"Jasmine...!!!"
Kali ini suara Medina melengking tanda mulai panik.
Seorang anak laki-laki kecil kira-kira usia 7 tahun kleluar dari rumah tingkat yang besar jarak dua rumah dari kediaman Tante Fatimah.
"Bunda...apa Bunda cari anak berambut coklat dengan mata biru?" tanyanya setengah teriak.
"Iya!!" Suara Medina dan Rahman berbarengan.
"Ada di dalam lagi ikut berdoa!"jawab bocah tadi.
Pfuiih...Medina langsung bernafas lega. Ia menuju rumah besar itu yang ternyata di depannya ada plang tulisan Pondok Quran Yatim Salamah. Rahman mengikutinya.
"Assalamualaikum...."
Bocah tadi berlari duluan ke dalam lalu terlihat naik tangga. Tak lama seorang wanita berhijab syar'i turun sambil menggandeng gadis kecil berambut panjang coklat tergerai.
"Mommy...!". Jasmine tertawa girang. Ia melepaskan diri dari tautan jemari yang menggandengnya.
Perempuan itu terbengong-bengong sesaat menatap Medina.
"Maaf Ibunya Jasmine?" tanyanya ragu.
Medina mengangguk.
"Oh saya pikir ibunya warga asing juga. Jadi sampai nyari-nyari ya. Maaf Bunda, tadi si kecil ikutan sama anak-anak di panti mungkin karena tadi pada keluar habis olah raga jadi ngikut saja," tutur perempuan berwajah manis yang kentara khas acehnya itu.
Jasmine berlari memeluk Medina lalu berganti menghambur ke pangkuan Rahman. Lelaki itu tertawa menyambutnya. Medina yang melihatnya terkaget sejenak. Apa segitu dekatnya Jasmine dengan Rahman?.
"Oh nggak papa Mbak. Justru saya yang terima kasih, untung mainnya masih dekat rumah sini. Kenalkan saya Medina. Saya tinggal di rumah Bu Fatimah, masih saudara. Saya sebenarnya sudah hampir setengah tahun di Aceh. Tapi maaf belum terlalu hapal tetangga. Tiap hari kalau nggak ke kampus ya cuman di rumah istirahat. Maklum hamil tua. Kalau nggak cari Jasmine mungkin nggak tahu kalau di sini ada Pondok anak yatim" urai Medina.
"Saya Cut Amira, Bunda. Kebetulan pemilik dan pengasuh pondok. Ini pondok peninggalan ibu saya, Ibu Salamah. Beliau meninggal tiga bulan lalu. Saya dapat amanah menggantikannya. Maka saya pulang ke Aceh. Sebelumnya tinggal di Medan. Jadi bisa dibilang saya juga baru di sini. Iya saya kenal Ibu Fatimah, teman ibu saya."
"Berapa anak yang di asuh di sini?" tanya Rahman antusias. Ia teringat masa kecilnya saat ayahnya meninggal di usia SD, ia mengaji di pondok anak-anak yatim yang sederhana di kampungnya, Solok.
"Ada 20 orang, tapi yang tinggal di sini setelah melalui seleksi cuma 10 orang. Mereka yang ayah ibunya sudah meninggal dan nggak ada keluarga yang mengurus," jawab perempuan itu.
"Lagi ada acara kah di atas?" tanya Medina.
"Kalau minggu pagi ada pengajian, doa bersama, sekaligus makan bersama. Ayo Bunda Medina dan Bapak, kalau mau gabung sekalian kenalan. Oya siapa tahu juga Ayah Bundanya Jasmine mau jadi donatur buat mereka...."
Medina dan Rahman saling pandang sejenak. Mungkin melihat Jasmine menggelendot ke lelaki itu Cut Amira mengira mereka sepasang suami istri.
"He...he..saya temannya Medina, Mbak Amira. Kalo ayah Jasmine masih di luar negeri," ujar Rahman menjelaskan khawatir Medina nggak enak.
"Oh begitu. Baik maaf...mari ke atas Bunda...."
Medina dan Rahman pun mengikutinya. Jasmine meloncat duluan dan lari ke atas.
Di atas ternyata ruangan kosong hanya ada meja-meja kecil memanjang dan sebuah white board besar di dinding. Lantainya berlapis karpet tebal warna merah marun. Terlihat ramai anak-anak tengah sarapan memakai nampan bareng-bareng. Rata-rata anak-anak usia SD.
***
Jeane membantu memapah Nolan menuju kursi roda. Setelah orang tua dan adiknya datang Nolan memang ingin segera latihan duduk. Tiga hari terbaring rasanya sangat tidak nyaman. Namun ternyata kaki kirinya sakit luar biasa. Bagaimana tak sakit kalau nampak memar dan terlihat pembengkakan di betisnya.
"Tulang anda mengalami keretakan Prof. Akibat terjatuh keras. Jadi memang harus digips agar bisa disatukan kembali."
"Berapa lama sembuhnya Dok?"
"Tergantung kondisi. Paling cepat 2 bulan," ujar dokter orthopedi yang menanganinya kemarin.
Setelah terduduk di kursi roda Nolan teringat akan sesuatu.
"Jeane, kumohon hubungi Medina segera biar dia tahu," kata Nolan.
"Kamu nggak ingin menelepon sendiri?" tanya papanya.
"Nanti saja,...saya malu kalau menangis di depan papa mama," jawabnya. Catherine langsung memeluk dan mencium kepala Nolan. Alhamdulillah akhirnya dia masih hidup dan baikan walau nampak kurus sekali.
"Kamu sangat kurus , Nolan" Catherine menangis.
"Nggak papa Ma. Minggu depan kalau sudah berkumpul dengan Medina dan anak-anak pasti gemuk kembali." Catherine tersenyum.
Jeane yang tengah menempelkan hape di telinga terlihat resah.
"Nggak nyambung, Nolan. Mungkin dimatikan. Jam segini di sana mungkin dia lagi ngajar."
"Mengajar?"
"Medina cerita kalau dia sudah jadi dosen pemerintah di Aceh," papar Jonathan.
Nolan terkesiap kaget.
"Medina di Aceh?"
"Yap. Dia mengajar di UIN Aceh, Nolan."
Antara senang dan kaget. Nolan tak tahu sama sekali kalau Medina ada niatan ke Aceh. Untuk menjadi dosen PNS pasti lamarannya sudah jauh-jauh hari sebelumnya. Dan Medina tak cerita sama sekali.
"Banyak hal yang saya tak tahu kah?"
"Medina sedang hamil. Omar mau punya adik." Catherine tersenyum.
Nolan tertawa gembira. Ternyata dugaannya benar. Mimpinya waktu itu juga tak salah.
"Oh Alhamdulillah, Thanks God!. Saya harus segera menyusulnya, Mam!"
"Sabar Nolan, tunggu kamu pulih benar." tukas Jeane.
"I can't wait. I miss them so much...."
Nolan tak bisa membendung air matanya.
Tak lama ada beberapa orang datang mengunjungi Nolan. Teman-temannya di LBH dan seorang utusan dari KBRI.
"Saya sudah membuat laporan ke kepolisian Nolan tentang tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Rosemary. Saya tinggal mengumpulkan bukti-bukti untuk menyeretnya ke pengadilan."
Erick, teman kepercayaan Nolan di LBH berbisik.
"Thanks, Brother. Saya minta tolong kamu mengurusnya. Mungkin dalam waktu dekat saya harus ke Indonesia secepatnya. Menengok anak dan istri saya."
"Pihak embassy siap memberikan pengamanan, Prof Ramirez." Lelaki berwajah Jawa yang sehari-hari bekerja di KBRI memandangnya optimis.
Selanjutnya karena belum dibolehkan pulang, Nolan meminjam laptop Jeane untuk membuka email.
"Akun-akunmu kata Medina sudah ada yang menutup. Saya baru ngecek facebook. Sudah dihapus. Agaknya Rosemary mengacak-acak semuanya agar keberadaanmu tak terdeteksi sama sekali," ungkap Jeane.
Nolan mengangguk. Ia sudah menduga. Namun ia mencoba membuka email dengan alamat yang waktu itu dibuatkan Medina.
Mata Nolan kian hangat ketika tahu ada puluhan surat yang masuk dan semuanya dari istrinya. Ia membuka yang terbaru yang dikirim dua hari yang lalu.
"Nolan, my dear. Bagaimana kabarmu hari ini. Semoga Alloh senantiasa melindungimu sayang. Hari ini kandunganku masuk 8 bulan. Tinggal sebulan lagi. Alangkah menguras hati melewati hari tanpamu Nolan. Maaf jika kalimat ini kuulang-ulang. Aku berdoa semoga akan ada keajaiban yang mempertemukan kita kembali hingga kau bisa mendampingiku melahirkan di sini, di Aceh. Tempat bulan madu kita pertama, Honey.
Oya Nolan, kemarin Jasmine hilang dari pandanganku, ternyata ia tengah bermain dengan anak-anak panti asuhan di dekat rumah Tante Fatimah. Jasmine berdoa bersama mereka. Mendoakan agar Daddy cepat kembali memeluknya. Memeluk Omar juga yang kini sudah bisa berjalan ke sana ke mari.
Salam rindu dari kami."
Jari Nolan lemas. Air matanya jatuh menimpa keyboard laptop.
***
Medina mencium pipi lalu menatap wajah Jasmine dan Omar yang baru saja tidur. Jarum jam di kamar merangkak dari angka 9. Malam kian menggigit.
Handphonenya yang mati sedari siang segera ia charge. Jam segini Tante Fatimah juga sudah istirahat di kamarnya. Sementara Desi terlihat masih di ruang tengah. Masih belajar untuk persiapan try out UN.
Seperti biasa ia harus membuka laptop dulu untuk mengecek email dari mahasiswanya. Apakah tugas-tugas yang diberikan sudah dikirim ke inboxnya.
Mata Medina mengerjap kaget ketika surat pertama yang masuk dari akun yang ia buat untuk Nolan dulu.
Ia pun membukanya dan matanya terbelalak surprais.
"Dear Medina, alhamdulillah atas doa kamu dan anak-anak saya berhasil menyelamatkan diri dan sekarang dalam pemulihan. Jangan khawatir, saya bersama mama papa dan Jeane sekarang. Baru sampai di rumah. Insya Alloh besok sore saya segera take of ke Aceh. Saya sangat merindukanmu, juga Jasmine dan Omar. Saya pun ingin mendampingimu kembali saat melahirkan. Sabar sayang. See you later, my dear. Nolan."
Ya Alloh!. Medina menutup mulutnya. Alhamdulillah...terima kasih ya Alloh, Engkau masih menyelematkan suamiku, gumamnya. Matanya langsung basah karena gembira.
Dan ia pun tak kuasa menggerakkan tubuhnya ke lantai untuk melakukan sujud syukur.
Setelah ponselnya nyala, ia baru tahu kalau ternyata Jeane telah menghubunginya beberapa kali sejak tadi siang.
Ia pun menelpon balik. Kalo sekarang di Aceh jam 10 malam berarti di Montreal sekitar jam 11 siang.
Di seberang sana, Nolan tengah duduk di kursi setelah berusaha latihan jalan meski tertatih-tatih mengenakan alat bantu.
Terlihat handphone milik Jeane di meja sebelahnya menyala. Nolan melirik tertera nama Medina memanggil.
Ia pun segera mengambilnya dengan berdebar saking bahagianya.
"Selamat siang Jeane, maaf seharian aku di kampus, hp ku mati. Aku sudah baca email dari Nolan. Apa benar dia sudah kembali. Oh Jeane aku senang sekali...bisakah kamu hubungkan ke Nolan sekarang?"
Nolan terdiam. Betapa rindunya ia akan suara itu. Matanya mengembun kembali.
"Jeane...maaf..apa kamu mendengarku?. Jeane...,"
"Medina...ini saya." Suara Nolan bergetar.
"No...Nolan?...Nolaaan!"
***
"Nolan sudah ditemukan?" Rahman terdiam sesaat. Harusnya ia senang, paling tidak ia tak akan lagi melihat mendung bergelayut di wajah Medina.
Tapi di satu sisi ia bakal kehilangan kebersamaan dengan perempuan itu, juga anak-anaknya. Padahal ia sudah merasa dekat dengan mereka. Entah mengapa pertemuan kembali dengan Medina seolah menjadi penghibur gulana di hatinya akibat ditinggalkan Sari, mantan istrinya.
"Alhamdulillah,...kapan dia akan ke sini?" "Mungkin besok siang sampai."
Rahman mengangguk. Ia lalu meninggalkan Medina sendiri di ruang rapat dosen itu dalam diam.
Medina menangkap perubahan sikap dan wajah itu.
Rahman memang secara tak sengaja pernah mengutarakan perasaannya kepada Medina dan malamnya Medina tak bisa tidur.
"Dina, ijinkanlah saya menjaga kamu dan anak-anak...."
"Rahman, itu tak mungkin. Saya perempuan bersuami. Saya masih memiliki harapan besar kalau Nolan akan kembali meski sampai 5 bulan ini tidak ada kabarnya," katanya saat itu.
"Saya tahu. Entahlah mengapa saya merasa bahagia jika bisa bersama kalian. Terutama jika main dengan Jasmine dan Omar. Anggaplah ini untuk menebus rasa salah saya karena dulu menolak kamu," ujarnya sambil tersenyum bercanda.
Medina campur aduk juga mendengarnya karena bagaimanapun ia perempuan biasa yang mungkin saja bisa tergoda. Siapa yang mampu menolak pesona Rahman, dosen muda, gagah dan berwibawa terlepas dari kekurangannya?.
Apalagi ia pernah jatuh hati kepadanya?. Ya , cinta lama bisa saja akan tumbuh kembali jika ada peluang dan kesempatan.
Dan itu sangat mungkin bisa terjadi. Apalagi Rahman selalu mengulurkan tangan untuk membantunya. Sangat tanggap menunjukkan kepeduliannya. Ia kadang datang di saat Medina benar-benar membutuhkan. Seperti waktu Omar sakit malam-malam, Rahman lah yang mengantar mereka ke dokter. Dan ia tak kuasa menolak kebaikannya.
Tapi Medina seolah dibangunkan dari kelalainnya. Tidak, sekali lagi tidak. Nolan sudah memberikan kebaikan lebih untuknya selama ini. Ia tak mungkin meninggalkannya.
"Kamu harus segera mencari ganti Sari, Rahman. Perempuan lain yang masih sendiri banyak."
"Boleh, jika ia semirip kamu," jawabnya tertawa.
***
Medina membantu Fatimah memasak di dapur. Mendengar Nolan dan keluarganya hari ini mau datang ke Aceh perempuan itu berinisiatif belanja segala rupa. Dari semalam Medina juga ikut beberes walaupun sudah dilarang takut kecapean.
Fatimah tengah meracik bumbu saat telinganya mendengar suara menjerit di ruang tengah.
Auwwww!. Suara Medina?! Ia segera beranjak tergopoh-gopoh.
"Medina kenapa?!". Nampak Medina jatuh terkapar di anak tangga!
"Tante...tolong...saya pendarahan!" Fatimah panik sambil teriak-teriak memanggil Desi.
"Desi, cepat telepon Bang Rahman minta ke sini bilang Kak Dina jatuh dan harus dibawa ke rumah sakit!"
Tak sampai 10 menit, Rahman datang dan dengan dibantu tetangga mereka mengangkat tubuh Medina ke mobil.
Sesampai di unit gawat darurat, Medina segera diperiksa kandungannya.
"Bayinya masih baik, tapi harus segera dilakukan tindakan operasi saecar. Bagaimana Bapak?" tanya dokter pada Rahman. Mungkin ia dikira suaminya.
Fatimah yang mendampingi Medina menatapnya.
"Bagaimana?"
"Bisa telepon Nolan suami saya?. Mungkin dia sudah landing," kata Medina.
"Baik, tapi kalau tak nyambung kita ikuti kata dokter saja ya Din," saran Fatimah.
Perempuan itu kemudian mencoba menghubungi Nolan dengan ponsel Medina.
"Dia lagi di jalan. Segera lakukan tindakan saja takut terlambat, itu sarannya."
***
Nolan dan keluarganya sampai di rumah sakit. Sesaat sesudah menerima telepon dia langsung menyuruh sopir taksi mengubah arah tujuan. Sepanjang jalan mulutnya tak lepas berdoa. Entah mengapa ujian demi ujian datang silih berganti menerpa keluarganya. Ia hanya terpekur.
"Sabar sayang. Semua akan baik-baik saja" ucap Catherine menguatkan.
Turun dari mobil ia berusaha berjalan meski terpincang-pincang dengan menggunakan alat bantu kruk. Sebenarnya kakinya masih sangat sakit, tapi kerinduan pada Medina melibas segalanya. Ia harus tegar demi mereka, keluarganya yang sudah berbulan-bulan menanti kedatangannya.
Fatimah meski tak terlalu kenal menyambut kedatangan mereka. Medina beberapa kali menunjukkan foto keluarganya di Kanada yang membuatnya terasa kenal dekat.
Demikian pula Rahman yang baru datang dari mushola menunaikan shalat zhuhur. Ia mendekati sosok lelaki jangkung itu.
"Anda pasti Nolan. Kenalkan saya Rahman. Saya dulu sempat datang ke pernikahan kalian," ujarnya menyalami Nolan. Ia berusaha lapang dada membunuh secuil cemburu yang menyeruak. Meski Nolan tampak kurus tapi ketampanannya tetap saja tak tersembunyikan. Wajar jika Medina setia dan amat mencintainya.
"Oh..thanks. Apa anda saudara Medina?" balasnya.
"Bukan, dia teman dosen di kampus." Fatimah menjelaskan.
Mendengarnya Nolan langsung menatap Rahman sekilas. Lelaki di depannya terlihat gagah berwibawa. Ah ia tak sempat berpikir kalau Medina punya teman dekat laki-laki. Ia pernah kesal ke Medina lantaran Ken teman kuliahnya mengantarnya pulang ke apartemen hampir malam. Ia cemburu waktu itu.
"Sudah berapa lama Medina di kamar operasi Tante Fatimah?" Nolan mengalihkan pandangannya.
"Satu jam sepertinya."
Mereka kemudian duduk di ruang tunggu dalam keheningan. Rahman beringsut minta ijin hendak ke kantin. Toh ia merasa tugasnya telah selesai.
Namun belum juga melangkah dari sebuah pintu muncul Desi menggandeng Jasmine dan Omar.
Jasmine yang melihat Rahman langsung menghambur.
"Uncle...uncle...Uncle Aman..!" teriaknya. Nolan menatapnya kaget.
Jasmine?!. Anaknya tampak semakin cantik dengan rambut panjang coklat tergerai. Ya Alloh ia sangat rindu ingin memeluknya, tapi Jasmine malah berlari ke arah lelaki itu.
Rahman mengangkat Jasmine seperti biasa jika bertemu.
"Jasmine...daddy sudah datang lihat itu!" Rahman menunjuk Nolan dari tempatnya berdiri.
Rahman menggendong dan membawanya ke Nolan tapi gadis kecil itu menggeleng. Nolan menelan rasa sedihnya. Jasmine tak mengenalinya. Ya Tuhan.
"No...No...not my daddy!". Jasmine menggelengkan kepalanya keras-keras.
Ia malah mengajak Rahman pergi keluar. Ia minta sesuatu layaknya anak kepada bapaknya. Membuat hati Nolan cemas. Siapa laki-laki berkacamata itu sebenarnya. Kenapa ia tampak begitu akrab dengan Jasmine?
"Jangan sedih. Jasmine hanya perlu adaptasi," bisik Jeane menepuk-nepuk bahu Nolan.
Desi mengantar Omar ke mamanya.
"Ini Omar?" tanya Catherine mendekati mereka. Anak itu mengangguk-angguk lalu tertawa memperlihatkan giginya yang tumbuh.
Jonathan menggendongnya dan membawa Omar ke depan Nolan. Nolan pun menerimanya lalu menciumi anak berusia 15 bulan itu. Anak itu kemudian minta turun.
"Dia sudah bisa jalan, nggak papa," tukas Fatimah.
Nolan menatapnya haru. Enam bulan berlalu begitu banyak perubahan dalam kehidupan anak-anaknya. Dan ia telah kehilangan momen indah itu. Rasanya ia tak akan pernah bisa memaafkan Rosemary seandainya perempuan itu membungkuk-bungkuk untuk minta maaf sekalipun.
Tak lama pintu ruangan operasi terbuka dan beberapa tenaga medis keluar bersama pertanda tugas sudah selesai.
"Keluarga Nyonya Medina?. Silakan masuk. Operasi sudah selesai. Silakan kalau mau lihat bayinya". Jeane membantu kakaknya bangkit dan memapahnya.
"Oh jadi Anda suaminya?. Pantas bayinya putih sekali dan matanya biru, " gurau sang dokter saat bertemu Nolan.
"Bayi Bu Medina masuk inkubator dulu ya Pak, karena umurnya sebenarnya baru 33 minggu, perlu penanganan intensif."
Seorang bidan memperlihatkan bayi yang ada dalam boks dorong. Bayi laki-laki.
"Laki-laki Dok?" ia memastikan. Dokter mengangguk. Nolan mengucap syukur.
"Istri saya di mana?"
"Istri Bapak belum siuman. Karena ada pendarahan besar jadi tadi harus bius total. Silakan kalau Bapak ingin jenguk."
Nolan berjalan mendekati sosok tergolek di atas ranjang operasi. Wajah itu terdiam.
Ia mengelus pipi Medina lalu menciumnya meleburkan rasa rindu yang ia tahan berbulan-bulan lamanya.
"Maafkan saya, Medina."
***
Suara azan membangunkannya.
Mata Medina terbuka. Ia melihat langit-langit ruangan yang berbeda. Sejenak dikumpulkannya ingatan yang berserakan. Lalu ujung dari ingatannya mengerucut pada satu nama.
"Nolaan!" Lelaki yang tidur dengan wajah tertelungkup di samping ranjang itu tersentak.
"Medina, alhamdulillah kamu sudah sadar, Honey". Medina terperanjat kaget melihat wajah di sampingnya. Nolan sudah ada di dekatnya. Ia menangis. Tangannya meraba wajah bercambang lebat seperti tak terurus itu.
"Nolan,...kamu kurus sekali..."
"Saya kurus memikirkanmu. Saya takut sekali kamu pergi meninggalkan saya." Nolan tersenyum mencoba bercanda sembari meraih jemari Medina dan menggenggamnya.
"Sampai kapanpun aku akan menunggumu, kamu berjanji akan menyusul." Suara Medina bergetar.
Keduanya lalu berpelukan erat menyatukan kembali kehangatan yang pernah hilang. Suara tangis Medina memecah keheningan kamar.
"Di mana bayi kita?" tanyanya setelah tersadar.
"Di ruang inkubator. Dokter menyarankan karena usianya baru 33 minggu."
"Aku cuma USG sekali. Dia laki-laki apa perempuan?" Nolan sedikit kaget.
Bagaimana mungkin Medina secuek itu. Padahal Jasmine dan Omar selalu mereka kontrol dengan baik saat dalam kandungan. Dan Nolan lah yang paling rewel untuk urusan itu.
"Laki-laki Medina. Saya akan memberinya nama Khaleed. Apa kamu setuju?"
"Nama yang bagus. Seperti Khalid Bin Walid."
Nolan mengangguk.
"Maafkan aku Nolan. Aku tak bisa menjaganya dengan baik." Agaknya Medina bisa merasakan mengapa Nolan terkaget karena ia tak tahu jenis kelamin bayinya. Nolan menggeleng.
"Sudah...tak perlu disesali. Semua di luar rencana kita bukan?"
Medina segera melepas pelukannya ketika mendengar suara ramai memasuki kamarnya. Ah...keluarga Nolan ternyata ikut semua.
"Papa Mamamu juga dalam perjalanan ke sini," ujar Fatimah ketika mereka masuk.
Hari itu amat membahagiakan Medina. Berkumpul bersama dua keluarga.
***
"Mommy...where's Uncle Aman... i want uncle." Jasmine mengagetkan Nolan dan Medina di kamar. Medina tengah menggendong Khaleed yang akhirnya dibolehkan pulang setelah seminggu di inkubator.
"Paman Rahman pasti banyak pekerjaaan jadi nggak ke sini. Sekarang Jasmine main sama Daddy. Kan Daddy sudah bareng kita di sini?" bujuk Medina.
"Daddy tak bisa gendong...." rajuk Jasmine.
"My Dear Jasmine, nanti kalau Daddy sembuh...Jasmine digendong Daddy seperti dulu." Nolan akhirnya bersuara menahan ibanya.
Kini Jasmine malah mencari laki-laki itu ketimbang dia. Bukankah ini menyesakkan.
Mengetahui posisinya di depan anaknya sendiri tergantikan oleh lelaki lain benar-benar membuatnya gusar. Cemburu itu membakar lagi lebih panas dari waktu di rumah sakit.
Jasmine tersenyum mengangguk lalu keluar karena dipanggil Desi diajak main ke pondok anak yatim.
"Seberapa dekat kalian dengan Rahman?" tanyanya agak serius. Ia duduk di pinggir kasur. Ia terpaksa mengutarakannya karena memendam hal itu tak mengenakkan.
Medina tersenyum.
"Rahman teman dosen di kampus Nolan dan teman kuliah S2 dulu di Jakarta. Rumah dinasnya dekat sini. Makanya ia sering mampir main bareng anak-anak."
"Memangnya dia masih sendiri?"
"Waktu kami datang, dia baru bercerai." jawab Medina jujur.
Dahi Nolan berkernyit. Bercerai?... jelas Rahman single man kalau begitu.
"Lalu dia mendekatimu karena ingin menggantikanku. Mungkin dia pikir saya tak akan menyusulmu?. Dia dekati anak-anak dulu baru ibunya. Begitu?"
Entah setan apa yang mempengaruhi lelaki itu hingga kepalanya diracuni rasa curiga.
Mata Medina menyipit. Nolan seperti sosok asing sejak dari rumah sakit itu. Ia cenderung diam dan...ah...seperti bukan Nolan yang ia kenal. Apa saja sebenarnya yang ia lihat pada diri Rahman?.
"Nolan..."
"Dan kamu..kamu...pernah menyukainya bukan, Medina?!"
==========
Medina meletakkan Khaleed yang sudah nyenyak ke tempat tidurnya. Ia hanya diam. Ia tak ingin semakin membakar kecemburuan Nolan walaupun ada emosi menyulutnya. Bagaimana kalau ia menggodanya saja?.
"Aku memang pernah menyukainya. Apakah itu salah?. Seandainya proposal darimu datang duluan mungkin ceritanya akan berbeda.
Sayangnya aku tak punya kemampuan menerawang garis takdirku sendiri. Ketika tahu dia akan menikah dengan seorang gadis, aku sadar aku harus menutup rasa itu. Tutup buku. Aku mengejar takdirku yang lain meski masih gelap. Lalu kamu datang, percayalah menyukaimu jauh lebih indah, Honey."
Medina berusaha menatap Nolan mesra.
"Jadi kau diam-diam mendaftar jadi dosen di sini juga bukan karena dia ngajar di sini?"
My God. Tak mempan rupanya.
"Oh Nolan, dulu kamu bilang aku kalau cemburu merepotkan hanya karena nanya siapa Cut Medina dan seberapa suka kamu padanya. Tapi kamu?. Cemburumu membuat dadaku sesak.
Nolan, aku tak tahu sama sekali dia ada di Aceh. Aku minta maaf tak meminta ijin waktu mendaftar karena sekedar coba-coba saja waktu itu. Aku ingin memberimu kejutan. Bukankah kamu pernah bilang, Aceh seperti tanah airmu kedua sesudah Kanada?. Tapi ternyata ada kejadian di bandara yang mengacaukan segalanya."
Nolan masih mencangkung di bibir kasur.
"Apakah kalian sering bertemu atau pergi bersama-sama selama saya nggak ada?. Kalau tidak, mengapa Jasmine bisa sedekat itu kepadanya. Mengapa kamu biarkan?"
Seserius itu kah kecurigaan Nolan?. My Profesor, apa yang membuatmu berubah, gumam Medina.
"Nolan, apa kamu tak bisa membayangkan betapa beratnya kehamilanku kali ini. Selain beban psikis, fisikku lemah. Aku tidak berselera makan. Bahkan sering dimuntahkan kembali. Rahman hanya datang mengajak Jasmine dan Omar main ke luar, jalan-jalan karena aku jarang menemani mereka. Dia kasihan sama aku. Bagaimana aku bisa tega mengusirnya?.
Aku tak sampai hati, Nolan. Dia menyukai anak kecil ... karena dia merasa tidak punya kesempatan memiliki anak sendiri."
"Apa maksudmu?"
Medina lalu bercerita penyebab perceraian Rahman dengan istrinya sebelum mereka bertemu.
Nolan masih terpaku di posisinya.
"Nolan, untuk apa kita mengungkit masa lalu. Rahman hanya teman bagiku. Seperti halnya masa lalumu dengan Doktor Rose. Padahal kalau mau lebih curiga, aku pun bisa bertanya selama 6 bulan dikurung wanita cantik itu yang jelas-jelas mencintai kamu secara nekad, apakah kalian tak melakukan apa-apa?"
Akhirnya benteng pertahanan Medina ambruk.
Ia tak peduli lagi jika pertanyaan itu dianggap serangan balik. Jika Nolan marah melebihi ledakan bom atom Hiroshima Nagasaki ia pun akan pasrah.
Mata Nolan menatap tajam.
"Kamu berpikir saya ada main dengan orang yang menghancurkan hidup saya?. Yang membuat saya seperti orang pesakitan?. Pikiran macam apa itu?"
"Lalu mengapa kamu juga tega berpikir aku ada affair dengan Rahman. Apa bedanya?"
Kali ini Medina tak kuat menahannya. Suaranya terbata-bata hingga air matanya mulai berhamburan. Ia menangis karena kesal.
Nolan akhirnya merutuki dirinya sendiri yang mendadak berubah kekanak-kanakan. Apakah lantaran dikurung 6 bulan otak warasnya jadi konslet demikian. Atau kadar IQ nya turun sampai 50 persen?. Seorang profesor bisa hilang rasionalitasnya karena terbawa perasaan?.
Tak cukup hanya dengan jawaban 'profesor juga manusia' untuk melakukan pembelaan diri.
Tapi di atas itu dia juga seorang muslim yang harusnya tahu dilarang mengedepankan prasangka atau suudzon melebihi akal sehat. Apalagi tuduhan tidak-tidak pada istrinya sendiri tanpa bukti.
Nolan beristighfar. Mungkin ia terlalu lama memendam rasa letih.
Lelaki itu pun bergerak tertatih mendekati Medina dan memeluknya erat lalu menciumi rambutnya.
"Maaf ... maafkan saya Medina. Saya tak bermaksud membuatmu sedih. Maafkan kalau saya terlampau cemburu."
Medina membalas mendekap punggung Nolan dan menelungkupkan wajah ke dada suaminya. Menyembunyikan rasa lelah yang sama.
"Aku tahu ... aku tahu ... apa yang berkecamuk dalam hati kamu," ucapnya.
"Benar Honey, kamu pasti tahu berat sekali bagi saya menahan kerinduan selama 6 bulan. Rindu yang tak tersalurkan akan meledak suatu saat dengan emosi yang tak terkendali, mungkin juga rasa cemburu seperti saat ini. Dan sampai Aceh pun saya hanya sanggup memandangimu. Kaki saya retak dan sakit lalu kamu ... kamu baru nifas."
Akhirnya Nolan hanya bisa tersenyum tipis.
"No problem, ... for me looking at you is enough," jawab Medina tertawa sambil mengusap matanya.
"Really?. Tapi saya ingin lebih ... " sahut Nolan. Medina merajuk.
Nolan pun kemudian hanyut dalam kelembutan bibir Medina seiring keinginan menenggelamkan luka-lukanya.
"Mommy...Daddy...what are you doing?!!".
Tiba-tiba tangan kecil Jasmine berusaha mendorong memisahkan mereka.
Sambil menahan malu Nolan lalu mengangkat tubuh mungil Jasmine walau sempoyongan dan akhirnya keduanya terjatuh di kasur. Jasmine kegelian karena digelitikin ayahnya dan Medina sukses mentertawakannya.
***
Empat bulan berlalu. Medina sudah mengajar kembali setelah menikmati cuti melahirkan selama 3 bulan. Ia juga tengah merintis LSM untuk menangani permasalah sosial dan hukum dalam keluarga setelah mengetahui data mencengangkan dari Mahkamah Syari'ah Aceh bahwa tingkat perceraian di Aceh tahun 2017 naik drastis dan umumnya justru karena cerai gugat bukan cerai talak.
Artinya kasus perceraian terbesar di sana karena permintaan pihak istri. Ia sangat tergugah untuk menelitinya dan tentunya bisa ikut menjadi bagian solusi tersebut.
Beberapa mahasiswanya yang ia percaya bersedia ikut menjadi volunteer. Adalah sebuah anomali jika Aceh yang dikenal sebagai serambi Mekah justru tingkat ketahanan keluarganya lemah.
Sedangkan Kaki Nolan pun sudah bisa digerakkan seperti semula.
Ia sudah mulai beraktivitas kembali untuk menekuni penelitiannya selain menjadi dosen tamu di beberapa tempat di Singapura, Malaysia juga di Aceh sendiri.
Penelitian yang harusnya sudah berjalan sejak bulan Januari, terpaksa baru ia mulai pelaksanaanya di bulan Juli. Harapannya jatah 2 tahun yang diberikan oleh pihak lembaga pemberi hibah bisa terselesaikan sesuai waktu yang ada. Toh ia sudah memberikan lampiran penjelasan penyebab keterlambatan.
Nolan pun berencana mengajak Medina membeli rumah sendiri di kawasan dekat kampus agar lebih leluasa karena anak-anak juga semakin besar butuh kamar tambahan. Selain itu tak enak dengan Desi. Gara-gara ada Nolan, ia jadi tak terlalu bebas di rumahnya sendiri. Kemana-mana bahkan sekedar keluar kamar untuk mengambil minum ia harus selalu mengenakan jilbabnya.
Keduanya sudah menikmati kembali kehangatan keluarga yang sempat hilang. Seolah mengejar ketertinggalan, tiada weekend tanpa melewatinya dengan jalan-jalan bersama. Terutama untuk keceriaan Jasmine dan Omar.
Seperti sekarang mereka sudah sampai di Pulau Weh, ujung barat Pulau Sumatera. Di Kota Sabang ia ingin mengenang kembali kebersamaannya dengan Medina. Kali lini lebih lengkap karena mereka sudah berlima.
Pagi-pagi Nolan sudah menggendong Omar di atas pundaknya. Jagoannya itu paling gembira jika sudah duduk demikian lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke sana ke mari. Mereka keluar dari sebuah cottage menuju pantai Iboih. Jasmine sudah berlari-lari ke depan. Anak itu doyan banget akan laut dan pantai. Hampir tiap akhir pekan selalu pengen lihat laut.
Medina yang terakhir keluar bersama Khaleed di gendongan dadanya segera menutup pintu dan menguncinya.
Baginya, Sabang mengingatkan kenangan 4 tahun yang lalu bersama Nolan saat mereka bulan madu ke titik nol kilometer.
"Mommy...cepat!" teriak Jasmine.
Medina pun bergegas menjejeri Nolan.
"Kenapa pakai lama istriku, kita kan mau mengejar sunrise," godanya.
"Tadi ada sesuatu yang ketinggalan."
"Apa?"
"Nanti saja kasih tahunya pas di pantai. Pokoknya sesuatu yang bakal mengobati rasa cemburu kamu!" Nolan tertawa.
Apa ini ada hubungannya dengan Rahman?.
Mereka tiba di pantai. Nampak matahari muncul malu-malu dari garis cakrawala. Sunrise di Pantai Iboih memang salah satu yang menarik wisatawan domestik maupun manca negara.
Suasana pagi begitu semarak dibuatnya.
"Daddy...turun!" pinta Omar. Hap!. Anak itu langsung meloncat dan berlari mengejar Jasmine. Mereka lalu bermain pasir.
"Khaleed ... kamu mau mengejar kakak-kakakmu? Ayo." Nolan mengangkat Khaleed dari gendongan Medina.
Mereka berjalan beriringan membiarkan kaki-kaki itu mengaduk-aduk pasir putih.
"Apa tadi yang mau ditunjukkan, Honey?" Nolan melirik Medina lalu mengalihkan wajahnya ke muka mungil Khaleed yang menggemaskan.
Dari ketiganya, Khaleed lah yang paling mirip Nolan. Kulitnya paling putih kemerahan matanya biru sempurna dan hidungnya paling mancung. Ia memang lebih nemberi perhatian ekstra ke Khaleed karena dihinggapi rasa bersalah tidak mendampingi sedikitpun perkembangannya saat di perut ibunya sampai-sampai lahir prematur.
Medina mengeluarkan sesuatu dari saku gamisnya. Sebuah undangan warna krem.
"Apa itu?"
"Undangan pernikahan dari Rahman. Kemarin ia memberikan pas di kampus."
"Ohya?. Alhamdulillah, akhirnya dia mau menikah lagi. Dengan siapa?"
"Kau mau tebak?"
"Saya tak suka nebak-nebak. Saya juga tak suka doorprize." Nolan tertawa menggeleng. Ia masih menciumi pipi Khaleed.
"Sama Cut Amira, tetangga kita," kata Medina lalu mengajak Nolan duduk sebentar di atas pasir.
"Ohya??. Apa dia bersedia .... Saya lihat Amira masih muda. Mungkin dia juga berharap punya anak."
Medina diam menerawang. Matanya kagum menikmati keindahan sunrise pukul 6 pagi itu. Mentari malu-malu menyembul dari balik Pulau Rubiah.
Semalam Tante Fatimah cerita kalau dia lah yang jadi mak comblang mereka berdua. Rahman dan Cut Amira, dengan alasan ia teman dekat ibunya Amira.
Tentu saja ia sudah tahu kondisi Rahman.
Tak disangka Cut Amira menerimanya dengan salah satu alasan ia pun bukan gadis sempurna. Tahun lalu ia sempat melakukan operasi pengangkatan ovarium alias indung telur karena ada infeksi di salah satu saluran telurnya. Jadi kini ia hanya punya satu ovarium, dan menurut dokter seandainya menikah harapan memiliki anak pun tinggal 30 persen. Beberapa calon yang dijodohkan memilih mundur ketika mereka tahu kondisi Cut Amira.
Rahman tak masalah tentang itu, karena sekarang menikah untuk memiliki anak bukan prioritas melainkan keinginan untuk menggenapkan separo agama dan menjaga diri dari pandangan mata dan nafsu yang tak baik.
Apalagi Cut Amira memiliki 20 anak asuh di pondok yatimnya. Ia ingin bersama gadis itu belajar menyayangi mereka. Anak-anak yang kehilangan orang tua. Toh memiliki anak tak harus anak biologis. Jika menyayanginya dengan tulus mereka juga akan seperti anak-anak sendiri.
"Subhanallah ... niat yang indah," puji Nolan. Dia menyesal pernah berpikir jelek tentangnya. Tapi dia sudah sempat minta maaf sebulan lalu saat tak sengaja ketemu Rahman di kampus Medina.
"Honey, saya juga punya kabar bagus untuk kamu," ujarnya.
"Oya?, Apa itu?"
"Kamu nggak mau nebak?"
"Aku juga nggak suka doorprize, apalagi kalau hadiahnya cuma piring atau gelas ha...ha," seru Medina.
"Buku saya yang bercerita pengalaman disekap waktu itu, sudah dipinang penerbit. Mungkin bulan depan launching," ujar Nolan. Kali ini Medina benar-benar surprais.
"Wow...selamat sayang. Aku kok nggak tahu. Apa judulnya?"
"Judulnya 'When He Lost Medina'...."
Dahi Medina berkernyit.
"Serius?. Pake disebutin namaku?"
"Justru di situ bobotnya. Bisa dibilang ini sekuel dari novel Soul Adventure yang dulu dan sempat best seller di Kanada."
"Ah aku merasa tersanjung. Jangan-jangan nanti pada googling namaku dan pada ngantri minta tanda tangan?"
Nolan melirik istrinya. Suka jika dia melihat Medina lucu begitu.
"Apa itu istilahnya ... gede rasa ya?" ujar Nolan sembari mencubit pipi Medina.
"Gak apapa asal bukan mati rasa ha...ha...." Medina tertawa renyah.
Nolan pun bercerita. Erick, rekan Nolan di LBH menginformasikan bahwa Rosemary sudah ditangani pihak kepolisian. Rumah penyekapan sudah disegel dan beberapa barang yang ditemukan jadi bukti. Salah satunya buku catatan Nolan yang tertinggal karena waktu itu Nolan buru-buru kabur. Buku itu kemudian difotokopi oleh Erick dan dikirim ke Indonesia karena Nolan memintanya untuk diketik ulang dan dijadikan novel.
"Syukurlah ... aku turut lega."
"Ada berita bagus kedua ... dan ini sangat membuat saya bahagia. Saya dapat infonya tadi subuh."
"What?"
"Erick mau melamar dan menikahi Jeane. Mungkin karena selama beberapa bulan ini Jeane bolak-balik ke LBH ikut mengurusi masalah kakaknya." Nolan tertawa.
"Lalu Jeane mau?. Dia kan ... "
"Alhamdulillah mau. Termasuk bersedia untuk hijrah, menjadi muslimah. Sebenarnya kalau Jeane tinggal nunggu hidayah. Dia sudah baca terjemah Al Quran sampai tamat dan pernah coba-coba merasakan belajar puasa. "
"Allahu Akbar...!" pekik Medina. Ia sangat surprais dan bahagia sekali mendengarnya.
Medina memeluk bahu Nolan yang kini sudah padat kembali. Ya Alloh semoga kebahagiaan itu tak terlepas lagi, bisiknya.
"Jadi menurut kamu, apa hikmah terbesar dari kejadian penyekapan itu Nolan," tanya Medina sambil membetulkan letak kerudungnya dan mengajaknya bangkit.
Mereka berjalan kembali untuk pindah duduk ke tempat agak sepi karena Khaleed menangis minta nyusu. Jasmine dan Omar masik asyik membuat rumah-rumahan dari pasir putih tak peduli badan kecil mereka belepotan di sana-sini.
"Banyak sayang. Yang jelas hafalan Al Quran saya bertambah jadi 5 juz."
"Subhanallah...."
"Kedua, saya sudah terbiasa berpuasa. Puasa sangat berjasa untuk mengatasi rindu yang bergejolak. Rindu sama kamu ..." Mata Nolan mengerling jenaka.
"Berarti sekarang sudah nggak rindu dong," rajuk Medina.
"Makin, kan sudah di depan mata. Rindunya sudah berubah jadi nafsu."
"Ih!!....Nolan!"
"Nafsu makan maksudnya .... Yuk saya sudah lapar kita sarapan dulu di hotel. Katanya mau coba merasakan sate gurita?"
"Tapi halal nggak tuh?" tanya Medina.
"Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan semua hewan laut itu halal dimakan," papar Nolan.
"Buat ibu menyusui nggak apapa?"
"Wah tak tahu kalau itu nanti ditanyakan. Tapi kalau cuma nyicip mungkin nggak papa."
"Daddy... aku mau berenang!" Jasmine menggeleng saat diajak kembali.
"Nanti sayang, masih dingin. Kita makan dulu terus ambil baju ganti dulu ya!" seru Nolan membujuk Jasmine dan Omar. Nolan mendekat lalu menggendong Omar. Mereka sudah antusias mau diajak snorkeling melihat akuarium alami raksasa dengan ikan-ikannya yang indah.
***
Jakarta, September 2028
"Hadirin, pernikahan beda bangsa dan negara sebenarnya sudah tak asing lagi. Tapi pasangan yang satu ini cukup unik. Keduanya sama-sama bergelar profesor di usia muda. Kisah-kasih mereka dituangkan cukup indah dan menarik dalam sebuah buku setebal 500 halaman. Mari kita sambut Profesor Nolan Ramirez dan Profesor Medina Pratomo ....!"
Pembawa acara alias host memperkenalkan Nolan dan Medina yang memasuki ruangan. Tepuk tangan menggema memenuhi aula di acara Islamic Book Fair 2028.
Buku mereka bergenre keluarga dengan judul "Become Professor Family" masuk best seller tahun ini karena laris terjual hingga 8000 ribuan per bulan dan sudah cetak ulang 10 kali.
"Kabarnya anda profesor wanita termuda di bidang hukum keluarga di kampus anda ya, karena jadi profesor pada usia 43 tahun?"
"Katanya sih demikian saya kurang tahu, tapi yang lebih hebat pasti banyak," jawab Medina.
Mereka berdua pun bercerita tentang isi buku dan suka duka menikah antar bangsa. Termasuk anak-anak ada yang lahir di luar negeri dan di Indonesia.
Lalu anak-anak mereka dipanggil maju juga ke depan.
"Siapa saja nih?. Boleh dikenalkan?" tanya sang host.
"Jasmine, please perkenalkan diri dan saudara-saudaramu," kata Nolan.
"Saya Jasmine, umur 13 tahun. Lalu adik-adik saya Omar, Khaleed, trus disamping Mommy itu Zahara dan yang dipangku Daddy namanya El Fatih umurnya hampir 4 tahun."
"Profesor Nolan, tiga belas tahun menikah ini anaknya sampai 5 jaraknya dekat-dekat begini, apa tidak ikut KB?" tanya sang Host lagi keheranan sambil menahan tawa.
"Ikut lah...KB, keluarga besar."
Penonton tertawa.
"Kata istri saya namanya kejar setoran...." lanjut Nolan lagi sambil melirik Medina. Seisi aula tertawa lagi, mungkin karena yang mengatakan bule dengan aksen khasnya jadi terdengar lucu.
"Benar begitu Prof Medina?"
"Ha...ha...memang waktu itu kami menikah masing-masing sudah kepala tiga, jadi agak dikejar umur. Tapi alhamdulillah dijalanin saja," papar Medina dengan wajah sumringah.
"Apa ada rencana nambah lagi?"
"Wah, saya sudah lewat 40 tahun dan 3 kali menjalani operasi caesar. Mungkin sudah waktunya fokus membimbing dan membesarkan." Medina menjelaskan.
"Ya benar. Saya inginnya 10, tapi kasihan istri saya. Maka saya tawar separonya, 5 saja ... alhamdulillah dikabulkan Alloh. Banyak anak banyak rejeki," sambung Nolan disambut applaus. Entah apa yang ditepuk tangani mungkin kalimat "banyak anak banyak rejeki" yang di era milenial ini sudah sangat langka dan hilang dari peredaran.
Selanjutnya host memanggil sepasang suami istri yang bukunya juga best seller. Judul bukunya "Pesantren Yatim Milenial".
"Kita panggil pasangan Moh. Rahman Al Farizi dan Cut Amira Syarifah...!".
Medina terbelalak. Rahman?. Amira?. Ya Alloh betapa sempitnya dunia karena setelah lama terpisah mereka dipertemukan kembali di Jakarta.
Setelah pindah rumah memang mereka jarang ketemu dan Rahman hijrah mengajar ke UIN Jakarta. Mereka tetap mengembangkan pondok yatim menjadi pondok pesantren di daerah Depok dan Bogor.
"Wah ternyata sudah saling kenal ya?" seru pembawa acara kaget.
"Kami pernah tetanggaan waktu di Aceh," jawab Rahman yang saat itu terlihat lebih gemukan namun tetap berkacamata.
Medina justru terpesona dengan anak lelaki yang usianya sekitar 6 tahun menggelendot di sisi Cut Amira. Wajahnya sangat mirip dengan Rahman. Siapa dia?
Cerita pun terkuak saat mereka berdua makan bersama di food court arena Book Fair.
"Alhamdulillah Mbak Dina. Setelah pindah ke Jakarta dan kami meneruskan bisnis Papa di bidang property, kehidupan ekonomi kami mengalami kemajuan. Berkat doa anak-anak pondok juga tentunya. Kami juga bisa membuka pesantren yatim di beberapa tempat. Rejeki penuh berkah...."
"Zaidan umur berapa?. Kalian adopsi dari salah satu anak yatim?"
"Zaidan usianya 6 tahun mbak Dina. Dia anak kandung kami." Mata Cut Amira berkaca-kaca.
"Alhamdulillah ...." bisik Medina tersenyum.
"Rejeki dari Alloh. Kami berdua mencoba ikut program kehamilan selama satu tahun full. Menjaga pola makan dan jenis makanannya, ikut olahraga khusus. Namanya ikhtiar saja walaupun kemungkinannya kecil. Kami mengikuti program ICSI, bahasa dokternya untuk istilah injeksi sperma ke sel telur."
"Bayi tabung?" tebak Medina.
"Hampir mirip. Tapi pada ICSI, sperma suami langsung dimasukkan ke sel telur tanpa dibiarkan membuahi sendiri."
"Ooh.." Medina mengangguk-angguk.
"Ini salah satu program khusus bagi pasangan yang suaminya memiliki masalah kesuburan karena jumlah spermanya tak memadai atau kurang untuk membuahi atau bisa juga bentuknya tak normal sehingga kemampuan geraknya kurang bagus," papar Cut Amira. Ia melanjutkan cerita tanpa jengah lalu meminum jus jambunya yang tampak menyegarkan.
"Barakallah untuk kalian. Semoga bahagia selalu ya."
"Bunda!" Rahman datang bersama Zaidan mendekati mereka. Lelaki berkacamata itu tersenyum menyapa Medina.
"Maaf Prof Medina, saya harus cepat-cepat ngajak Bundanya Zaidan pulang karena mau ada tamu di rumah. Oya...silakan mampir ke rumah mumpung lagi di Jakarta." Rahman menawarkan.
"Wah dengan senang hati, tapi tak usahlah kamu sebut-sebut prof, begitu Rahman. Nggak enak saya ... kamu kan bukan mahasiswaku." Rahman dan Cut Amira tertawa lalu mereka pun pamitan berpisah.
Tak lama Nolan sudah datang dengan lima kurcacinya. Masing-masing membawa bungkusan buku.
"Sudah belanja bukunya?. Banyak banget!" seru Medina.
"Bukunya bagus-bagus Mom. Saya beli tiga buku," ujar Jasmine.
"Yuk kita pulang, Opa Oma sudah nungguin kalian di rumah," lanjut Medina.
"Kapan kita pulang ke Aceh, Mommy?" Zahara gadis kecilnya merengek. Dia memang paling tak betah bepergian.
"Besok, insya Alloh sayang."
Mereka hendak bergegas tapi ada beberapa orang yang kenal malah ingin foto-foto dan minta bukunya ditanda tangani oleh Nolan dan Medina.
Ya, selebritis dadakan. Tapi sebuah apresiasi wajar untuk dedikasi buku parenting pertama mereka yang serius dikerjakan selama dua tahun.
"Aku juga Mbak Dina ditanda tangani dong. Masih kenal kan?!"
Seorang perempuan muda berjilbab tengah hamil besar mendekatinya.
"Ya Alloh Dias?...Kamu Dias kan?!". Mereka saling menghambur dan berpelukan erat. Medina masih ingat beberapa bulan setelah kejadian penembakan yang menimpa Nolan di Quebec City, Dias dan Aryo suaminya pulang ke Indonesia karena tugas belajarnya sudah selesai.
Nolan tampak ngobrol dengan Aryo yang menggandeng gadis kecil berjilbab kuning.
"Berapa bulan?. Anak ke berapa Dias?. Kenapa nggak ada kabar?"
"Nanyanya satu-satu mbak Dina. Ini lagi hamil 7 bulan. Anak kedua. Jadi sepulang dari Montreal saya hamil, alhamdulillah. Itu yang pakai jilbab kuning. Namanya Rania."
"Wah...pintar mengaturnya, jaraknya lumayan jauh dong ya?" goda Medina.
"Alhamdulillah 10 tahun. Tadinya kupikir nggak akan dikasih lagi...."
"Mommy...cepetan!" Kali ini Zahara dan Omar berbarengan yang bersuara. Wajah Omar terlihat penuh tekukan karena kesal. Ternyata mereka sudah agak jauhan di depan.
Setelah menyimpan nomor Dias, Medina segera pamit dan melangkah cepat menyusul mereka di antara kerumunan pengunjung Book Fair yang makin ramai dan sesak.
Duhai indahnya hari ini. Hanya dalam satu moment mereka dipertemukan dalam suasana yang tak terduga di Jakarta. Setelah lama dipisahkan waktu dan jarak, pertemuan ini adalah rejeki indah yang tak disangka-sangka. Ya Alloh semoga ukhuwah itu langgeng di dunia hingga akhirat, doa Medina.
"Jadi bagaimana Prof Medina? apa kita jadi bulan madu ke Montreal pas winter nanti?. Saya sudah kangen salju."
Medina terkaget. Nolan tiba-tiba sudah di sampingnya dan merangkul pundaknya.
"Nolan, ini tempat umum. Banyak orang!"
"Cuma memeluk, bukan masalah besar. Masak harus malu sih merangkul istri sendiri. Ayolah jawab, Honey."
"Yang mana?"
"Liburan ke Montreal"
"Boleh. Asal semuanya dibawa serta."
"Itu namanya bukan Honeymoon."
"Kalau begitu di sini saja."
"Di sini nggak ada salju."
"Nanti anak-anak disuruh bikin salju-saljuan..." tukas Medina.
"Kamu ini ...."
"Tenang Nolan, aku juga rindu Montreal. Faith and love city....kemana pun asal kamu yang ajak, aku pasti bahagia."
Medina tersenyum melirik Nolan. Mereka pun saling bergenggaman tangan semakin erat lalu tertawa melihat dari kejauhan kelima krucilnya sudah berdiri menyandar di mobil berbaris rapi bersedekap dengan wajah protes karena kelamaan menunggu.
"Mommy and Daddy...jalan kalian seperti keong!," teriak Khaleed.
Nolan dan Medina tertawa.
"Anak-anak Profesor Ramirez yang cerewet dan galak," bisik Medina lirih.
"Same with you, Medina. Turunan ibunya."
Medina pura-pura tak dengar.
* T A M A T *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel