Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 18 Juli 2020

Medina #7

Cerita bersambung

Di ruangan khusus keimigrasian masih di bandara, Nolan disibukkan dengan beragam pertanyaan. Ketika mereka tahu dan memastikan profesor muda ini seorang muallaf pertanyaan sudah menjurus ke hal-hal berbau radikal dan terorisme. Dan tentu saja Nolan sudah menduganya.

Namun ketika ia dituduh terlibat sebagai anggota jaringan ISIS dan ikut merencanakan kepergian relawan dari Montreal ke Suriah, Nolan langsung mematahkannya dengan sejumlah alibi.

Walau begitu ia tetap saja dicekal dan tak boleh bepergian ke luar negeri. Artinya ia tetap dalam pengawasan. Percuma ia menyebutkan almamaternya yang memiliki fakultas khusus studi Islam, yang menunjukkan betapa Islam punya tempat di negara itu, percuma juga ia berkoar kalau posisinya hanya seorang peneliti dalam dunia pendidikan dan hukum. Bahkan sia-sia juga saat ia beralasan bahwa perlindungannya terhadap imigran muslim juga dibarengi upaya memahamkan mereka untuk tetap mengikuti tata aturan umum di Kanada dan menjaga stabilitas nasional.

Menjelang tengah malam ia diijinkan pulang, namun tetap dalam pengawalan ketat hingga tiba-tiba saja sekelompok orang berpakaian sipil menjemputnya paksa lalu memasukkan secara kasar ke dalam mobil land cruiser.
Belum sempat bertanya mulut Nolan langsung dibungkam dan ....selanjutnya ia tak sadarkan diri.
***

Tiga hari berlalu. Medina masih terpaku dalam diam di kamarnya. Rasanya kering air matanya mengingat semua itu.
Hingga hari ini keberadaan Nolan tak terdeteksi. Tidak ada kabar sedikitpun.
Masih teringat sore itu ketika Nolan dibawa paksa oleh mereka.
Ia langsung mengabarkan mertuanya dan Jeane. Mereka terkejut.

Jeane melarangnya kembali ke Montreal karena menurut Vivian yang sempat tinggal di apartemen ada beberapa orang tak dikenal mencari Medina. Ketika diberitahu dia sudah pulang ke Indonesia mereka tampak marah.

Jeane langsung mengontak kenalannya yang bekerja di KBRI Ottawa agar bisa menjamin keamanan Medina dan anak-anaknya pulang. Sekaligus mencari keberadaan Nolan.
"Sebenarnya ada apa?. Apa yang mereka buru dari Nolan dan dirinya?" benaknya berkecamuk tak henti-henti.
"Sepertinya ada keterlibatan pihak intelejen, Medina. Tapi saya tak tahu apa motifnya. Apa masih berkaitan dengan sentimen agama?"
Kata-kata Jeane di telepon terngiang-ngiang.
Medina tertunduk, badannya terasa menggigil padahal Jakarta jarang berhawa dingin.
"Dina, makan dulu Nak." Suara Mamanya. Perempuan itu tengah menggendong Omar. Sementara terdengar suara Jasmine bermain dengan kakak-kakak sepupunya yang sekolah di TK dan SD.
"Dina nggak lapar Ma. Dina keingatan Nolan terus. Bagaimana dia, nasibnya sampai sekarang belum ketahuan. Bagaimana Dina bisa makan?"
"Kamu memang suka keras kepala. Jangan egois. Kamu punya dua anak balita yang harus diurus dan diperhatikan. Kalau kamu sakit, mereka juga bisa sakit," tutur Mamanya.

Medina teringat kata-kata terakhir Nolan di bandara agar ia menjaga Jasmine Omar, dan ia akan menyusul. Nolan pasti akan menyusul mereka ke Jakarta, tekadnya.

"Baik Ma."
***

Dubrak!!.
Kursi kayu itu bergeser satu meter.
Mata biru Nolan menyapu ruangan itu. Kamar lengkap dan cukup mewah tapi sunyi terisolir.
Tangannya yang mengepal ia hantamkan ke tembok. Shit!!.
Terbayang wajah Medina dan kedua anaknya. Bagaimana mereka?. Ia berharap mereka sudah sampai di Jakarta. Jangan sampai malah balik ke apartemen. Firasatnya tak enak. Ia yakin ada konspirasi di balik semua ini.
Ia merogoh sakunya. Sial!! handphonenya sudah raib. Laptop yang biasa ia tenteng juga entah kemana.
Untung ia sudah memindahkan uangnya ke rekening Medina. Itu pun terburu-buru saat ia minta ijin ke toilet di bandara.

Ia berjalan menuju jendela. Dari kaca berteralis rapat ia melihat dedaunan lebat di sekelilingya. Ia mengintip lagi. My God, ini benar-benar tempat yang tinggi.

==========

Rahman terdiam lagi tetap meneruskan jalannya namun ia mencoba bersikap biasa.
"Maaf...,"sebut Medina.
"Nggak papa Dina. Ada beberapa alasan. Semoga urusan Dina lancar ya. Assalamualaikum."
Rahman berbelok ke kanan ke gedung lain.

Medina tak mau sibuk mengurusi kenapa Rahman sampai cerai. Walaupun menggelitik. Seorang aktivis kampus bisa sampai cerai?.
Ah sudahlah bukan urusan dia juga. Sedangkan masalahnya saja sudah cukup banyak. Ohya hari ini dia belum nelepon Jeane dan belum sempat nulis email untuk Nolan.
Ia tahu akun-akun Nolan sudah tak ada yang aktif. Baik email, sosmed maupun lainnya. Sepertinya ada hacker yang menghapus atau menutup akun tersebut.

Namun Medina pernah membuatkan akun email khusus untuk Nolan dengan nama yang aneh. Ia yakin suaminya masih hafal passwordnya. Semoga ia sempat membukanya entah kapan.
***

Nolan melipat kain di depannya yang ia gunakan untuk sajadah shalat. Membaca Al Qur'an lebih dari 2 juz per harinya dan kemudian menulis. Hanya itu sehari-hari yang bisa ia lakukan selain berdoa agar ada jalan untuk bisa segera keluar meski buntu karena semua sudut kamar dipasangi CCTV yang tentunya terlihat oleh penjaga di luar.

Untuk mendapatkan Al Quran dan buku tulis saja ia harus merayu petugas yang membawakannya makanan setiap hari yang ia ketahui namanya Max dan Sergio.
Dari keduanya, Max cukup toleran dan mudah diajak komunikasi meski usianya lebih muda dari Sergio.

Waktu itu ia mencopot jam tangan satu-satunya harta berharga yang ia miliki karena handphone dan laptopnya sudah raib entah ditaruh di mana. Ketika ia tanyakan mereka pun menjawab tak tahu.
"Apa mau Tuan?" katanya usai membereskan sarapannya saat itu.
"Tolong kau jualkan jam tangan ini. Harganya sekitar 300 dollar Kanada. Saya hanya minta dibelikan Al Quran di toko buku milik muslim serta alat tulis dan kalender. Sisanya buat kamu."
"Baiklah Tuan saya akan coba membantumu sebisa saya. Asal Tuan tidak meminta saya untuk membantu melarikan diri. Tuan tahu saya menerima pekerjaan ini karena tergiur dengan gajinya yang sangat besar meski resikonya juga besar. saya memang butuh uang.
Jika Tuan kabur maka sesuai perjanjian orang-orang yang bekerja di sini siapapun itu harus siap menanggung resiko."
"Apa itu?"
"Ditembak mati termasuk keselamatan keluarga jadi taruhan." jawabnya.
Nolan hanya menggelengkan kepalanya keras. Benar-benar gila!. Ia tak yakin motif pengurungannya hanya karena kecemburuan Rosemary.

Pagi kembali dan masih sepi. Jika bukan karena yakin akan kebesaran Alloh, entah apa yang akan ia lakukan untuk mewakili rasa nekatnya.
Nolan mengambil kalender yang sudah ia tandai dengan beragam hal.
"Apakah benar dugaan ini?" Ia bertanya sendiri. Semalam ia memimpikan keluarganya. Mereka berjalan di tepi pantai. Jasmine berlarian menangkap buih ombak yang datang. Omar duduk bermain pasir dan ia duduk memeluk perut Medina yang membesar.
"Apa mungkin Medina tengah mengandung anakku yang ketiga?. Kalau berdasar hitunganku begitu, dan feelingku begitu karena waktu bermalam di Ottawa...." Ia tersenyum pias.
Nolan menarik nafas panjang. Matanya berair. Ia sangat merindukan Medina.

"Sarapannya Tuan" Max muncul sendiri. Nolan segera meraup wajah sembari mengusap matanya yang terlanjur terlihat oleh Max.
"Bawa lagi saja Max. Saya sedang puasa."
"Tuan puasa lagi?"
"Kemarin tidak. Saya puasa dua hari sekali. Puasa Daud namanya."
"Saya taruh di meja Tuan. Ada secarik tulisan dibawah piring. Tolong dibaca nanti. Tapi cara mengambilnya jangan sampai terlihat kamera. Dan bacalah di kamar mandi," ujarnya setengah berbisik.

Nolan mengambilnya dengan posisi punggung membelakangi kamera. Ia pun pergi ke kamar mandi.
"Tuan Nolan, saya sebenarnya tidak tega melihat penderitaan Tuan karena saya juga punya keluarga. Satu-satunya cara mengakhiri ini, Tuan harus melarikan diri. Bongkarlah sedikit demi sedikit teralis dengan alat yang saya bungkus bersama sendok garpu ini. Dan alihkan CCTV di atas pintu agar tak terlihat. Turunlah dengan tali yang ada di balkon. Tapi tunggu beberapa hari lagi. Tunggu saya pergi dulu dari rumah ini secepatnya. Selamat tinggal. Max."
Nolan melihat kunci pemutar teralis. Harapannya langsung membuncah.
***

Saat di kantin kampus, Medina melihat Rahman dari kejauhan datang menghampirinya. Semalam Tante Fatimah cerita kalau Rahman mampir ke rumah sore-sore. Dan itu kali kedua. lagi-lagi ia tak di rumah. Ia dan anak-anak lagi ke Hermes Palace Mall ditemani Desi. Kebetulan gadis kelas 3 SMA itu sudah bisa bawa mobil.

Sebenarnya Medina kaget meski mereka sudah bareng di kampus itu 4 bulan lebih ia memang tak berharap hubungan pertemanan mereka lebih akrab sampai Rahman datang ke rumah segala.
"Assalamualaikum," sapanya seraya ambil kursi tak jauh Medina. Syukurlah kondisi kantin lagi ramai jadi ia tak merasa kikuk berseberangan begitu.
Medina menjawab lalu meminum jus jeruknya.
"Dina, mengapa nggak cerita sebenarnya atas apa yang menimpa Nolan suamimu?"
Medina terkesiap.
"Apa kamu dengar dari tanteku?"
"Tentu saja. Kemarin kami ngobrol banyak."
"Maaf, aku suka tak bisa menahan emosi jika cerita ke orang lain. Ya...kami sedang menghadapi cobaan. Tapi insya Alloh saya tak apa-apa dan punya harapan besar dia akan menyusul kami."
Rahman tampak menghela nafas.
"Kalau tahu, saya bisa mencoba kontak teman yang kebetulan kuliah di sana untuk mencari infonya."
"Aku masih punya mertua dan adik ipar di sana Rahman. Mereka juga bekerja keras mencarinya. Kalau nggak lagi hamil, aku juga akan ke sana mencari sendiri." Mata Medina sedikit berkaca-kaca.
"Kalau ada apa-apa jangan segan menelponku Dina. Kita kan sudah berteman lama. Apalagi kamu sedang hamil begitu."
"Memang kenapa kalau lagi hamil?"
"Di rumah mu nggak ada laki-laki, itu maksudku. Kebetulan rumah dinas yang kutempati nggak jauh dari Malahayati."
"Terima kasih, Rahman. Oya...kalau boleh tahu juga apa yang membuat kalian berpisah?. Maaf kalo aku lancang."
Rahman terdiam sesaat kemudian tersenyum tipis.

Ia lalu bercerita kalau penyebabnya soal anak. Setelah 3 tahun menikah belum juga ada tanda istrinya hamil, mereka pun periksa ke dokter. Dan ternyata penyebabnya ada di pihak Rahman. Istrinya yang anak tunggal dan dari keluarga kaya dipengaruhi oleh ibunya untuk bercerai.

Akhirnya Rahman menalak istrinya dengan harapan suatu saat istrinya akan balik lagi.
Medina agak keheranan. Apa hanya karena itu pernikahan harus diakhiri?. Sepertinya amat menyedihkan.
"Mudah-mudahan kalian rujuk kembali ya," jawab Medina yang terkaget-kaget mendengar kisah Rahman yang ternyata berliku dan penuh cobaan juga.
"Tadinya saya berharap begitu. Sari mau balikan lagi. Tapi pas masa iddahnya habis, saya harus kecewa karena sebulan lalu Bunda saya mengatakan kalau Sari sudah menikah lagi dengan mantannya waktu SMA. Mmm...kami memang dijodohkan. Sebagai seorang muslim saya tak pernah mau memaksa. Dia memiliki kebebasan," ujarnya nampak tegar.

Rasanya tak tega mendengar seorang Rahman yang gagah dan berwibawa harus ditinggalkan dan dikecewakan seorang perempuan.
Terus terang Medina kaget Rahman mau jujur bercerita privasinya tidak semudah itu laki-laki mau curhat kepadanya.

Tapi alasannya tak salah, mungkin kalau masalahnya ada di pihak perempuan, poligami bisa jadi solusi seperti yang dibolehkan agama jika istri ikhlas. Tapi kalau sebaliknya, Islam membolehkan sang istri untuk minta cerai jika dia tak bisa menerima kondisi suaminya.
"Saran saya cobalah cari second plan. Konsultasi dan berobat ke tempat lain siapa tahu masih ada harapan. Bukankah sekarang dunia kesehatan sudah semakin canggih?"

Rahman melirik Medina sekilas menahan senyum. Sebenarnya sejak dulu ia mengaguminya. Selain dewasa, mandiri dan anggun Medina juga memiliki ide-ide dan semangat yang tinggi. Waktu dia tahu dari Mas Fikri kalau Medina menginginkannya, dia surprais dan senang walau kaget sayangnya dia sudah mengiyakan permintaan Bunda di Padang untuk menikah dengan Sari.

Kini setelah mendengar kondisi Medina entah kenapa ia ingin sekali mendampinginya, paling tidak mensupportnya.
Setiap minggu pagi Rahman sengaja mengunjungi kediaman Medina lalu mengajak Jasmine dan Omar jalan-jalan bermain di taman dekat rumah. Ia akan menjaga mereka betiga selagi bisa, itu tekadnya.
***

"Kemana Max?" tanya Nolan pada Sergio ketika dia muncul seperti biasa membawa makanan untuknya.
"Dia pulang ke Chicago, katanya ada keluarganya yang sakit. Untuk sementara akan diganti temannya. Tadinya dilarang pergi sesuai perjanjian. Tapi bos akhirnya luluh karena dia nangis-nangis."
Nolan tersentak. Max benar-benar memenuhi janjinya di surat bahwa dia akan kabur lebih dulu.
Nolan pun menyusun rencana di benaknya.

Saat ia tengah merenung, tiba-tiba Rosemary muncul tak diduga.
Entah sudah berapa kali dia muncul dan mengganggunya. Namun semakin dia meminta kesediaannya untuk dibebaskan secara baik-baik, perempuan itu semakin nekad. Ia tak segan melepas busana luarnya dan mengajak Nolan berzina!.
Sebuah permintaan dan penawaran yang menggoda namun juga memuakkan.

Menggoda tentu saja, karena ia laki-laki normal biasa, tapi mengingat iman dan kemuslimannya Nolan pun menolaknya mentah-mentah. Ia tak akan menjual diri demi dosa besar itu.
"Kau mau apa lagi Rose. Jangan ganggu saya, saya sedang puasa."
"Oh Nolan..bisakah kamu kembali seperti sosok yang dulu. Agama apa yang meracunimu sehingga bisa hilang akal dan merusak badan sendiri seperti itu?. Kau tahu apa penyakit yang akan menyerang jika seorang pria harus selalu menahan hasratnya?" ujarnya gila. Ia mendekati Nolan seperti biasa dan hendak memeluk punggungnya.
"Kamu gila dan tak tahu malu Rose. Apa tak sadar kamu sendiri sudah memasang CCTV di sudut-sudut kamar."
"Apa kamu malu karena kamera itu, my dear?. Nanti aku suruh mereka mencabutnya."
"Ya!"
"Apa?"
"Buang kamera-kamera itu agar kamu tak tampak memalukan. Tapi saya tak mau melayani kamu bukan karena itu. Karena saya muslim Rose. Bisakah kamu memahamiku. saya sudah mengulangnya berkali-kali. Bahwa saya sudah punya istri, dan tentu saja saya hanya akan melakukannya dengan dia. Jelas!?"
"Nolan...oh Nolan...please."
Nolan bergidig. Ia meloncat melepaskan diri dari pelukan Rosemary.

Ia berlari masuk ke kamar mandi dan menguncinya.
Dan untuk kesekian kali ia pun tidur terduduk di atas closet.

Bangun-bangun hari sudah siang. Dan matanya kaget ketika CCTV di atas pintu sudah tak ada lagi. Ia tengok kiri dan kanan juga tak ada lagi.
"Ya Alloh terima kasih".
Mungkin Rosemary malu sendiri aksinya terpampang di kamera dan ditonton anak buahnya.

Saat malam tiba Nolan pun mulai mencoba rencananya. Ia membuka teralis jendela dengan kunci putar walaupun ternyata sangat lama dan butuh kesabaran.
Teralis berhasil dibuka tinggal jendela kacanya. Ia istirahat sebentar memastikan tak ada penjaga di luar pintu.
Kata Sergio setiap malam minggu para penjaga berkumpul di bawah karena ada pesta minum. Mudah-mudahan tengah malam begini mereka lelah dan tertidur nyenyak.

Nolan berhasil memecahkan kaca dengan bantuan pisau roti dan kaki kursi. Meski keluar dengan susah payah dan lengan sedikit tergores tapi malam itu untuk pertama kali ia bisa menghirup udara segar.
Dedaunan malam di sekeliling balkon menyambutnya.
Perlu usaha keras lagi untuk sampai di bawah, karena ia berada di lantai 3.

Max benar sudah ada tali di balkon meski pendek. Ia pun menuruni lantai demi lantai dengan tali tarsebut dengan cara sambung menyambung. Ternyata dalam kondisi darurat semua yang didasari nekad bisa berubah menjadi keajaiban!

Lelaki itu mengendap dan memanjat pagar samping rumah yang cukup tinggi hampir 3 meter mungkin.
Sesudahnya ia hanya berlari...berlari...dan berlari tanpa henti menembus kegelapan tanpa tahu arah kemana hendak dituju dan aaaaaghrrrh.....!!!

Nolan terjatuh dalam lobang hingga terguling-guling. Glek. Gelap. tak sadarkan diri. Suara gemericik sungai mengiringi tubuhnya yang diam tak bergerak.
***

"Saya di mana?"
Suara serak Nolan memecah keheningan ruangan ketika terlihat seorang perempuan berbaju putih mendekatinya.
"Oh Anda sudah sadar. Syukurlah. Anda pingsan seharian. Tubuh anda ditemukan para remaja pecinta alam di pinggiran Sungai Ottawa."
"Ini di daerah mana?"
"Anda tengah berbaring di rumah sakit pusat Pieree Janet di Gatineau," jawabnya.
"Gatineau?". Alhamdulillah, Nolan merasa lega ia selamat melarikan diri.
"Saya minta kertas dan pulpen." Setelah menuliskan nomor telepon orang tuanya dan pihak KBRI di Ottawa ia meminta agar sang suster membantu dia menghubungi nomor itu secepatnya. Ia khawatir anak buah Rosemary akan mengendus keberadaannya kembali.
***

Medina mencari ke luar halaman tapi sosok kecil Jasmine tak terlihat. Saat menanyakan ke Desi juga dia hanya menggeleng. Tante Fatimah masih sibuk di dapur.
"Jasmine ke mana?," bisik hatinya gundah.

Tak lama sebuah mobil berbenti di halaman. Mobil Rahman.
"Kamu kenapa Din seperti cemas begitu?". Rahman melihat Medina mondar-mandir sambil memegangi perutnya yang sudah nampak membesar.
"Jasmine nggak ada di dalam. Dia keluar entah kemana..."
Rahman mendadak ikutan gusar. Ia pun menyeberang jalan sambil celingak celinguk kiri kanan.

"Jasmine...!"

Bersambung #8

Note :
Mohon ma'af ada episode yang hilang diantara jilid #6 dan jilid#7. karena ada keluhan pembaca tentang hadirnya tiap episode per harinya, maka editor meringkas 2 episode menjadi satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER