Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 16 Juli 2020

Medina #5

Cerbung

Mata Nolan menyipit mendengar penuturan Medina.
"Psikopat?. Ah...saya tak tahu berita itu. Mungkin hoaks," jawabnya berusaha tenang. Ia mencoba mengingat. Tapi memang Rosemary agak berubah sesudah pertemuan kembali mereka dan lebih tepatnya setelah mendengar Rose bercerai dari suaminya yang kewarganegaraan Amerika Serikat.

"Aku sebenarnya nggak takut dengan ancamannya Nolan, tapi kalau benar dia psikopat, aku tak bisa tak memikirkannya. Dia bisa melakukan apa saja demi ambisinya."
"Nilaimu sudah berubah?" tanya Nolan menyelidik.

"Sudah, terpaksa nggak tidur kemarin malam. Semoga semester depan tak ketemu lagi dengannya."
"Kamu mengerjakan tugas tambahan dari dia?". Medina mengangguk. "Terpaksa."
"My God!" Tangannya mengepal menahan kesal. Ia tak tega istrinya dikerjain Rosemary. Karena ia pun sudah ikut mengoreksi jawaban ujian Medina.

"Sudahlah Nolan. Saya butuh ketenangan. Kasihan bayi kita..." Medina menangis sesenggukan sambil mengelus perutnya. Ia segera mengusapnya dengan tissu. Sejak hamil ia memang gampang cengeng. Ia teringat kehangatan keluarganya di Jakarta. Seandainya ada mereka di sini.

Nolan merengkuh tubuh Medina, mencium keningnya dan mengelus perutnya. Berharap pelukannya akan meredakan tangis itu. Ia tak mengira akan mendapatkan problema demikian di tahun pertama pernikahan mereka.
***

Lebaran 2016 Medina tak bisa merayakannya di tanah air lebih karena kondisi kehamilannya. Apalagi Nolan sangat protektif sekali menjaganya. Meski orangnya serius namun untuk memperhatikan kehamilan istrinya seakan menjadi prioritas. Dialah yang selalu mengingatkan minum susu ibu hamil, banyak istirahat termasuk kontrol di rumah sakit.

Nolan memang terobsesi sekali menjadi ayah, mengingat kawan-kawan barunya di Islamic Centre rata-rata sudah punya anak bahkan beberapa karena sudah menikah lama. Di Kanada sendiri tingkat polulasinya bisa dibilang rendah, jadi jika ada ibu hamil dan melahirkan akan disambut baik negara dengan memberikan pelayanan kesehatan yang baik pula. Pajak tinggi di negara itu salah satunya guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Syukurlah di Montreal Medina sudah akrab dengan teman-teman warga Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan Syiar Montreal.
Selain sebagai wadah silaturahim dan informasi, Medina amat merasakan kedekatannya saat lebaran idul fitri untuk pertama kalinya di negeri orang seperti sekarang. Bertemu dengan teman-teman yang domisilinya menyebar ia juga merasakan support seolah mengobati teror-teror sms maupun pesan lainnya yang ia dan Nolan terima.

Nolan kian sibuk. Selain jadwal mengajar di kampus, ia ngantor di sekretariat lembaga bantuan hukumnya tak jauh dari Masjid Al Salam Montreal berdiri. Kadang baru pulang sesudah shalat maghrib.

Sampai bulan Ramadhan sebenarnya Medina juga ikut membantunya di sana. Dalam sehari kadang ada dua tiga muslimah imigran yang mengadukan masalahnya terkait perlakuan diskriminatif di lapangan. Rata-rata mereka mendapat tekanan terkait hijab maupun cadar.

Saat mendengarkan mereka, Medina barulah menyadari betapa bersyukurnya muslimah Indonesia yang bisa bebas merdeka mengenakan hijab. Tanpa tekanan apalagi ketakutan dari pihak luar. Ia sering kangen negerinya, bagaimanapun tinggal di kampung halamannya jauh lebih menyenangkan.
***

Bulan Oktober tiba. Sore itu Medina bersama Dias dan Aryo suaminya habis pulang dari pengajian rutin Syiar Montreal di Rue Saint Roch. Mereka meminjam mobil ke sana.
Dalam perjalanan mendadak perut Medina terasa mulas.
"Mbak Dina, kenapa?. Apa sudah waktunya?" Dias memburunya dengan pertanyaan.
"Perkiraan lahir masih lusa, Dias. Tapi kenapa mendadak perutku kencang dan tegang sekali." Medina meringis.
"Mas Aryo kita langsung ke Rumah Sakit Anak. Kata Mbak Dina, sepertinya ada tanda-tanda mau melahirkan,"ujar Dias.

Pasangan suami istri muda itu sendiri belum dikaruniai momongan meski sudah hampir 2 tahun menikah. Sepertinya karena belum dikasih saja.
Aryo mengangguk dan melarikan mobil ke rumah sakit yang dituju.

Medina langsung ditangani para petugas medis dan dokter. Ternyata benar, Medina sudah mengalami pembukaan 4.
"Dias, boleh minta tolong hubungi Nolan suamiku?. Ia lagi di LBH. Minta tolong agar dia segera kemari"
"Oke baiklah."

Dias keluar dan mencoba menghubungi Nolan Ramirez. Sementara lelaki itu di tempatnya masih dikelilingi beberapa tamu imigran ber kulit hitam. Satu dari Afrika Selatan satunya lagi dari Somalia. Mereka tengah mengadukan masalahnya. Mobilnya rusak dilempari batu. Mereka kenal pelakunya karena masih tetangga komplek dan satunya entah kenal di mana. Para imigran itu mau minta ganti rugi karena mobilnya digunakan untuk bisnis.

Saking seriusnya, Nolan tak menghiraukan panggilan handphone. Baru setelah orang-orang itu pergi ia punya kesempatan mengecek ponselnya sekaligus mau mengabari Medina.
Dilihatnya nomor tak dikenal masuk beberapa kali. Siapa dia?.
Tadinya ia tak mau mempedulikan, karena dipikirnya itu teror yang kerap ia terima belakangan ini.

Ia pun mendialnya balik.
"Hallo?. Ini nomor siapa ya?" tanyanya.
"Assalamualaikum Prof. Ramirez, saya Dias temannya Medina. Mau kasih tahu istri anda sekarang ada di rumah sakit anak, mau melahirkan. Medina sangat menunggu kehadiran Prof ke sini."

Nolan kaget. Ia langsung beranjak dari duduknya. Nama Dias, ia pernah mendengarnya disebut Medina.
Ia lalu pamit ke temannya untuk segera menuju rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi saat nyetir, akhirnya ia bisa sampai di rumah sakit juga.
Saat mau memasuki kamar bersalin, telinganya mendengar suara bayi memecah suasana sore menjelang senja.

Telat. Medina sudah melahirkan bayinya tanpa ia saksikan. Beberapa kali mulut Nolan merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa selalai itu?. Padahal cita-cita Nolan ia akan menemani istrinya saat berjuang melahirkan.
Seorang petugas medis memanggil keluarga Medina dan akirnya meminta Nolan masuk.

Nolan menuju tempat Medina masih terbaring usai melahirkan. Penuh haru ia memeluk dan mencium kening Medina lembut.
"Are you okay?". Medina mengangguk meski masih sambil menahan nyeri.
"Maafkan, saya tak bisa menemanimu. Saya pikir masih lusa kamu melahirkan. Tadi klienku banyak."
"Tak apa, tadi aku ditemani Dias dan Aryo suaminya. Kami baru pulang dari pengajian rutin bulanan. Tiba-tiba perutku mulas. Syukurlah hanya berkisar 3 jam dari saat masuk."
"Where's the baby?" tanya Nolan masih memegang telapak tangan Medina.
"Masih dibersihkan, Honey. Gadis kecil bermata biru seperti mata kamu," ujar Medina. Nolan mengangguk. Ia memang sudah tahu sejak usia kandungan 6 bulan, anak pertamanya berjenis perempuan.

Tak lama seorang petugas membawa bayi ke arah mereka. Nolan menerimanya. Tak terasa matanya basah karena gembira. Ia jarang sekali menangis, tapi demi melihat wajah mungil darah dagingnya ia tak kuasa menahan air dari sudut matanya.
Ia mencium pipi mungil itu dan menatapnya lekat. Lucu dan sangat menggemaskan. Akhirnya cita-citanya terkabul. Thanks God.

Nolan memperlihatkan bayi itu ke dekat Medina.
"She's beautiful like you," gumamnya dengan mimik bahagia.
"Nolan, bisakah engkau mengazankan dia dulu. Azan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri?"
"Sure, Medina. Saya sudah belajar ke beberapa teman untuk melakukannya."
Usai mengazankan ia membawa kembali bayi perempuan itu di depan Medina.
"Kamu mau kasih nama dia apa suamiku?"
"Jasmine."

Medina tersenyum.
"Nama yang cantik."
***

Kehadiran Jasmine membawa kebaikan tersendiri. Papa Mama Nolan datang berdua dari Toronto. Mereka tampak sangat bahagia mengetahui cucu pertamanya telah lahir.
Papa Nolan yang biasa pendiam bisa terlihat lucu saat menggendong Jasmine.
Mereka libur seminggu lebih di apartemen Nolan. Jeane adik ipar Medina pun tak kalah senang kakaknya akhirnya punya bayi.
Tiap hari orang tua Medina juga tak bosan meneleponnya dari Jakarta dan minta dikirimin foto-foto Jasmine.
Mereka bermaksud mengunjungi Kanada pas musim semi saja, karena Mama punya penyakit asma takut nggak kuat dingin salju.

Untuk membantu Medina, Nolan akhirnya membayar asisten rumah tangga meski dengan biaya cukup mahal.
***

Tak terasa tahun baru 2017 telah tiba. Usia Jasmine sudah masuk 3 bulan dan malah sudah belajar tengkurap. Tumbuh kembangnya sangat baik.
Situasi di Montreal sedikit membaik memasuki musim dingin tahun kedua bagi Medina. Perkuliahan di kampus sejauh ini pun baik-baik saja, ia masih bisa mengikutinya terutama karena support besar sang profesor, suaminya.

Medina tak terlalu kesulitan karena semua buku dan sumber rujukan kuliah sudah disediakan oleh Nolan, tinggal motivasi besar yang justru dari diri sendiri saja.
Berbagi antara kuliah yang padat dan perannya sebagai ibu. Jasmine terlalu lucu dan manis untuk sering ditinggalkan.

Sedangkan soal Rosemary, ia hanya mampu berdoa saja kepada Alloh agar terhindar dari rencana-rencana jahatnya. Semoga apa yang diungkapkan hanya sebatas ancaman untuk menakut-nakuti saja. Untunglah di semester baru, nama dia tidak terjadwal lagi.

Bulan Januari ini isu di Kanada banyak dipengaruhi oleh kemenangan Donald Trump pada pemilu AS bulan November silam. Kabarnya Trump akan dilantik tanggal 20 Januari 2017 pekan depan.
Nolan bercerita banyak bahwa warga AS berbondong-bondong ingin pindah kewarganegaraan ke Kanada setelah tahu Trump menang, sampai-sampai website kantor imigrasi Kanada dibuat jebol karena permintaan membludak.

Kemenangan Trump membuat sentimen terhadap Islam menjadi-jadi. Dan benar nyatanya setelah dilantik, presiden AS ke-45 itu membuat pengumuman kontroversial. Ia melarang imigran muslim masuk ke AS dari 7 negara timur tengah dan sebagian Afrika.
Banyak yang protes atas kebijakan luar negeri Trump namun ada juga orang-orang pembenci Islam yang mendukungnya dan seperti mendapat angin segar.

"Besok pagi kamu jadi berangkat lagi ke Islamic Centre di Quebec City, Honey?" tanya Medina sembari menidurkan Jasmine di ranjang mungilnya dekat tempat tidur mereka.
Seharian bayi itu bermain dengan kakek neneknya yang baru datang tadi pagi.
Mama Papa Nolan menengok kembali cucunya membuat apartemen itu ramai. Mereka kangen si kecil berambut coklat itu.

Terakhir ke Islamic Centre di Quebec City pas Ramadhan kemarin saat Nolan berangkat ke sana karena ada teror kepala babi di masjid.
Perasaan Medina sering tak enak jika Nolan berniat ke sana. Faktanya tempat itu memang sering jadi sasaran kebencian. Amat mengherankan di negara yang katanya mengagungkan demokrasi masih ada orang-orang picik yang mengintimidasi tempat ibadah.

"Ya Medina, ada pertemuan rekan-rekan muallaf se provinsi Quebec. Saya pulang tanggal 30 sore. Ada Papa Mama. Insya Alloh kamu nggak sendirian menjaga Jasmine."
"Oh Nolan, entah kenapa sejak lahir Jasmine aku justru was-was kalau melepasmu keluar rumah," kata Medina melirik suaminya.
Senyum humble itu muncul meneduhkannya. Medina tak bermaksud melarangnya pergi. Insya Alloh kepergian Nolan karena kepentingan syiar Islam. Ia akan bertemu teman dan tokoh Islam di sana.

"Kenapa sekarang kamu jadi manja?" Lelaki itu menarik pinggang Medina yang sudah mengecil kembali setelah melahirkan.
"Entahlah," jawab Medina sekenanya.
Nolan menyentuh bibir Medina dengan jarinya lalu menciumnya hangat. Terasa lembut dan melecutkan keinginan khas di tubuhnya.
"Kamu pasti lagi rindu." Ujarnya menggoda membuat Medina terhanyut. Nolan segera menutup pintu kamarnya.
"Rindu?. Rindu sama kamu?" Medina tertawa.
"Rindu bercinta," bisik Nolan, seolah mengingatkan sejak Medina melahirkan Jasmine, Nolan sangat membatasi aktivitas itu meskipun ingin. Ia tak mau kebobolan, Jasmine baru 3 bulan.
Medina tersenyum malu.

Nolan membawanya ke tempat tidur mereka.
"Jangan khawatir, tadi saya sudah ke apotek. Membeli pengaman."

Malam itu mereka habiskan untuk saling melepas kerinduan yang membara.
***

Tanggal 29 Januari 2017, malam. Saat mereka bertiga tengah menonton TV. Medina baru selesai melaksanakan sholat Isya. Nampak mertuanya sedang asyik nonton berita.
"Jasmine tertidur pulas, Ma. Biar saya bawa ke kamar dulu," kata Medina. Catherine menyerahkan cucunya ke tangan Medina.
Baru saja ia meletakkan bayi mungil itu dalam kamar, suara Mama mengagetkannya.
"Medina, ke sini..!"
Ia pun bergegas kembali mendekati mereka.
"Nolan acaranya di mana?" tanya Papa mertua.
"Di Islamic Centre, masjid Quebec City. Ada apa Papa?" Mata mereka masih menatap ke TV. Meski kedua mertuanya bukan muslim tapi sepertinya mereka mulai memahami aktivitas anaknya.

Medina mencoba menyimak. Terdengar suara ambulans meraung di TV.
"Ada penembakan di dalam masjid, Medina. Penyerang menembak orang-orang yang sedang beribadah," lanjutnya.

Medina tersentak mendengarkan berita. Menurut sang anchor berita dikatakan telah terjadi penembakan brutal di dalam masjid. Saat mereka melaksanakan shalat Isya. Korban 6 orang tewas dan 19 luka-luka.
Satu dari yang tewas adalah seorang profesor!.

Apakah Nolan??. Tidaaaaak!!. Medina tercekat.

==========

Ponsel Nolan sama sekali tak bisa dihubungi, membuat Medina semakin cemas. Ia tahu berita itu belum final dan boleh jadi profesor yang dimaksud bukan Nolan. Tapi agaknya setan amat kuat menghembuskan bisikan-bisikan cemas ke dalam dadanya.

Ia pun tak kuasa menangis. Pikirannya penuh prasangka ke mana-mana. Bagaimana kalau Nolan benar-benar pergi?. Bagaimana nasib Jasmine jika Papanya nggak ada?
"Ayo, saya antar ke Quebec City kalau kau mau?" tawar Ayah mertuanya demi melihat menantunya sesenggukan.
"Iya, biar Mama yang jaga Jasmine," kata Catherine. Dia terlihat sayu meski berusaha tegar. Bagaimanapun Nolan adalah anaknya.
Medina mengangguk. Ia segera berwudhu agar tenang lalu mengambil pakaian tebalnya. Winter tahun ini membuat jiwanya gundah.

Tepat keluar apartemen, Medina melihat Aryo dan Dias. Tadi ia memang sempat menelpon Dias siapa tahu dia dan suaminya dapat informasi lebih jelas mengenai peristiwa itu dan siapa saja korbannya khawatir ada orang Indonesia.

"Mbak Dina apa sudah ada kabar Prof Ramirez?" Dias memberondong dengan pertanyaan.
Medina menggeleng.
"Saya dan Papa mau ke sana untuk memastikan. Aku juga nggak mungkin bisa tidur jika hanya menunggu. Telepon suamiku tak aktif."
"Kalau begitu kami ikut Mbak. Naik mobil kami saja. Tadi saya nggak tahu kalau ada papa mertua mbak Dina," tawar Aryo.
"Thanks, Nak. Kebetulan sekali kami tadinya mau naik Metro. Tapi biasanya antri lama. Terima kasih atas bantuannya. Apa kalian teman-teman kampus Medina?"
"Bukan Tuan. Kami sama-sama warga Indonesia yang kuliah di Montreal dan Ottawa. Kebetulan kami suka bareng untuk acara pengajian, eh maksud saya... kumpul-kumpul bersama," terang Dias ingat kalau Papanya Nolan bukan muslim. Medina pernah cerita.
Papa Nolan tersenyum. Wah baik dan peduli banget mereka. Agaknya persahabatan sesama warga membuat mereka kuat satu sama lain.

Perjalanan ke Quebec City ditempuh dalam waktu 2 jam, itu masih termasuk cepat. Biasanya lebih. Kebetulan jalan lancar meski salju turun.

Sesampai di lokasi Islamic Center yang juga Masjid Agung di Kota Quebec, suasana tampak semrawut. Garis polisi menutupi jalan. Ramai orang berkerumun di sekitar masjid.
Mereka segera turun dan mendekat.
"Kalian masuklah biar saya nunggu di sini, di parkir mobil. Nanti Papa sambil cari info, Medina". Perempuan itu mengangguk. Mungkin ayah mertuanya jengah untuk memasuki masjid.

Medina berhasil menemui salah seorang yang dari penampilannya seperti ulama. Gamis putih dan ada sorban di lehernya.
"Assalamualaikum, Syaikh. Apa kami bisa mendapatkan info tentang kejadian penembakan?" Tanya Aryo mewakili Medina.
"Siapa saja yang meninggal? Apa ada seorang profesor? Saya dengar berita demikian. Berapa umurnya, Syaikh?"
Medina gantian memberondong.
"Sebentar, saya tidak hapal. Tapi tadi saya menyalin dari anggota polisi jumlah korban yang meninggal."
Ia mengeluarkan catatannya.

"Profesor Khaled dari Laval University. Umur 60 tahun." Aryo mengeja nama-nama korban dari kertas yang diberikan.
Medina merangkul Dias. Ia lega sekali, nama Nolan tidak jadi korban.
"Yang sholat di masjid sekitar 50 orang, sisanya luka-luka entah berat atau ringan. Semua korban luka dibawa ke rumah sakit."
"Ke rumah sakit mana Syaikh?"
"Beda-beda, Nak. Pokoknya masih di sekitar Kota Quebec. Kalian mencari siapa?"
"Mencari suami saya Syaikh. Namanya Profesor Nolan Ramirez alias Nolan Abdurrahman, mungkin Syaikh kenal?. Dia domisili di Montreal, ke sini karena sedang ada pertemuan para muallaf" papar Medina.
"Jadi anda istrinya?. Yang orang Indonesia itu?" Medina tersenyum. Alhamdulillah sepertinya dia kenal Nolan.
"Di mana suami saya Syaikh, apa dia selamat?"
"Prof. Nolan terluka di lengan kanan. Tadi dibawa ke rumah sakit pusat Universitas Laval." jawabnya. Laval adalah nama sebuah kota di Quebec yang letaknya di sebelah selatan.

Mereka akhirnya menuju ke rumah sakit yang letaknya masih di kawasan kampus Universitas Laval. Meski malam semakin larut tapi agaknya peristiwa penembakan yang menghebohkan itu mampu membuat suasana di Quebec dan sekitarnya kacau balau salah satunya berujung kemacetan.
Masih terlihat mobil polisi mondar mandir dan sirene berbunyi menembus tengah malam.

Pihak rumah sakit untungnya membolehkan para keluarga yang mencari informasi keberadaan korban tanpa dibatasi waktu. Beberapa perempuan berhijab terlihat bersliweran.
Seorang lelaki petugas medis mengiyakan ketika ditanya identitas korban bernama Nolan Ramirez.
"Dia terluka di lengan sebelah kanan, untung segera tertangani. Korban sempat pingsan selama 1 jam karena banyak darah yang keluar."
Medina tak kuasa menahan tangis. Dias memeluknya dan menenangkan.
"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Jonathan Ramirez, ayah Nolan.
"Dia sudah siuman, lukanya sudah tertangani tapi butuh istirahat. Mungkin sedang tidur."

Petugas itu mengantar ke ruang perawatan pasien. Mata Medina nanar demi melihat sosok terbaring itu.
Nolan nampak lelap dengan lengan dibebat. Wajahnya yang putih semakin memucat.

Medina menarik kursi dan duduk di samping pembaringan. Ia mencium kening suaminya pelan dan menggenggam hangat telapak tangannya.
"Nolan, cepat pulih sayang"
Mata Medina mengembun. Ia teringat betapa baiknya Nolan selama ini. Di balik sikap serius, kadang-kadang terselip kejenakaannya. Di balik ketinggian pengetahuannya terselip kesederhanaanya. Ia tidak pernah malu turun ke dapur memasak, atau beberes rumah. Justru Nolan banyak mengurusinya. Termasuk menemaninya belajar hingga larut malam padahal mungkin dia juga capek.

Suasana hening menyelimuti.
Aryo dan Dias pamit keluar dulu mereka akan mencari penginapan terdekat dan besok pagi-pagi akan ke rumah sakit lagi untuk menengok.
Jonathan Ramirez menyalami Aryo dan mengucapkan terima kasih begitu dalam akan kebaikan kedua suami istri itu mengantar mereka.
"Tak apa Tuan. Medina sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Sudah kewajiban kita saling menolong." ujar Dias lalu berpamitan.
***

Mata Nolan terbuka pelan. Ia merasa telapak tangannya ada yang menahan. Ia tersentak ketika melihat seraut wajah telungkup di sisi kirinya dengan mata mengatup lelap.
Medina?!. Ia kaget namun senang. Tak nyana istrinya sudah menyusul dan kini berada di sampingnya.
"Honey,...bangun." Ia mengelus pipi Medina pelan. Medina terjaga sesaat, ia mengusap matanya. Nampak Nolan tersenyum lirih. Ya Alloh baru sadar ia tertidur beberapa jam di bangsal rumah sakit ini.
"Nolan,...Oh Nolan bagaimana keadaanmu?. Aku sangat takut dan khawatir mendengar berita penembakan itu." Medina mencium pipi Nolan dan mengusap rambutnya yang coklat bergelombang itu.
"Alhamdulillah Alloh masih memberi kesempatan untuk saya selamat. Jangan menangis Medina, lihat saya tak apa-apa. Hanya luka di tangan."

Ia mengingat kembali peristiwa mencekam itu. Saat mereka, jamaah shalat Isya takbir lalu tenggelam dalam kehangatan shalat tiba-tiba terdengat suara tembakan memberondong memecah keheningan.
Ia yang berada di shaf ketiga masih sempat melihat tiga laki-laki bertopeng masuk memuntahkan peluru ke sana kemari.
Nolan hendak menyelamatkan anak kecil di depannya, namun karena peluru berhamburan, lengannya terkena luncuran timah panas itu dan seketika darah mengucur. Ia terjatuh tak sadarkan diri.

"Ya Alloh, biadab sekali orang-orang itu!" teriak Medina. Suaranya yang agak meninggi membangunkan Papa Nolan yang tertidur di kursi. Lelaki itu bangkit mendekati anaknya dan memeluk Nolan erat. Ia seperti menangis.
"Saya nggak apapa. Saya selamat, Papa." Lelaki tua itu tersenyum.
"Bagaimana Jasmine?"
"Dia baik, dijaga Mama di apartemen." jawab Medina seraya merapikan selimut Nolan. Medina pun ijin untuk shalat subuh sebentar.

Syukurlah siangnya Nolan diijinkan pulang dan dirujuk perawatan lanjutan ke rumah sakit di Montreal untuk mengganti perban pembalut luka dan membersihkannya agar tidak infeksi karena jahitan di kulitnya.
***

Peristiwa penembakan itu menyisakan kecaman di seluruh dunia. Perdana Menteri Justin Trudeau menyebut apa yang dilakukan penembak adalah kejahatan teror terhadap umat Islam di negerinya. Ia membela habis-habisan umat muslim dalam segala kesempatan maupun di depan media.

Salah seorang penembak seorang pemuda usia 27 tahun keturunan Perancis Kanada dan tercatat sebagai mahasiswa Universitas Laval berhasil diringkus polisi. Ia disinyalir sebagai pengagum berat Donald Trump.
Memang amat disesalkan di negara maju sekalipun tindakan barbar bisa dilakukan atas nama sentimen SARA.

Akan tetapi memang selalu ada hikmah di balik sebuah kejadian.
Simpati terhadap umat Islam pun berhamburan. Warga Kanada ramai-ramai mengumpulkan sumbangan untuk para korban maupun keluarganya dan perbaikan masjid. Penjagaan masjid lebih diperketat. Keingin tahuan warga terhadap Islam justru semakin besar. Meski minoritas tapi Islam dianggap memiliki pengaruh penting.

Nolan kembali beraktivitas di kampus seperti biasa. Sebulan sudah ia mengajar di kelas dengan tangan dibebat perban namun ia berusaha menikmatinya. Apa yang dialaminya ia anggap sebuah resiko dalam perjuangan. Dan saat ia membaca sejarah Islam, ia pun diingatkan bahwa apa yang dirasakan masih belum seberapa dibandingkan perjuangan para sahabat di masa nabi.

Awal April tangannya sudah kembali sedia kala bahkan ia pun mulai menerima undangan sebagai dosen tamu di beberapa universitas di Kanada juga undangan sebagai pembicara.
Seperti akhir pekan ini dia baru pulang dari Vancouver menghadiri simposium selama sepekan. Ia tiba di Montreal Sabtu pagi. Tak sempat mampir kemana-mana karena ia sudah merindukan Medina dan Jasmine.

Medina menyambutnya dengan sukacita. Ia memasak makanan kesukaan Nolan yakni Shish Taouk dan menyiapkan Sirup Maple.
Shish taouk adalah nama lain dari sate ayam ala Montreal. Cara pembuatannya, daging ayam tanpa tulang direndam, lalu dipanggang dengan tusukan sate. Setelah itu disayat dan diselipkan di dalam roti pita dengan sayuran acar.
Roti pita itu semacam roti pipih asal timur tengah di dalamnya kopong bisa diisi dengan aneka filling.
Sedangkan Sirup maple merupakan sirup khas Kanada dari pohon maple yang bermanfaat mencegah beberapa penyakit seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan penyakit lain yang disebabkan bakteri.

Medina sudah mempersiapkan diri sejak semalam untuk menyambut kekasihnya pulang. Sejak kejadian itu ia memang takut sekali kehilangan Nolan.

Pagi itu Medina nampak cantik dengan balutan dress warna lavender tanpa lengan dengan panjang di atas dengkul menyisakan tungkainya yang jenjang.
Dengan bandana warna senada yang melapis rambut hitamnya sebahu perempuan itu semakin manis terlihat.

Ia masih sibuk menata meja ketika Nolan baru keluar kamar mandi untuk bebersih. Jasmine masih bermain di baby strollernya didampingi Vivian, asisten rumah tangganya. Mereka tengah jalan-jalan ke taman depan apartemen. Taman yang selalu ramai tiap pagi apalagi weekend seperti ini di musim semi yang indah.
"Kita sarapan, Honey" ajak Medina yang berdiri di meja makan. Nolan tak menggubris meski memang perutnya lapar.
Matanya menatap liar tubuh Medina yang tampak begitu segar. Apalagi harum rambut hitamnya tercium dari ia berdiri. Seketika rasa kangennya yang ia tahan selama sepekan meraju-rajuk begitu saja.
Ia menangkap tubuh Medina dari belakang dan langsung menempelkan dadanya di punggung lentur itu. Ia pun menghirup segar rambut Medina.

"Kamu yang memasak semua ini, Dear?"
"Iya dong. Khusus buat Profesor Ramirez yang baru pulang. Aromanya sedap kan? Gak kalah deh dari restoran," puji Medina sendiri seraya melirik wajah menjulang suaminya.
"Ehm..kamu memuji sendiri."
"Iya lah daripada nunggu pujian dari kamu. Lama. Ha..ha.." Medina tertawa.

Wajahnya semakin terlihat cantik jika tertawa begitu. Nolan seolah menemukan kembali senyum yang hilang karena sms-sms teror yang lalu.
"Sepertinya lebih sedap aroma leher kamu, Honey," ujarnya membalas terkekeh sembari mencium rambutnya kembali.
"Jangan macam-macam, Nolan. Masih pagi. Ada Vivian, sedang mengasuh Jasmine di luar."
Padahal Medina sengaja mengunci pintu karena sekarang ia mengenakan kostum khusus untuk pangerannya. Dress yang sedikit terbuka dan menggoda mata.
"Kamu curiga saja. Medina sayang." Nolan membalikkan badan Medina dan membawanya ke sofa tak jauh dari posisinya berdiri. Ia memangku tubuh Medina. Dan memandangnya lekat. Dengan busana begitu, Medina terlihat begitu menggairahkan.
"Nolan ada apa, pulang dari Vancouver genit begini. Jangan bilang kamu ketemu mahasiswi cantik di sana," rajuknya.
Nolan memamerkan senyum khasnya.
"Mahasiswi cantik? Nggak ada mahasiswi saya yang cantiknya melebihi kamu, Medina."
"Aih, jika ada profesor di dunia yang pandai merayu kamu pasti pemenangnya." Medina menyentuh rahang keras suaminya.

Nolan menangkap tangan itu dan menciumnya.
"Kapan kamu mau mengajak aku dan Jasmine ke Vancouver?"
"Nanti, insya Alloh pas musim semi bulan Juni Honey, banyak bunga-bunga indah di sana. Sekalian sama Papa Mama kamu dari Jakarta katanya mau ke sini bulan Juni," jawabnya lembut sembari membelai rambut Medina.
"Okay, semoga Alloh memberi kesempatan itu. Ayo kita makan," tukasnya gantian menatap mata biru Nolan yang selalu membuatnya terkesima.

Medina hendak turun namun tangan Nolan mencegahnya erat. Medina tak bisa berkutik.
"Pagi ini kamu terlihat cantik dan seksi, Honey. Lapar saya jadi hilang." kata Nolan dengan mata mengerjap.
"Baru sekarang sadar?"
"Dari dulu dong, tapi sekarang lebih-lebih mungkin karena saya sudah kangen, lama tak mencium kamu," godanya.

Wajah Medina merona.
Nolan langsung menyambar bibir Medina dan pelan berselancar di sana. Medina terhanyut. Serta merta menyambutnya. Lelaki itu tahu istrinya juga pasti merindukannya. Ia sudah hafal bahasa tubuh Medina.
Profesor muda itu seperti hilang kendali jika sudah menikmati sang istri inci demi inci.

Hampir saja mereka terlena melanjutkan permainan mesra ke tahap berikutnya di atas sofa itu kalau saja suara ketukan pintu tak menghentikan keduanya.
Mereka tersadar. Syukurlah tadi Medina sempat mengunci pintu. Kalau tidak, bisa saja ada mata tak diundang memergoki mereka. Dan pasti mereka malu luar biasa.

Medina melepaskan diri dari pelukan Nolan dan segera masuk kamar untuk membenahi bajunya yang berantakan sekaligus mengenakan kerudung.

Meski merasa terusik karena dirasa mengganggu kesenangannya, Nolan segera merapikan kancing kemeja lengan pendeknya yang sudah beberapa terlepas akibat ulah tangan Medina tadi. Ia menuju pintu dan membukanya.
Ia terkejut. Nampak papa mamanya berdiri membawa tas koper, dibelakangnya Vivian, asisten rumah tangganya yang kerja paruh waktu itu sembari mendorong baby stroller.
Wajah Nolan berubah cerah dan menyambut mereka. Apa Papa Mamanya mau menginap lagi?
"Nolan,..apa kabar?. Kamu sudah sembuh beneran kan?" tanya Catherine. Nolan mengangguk. Ia memeluk mereka.

Tak lama Medina keluar dengan gamis rapi dan menyalami mertuanya. Bola matanya mendelik jenaka ketika bertatapan dengan mata milik Nolan.
Pasalnya lelaki itu memandangnya dengan senyuman meledek. Mungkin masih mengingat aktivitas yang mereka lakukan tadi yang belum tuntas tapi keburu diberesin secara paksa.
Papa Mama Nolan akhirnya disambut dengan sarapan bersama di meja makan.
"Wah hebat, Medina sudah pintar memasak makanan Kanada," puji Catherine.
Medina cuma bisa tersenyum dan melirik suaminya.

Setelah ngobrol basa-basi, Jonathan Ramirez angkat bicara.
"Nolan, setelah hampir 2 bulan kami merenung. Kami meniatkan keputusan ini dengan seksama"
"Keputusan apa Pa?"
"Kami. kami berdua mau masuk Islam seperti kamu.." lanjut Catherine.
Deg!. Nolan seolah tak bercaya.

Ya Alloh, seru Medina dalam hati. Ia merasa doanya terkabul.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER