Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 02 Agustus 2020

Pengawal Membawa cinta #14

Cerita bersambung

“Dirgantara Dwi Pamungkas, ternyata itu benar kamu!” gumam Lucas, pria bertubuh tambun berkumis tipis itu.
“Aku tidak menyangka selama ini kau berada begitu dekat. Aku pikir keluarga ini tidak akan kembali ke kota ini, rupanya kecemasanku beralasan.” Lucas menatap sebuah MAP berisi beberapa dokumen penting, lalu mengeluarkan selembar foto didalamnya, dimana foto itu berisikan sebuah keluarga, dua pria dan dua wanita.
Ketenangan Lucas mulai kembali terusik, dengan kehadiran keluarga Dirgantara, yang kini tinggal menyisakan tiga orang. Otak Lucas kembali dipaksa untuk memutar memory kejadian beberapa tahun silam, masa dimana dirinya berada dipuncak kejayaannya bersama sahabatnya Arga Pamungkas, kesuksesan menyapa keduanya, hingga penyakit iri dengki dan keserakahan menggerogoti hatinya.

Manusia memang tak pernah ada puasnya, tidak akan pernah merasa cukup, dan selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisinya.
Dan itu lah yang dialami Lucas, sifat serakahnya timbul, siasat kejipun ia halalkan dengan menyingkirkan sahabatnya, menjadikan kesuksesan mutlak jadi miliknya.
Dengan menyingkirkan Arga dari dunianya, serta mengusir secara halus keluarga yang tersisa dari sahabatnya, membuat Lucas benar-benar menjadi Raja tunggal menikmati kekayaan tiada batas yang bukan haknya. Lucas hanya penikmat sementara, karena pewaris tunggal kekayaan yang sesungguhnya belum tersingkirkan dan ternyata begitu dekat dengannya.
“Aku harus mendapatkan tanda tangannya, bagaimanapun caranya, demi kelangsungan keturunanku.” kembali Lucas bergumam, seolah mengajak bicara orang yang berada didalam foto tersebut.
***

Rindi baru kembali dari jumpa persnya ditempat terbuka disebuah hotel. Acara live yang memakan waktu 1 jam ini berjalan sedikit riuh saat Rindi mengutarakan niat vakumnya dari dunia yang melambungkan namanya, Rindi sudah membatalkan semua kontrak kerjanya di dunia modeling maupun yang berhubungan dengan karirnya.
Meskipun banyak kalangan yang menyayangkan keputusan gadis itu, apa lagi namanya sedang berada diposisi emas, namun tidak mengurungkan niat Rindi, gadis itu tetap akan berhenti, sebagai gantinya Rindi akan menggeluti bisnis diperusahaan orang tuanya.
“Kau tidak akan menyesali keputusanmu?” tanya Dirga, setelah keduanya melepas lelah di sofa.
“Tidak… keputusanku sudah bulat, semua berjalan lancar, dan aku akan mewujudkan keinginan papahku.”
Dirga mangut-mangut, “Aku sangat mendukung keputusan yang kau ambil, meskipun awalnya akan sulit, In syaa Allah ke depannya kau akan terbiasa.”
“Iya, pasti akan sulit untukku, aku sudah terbiasa membagi waktuku di dunia yang ku geluti, dan sekarang aku lepas sama sekali, entah lah, apakah bisa aku melewatinya atau tidak, kita lihat saja nanti.”
“Aku akan membantumu melewati kesulitan itu,” tawar Dirga.
“Sungguh? kau akan membantuku dalam situasi apapun.”
“Iya….”
“Janji…!” Rindi menyodorkan jari kelingkingnya ke arah Dirga, disambut Dirga dengan mengaitkan jari kelingkingnya.
***

“Assalamu’alaikum..!”
“Wa’alaikumsallam….”
Rindi dan Dirga menolehkan kepalanya ke arah pintu yang terbuka.
“Aviie… ayo masuk..!” Rindi menyambut kedatangan sahabatnya dengan antusias.
“Haloo Dirga.” Sapa Aviie, disambut anggukkan oleh Dirga sambil melempar tersenyum.
“Elo ngapain kesini?”
“Diihk nanyanya gitu amat, emang nggak boleh sahabat berkunjung ke rumah sahabat?” jawab Aviie memasang wajah pura-pura sinis.
“Yaeelaahh… nanya gitu doang sewot, heran aja, biasanya elo ke tempat gue kalau ada maunya.” nyinyir Rindi tak kalah sinis.
“Emang… gue kesini pengen ketemu Dirga, gue kangen sama Bodyguard kece elo.” Celetuk Aviie asal.
“Apa elo bilang…?” Rindi terbelalak dengan kata-kata Aviie yang asal nyeplos.
“Iya… kenapa? Gue bebas kan bilang kangen sama Dirga, so Dirganya kaga keberatan sama-sama jomblo ini, iya kan Ga…?” Aviie melirik genit ke arah Dirga, kembali Dirga mengangguk seolah mengiyakan ucapan Aviie.
Rindi mulai jengah dengan sikap sahabatnya, apa lagi melihat sikap Dirga yang mendukung Aviie membuat perasaannya dilanda cemburu.
Dengan wajah kecut Rindi beranjak dari duduknya. Aviie menahan tawa melihat wajah kecut sahabatnya.
“Eeh elo mau kemana Rin…?”
“Gue haus mau ambil minum,” jawabnya ketus.
“Gue ikut.” Aviie melingkarkan tangannya di bahu Rindi.
Meski dongkol Rindi membiarkan Aviie berulah se’enaknya.
“Asem banget sih liat muka elo….” goda Aviie, masih dengan menahan tawa.
“Cuka kali asem.” masih dengan suara ketus.
“Bhahahaha….” tawa Aviie akhirnya meledak, dan hampir membuat Rindi yang sedang minum tersedak dengan suara tawanya.
Rindi menempelkan punggung tangannya di kening Aviie, “Elo nggak panas, tapi tingkah elo kaya yang stef sih…?”
“Rindi, Rindi makanya jadi orang jangan sok jaim.” Cetus Aviie disela sisa tawanya.
“Maksud elo apa?” Rindi menatap jengah ke arah Aviie yang masih betah dengan sisa tawanya.
“Gue tahu elo cemburu sama gue, makanya muka elo asem gitu.”
“Muka gue asem karena gue ke hausan,” sergah Rindi.
“Hhmmm gitu ya? elo ga usah khawatir, tadi gue cuma bercanda, gua ga bakal rebut Dirga dari elo, gue bukan penikung,” Aviie menyambar gelas minum yang dipegang Rindi, lalu meneguk sisa minumnya hingga habis.
Setelah puas menghabiskan air minum Rindi, Aviie kembali ke ruang tamu meninggalkan Rindi yang asyik dengan pikirannya.
Rindi tersenyum kecil mendengar ucapan Aviie.

==========

“Aviieee… elo apaan sih? Ngapain juga lo tutupin mata gue?” protes Rindi, seakan tidak rela matanya ditutup paksa oleh selembar kain syal.
“Bisa diam ngga sih elo bentaran? Nurut sama gue sekali ini aja!” bentak Aviie sedikit sewot dengan sikap protes Rindi.
“Maksud elo apaan coba make tutup mata gue segala?”
“Kalau bukan supraise, buat apa gue tutup mata elo, udah deh jangan banyak protes, pokoknya gue punya kejutan buat elo, janji lo ya jangan dicopot itu tutup mata!”
“Ok, gue nyerah, terserah elo deh Viie!”
“Nah gitu dong, nurut ke dari tadi, kagak usah bikin gue sewot dulu.”
Akhirnya Ratu Eka Rindiyani pasrah mengikuti permainan Aviie Owsam. Seharian sahabatnya itu membuat hatinya super dongkol, dari pagi ia mesti mengikuti Aviie ngukur jalan alias jalan-jalan tak tentu tujuan, keluar masuk mall tanpa ada yang dibeli dengan alasan tak ada yang cocok. Sekalinya ada yang cocok, mesti tawar menawar dengan seorang pelayan, membuat Rindi harus tutup muka pake kardus agar tidak malu jadi tontonan orang.
Setelah mendapat yang diinginkan, tanpa belas kasihan, Aviie tak menghiraukan keinginan Rindi membeli sesuatu yang diinginkan, dengan alasan waktunya sudah habis dan harus segera pulang, Rindi benar-benar rasanya ingin mencekik sahabatnya itu.
Dan kini, dongkolnya semakin bertambah, entah apa rencana Aviie, mengharuskan matanya ditutup dan membawanya kembali pulang ke rumahnya.
Rindi hanya bisa merasakan tanpa bisa melihat dan mesti menajamkan pendengarannya untuk beradaptasi dengan ruang geraknya.
“Ayo turun, gue tuntun elo sampai masuk rumah,” ajak Aviie meraih tangan Rindi.
“Gue gak habis fikir sama elo Viie, tega banget bikin mata gue kaya buta beneran.”
Aviie terkekeh menanggapi gerutuan sahabatnya, sambil terus menuntun Rindi dan mengarahkan langkahnya agar tidak tersandung.
Rindi mengandalkan pendengarannya dari setiap suara yang ditimbulkan oleh gerakkan Aviie. Suara pintu rumah dibuka, aroma khas ruang tamu menandakan mereka sudah berada di dalam ruangan.
Namun Rindi mencium aroma lain selain aroma ruangan tamu di rumah miliknya.
“Sudah sampai honey!” Aviie membuka penutup mata Rindi.
Gadis itu mematung dengan kernyitan di dahinya. “kok gelap sih? apanya yang mesti gue lihat Viie?”
Selesai Rindi bicara, lampu tiba-tiba menyala, “Tralalaaaa….!”
“Supraise….!”
Mata Rindi terbalalak, jari lentiknya menutup mulutnya yang menganga lebar, matanya mulai berkaca menahan haru.
“Happy Birthday honey, semoga elo semakin berfikir dewasa jangan jaim melulu dan buru-buru dapet jodoh biar gue cepet-cepet nyusul elo.” Cerocos Aviie sambil memeluk Rindi.
“Happy Birthday kak Ratu.” Riris memeluk erat Rindi.
“Terima kasih Riris,” ucap Rindi dengan suara bergetar menahan haru.
“Barokalloh fii umrik kak Ratu, semoga di hari istimewa ini mendapat keberkahan dunia dan akhirat.” Giliran Anna memeluk Rindi.
“Aamiin, terima kasih banyak Anna.”
“Papah…!” Rindi memeluk erat papahnya dan menumpahkan tangis haru dipelukkan sang papah.
“Selamat hari lahir sayang, semoga di usiamu ini menjadikan kamu semakin dewasa dan membawa langkahmu menuju kebahagiaan yang kau inginkan.” Ridwansyah mencium kening putrinya.
“Kenapa papah tidak bilang sama Rindi kalau papah sudah pulang?”
“Papah ingin memberimu kejutan di hari ulang tahunmu.”
“Ini semua ide siapa? kenapa Riris dan Anna ada disini?”
“Dirga….!” semuanya kompak menunjuk ke arah Dirga yang sedari awal hanya memperhatikan moment haru biru yang tercipta di depannya.
Semua memandang Dirga seakan menunggu penjelasan dari mulut Dirga tak terkecuali Rindi. Dirga hanya mengedikkan bahu saja.
Acara ulang tahun Rindi yang terkesan sederhana namun membawa kebahagiaan dan keharuan luar biasa bagi Rindi, moment ulang tahun yang di rasa mati baginya sejak kepergian mamah tercinta, kini seakan hidup kembali dan membawa lembaran baru untuknya.
***

“Kenapa kau ada disini?”
Dirga menoleh ke arah Rindi yang berjalan kearahnya.
“Kenapa kau kemari? Seharusnya kau berada disana berbahagia bersama mereka?”
“Aku tidak melihatmu disana, jadi aku mencarimu kesini. Kenapa kau lakukan ini?”
“Aku memberimu kesempatan untuk merayakan kembali kebahagiaan yang sempat hilang bersama mereka.”
“Kau sengaja membawa Riris dan Anna kemari?”
“Adikku lebih tahu tentangmu, dia yang memberi tahu tentang hari lahirmu, Riris dan Anna ingin bertemu denganmu untuk mengucapkan ulang tahun jadi aku merencanakan kejutan ini, dan kebetulan sekali om Ridwan pulang hari ini, aku sengaja tidak memberi tahumu, untuk menambah acara kejutannya.”
“Dan kejutanmu sukses membuatku terharu dan…!”
“Dan…?”
“Dan… Aku sangat bahagia sekali, ini acara yang paling istimewa buatku, setelah acara ulang tahunku yang terakhir merenggut nyawa mamah.”
Rindi mulai terisak, “Aku merindukan mamah.”
Dirga menarik Rindi kedalam pelukkannya, “aku memberimu acara kejutan ini bukan untuk mengingatkanmu dalam kesedihan, jadi… hentikan tangisanmu!”
Rindi mengentikan tangisnya, dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada Dirga, “apa kau akan meninggalkanku?”
Dirga melepaskan pelukkannya, “Tugasku menjagamu sudah selesai, papahmu telah kembali, aku tak punya hak lagi untuk menjagamu.”
“Jika aku memintamu untuk terus menjagaku, apa kau bersedia?”
“Aku rasa kau tak membutuhkan seorang Bodyguard lagi?”
“Aku memang tak membutuhkan seorang Bodyguard, aku hanya menginginkanmu untuk tetap ada disini.”
“Tempatku bukan disini, dan aku memiliki sebuah tugas yang belum selesai dan secepatnya harus segera ku selesaikan.”
“Tugas apa itu? Apa lebih penting dari permintaanku?” tanya Rindi dengan rasa penasaran.
“Ini tentang nyawa dibayar nyawa.” jawab Dirga, matanya berkilat aneh, sejenak Rindi tertegun.
“Bolehkah aku meminta dan sedikit memaksa?” Rindi menatap mata Dirga dengan tatapan sendu.
“Katakan apa permintaanmu?” Dirga membalas tatapan Rindi.
“Jika tugasmu selesai, berjanjilah kau akan kembali untukku.”
Dirga menarik nafas berat, “Aku janji akan kembali untukmu.”
Dirga kembali memeluk Rindi, “Kau tahu? Aku tidak bisa menyimpan lebih lama lagi, bahwa aku….”
“Aku apa…?” lirih Rindi.
“Aku mencintamu.” ucap Dirga.
***

Dibalik pintu, sepasang mata mengalirkan airnya, Anna menekan dadanya yang dirasa begitu sakit, melihat kebersamaan dan mendengar kalimat terakhir Dirga.

Bersambung #15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER