau buru-buru menikah, bukan tak mau juga dijodohkan. Hampir semua keluarga besarnya urun rembug untuk mencari solusi agar ia segera melepas kesendiriannya.
Baik kakek, nenek, mama, papa bahkan om dan tante. Semuanya. Seolah jika belum berhasil menikahkan Medina, mereka belum bisa berbahagia. Belum bernafas lega.

Bagi Dina kondisi ini tak mengenakkan sekaligus menyedihkan dan lama-lama membebani. Ia pernah dikenalkan oleh teman-temannya, baik yang di kampus maupun pengajian. Tapi ya namanya belum jodoh.
Bahkan yang ta'arufpun gagal karena tiba-tiba sang lelaki mundur teratur karena tahu dia sarjana hukum. Lah emang kenapa?. Memangnya kalau perempuan ahli hukum, suaminya bakal sering kena hukum?. Ha..ha.. ngaco.

"Ma, mencari laki-laki mungkin mudah tapi mencari suami yang mau mengayomi Dina dalam suka dan duka,  jadi pemimpin rumah tangga itu tak gampang. Dina nggak pilih-pilih, tapi Dina terus berdoa agar Alloh memberikan sosok yang tepat buat Dina."
"Din, jangan terlalu lama. Ingat Nak, usiamu tahun ini 30 tahun. Adikmu saja sudah punya 2 anak" papar Mama seperti yang sudah-sudah.
Aih Mama, kenapa engkau tak bersyukur, dan hilang gembira hanya karena Dina belum ketemu jodoh, pikir anak sulungnya itu.

Mama terdiam sesaat.
"Din, kenapa tak kau coba memperbaiki hubungan... maksud Mama, dicoba lagi dilanjutkan perjodohan sama Nak Jodi. Kemarin Mama ketemu dengannya. Sepertinya dia masih mengharapkanmu"
"Tidak  Ma, ..sekali dia kasih persyaratan nanti kalau nikah, Dina harus lepas jilbab saat itu pula Dina nggak sreg sama Jodi Ma. Bagaimana bisa, belum apa-apa sudah sok mengatur ini dan itu."

Medina ingat Jodi, lelaki kesekian yang  dijodohkan Mama dan keluarga untuknya. Hanya karena mereka takut akan bayang-bayang 30 usia Medina. Mereka bertambah khawatir omongan kiri kanan tetangga tentang statusnya yang masih jomblo.
Sedangkan Medina sendiri yang menjalani berusaha teguh dalam kesabaran. Ia yakin makin sabar, makin baik jodoh yang akan ditetapkan Alloh untuknya.
"Mama nggak usah sedih ya mikirin Dina." Akhirnya ia pun memeluk Mama dengan  sejuta haru.
"Insya Alloh Dina akan ketemu jodoh dan menikah. Optimis!" serunya menatap mata Mama yang seolah menjawab pelan.
"Tapi kapan itu datang?"
***

Namanya Rahman. Mahasiswa S2 sama sepertinya.  Mereka sama-sama  aktif di Ikatan mahasiswa Pasca.
Tapi usianya 3 tahun di bawah Dina. Sebenarnya, Medina nggak terlalu tertarik dengan Rahman akan tetapi sikapnya yang dewasa, kebapakan dan wawasannya yang luas jika berdiskusi di kelas membuat Rahman memiliki tempat tersendiri di hati dan pikiran Dina.

Dan satu lagi yang jelas Rahman pun masih jomblo alias sendiri.  Medina tahu Rahman teman dekat Mas Fikri suami Putri sahabat karibnya yang kini sibuk bisnis online dan baru melahirkan anak ketiganya. Entahlah, Dina merasa Putri bisa membantunya.

"Maksudmu, kau akan meminta Rahman untuk jadi suami?. Melamarnya?" Putri agak terpekik seakan tak percaya dengan tekad Medina yang lebih cocok dibilang nekad.
"Ya..ada yang salah?" ujar Medina. Baginya ini bukan keterpaksaan karena bayang-bayang 30 yang kerap dipermasalahkan Papa Mamanya namun lebih karena tuntutan ikhtiar yang diperintahkan agama.
"Tapi Din,...bagaimana kalau dia menolak. Kau nanti akan malu sendiri." jawab Putri.
"Aku yakin dia lelaki muslim yang baik. Pasti tak akan ember pada siapa pun"
"Kau jatuh cinta padanya?" Putri sedikit tersenyum. Ia tahu betul watak Medina dari dulu jika punya suatu keinginan pasti akan diperjuangkannya habis-habisan.
"Cinta?"
Medina tersentak dalam hati. Entahlah. Sepertinya kosa kata itu tak diingatnya lagi di usianya sekarang. Ia tak mampu mendefinisikan perasaannya seperti apa.

Tapi apakah benar-benar salah jika wanita melamar pria?
***

Medina berusaha meyakinkan Putri yang masih terbengong tak percaya di tempat duduknya.
"Ini bukan masalah cinta, Put. Kau tahu aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Cinta urusan belakangan karena bisa kita minta bagaimana rasanya sama Alloh.
Tapi ini soal pernikahan yang sakral dan jangan sampai ada kebuntuan di tengah jalan hanya karena harapan yang terlampau jauh dan tak bisa direalisasikan karena gagal memahami pasangan."

Sungguh Putri agak bingung dengan kalimat Medina yang terkesan kelas berat.
"Put, aku sudah menangani pasien-pasien KDRT puluhan orang bahkan diantaranya ada yang  suaminya tokoh di masyarakat dan awalnya jadi imam yang baik bagi mereka. Tapi itu ternyata tak cukup. Dan aku tak mau perkawinan yang kujalani kelak hanya sekedar melegalkan hubungan perempuan dan laki-laki.  Sedikitnya aku sudah punya gambaran siapa Rahman, bagaimana dia dan visi perjuangannya ke depan. Itu saja yang kupegang".
Wah kedengarannya idealis sekali.

"Bukankah kau bilang, jodoh harus dikhtiarkan?" lanjutnya membuat Putri sedikit tersudut.
"Iya...tapi kalau perempuan duluan yang meminta aku jarang dengar, sepertinya kurang baik begitu" ujar Putri dengan nada polos.
"Put, kau tahu hadits yang dikisahkan oleh Anas Bin Malik tentang seorang perempuan yang menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah?.  Waktu itu anak perempuan Anas menghardik bahwa perempuan itu tidak baik karena tidak tahu malu, tapi oleh Anas justru sebaliknya ia katakan bahwa dia perempuan baik karena memilih dan menginginkan Rasulullah yang shalih. Dari situ lah Imam Bukhari selaku periwayat hadits membuat kesimpulan bahwa seorang muslimah dibolehkan melamar laki-laki karena keshalihannya ” papar Medina.

Putri mengangguk takjub kepada sahabatnya. Sungguh untuk yang satu itu Putri memang paling salut sama Medina, gadis kuat dan cerdas yang ia kenal sejak SMA.
***

“Apa rencanamu selesai tesis ini, Din?” Bu Dahlia, dosen pembimbingnya yang bergelar profesor itu paling semangat jika bicara kemajuan anak bimbingannya. Hari ini Medina melengkapi lembar pengesahan untuk mengikuti ujian sidang dalam pekan ini.
“Yaaa.., tetap mengajar dan  meneliti lah Prof” jawab Medina kurang semangat. Ia memikirkan jawaban Rahman yang ditunggunya pekan ini juga.
“Ada tawaran menarik. Nanti saya forward ke kamu. Saya yakin kamu pasti bisa dan lulus jika mengambilnya.” Medina tertawa penasaran. Apakah dia juga akan mengenalkan seorang jejaka untuknya seperti halnya keluarganya?. Kayaknya sih nggak mungkin.
“Apa itu?”
“Beasiswa S3 ke Kanada. Cocok banget dengan bidang yang kamu ambil. Aplikasi paling lambat minggu depan.”  Waduh. Baru juga hampir selesai, mau kuliah lagi?. Padahal ia tengah menanti sesuatu yang lebih mendebarkan jiwa dan membuatnya susah tidur.
“Tapi kan ijazah saya belum keluar Prof“ ujar Dina ngeles.
“Tak apa, nanti saya kontak rekan saya di sana. Dulu kan saya kuliah di sana. Bisa nyusul. Yang penting kamu harus lulus tes online saja.”
Dina tak mengiyakan atau juga menolak. Ia hanya bilang nanti dipikirkan kembali.

Dan setelah ujian sidang berlalu dengan sukses seiring usaha kerasnya untuk lulus tepat waktu karena tugas belajar dari kampus tempatnya mengajar malam ini Medina dikejutkan suara telepon dari Putri.

“Bagaimana Put?” katanya tak sabar. Sungguh mendengar jawaban Rahman lebih membuatnya was-was ketimbang ujian sidang yang harus dilaluinya di depan dosen penguji.
“Sebenarnya sudah dari kemarin. Tapi kata Mas Fikri hari ini kamu ujian sidang jadi saya tunda dulu.  Sebelumnya aku ngucapin selamat ya sudah lulus”
“Ok. Terima kasih”ucap Dina datar.
“Dina, maaf aku belum bisa membantumu.” kalimat Putri menggantung.
“Maksudmu?”
“Rahman tak bisa menerimamu “ jawab Putri bagai pukulan telak di dada Dina.
“Apakah…apakah dia memberikan alasan?” kejar Medina berusaha tenang meski tentunya jiwanya agak terbakar.
“Tidak, dia hanya bilang kamu terlalu baik untuknya”
What?!!. Alasan macam apa itu?.
“Hanya itu?”
“Iya. Sabar ya Din. Insya Alloh masih banyak pria shalih di dunia ini. Dia yang paling tepat untukmu. Cuma mungkin nggak sekarang, dan orang itu bukan dia. Aku yakin”.

Medina terdiam mencoba merenungi kalimat Putri. Ya, ia sudah menyiapkan resiko itu seperti kata-katanya dulu.
Meski terpukul, ia harus tetap tegar dan berusaha selalu optimis. Cara lain adalah mencari rahasia hikmah dari semua ini.
Apakah ini cara Alloh memberinya kesempatan untuk kuliah lagi?.

Ssst...Dina, kalau nanti kamu bergelar doktor apa nggak semakin susah dapat jodohnya?. Bisiknya bertalu-talu.
Tapi, itu kesempatan baik, Din. Daripada ngejar jodoh mati-matian tapi hasilnya belum pasti juga. Sisi yang lain ikut bicara.

Di perpustakaan Medina bertemu Rahman. Lelaki itu tampak canggung menyapanya.
"Mbak Dina, maafkan saya"
"Untuk?" Jawab Medina tertunduk. Baru terasa malunya sekarang. Kenapa ia berani dan nekad melamar dia?. Meski lebih muda tapi dia begitu tenang berwibawa, mungkin karena fisiknya juga cukup menjulang.
"Tentang yang disampaikan Bang Fikri" ujarnya.
"Nggak papa. Nggak masalah"
"Saya tak bisa menolak gadis pilihan Bunda saya di Padang. Dia masih adik kelas saya waktu S1."

Buat apa Rahman menjelaskan. Lelaki muda akan memilih sosok  'Aisyah' daripada 'Khadijah'. Bukankah itu hal yang wajar dan manusiawi?.
***

Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.

Medina melambaikan tangan kepada Papa Mama dan keluarganya yang dengan derai mata melepasnya di Soekarno Hatta.
Bismillah, Kanada I’m coming, bisiknya. Dina yakin ini keputusan yang tepat.  Bukan…bukan karena ia ingin melarikan diri dari kenyataan apalagi bayang-bayang 30 itu.
Tapi ia yakin akan rencana Tuhan. Rencana Alloh dibalik sebuah kesempatan yang dimudahkan. Ia lulus tes beasiswa dan aplikasinya pun diacc begitu mudah.
Dukungan Profesor Dahlia selaku  pembimbingnya makin membuatnya semangat. Semua persiapan terlewati dengan lancar. Bukankah itu juga rejeki dan jodoh?

Sehari sebelum keberangkatan kemarin Medina menerima undangan pernikahan dari Rahman. Sosok yang sempat mencuri hatinya meski mungkin belum disebut jatuh cinta. Ia tak cemburu atau bahkan mencoba mencari celah untuk membenci Rahman. Bagaimana pun pemuda itu berhak untuk menentukan sikapnya sendiri.
"Medina, jangan sedih soal jodoh. Siapa tahu belahan jiwamu ada di Montreal, Kanada." ujar Prof Dahlia tersenyum.
"Ah Prof bisa aja. Saya sudah serahkan hidup saya sama Alloh. Jodoh maupun rejeki. Mohon doanya ya Prof" Mata Medina berkaca-kaca memeluk dosen pembimbingnya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri saking dekatnya.

Setelah setengah jam pesawat take off,  tiba-tiba ia teringat bungkusan coklat pemberian Prof. Dahlia kemarin. Dosen berusia lima puluhan itu mewanti-wanti agar membukanya nanti, jika ia sudah terbang keluar dari tanah air. Spontan Medina penasaran. Ia pun membukanya. Sebuah buku motivasi dan pengalaman perjalanan, pengarangnya Nolan J. Ramirez.
Ia belum tertarik untuk membacanya. Dibiarkannya buku yang masih bersampul plastik rapi itu. Sehebat-hebatnya motivasi dari orang lain, tetap motivasi dari diri sendirilah yang harus dibangkitkan.

Come on Medina, keep on spirit!. Lupakan Rahman dari kepalamu.
***

Seorang perempuan bercelana jins sepatu boots dengan rambut dikuncir menyapa Medina di Bandar Udara Internasional Pierre Elliott Trudeau, Montreal.
"Hai, apa anda Medina?. Medina Pratomo?" Tanyanya dalam aksen inggris Amerika.
Prof Dahlia kasih pesan bahwa akan ada kenalannya yang akan menjemput dia di Bandara Trudeau, di Kanada.
"Aku Jeane. Mrs Dahlia sudah menghubungi kami" Dia menyalami Medina dengan tingkah bersahabat.
"Oh thanks. Kupikir kenalan Prof Dahlia seorang ibu-ibu paro baya" Gurau Medina sambil melirik gadis periang itu.
"My brother. Aku cuma diminta menjemputmu dan mengantar ke apartemen tempatmu tinggal selama di sini. Okay welcome to Montreal, Medina!." Mereka berjalan beriringan. Medina menarik kopernya yang padat berisi.

Tak jauh di belakang mereka seorang lelaki dewasa mungkin usianya 35 tahunan mengikuti mereka. Ia mengenakan sweater coklat. Kulitnya putih dengan mata biru. Jika tak bercambang yang menutupi pipi dan rahangnya sekilas dengan hidungnya yang tinggi ia mirip perdana menteri negara tersebut, Justin Trudeau.

"Ternyata dia lebih cantik dari fotonya" gumamnya tersenyum.

Bersambung#2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER