“Dev, gue hamil.”
Raisya memulai pembicaraannya disebuah kafe bersama Devan.
Raisya menghubungi Devan, laki laki yang selama ini menjadi kekasihnya mutlak, setelah putus dari Rindi. Demi cintanya Raisya merelakan kehormatannya direguk Devan tanpa berfikir panjang akibat dari perbuatannya.
Bagi mereka kenikmatan dunia lebih nyata dan harus dinikmati sepuas mungkin selagi masih bernyawa. Sungguh pemikiran yang sangat picik.
Dan kini mereka harus mempertanggung jawabkan buah dari salah satu keserakahan nikmat dunia.
Devan agak terkesiap mendengar penuturan Raisya. Meskipun sebelumnya sadar bakal terjadi hal seperti ini, tetap saja Devan merasa panik mendengarnya.
“Elo enga bercanda kan Sya?” ucap Devan berharap Raisya hanya mencandainya.
Raisya menggeleng, hatinya mencelos melihat kepanikan Devan. Kabar yang dibawanya sama sekali tidak sesuai dengan harapannya bahwa Devan bakal menerima kabar kehamilannya dengan suka cita.
“Gue positif hamil 5 minggu Dev, ini bayi kita dan elo harus tanggung jawab sesuai janji elo.”
Devan menghembuskan nafas kasar. Ia sama sekali tidak siap menerima kehadiran sebuah kehidupan baru berupa janin yang tumbuh di perut Raisya. “Gue belum siap untuk itu Sya, lagi pula belum tentu janin yang tumbuh di perut elo anak gue.”
Raisya terhenyak mendengar penyangkalan Devan, bahkan terang-terangan mengatakan janin yang berada di rahimnya bukan anaknya.
“Apa maksud elo Dev? sudah jelas anak yang gue kandung anak elo. Gue hanya melakukannya sama elo,” sergah Raisya, hatinya sangat kecewa dengan ucapan Devan.
“Gue tahu sebelum hubungan sama elo, elo memiliki seorang kekasih-”
“Tapi gue hanya melakukan ini sama elo Dev.” Potong Raisya, “gue masih punya harga diri, gue bukan pelacur yang gonta ganti pasangan tidur, ini murni anak elo.” Tekan Raisya meradang. Hatinya mulai kalut.
Devan tidak menyangkal saat Raisya menyerahkan diri, gadis itu memang masih suci, dirinyalah yang merenggut kesuciannya dengan dalih akan mempertanggung jawabkan semuanya.
“Elo harus menikahi gue Dev! gue tidak mau menghadapi semua ini sendirian. Gue tidak mau tahu pokoknya elo harus tanggung jawab nikahin gue,” kecam Raisya semakin terlihat emosi nafasnya mulai turun naik.
“Gue masih mencintai Rindi, gue akan menikah tapi dengan Rindi bukan sama elo,” ucap Devan datar tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.
“Apa? elo sudah gila Dev?” seru Raisya, ingin rasanya mencakar wajah pria yang meghamilinya itu. Ekspresi datarnya membuat Raisya semakin berang.
“Rindi sudah tidak sudi menerima elo Dev, Rindi sudah berubah. Ingat Dev! bayi dalam perut gue semakin hari semakin membesar, dia butuh seorang ayah yaitu elo.”
“Gue akan mendapatkan Rindi dengan cara gue, dan bayi dalam perut elo gue minta gugurkan.”
Bagai disambar petir Raisya terkejut bukan kepalang mendengar ucapan terakhir dari mulut pria yang dicintainya.
“Elo, elo keterlaluan Dev,” desis Raisya disela-sela nafasnya yang memburu, emosinya siap meledak. Air matanya tak mampu dibendung lagi mengalir deras seirama dengan nafasnya yang semakin turun naik.
Devan bangkit dari duduknya hendak meninggalkan Raisya dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Raisya mencekal lengan Devan. ” Jangan jadi pengecut! tolong jangan tinggalkan gue dalam keadaan seperti ini?” lirih Raisya.
Raisya masih berharap Devan berubah fikiran agar tidak meninggalkan dirinya serta berbalik dan merangkul tubuhnya yang semakin gemetar hebat. Apa hendak dikata harapan tinggal harapan Devan melepaskan cekalan Raisya dengan sekali sentak, lalu pergi meninggalkannya tanpa ada rasa belas kasihan.
“Devaaan …!!” Teriak Raisya hendak mengejar Devan namun perutnya terbentur sudut meja yang lancip, sontak Raisya terpekik menahan sakit yang luar biasa pada perutnya.
Sejak perdebatan Devan dan Raisya, sudah mengundang tanya dan rasa heran dari pengunjung kafe, namun mereka memilih masa bodoh. Toh situasi pertengkaran sesama pasangan seperti itu sering mereka temui.
Namun suara pekikkan dan erangan kesakitan dari Raisya mengundang orang-orang sekitar untuk menghampirinya, termasuk pelayan kafe.
“Ya Allah mbak ada darah di kaki…!” seru salah seorang wanita pengunjung kafe.
Wajah Raisya semakin memucat, rasa sakit di perutnya semakin menyerang hebat, “Astaghfirullah sakit.” Erang Raisya sambil meremas perutnya.
“Sepertinya mbak pendarahan, cepat bawa ke rumah sakit!” seru seorang waitres dengan wajah panik.
“Sa-saya bawa mobil xenia warna hitam, to-tolong bawa sa-saya,” ucap Raisya terbata-bata. Air mata dan keringat yang mengucur deras sudah sulit dibedakan.
Seorang pria dengan sigap mencari mobil yang dimaksud Raisya setelah menerima kuncinya dari tangan Raisya. Dengan sangat hati-hati Raisya dipapah beberapa orang wanita. Raisya segera dilarikan ke rumah sakit.
***
Devan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Raisya. Setelah melepaskan cekalan tangan gadis itu, Devan langsung pergi dengan mobilnya.
Begitu keluar dari area kafe mata Devan tidak sengaja melihat gadis yang barus saja didebatkan dengan Raisya.
Rindi keluar dari sebuah butik langganannya tepat disaat Devan keluar dari area kafe.
Tanpa Rindi sadari diam-diam Devan menguntitnya dari belakang.
Devan melihat gadis itu menghentikan mobilnya disebuah mini market.
Selama Rindi berada didalam mini market, Devan membuka katup ban mobil milik Rindi, otomatis ban mobil tersebut menjadi kempis. Devan kembali ke mobilnya setelah berhasil melancarkan aksinya.
Tak berselang lama Rindi keluar dari mini market menjinjing sebuah tas plastik berisi barang belanjaannya. Saat akan masuk ke dalam mobil mata Rindi membentur ban mobilnya yang kempis, terlihat raut kebingungan di wajahnya. Merasa ada kesempatan Devan menghampiri gadis itu.
“Rindi.”
Rindi terkesiap menoleh ke arah suara yang memanggilnya, “De-Devan.” gumamnya pelan namun masih terdengar di telinga Devan.
Devan tidak menghiraukan keterkejutan Rindi, ” kenapa mobilmu?” tanyanya dengan suara dibuat lembut.
“Ban mobilku kempis,” jawab Rindi, menetralkan suasana hatinya yang sempat takut berhadapan dengan Devan, mengingat dulu mantan kekasihnya itu pernah membawanya dan hampir menodainya.
“Aku akan telpon bagian bengkel untuk memperbaiki ban mobilmu,” ujar Devan sambil mengeluarkan ponselnya, pura-pura menelpon seorang montir.
“Dia akan datang, bengkel disini cukup jauh jadi kau bisa menunggunya.”
Rindi hanya mengangguk, ia sama sekali tidak mengerti kenapa ban mobilnya bisa kempis, padahal tadi tak ada masalah. Dan kenapa ada Devan disini? “Ah mungkin kebetulan saja.” hibur hatinya.
“Cuaca sangat mendung ada kemungkinan akan segera turun hujan, sebaiknya kau menunggu di mobilku,” tawar Devan, meskipun ada kemungkinan tawarannya ditolak.
“Aku tunggu disini saja.” balas Rindi dengan suara datar.
“Aku minta maaf atas perbuatanku dulu, aku mengerti jika kau masih takut kepadaku. Aku memang brengsek. Tapi kau perlu tahu aku melakukan itu karena teramat mencintaimu.”
“Aku sudah memaafkanmu.” Rindi mulai merasa jengah, cuaca semakin gelap awan hitam bergulung-gulung seakan siap mencurahkan hujannya kapan saja.
“Terima kasih kau mau memaafkanku. Andai saja aku masih punya kesempatan untuk bisa memiliki cintamu lagi, ak-”
“Aku mencintai Dirga dan kami akan segera menikah.” potong Rindi, sebelum Devan lebih jauh mengemukakan perasaannya.
Mata Devan berkilat aneh, ada rasa benci menyelinap di hatinya saat Rindi menyebut nama Dirga.
Suara gelegar dan kilat yang menyambar di langit membuat tubuh Rindi bergidig. Tetes demi tetes mulai berjatuhan menimpa bumi. “Ayo ikut aku ke mobil, hujan mulai turun,” ajak Devan.
“Tapi-”
Belum sempat Rindi melanjutkan kata-katanya Devan menarik tangannya, setengah menyeret untuk masuk ke dalam mobil. Hujanpun tumpah dengan derasnya seperti dikomando.
“Maaf aku menyeretmu.” Matanya menatap Rindi yang kini duduk dalam mobil disampingnya.
Rindi tidak menyahut ucapan Devan, tangannya sibuk mengusap jilbabnya yang sempat terkena air hujan.
“Kau sangat cantik menggunakan jilbab, kau sangat berubah sekali.” puji Devan. Pemuda itu tidak memungkiri bahwa Rindi semakin cantik setelah menggunakan jilbab, membuat Devan semakin tergila-gila.
“Ini semua berkat Dirga, Alhamdulillh aku bisa seperti ini.”
Tanpa Rindi sadari, ucapannya membuat hati Devan bagaikan dihimpit batu besar, sesak. Hatinya panas dibakar api cemburu.
Devan menyalakan mesin mobil lalu mulai menjalankannya.
“Kau mau kemana? mobilku masih disana,” tanya Rindi.
Devan tidak menghiraukan pertanyaan Rindi, mobilnya semakin dilajukan dengan kencang.
“Devan hentikan mobilnya! aku turun disini!”
“Devan …!!”
“Diam…!” bentak Devan dengan nada sengit.
“Aku tidak akan Diam sebelum kau menghentikan mobilnya.” Rindi balik membentak.
Rindi mulai takut, bayangan Devan menculiknya kembali mengusik.
==========
Devan terus membawa Rindi dalam mobilnya, Devan sama sekali tidak menghiraukan seruan Rindi meminta untuk berhenti.
Rindi merogoh saku celana kulotnya meraih ponsel, dengan gerakkan tak beraturan Rindi berusaha menekan nomor kontak Dirga dengan benar.
Belum selesai Rindi mengetik angka, Devan merebut ponsel dari tangan Rindi. “Jangan harap elo bisa menghubungi Bodyguard elo,” ujarnya dengan kasar lalu melemparkan ponsel Rindi ke jok belakang.
“Elo semakin brengsek Devan, gue fikir elo sudah berubah,” timpal Rindi dengan nada geram.
“Sebelum gue dapatin elo, gue tidak akan berubah, dan sebentar lagi elo akan menjadi istri gue,” balas Devan memperlihatkan seringai kemenangan.
Rindi mulai meradang melihat seringai Devan yang menjijikan.
“Elo benar-benar sudah gila. Gue kasihan sekali sama elo Dev, seolah tak ada wanita lain lagi yang bisa elo dapatkan. Lalu bagaimana dengan Raisya apa elo campakkan ah…?” sebrot Rindi, nafasnya mulai terlihat turun naik.
Devan kembali teringat Raisya, entah bagaimana gadis itu sekarang, setelah ia pergi meninggalnya di kafe. Kabar kehamilan Raisya membuat Devan semakin frustasi.
Rindi baru sadar bahwa Devan membawa mobilnya masuk ke halaman rumah mewahnya yang bertingkat tiga.
“Sebentar lagi elo akan menjadi istri gue, kita akan menikah di rumah gue.” Devan keluar dari mobilnya.
“Elo fikir bisa semudah itu…!” teriak Rindi, mengikuti Devan keluar dari mobil, tanpa ba bi bu Rindi berlari menuju gerbang luar.
“Shit…!” Devan geram melihat tindakan kabur Rindi, dengan cepat ia pun berlari mengejar gadis itu.
Rindi baru sadar pintu gerbang rumah Devan menggunakan alat otomatis yang digerakkan dari dalam untuk menutup dan membukanya.
Rindi terpekik tubuhnya serasa melayang saat tangan Devan mengangkat tubuh rampingnya dan menaruhnya di bahu dengan posisi kepala dibelakang punggung Devan, kaki menjuntai di depan, sedang tangan Devan merangkul paha Rindi.
“Devaaaan …! turunin gue!” teriak Rindi, tangannya memukul-mukul punggung Devan. Pemuda itu sama sekali tak menggubrisnya.
“Lepaskan gue, Devaaan …!” Rindi terus berontak dan berteriak bahkan tangannya berusaha mencakar punggung Devan.
Devan membanting tubuh Rindi diatas tempat tidur. Rindi langsung bangkit kembali dan hendak berlari ke arah pintu kamar yang terbuka. Lagi-lagi Devan berhasil meraih tubuhnya dan langsung melemparkannya ke atas tempat tidur. Rindi mulai merasa tubuhnya linu dan lemas.
Melihat Rindi mulai jinak, Devan meraih dagu rindi dan mendongkakkan wajahnya. “Elo tidak akan bisa lari dari rumah ini. Tunggulah gue akan memanggil penghulu untuk menikahkan kita.”
Devan pergi meninggalkan Rindi dengan seringai licik penuh kemenangan. Rindi berlari ke arah pintu yang ditutup dan di kunci dari luar. “Devaaan …! lepasin gue …!” teriak Rindi sambil menggedor-gedor daun pintu dan menarik-narik knopnya.
Merasa usahanya sia-sia Rindi luruh diatas lantai, tangisnya pecah. “Dirga, tolonglah aku! kamu dimana Dirga? hikzzz….”
“Untuk apa kamu membawa gadis itu kemari?”
Suara Lucas mengejutkan Devan yang baru selesai mengunci kamar dimana Rindi berada.
“Aku akan menikah dengannya pah, kalau bisa sekarang juga.”
“Apa kamu sudah gila? bagaimana bisa menikah dengan waktu yang mendadak seperti ini.” Bentak Lucas.
“Kenapa tidak pah! kita tinggal telpon penghulu, dengan uang semuanya akan mudah,” jawabnya enteng.
“Bodoh! apa kamu fikir penghulu sudi menikahkan kalian tanpa wali dari keluarga gadismu itu?” Lucas mulai geram dengan tindakkan bodoh putranya.
Devan mendengus kesal. “Aku tidak peduli tentang wali, jika perlu Om Ridwansyah dibawa paksa untuk datang kemari.”
“Dasar otakmu terbuat dari rempeyek, kamu sudah membawa paksa gadis itu dan sekarang kau hendak membawa paksa pula pria yang berpengaruh di kota ini, kau sama saja mengundang kematianmu sendiri.”
Lucas meninggalkan putranya dengan wajah geram, sedang Devan membuang nafas kasar, wajahnya terlihat beringas.
***
Sementara ditempat lain, Dirga sedang duduk disebuah ruang tamu ditemani seseorang dari pihak kepolisian yakni Kompol Anton dan Pasha. Pasha adalah adik kandung dari Anton sekaligus sahabat Dirga.
Percakapan yang serius mewarnai ketiga orang itu.
“Kapan elo akan mendatangi kediaman Lucas,” tanya Pasha.
“Mungkin besok. Semakin cepat semakin baik, sebelum Lucas terbang ke negri singa putih” jawab Dirga.
“Elo yakin tidak akan membawa senjata ini?” tanya Anton menunjuk salah satu senjata pistol miliknya yang biasa ia pakai jika sedang bertugas.
“Tidak, gue datang untuk mengambil hak keluarga gue secara damai bukan dengan jalan perang.” Ujar Dirga kukuh menolak tawaran Anton untuk membawa senjata.
“Elo harus hati-hati Ga, gue berdo’a buat elo semoga tujuan elo berhasil.”
“Terima kasih Sha. Jika terjadi sesuatu sama gue berjanjilah elo akan menjaga ibu dan adik gue.”
“Hei elo ngomong seperti elo besok akan mati sobat. Ingat masih ada Rindi juga yang menunggu elo.” Kilah Pasha, tidak menerima paparan yang dilontarkan Dirga.
“Nyawa kita tidak tahu kapan lepas dari raga, gue cuma jaga-jaga jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sama gue, gue butuh janji elo untuk menjaga keluarga gue dan meneruskan perjuangan gue membahagiakan mereka dan mengembalikan hak mereka. Gue tahu elo dan adik gue saling mencintai karena itu gue percaya elo bisa menjaga mereka.”
“In syaa Allah elo bisa pegang janji gue. Bagaimana dengan janji elo pada Rindi?” Pasha mengingatkan Dirga akan janjinya terhadap Rindi.
“Akan gue usahakan gue bisa menepati janji gue untuk kembali dan menikah dengannya,” ucapnya terdengar ngambang. Entah sadar atau tidak, ada nada getir dari suara Dirga.
Drrrttt, Dirga meraih iphonenya yang tergeletak di meja, nama Aviie Owsam tertera dilayar panggilannya.
“Hallo…!”
“Dirga, Rindi hilang-”
“Apa maksud elo?” seru Dirga memotong ucapan Aviie disebrang telpon sembari bangkit dari duduknya.
“Gue sekarang lagi ditempat mobil Rindi terparkir, bannya kempis tapi gue tidak menemukan Rindi, gue nanya sama orang sini katanya Rindi dibawa cowok yang ciri-cirinya menurut gue mirip Devan.”
“Dimana lokasi elo, cepat katakan?” ucap Dirga tidak sabar.
Aviie segera menyebutkan sebuah alamat, tanpa fikir panjang lagi Dirga langsung berlari keluar diikuti Pasha dan Anton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel