Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 14 Juli 2020

Medina #3

Cerita bersambung

Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.

Tapi,...itu asumsi semata. Tidak kalau Alloh sudah menetapkan. Tak perlu mengejar ke sana kemari, bahkan cukup mengendap-endap saja atau bahkan tanpa mengundangnya ia datang menghampiri.

Jadi, dunia ini hanya bisa diraih dengan kesabaran yang tak mengenal limit atau kuota. Siapa bersabar akan mendapatkan setimpal dengan kesabarannya. Semakin sabar semakin baik mendapatkan.
Agaknya itu yang Medina rasakan.

Matanya berlinang saat Mellya adiknya mengirimkan foto-foto itu via email. Foto kedatangan Prof Ramirez yang didampingi Prof Dahlia dan suaminya ke rumah Medina di Jakarta.

Sore itu, Nolan tampak beda sekali. Cambangnya dicukur rapi. Ia mengenakan baju koko warna krem dan celana coklat tua. Terlihat begitu syahdu bersahaja. Dia memang ganteng diapakan apa saja. Mungkin pakai sarung kotak-kotak saja tetap ganteng juga.
Andai Medina ada di sana, pasti ia sudah berlinangan airmata antara haru dan bahagia.
Mellya bercerita kalau Bu Dahlia lah yang banyak bercerita kalau lelaki bule itu adalah dosen Medina.
Saat itu Nolan hanya minta maaf karena datang mendadak, waktunya sangat terbatas di tanah air. Bahkan esoknya ia harus segera pulang ke Kanada sesuai jadwal pesawat yang sudah dipesan.
Kalau tak keberatan ia meminta waktu pernikahan dilangsungkan akhir bulan Desember 2015, pas liburan akhir tahun tiba. Selain di Kanada lagi season greetings ala barat, saat itu juga tengah libur akhir tahun.
***

"Bulan depan?"
Gila ya Prof. Nolan Ramirez, sekali ada maunya langsung gebrakan dahsyat, gumam Medina.
Apa mungkin sudah jodohnya begitu. Apalagi yang dia ragukan?.
Bukankah ia tengah menanti-nanti jodoh untuk menghapus bayang-bayang 30 yang bagi keluarganya menyeramkan?.

"Saya tak mau lama-lama, nanti malah tidak bisa ngajar selama lihat kamu di kelas," ujarnya lewat pesan. Entah becanda entah serius.
Kalau serius?. Yaelah, bule kok bisa baperan juga sih.

"Yang penting kamu tak terpaksa kan Medina?"
Ya ampun bagaimana Medina sanggup untuk menolak ditanya sesopan itu. Ukuran sangat sopan bagi pria western sepertinya.

Dan begitulah akhirnya pernikahan pun dilangsungkan di sebuah gedung pertemuan di Jakarta hari Minggu, 20 Desember 2015 dengan menggunakan resepsi pernikahan adat Aceh ketika akad nikah dan Jawa saat resepsi sesuai suku orang tua Medina.
Saat itu teman-teman kampusnya dulu datang tak terkecuali Rahman dengan istrinya yang cantik dan masih sangat muda.

Orang tua Nolan bersama Jeane ikut menghadiri dan terlihat bahagia. Akhirnya anaknya menikah juga meski dengan perempuan dari negara jauh di Asia. Tak hentinya mereka mengabadikan foto saat anaknya pakai blangkon Jawa itu. Ya ampun...jodoh..jodoh.

Selama ini mereka mengira Nolan hanya mau didampingi buku-buku tebalnya dan jurnal-jurnal penelitian yang memenuhi kamar apartemennya. Tapi sebentar lagi hidupnya pasti akan berubah.
***

Saat masuk kamar pengantin di rumah, giliran Medina kebingungan mau manggil suaminya apa.
Nolan masih di kamar mandi saat Medina duduk di meja rias usai mencopoti atribut pengantinnya. Ia tengah menyisir rambutnya.

"Mas Nolan, Bang Nolan,...Kak?...aduh apa ya?. Kok kayaknya tak ada yang cocok."
Ia jadi terpekur sendiri.
"Kamu mikirin apa Medina, mikirin saya?" Tiba-tiba profesor itu sudah berdiri di sampingnya dan memegang pundaknya lembut.
Ya Alloh mata birunya begitu indah di mata Medina. Mimpi apa ia sampai akhirnya bisa jadi istri bule begini.
"Tidak..eh iya Prof!"
Nolan tertawa.
"Masak malam pertama juga panggil Prof?. Kita tak lagi belajar soal hukum di kampus, Medina." Jemarinya menyentuh dagu manis itu.
Medina nyengir malu.
"Saya panggil Honey aja gimana?. Panggil Mas Nolan nggak cocok."
"Nolan. It's enough," kata lelaki itu sembari membelai rambut Medina yang tergerai indah. Istrinya terlihat sangat cantik malam ini. Dulu waktu datang pertama kali ke Indonesia ia menyukai kulit khas perempuan Indonesia. Agak kecoklatan. Eksotik.

"Kalo di sini, panggil nama ke suami tanpa embel-embel nggak sopan."
"Begitu?" Mata Nolan bergerak lucu.
Medina mengangguk sembari menatap senyum humble Nolan yang tak misterius lagi. Senyum itu memang untuknya.
"I like. But Nolan, more preferable."
Setelah shalat berjamaah, Nolan membawa Medina ke ranjang pengantin mereka yang semerbak mewangi.
"Saya cinta kamu, Medina." Digengggamnya jemari Medina.
"Sejak kapan itu. Kita tak saling mengenal, Nolan?"
"Sejak membaca CV kamu. Saya mencari tahu tentangmu dan segala aktivitas kamu di Jakarta melalui Ibu Dahlia dan sosial media"
"Bukan karena Cut Medina?" Nolan tertawa lirih.
"Kenapa berpikir demikian?"
"Bukankah kamu jatuh cinta dengan gadis bernama Cut Medina di Aceh seperti yang ada di buku?"
"Medina, dia sudah lama pergi. Sebelas tahun lalu."
"I know...lalu gara-gara aku bernama Medina kamu jadi mengingatnya, begitu bukan?. Oh No, Honey itu namanya pelarian"

Mata biru Nolan sedikit menyipit.
"What the meaning of  'pelarian'?"
"Maksudnya, karena dia sudah pergi lalu kamu memindahkannya ke saya, karena mungkin nama saya sama atau jangan-jangan wajahnya mirip"
"Kalian memang mirip," ujarnya tertawa.
"Tuh kan...kamu jahat sekali." Suara manja Medina membuat lelaki itu semakin ingin menggodanya.
"No Medina. Kamu lebih cerewet...tapi saya suka. Saya suka perempuan yang cerewet." Medina merajuk. Dicubitnya pinggang suaminya.
"Please Medina, ini malam pertama kita. Saya tak mau ditanya-tanya masa lalu. Seperti wawancara saja. Saya ingin menjadi orang baru setelah menjadi mualaf. Termasuk keputusan besar ini. Menikah. Sunah Nabi kita." Ia nampak serius.

Medina mengangguk menyentuh rahang lelakinya yang sudah lumayan klimis tanpa brewok lagi.
"Sorry, i just want to know."
Medina menggerutu sendiri kenapa ia malah mengingatkan Nolan tentang gadis Aceh itu di kamar pengantin mereka?.

Gadis itu mendongakan kepala. Pandangan mata mereka bertemu. Nolan menatap Medina begitu dekat seakan berenang dalam manik mata hitamnya. Sebentar ia menangkap ranum bibir itu  lalu ia memeluk tubuh Medina kembali, membiarkan mereka bersatu untuk pertama kalinya.

Nolan biar profesor tetap tak kuasa merasakan nafas lirih perempuan yang berbaring begitu lekat di dadanya. Ini memang pertama kali mereka saling mengenal satu sama lain. Tanpa jarak. Tapi entah mengapa ia sudah merasa mengenal Medina dengan baik.
Jadi, sepertinya ia tak butuh lama berbasa-basi.

"Ah Medina.., saya tak tahan. Kamu sangat indah. Sayang kalau malam ini saya cuma memandangimu diam-diam begini," candanya.
"What??". Medina tak yakin Nolan akan berniat menyentuhnya intim secepat itu. Entahlah kenapa ia selalu berpikir profesor di depannya akan kaku dalam bersikap.
"Bisakah kita memulainya," bisiknya tersenyum. Medina menunduk malu.
"Medina..."

Nolan sang profesor muda itu memesrai wajah istrinya kembali untuk menumpahkan rasa yang selama ini dipendamnya.
Medina tak kuasa menolak. Malam itu ia merasa menjadi perempuan seutuhnya yang telah menemukan pasangan jiwanya.
***

"Honey, beneran lusa kita mau liburan ke Aceh?" Medina menyapa sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
"Sure. Saya sudah siapkan tiket akomodasi ke sana Medina. Nanti kita menginap di Banda Aceh. Kita di sana sampai tanggal 26 Desember, biasanya ada acara mengenang tsunami di halaman Masjid Baiturrahman," jawab Nolan.
"Balik ke Jakarta?" tanya Medina.
"Esoknya. Kita melewati tahun baru di Jakarta saja. Kamu punya agenda?"
Medina menggeleng.
"Kita menikah secara mendadak Nolan, bagaimana aku punya agenda,"seru Medina tertawa.

Nolan tersenyum tampan sembari merangkul tubuh Medina yang hanya setinggi dadanya dari belakang. Mencium lehernya penuh sayang.
"Sorry. Tapi tak usah takut, sampai bulan Januari mendatang agenda kita jalan-jalan. Enak kan jalan-jalan berdua. Katanya kamu suka travelling?"
"Lalu kuliahku?. Mahasiswa-mahasiswa kamu di kampus?. Enak saja!"
Nolan tertawa. Mengangkat bahunya jenaka.
"Kalau sudah di Montreal, kita traveling akhir pekan, Honey. Kecuali kalau kamu..."
"Kecuali apa?" potong Medina.
"Kalau kamu keburu hamil." Mata biru Nolan mengerjap. Medina tak kalah terkejut.
Wajah kepitingnya terlihat di kaca.
"Ya ampun, kamu sudah kepikiran ke sana?"gurau Medina.
"Saya ingin cepat punya anak. Sepuluh kalau bisa ha...ha..." Nolan tertawa berderai. Ia mencium kembali leher Medina dan mengelus perut istrinya.
"Aamiin. Saya juga mau punya anak. Tapi jangan sepuluh, Honey. Gak bakalan sanggup" sela Medina tertawa.
Lalu mereka keluar kamar karena ada ketukan pintu yang menyuruh mereka sarapan.

Tanggal 23 sore mereka sudah sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Nolan booking hotel sengaja dekat Masjid Baiturrahman. Masjid penuh kenangan baginya karena di sanalah ia berikrar kalimat syahadat dan resmi menjadi mualaf.

Malamnya sehabis shalat Isya di Baiturrahman mereka berjalan berkeliling, makan Mie Aceh Razali yang terkenal itu dan secangkir kopi Gayo panas.
Medina kaget, Nolan begitu hafal lika-liku kota Banda Aceh sementara dia sendiri yang orang Indonesia asli baru 2 kali ini ke sana. Dan tak tahu apa-apa.

Saat di Kedai Razali itu ada kejadian yang membuat wajah sang professor muda merah. Mereka bertemu dengan seorang dokter yang tengah makan juga.
"You, Profesor Nolan Ramirez?" Sapa seseorang dari belakang. Nolan terperanjat tak lama langsung mengenali.
"Hei, apa kabar Dokter Andre?. Kenalkan ini istri saya, Medina. Kami baru sampai di Aceh."
"Ohya?. Wah sepertinya kalian pengantin baru. Pasti dalam rangka honeymoon." Medina merona wajahnya.
"Ya begitulah," jawab Nolan tampak berseri.
"Ah syukurlah, semoga honeymoon kalian sukses." Ia lalu berbisik-bisik rahasia. Tersenyum sebentar lalu ijin pergi duluan.
"Bisik-bisik apa kalian?" Giliran Medina yang kepo.
"Dia menanyakan apakah malam pertama kita sukses?"
Ya ampun!. Medina cuma geleng-geleng kepala. Norak banget tuh dokter.
"Emang dia siapa sampai nanya-nanya seperti itu?"
"Dia...dia..." Nolan tertawa lucu. Wajah putihnya sedikit memerah. Ya Alloh dia kenapa?
"Dia siapa?" kejar Medina.
Nolan membisikkan pelan di telinga Medina.
"Dia aslinya dokter bedah, tapi buka praktek sunat dewasa untuk para mualaf. Saya pasiennya."
Oh ya ampun!.
"Jadi dia yang potong?" Medina menutup mulutnya.
"Sssst...!" Nolan memijit hidung Medina. Lalu tawa mereka berderai.

Malamnya mereka mengulang lagi kehangatan seperti malam-malam sebelumnya.
Maklumin saja deh yang lagi honeymoon pakai acara kejar tayang.

Pagi-pagi Nolan dan Medina sudah keluar hotel dengan sejumlah agenda ala backpackeran. Mengunjungi Museum Tsunami di tengah kota, ke PLTD Apung yakni kapal besar milik perusahaan asing yang terseret ke daratan hingga 7 kilometer, ke museum Syah Kuala, ke pemukiman nelayan di desa Lampulo, hingga ke pemakaman massal korban tsunami.

"Makam Cut Medina ada di sana."
"Kamu di mana saat tsunami itu, Honey?"
"Saya sedang ada acara bersama teman di Lhokseumawe, cukup jauh dari pusat Banda Aceh. Saya tahu Cut Medina tewas dari ayahnya."
"Dia pacar kamu ya?" Sindir Medina.
"Bukan. Mana mau gadis Aceh yang alim itu pacaran, Medina?"
"Lalu...oh kamu suka ya sama dia," susul Medina lagi penasaran.
"Oh my God, sudahlah Medina kita cerita yang lain saja. Sepertinya kamu kalau cemburu merepotkan." Nolan tersenyum.
Medina manyun.

"Oya kita siap-siap mau nyeberang ya."
"Nyeberang ke mana?"tanya Medina.
"Ke Sabang di Pulau Weh. Kamu sudah pernah ke titik nol kilometer?" Medina menggeleng.
"Payah. Bukannya Mama kamu orang Aceh?. Masak tak pernah ke sana?"
"Mama cuma numpang lahir saja di Bireun." Nolan hanya geleng-geleng kepala.

Mereka menyeberang dengan kapal feri jadwal siang lalu menginap semalam di Kota Sabang dan esoknya mengunjungi tugu titik nol kilometer. Seharian kemudian keliling wisata Kota Sabang. Ada wisata diving dan snorkeling di sana.

Sorenya mereka balik ke Banda Aceh untuk mengikuti doa bersama di Masjid Baiturrahman dalam rangka memperingati dan mendoakan korban tsunami 26 Desember 2004.
***

Pagi kembali di Kota Montreal, setelah melewati perjalanan udara hampir 24 jam dari Jakarta. Sangat melelahkan bagi Medina. Apalagi Montreal tengah diguyur salju. Cuaca dingin menggigil membuatnya lebih betah berselimut tebal.
Meski seharian kemarin sudah istirahat tapi tetap saja merasa kurang.

"Ayolah Medina bangun, bukankah hari ini kamu sudah ada jadwal kuliah?" Nolan menepuk pipi istrinya. Habis shalat subuh masih saja nguntel di kasur.
Medina mengangguk. Ia segera berkemas. Keluar dari kamar mandi ia menatap kaget meja makan.
Baiknya Nolan, suamiku gumamnya. Sudah ada susu hangat, roti bagel panggang bertabur wijen dengan lapis nutella terhidang di sana.
"Kita sarapan dulu, Dear."
"Sorry, agaknya aku masih adaptasi dengan musim dingin. Ini salju pertama yang aku alami," kata Medina seolah merajuk. Lelakinya itu cuma mengelus kepalanya.

Dengan baju tiga lapis, celana winter, syal di leher, topi rajut dari bahan wol, kaos tangan tebal dan tak lupa sepatu boots Medina dan Nolan sampai juga di kampus.
Medina baru menyadari ia belum mengumumkan pernikahannya ke teman-teman termasuk Ken dan Meghan. Entahlah kenapa sampai terlupa. Semuanya begitu mengejutkan.

Saat masuk kelas terlihat keduanya sudah duduk rapi di kursi. Jam pertama kuliah akan diampu oleh Doktor Rosemary. Ah entah kenapa tiba-tiba Medina teringat perkataan Meghan tentangnya. Bahwa dia mantan pacar Nolan?.
Medina segera mengibaskan pikirannya.

Doktor Rose sudah hampir menyelesaikan filsafat hukumnya ketika mata Medina terkantuk-kantuk. Cuaca dingin membuatnya benar-benar ingin berbaring.
Ia seperti dibawa mimpi dedaunan maple yang tak lagi gugur.
Tahu-tahu ada yang memanggilnya lembut.
"Medina...Medina, bangun. Ssst...kamu kenapa tidur di kelas?"

Medina terbelalak. Ia masih di ruang kelas. Riuh mata-mata memandangnya lekat. Di sebelah kanannya tampak Meghan tersenyum. Dan di depannya!. Wajah itu!. Wajah suaminya.
Prof Ramirez sudah masuk kelas?!.
Berarti ia ketiduran lama!.

"Sorry. Saya ngantuk," ucapnya sembari mengucek matanya. Nolan Ramirez hanya geleng-geleng kepala lihat kelakuan istrinya. Mau marah jelas tak bisa.
Ia lalu menarik begitu saja tangan Medina dan membawa tubuh itu ke depan kelas.
Dengan tanpa ragu lelaki itu mengucapkan kalimat yang membuat seisi ruang kelas menggumam dengan segala pikiran.
"Saya mau menyampaikan, bahwa saya sudah menikah dengan Medina di Indonesia bulan Desember kemarin. Mohon doa teman-teman semua."

Beberapa mata hampir terbelalak. Namun suara applaus pun terdengar meriah.
Medina terharu dibuatnya sekaligus malu. Bagaimana mungkin ia dibangunkan suaminya sendiri di dalam kelas?.
Dari jauh Meghan menatapnya tak berkedip. Medina jadi tak enak. Bagaimana ia menjelaskan?.

Usai mata kuliah yang dibawakan Prof Ramirez, Medina keluar hendak ke toilet. Di sanalah dia berpapasan dengan Doktor Rosemary. Dosen berambut pirang itu mendekatinya dengan tatapan tajam.

"Jangan kamu kira setelah menikah kamu bisa memiliki Nolan seutuhnya. Kami pernah bertunangan, dan tentu saja aku pernah tidur dengannya!" kata Rose lalu berkelebat meninggalkannya.
"Maksudnya?"

Medina tercekat. Rasanya semua mendadak gelap.

==========

Kata-kata Rosemary membuat Medina sangat gundah. Campur aduk. Kecewa, dongkol, sedih tak tahu harus bagaimana mengusir kegalauan. Kata-kata 'tidur' terngiang-ngiang terus. Nolan pernah tidur?...dengannya? Dengan dosen cantik dan modis itu?. Berzina berarti?.
Kenapa ia seolah belum bisa berdamai dengan masa lalu suaminya?. Mungkin kalau kejahatan lain semisal judi, mabuk atau apalah dia masih nrimo. Tapi zina?
. Ah...seolah dia menerima sisa alias bekas saja?.
Apakah bernama kesombongan jika ia merasa menjadi perempuan bersih yang seharusnya juga mendapatkan pendamping yang bersih?.

Meski Medina yakin itu dilakukan jauh sebelum mereka bertemu tetap saja pikirannya mendadak kacau.
Dia ingin berlari memuntahkan semua. Maka saat Dias mengajaknya mampir main ke apartemen flat nya, Medina mengiyakan. Bahkan sampai lupa minta ijin pergi ke Nolan. Ia akan pulang sendiri nanti.

"Suami kamu ngelaju tiap hari dari Montreal ke Ottawa?" tanya Medina sesampai di ruang tamu Dias. Meski ruang itu terbilang sempit tapi Dias pintar mengatur lay outnya. Desain minimalis tapi manis.
"Iya mbak. Tapi kalau lagi banyak tugas ya pulang 3 hari sekali, dia nginep di tempat temannya."
Dias menyeduh teh tubruk panas. Teh kesukaannya yang baru dikirim dari tanah air.
"Mbak Dina gimana rasanya setelah jadi Nyonya Ramirez? Seru ya...alhamdulillah. Setahun di sini aku tahu lho mbak kalau Pak Ramirez itu banyak yang ngincar, pengen jadi istrinya. Terutama beberapa muallaf muslimah di Kanada.
Mbak kan tahu laju pertumbuhan muslim di Kanada semakin tinggi tiap tahunnya. Bahkan Badan Statistik Kanada memprediksi pada tahun 2017 nanti populasi Muslim akan meningkat 160 persen," Dias yang kuliah di Departemen Demografi Universitas Montreal ini sepertinya sudah nglothok soal kependudukan di Kanada.

Medina sedikit gagal fokus mendengar uraiannya. Ia masih mikirin soal masa lalu Nolan.

"Rasanya?...gimana ya rasanya ya mirip waktu Dias baru nikah kali" jawabnya tak semangat.
"Mungkin," lanjutnya lagi.
"Mungkin apa?" Dias rada bingung.
"Tadi soal banyak yang ngincar. Sampai-sampai mantan tunangannya juga belum rela dan move on" papar Medina ada nada perih.
"Resiko nikah sama cogan mbak Dina," canda Dias.
"Cogan? Apaan tuh."
"Cowok ganteng. He...he..."
"Dias, kamu ah. Kedengaran suami kamu marah dia."
"Aryo suamiku lebih ganteng lah mbak dari profesornya mbak Dina," bela Dias tertawa diikuti Medina.
"Menikah dengan bule harus siap dengan apapun masa lalunya mbak Medina. Saya yakin mbak sudah mikir seribu kali untuk menerimanya waktu itu."

Deg!. Seolah Dias tengah tahu apa yang dipikirnya dan berkecamuk. Seribu kali?. Ah tidak. Jujur ia menerima Nolan karena dia apa adanya di buku itu. Soul Adventure. Baginya itu lebih dari cukup.
Tapi kenapa mendengar serangan Rosemary ia jadi goyah?.
"Insya Alloh Dias. Doakan saya ya."

Tak terasa Medina main cukup lama, hingga menjelang sore. Ia terkaget sendiri. Apalagi dari handphone nya ada pesan masuk dari Nolan.
"Medina, posisi saya sudah tak jauh dari tempat mu. Ini sudah sore, Honey. Kamu lagi apa?"
Kok Nolan tahu?.
Aih, ia langsung curiga suaminya sudah mensetting posisi lewat hp dia. Selama hp dan mapnya online otomatis posisinya terdeteksi.
Ia pun pamit. Keluar dari gedung apartemen itu, matanya menangkap mobil biru milik suaminya.

Meski mencium tangannya, namun mata Nolan menangkap sorot mata sendu Medina. Belum lagi sikap diamnya selama perjalanan. Padahal ia suka kecerewetan istrinya yang segala apa dikomentari.
"Come on Medina, ada apa?" Tangannya menyentuh pipi Medina.
"Nggak ada apa-apa Nolan. Saya lagi pengen main ke teman dan diam saja." ujarnya mencoba tersenyum.
***

Usai shalat dan dirasa lebih tenang, akhirnya malam itu Medina mencoba menanyakan hal yang menggundel hati ke suaminya yang tengah membaca buku di ruang bacanya yang mirip perpustakaan. Sepertinya dia tengah menyiapkan makalah. Layar laptopnya masih menyala terang.

"Honey, boleh aku nanya?" Medina mengambil kursi dan duduk di dekatnya. Nolan menutup bukunya sebentar dan mengalihkan pandangannya ke wajah Medina.
"Sure. Ayo cerita. Biar saya enak."jawabnya.
"Apa benar Doktor Rosemary dulu tunangan kamu?". Dia nampak sedikit kaget, tapi tenang kembali. Oh itu masalahnya. Medina tahu darimana?.
"Iya. Dulu sekali, waktu baru pulang dari Aceh yang pertama. Sekitar tahun 2008, kami ketemu di kampus kembali setelah berpisah lama. Awalnya kami teman saat ambil bachelor. Kamu tahu dari mana?"
"Mengapa tak kamu ceritakan di buku biar saya juga tahu sebelumnya."

Sebenarnya pertanyaan ini terdengar konyol sekali. Tapi ia ingin  Nolan terbuka kepadanya.
"Oh My God..Medina. Tak semua momen harus saya ceritakan rinci di buku. Saya menulis buku itu beberapa bulan sesudah menjadi muslim. Saya tak merasa perlu menceritakan pertunangan kami yang hanya berumur setahun itu. Awal 2010 kami berpisah. Dia meninggalkan saya karena menikah dengan seorang politisi Amerika di New York."
"Bukan karena malu?"
"Malu kenapa?" Nolan merengkuh pundak Medina dan menyandarkan ke dadanya.
"Selama bertunangan apa kalian juga...itu ya..sering tidur bersama?" Tiba-tiba mata Medina sudah mengembun. Pernyataan itu memang bagian yang menyakitkan.
Nolan tersentak, tak dinyana Medina akan menanyakan sedetail itu.

Ia tahu Medina adalah gadis timur berasal dari negara muslim yang sejak lahir menjunjung tinggi etika dan moral kesopanan pasti mendengar hal itu dia amat shock.
Sementara di belantara Amerika tak terkecuali negerinya, melakukan hubungan seks sebelum pernikahan apalagi statusnya sudah bertunangan menjadi hal lumrah asal dilakukan suka sama suka. Termasuk dirinya saat itu.

"Dear Medina, kamu tahu kan latar belakang hidup saya sangat berliku bahkan hitam. Saya pernah tak mengenal Tuhan bertahun-tahun, meski di identitas kami punya agama tapi sesungguhnya tak dipraktekkan. Itu kesalahan hidup saya bersama Rosemary. Tapi percayalah saya hanya melakukannya dengan dia saja tidak dengan perempuan manapun.
Setelah dia menikah saya pergi ke Aceh kembali dan tak pernah kontak sedikitpun dengan dia.
Dengar Medina, dia masa lalu saya. Sedangkan kamu..kamu adalah hari ini dan masa depan saya!"
Nolan mengambil wajah Medina dan menatap lekat dengan bola mata birunya.
Medina mengangguk dan membenamkan wajahnya ke dada suaminya.
"Maafkan saya yang berlebihan" ratap Medina.
"Tak apa. Berceritalah. Saya tak suka kamu diam saja."

Medina mengangguk lagi.
"Jangan sedih. Weekend besok saya mau ajak kamu jalan-jalan agak jauh. Kita bisa cerita satu sama lain di perjalanan."
"Ke mana?" Kepala Medina menjauh dari dada Nolan yang hangat. Sementara di luar salju masih turun perlahan.
"Lihat Niagara Falls bersalju. Mau?"
Mata Medina mengerjap indah. Lelaki itu mengusap sisa air di sudut mata perempuan itu.

Dan kemudian Nolan pun tak tahan untuk tak memindahkan tubuh istrinya ke pembaringan yang diam melongo sedari tadi. Ia ingin memeluk dan menenangkan istrinya hingga pagi.
***

Siang itu Nolan sengaja mendatangi ruangan Rosemary. Ia harus menegaskan
perempuan itu. Entah apa sebenarnya yang dimauinya sampai ia nekad mengintimidasi Medina.

"Oh jadi istri kamu yang dari Asia itu sudah lapor dan merengek-rengek?" nyinyirnya.
"Rose, please jangan menambah rumit. Saya sudah menikah dengan Medina. Kita tak ada hubungan apapun lagi. Jadi buat apa kamu memanas-manasi dia dengan cerita usang?"
"Karena saya masih mengharapkan kamu Nolan!. Setelah bercerai dan merenung, saya sadar kamulah lelaki yang aku cintai."
"Lalu kenapa dulu kamu sengaja pergi?"
"Karena aku tak siap dengan aktivitas-aktivitas yang kamu lakukan. Kamu seperti orang gila mempelajari segala keyakinan termasuk agama yang primitif itu. Islam."
"Kamu menghina apa yang kupeluk sekarang, Rose" tegas Nolan.
"Ya itu alasan keduaku mengapa harus mendampingi kamu. Mengembalikan kamu kembali ke jalan yang dulu. Aku juga tak suka dengan mahasiswi berjilbab berkeliaran di kampus ini!" tukasnya dengan mimik serius.
"Kamu tak hanya menghina saya tapi juga menghina pakaian istri saya, Rose. Kamu memang sakit!. Kamu rasis dan islamophobia!"

Nolan pergi meninggalkan Rosemary sendiri.
***

"Berapa jam ke air terjun Niagara, Honey?" tanya Medina. Mereka tengah berkemas untuk travelling. Niagara Falls merupakan salah satu air terjun terbesar di dunia. Terletak di Provinsi Ontario dan sebagian merupakan perbatasan wilayah Amerika Serikat.

"Sebenarnya kalau naik pesawat cuma 3 jam sekian, tapi kita akan naik bus ke sana. Ya sekitar 7 hingga 8 jam. Oya kita mau mampir dulu ke rumah papa mama di Toronto. Kamu bisa lihat rumah masa kecil saya di sana," seru Nolan tertawa.
Medina teringat orang tua Nolan yang rela datang ke Jakarta untuk melihat acara pernikahan mereka. Tentu saja ia harus mengenal mereka dengan baik.

Nolan sudah memesan tiket Megabus trayek Montreal-Toronto beberapa hari sebelumnya. Dengan bis tingkat itu mereka akan menelusuri pemandangan indah sepanjang jalan menuju Toronto.

Sebenarnya bahasa utama di Kanada adalah Perancis, hampir sebagian besar warga Montreal berbahasa Perancis. Beberapa nama tempat dan jalan menggunakan bahasa Perancis di sana. Mungkin Medina perlu privat khusus bahasa Perancis ke suaminya agar bisa berinteraksi dengan lebih leluasa di luar rumah.

Sepanjang perjalanan mereka akan disuguhi indahnya pemandangan sungai Saint Lawrence dengan panjang 1200 km yang membelah kota-kota.

"Medina, ini salah satu alasan kenapa saya buru-buru melamar kamu" canda Nolan ketika mereka sudah duduk rapi di bus. Sementara Medina sedang mencoba akses wifi yang tersedia sebagai fasilitas bus.
"Apa?"
"Bisa menemani kamu travelling. Jangan sampai di Kanada kamu tak tahu apa-apa karena tak kemana-mana."
"Ya enggak lah, Nolan. Kalau jalan-jalan kan bisa dengan teman-teman di kampus. Kemarin Meghan dan Ken mau ajak saya."ujar Medina.
"No, tak enak jalan beramai-ramai" .
Medina tertawa mendengarnya.
"Oh jadi cuma itu alasannya kamu nikahin saya, biar ada teman jalan-jalan?. Sesederhana itu?", ledek Medina.
Nolan tertawa dan menggengam jemari istrinya.
"Tidak Honey. Ada rahasia besar kenapa saya ingin memiliki kamu".

Ah Nolan baru juga bus berjalan sudah mulai menebar rayuan. Profesor itu mendadak seperti remaja yang baru jatuh cinta saja.
"Rahasia besar?", tanya Medina.
"Kamu pengen tahu mengapa saya jatuh cinta sama kamu?".

Biar sudah menikah hampir sebulan namun wajah Medina mendadak merona ditanya demikian. Sepertinya ia sudah mulai jatuh hati beneran dengan pria ini.
"Tell me please, Prof", Canda Medina sembari menyentuh lembut tangan Nolan.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER