*Malam Pertama*
Tak ada reaksi apapun yang terjadi, namun hembusan nafas om Haris masih menerpa wajahku, hingga membuat bulu - bulu halus yang ada di tengkuk berdiri, aku masih belum berani membuka mata sampai kurasakan sakit yang begitu teramat.
"Aww!" pekik ku sontak membuka mata, tangan om Haris mencubit hidungku.
"Aduh- duh -duh ..., sakit,sakit!" jeritku berusaha melepas cengkramanya.
"Kau curang, tak akan kulepas sebelum kau menggeser tubuhmu agar berbagi tempat tidur denganku" ucap om Haris sambil mengendurkan cubitannya.
Mataku medelik tak setuju, "tidak mau, tadi bukan seperti itu perjanjiannya." aku menolak.
Om Haris melepaskan cengkaramnnya dari hidungku. Huff! Aku membuang nafas lega.
"Baiklah ...," jawab om Haris menggantung, "kalau kau tetap tidak mau berbagi maka aku akan mencubit bagian tubuhmu yang lain." ucap om Haris sambil tersenyum jahil, netra coklat miliknya melirik kearah tubuhku. Oh tidak, pria tampan ini pasti akan menerkamku.
"Berhenti!" seruku, saat tangan om Haris sudah terangkat keatas. Aku menggeser tubuhku.
Puk! Puk! Aku menepuk bantal untuknya, "tidurlah, kita bisa berbagi." ucapku dengan senyum meringis.
"Hahaha." om Haris tertawa puas, ia langsung merebahkan diri disampingku. Reflek aku bangun mengambil posisi duduk. Suasana ini terlalu canggung buatku.
"Kau akan tidur dengan posisi duduk?" tanya om Haris mengejek. Aku hanya memanyunkan bibir untuk menjawab pertanyaannya.
Om Haris tertawa melihat tingkahku. Kini ia pun ikutan duduk dengan kaki yang di tekuk menopang dagu seperti diriku. Aku tak ingin melihatnya, lampu kamar yang remang membuat om Haris semakin terlihat tampan.
"Kau tidak kangen padaku?" tanyanya setengah berbisik, aku menggeleng.
"Sayang sekali, padahal aku ..." om Haris menggantung ucapannya.
"Aku apa?" tanyaku penasaran, Ia tersenyum menatapku.
"Tidurlah Sarah."ucapnya lembut, tangan om Haris merengkuh bahuku, bagai tersihir sentuhannya membuat tubuh ini lemas tak berdaya. Aku menurut pasrah saat ia merebahkan tubuhku untuk tidur.
Sebuah kecupan mendarat di pipiku. "Aku jatuh cinta padamu." bisik om Haris lembut.
Hatiku berdesir aneh, pelan - pelan kutarik selimut untuk menutupi wajahku yang sudah merona merah bagai kepiting rebus. Aku mengintip dari balik selimut om Haris tengah memandangku lekat.
"Aku akan menunggu sampai kau siap untuk jatuh cinta padaku" ucapnya sambil merebahkan diri menaruh kepalanya diatas bantalku.
Hoammm! Om Haris menguap
Aku menahan nafas berharap detak jantungku tak terdengar olehnya.
Kembali aku mengintip untuk melihat apakah ia sudah tertidur? Ach ... Om Haris sudah tertidur rupanya, ku lihat ia menutup matanya,ada rasa kesal di hati kenapa om Haris tidur
Begitu cepat.
"Huh, dasar aki - aki. Belum apa - apa sudah tepar." ucapku lirih sambil terkekeh.aku memandangi wajahnya yang tampan, kuberanikan tangan ini membelai rahang pipinya yang masih kokoh. Entah karena memandangi terlalu lama atau otakku yang sudah konslet, timbul hasrat di hatiku untuk menciumnya.
Tidak, tidak! Ku buang jauh - jauh fikiran mesum itu. Aku bangkit untuk duduk agar bisa menetralisir hasrat yg sudah bergejolak aneh ini.
Namun mataku tak lepas dari memandanginya, kini aku memandangi dada yang bidang, lanjut ke bibir.
Baiklah, kurasa mengecup bibirnya saja sudah cukup. Kudekatkan wajah ke om Haris, dan ... Cup! Aku mendaratkan kecupan di bibirnya. namun ini bukan kecupan, ini sebuah ciuman.karena Om Haris membalas pagutan bibirku dengan mesra.sial, ternyata ia belum tidur.
"Kurasa kau ingin memperkosaku Sarah." bisiknya di telinga. Aku semakin memeluknya erat.
Malam itu berlalu dengan indah, om Haris masih begitu perkasa untukku.
==========
*Debaran Pertama*
Mengetahui fakta bahwa Tari bukan anak kandung om Haris semakin membuatku merasa bersalah. Tapi aku cukup senang karena kasih sayang om Haris terhadap Tari tidak berubah.
Sudah tiga hari om Haris berada di jakarta, tampaknya beliau begitu bahagia menjadi seorang kakek.
Om Haris selalu menanyakan keadaanku disini, hari ini ia mengirimi aku foto melalui aplikasi _whatsapp_, foto dirinya sedang menggendong bayi perempuan mungil yang cantik, pipiku bersemu merah membaca pesan di gawai yang dikirim om Haris.
[Anak kita pasti jauh lebih cantik dari ini nantinya.] emoticon senyum.
Deg! Jatungku mendadak berdegup, kenapa ia mengirim pesan seperti ini?, bukankah kita sepakat kalau pernikahan ini hanya sementara
Tling! Ada pesan yang masuk lagi.
[Kau ingin anak lelaki atau perempuan?], sinting! Aku rasa om Haris sudah gila mengirimi aku pesan seperti ini. Tapi aneh, kenapa pipiku terasa panas membaca pesan ini?
Ku abaikan pesan tersebut. Aku tak mau membalasnya. Kita belum cukup dekat untuk membicarakan hal seperti itu.
"Assalamualaikum, Wa - Uwa." terdengar seruan suara wanita dari perkarangan luar.
"Waalaikumsalam." bi Entin menjawab salam tersebut. Tak lama kemudian kudengar suara tawa dan teriakan kecil bi Entin dan si tamu.
Aku keluar kamar untuk melihat siapa yang datang. Bi Entin datang meghampiriku bersama wanita muda dengan dandanan yang nyentrik. Memakai celana jins yang robek di dengkul dan kaos ketat berwarna pink.kaca mata hitam dengan bingkai kuning bertengger di hidung bangirnya.
Keningku berkerut memperhatikan tamu yang aneh ini.
"Siapa?" aku berbisik ke bi Entin.
"Ini teh ponakan bibi Neng, tiap liburan pasti kemari nengokin bibi." bi Entin menjelaskan.
"Sarah ya?" sapa ponakan bi Entin seolah mengenalku. Aku tak merespon uluran tangannya karena merasa tak mengenalnya.
Wanita muda itu membuka kaca matanya dan tersenyum memamerkan gigi gingsulnya.
"Masyaallah, Tina?" seruku kegirangan setelah mengenali gadis tersebut.
"Sarah!" Tina bersorak lebih kencang dariku, kami berpelukan melepas rindu.
Tina teman kerjaku dulu, dia pegawai kontrak di perusahaan om Haris.
"Eleuh ... Ternyata bener kata Wa Entin, kalau istri baru bapak kasep teh mirip bu Laras." cerocos Tina kegirangan.
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Kamu sejak kapan pacaran sama si bos?" tanya Tina membuatku bingung mau jawab apa.
Dulu Tina memang pernah bilang padaku, kalau wajah ini mirip wanita direktur yang ia kenal. Dia juga selalu bertanya padaku, apakah om Haris tidak naksir aku?
Sungguh aku baru mengerti sekarang,maksud dari pertanyaanya dulu. Karena Tina pegawai kontrak kami tidak begitu lama berteman. Kami putus komunikasi setelah ia habis kontrak.
"Berarti kamu dulu kenal pak Haris dong ya?"
"Ya iya atuh, aku kerja disana ajakan karena bapak kasep yang masukin."
"Kamu menyebutnya 'bapak kasep'?" tanyaku sedikit heran.
"Ya, pan emang kasep, cie ... Kamu cemburu ya?" seru Tina menggodaku.
"Nggak, cuma lucu aja dengernya."
"Ihh emang beneran kasep da, meski tuwir tapi nggak keliatan. Kayanya mah yah, separuh wajah Nabi Yusup tuh di kasih ka Bapak Kasep." Tina memuji dengan lebay.
Tapi yang dia katakan memang benar, om Haris memang tampan di usia yang tidak muda.
"Si Bapak kamana?" tanya Tina.
"Lagi ke jakarta jenguk cucu." jawabku pelan, pasti Tina akan meledekku lagi.
"Ciee ..., baru nikah udah jadi nenek." selorohnya diiringi tawa yang keras.
Bi Entin melempar batal sofa ke wajah Tina.
"Cing atuh Tina, yang sopan ku Neng Sarah." hardik bi Entin
"Ih Uwa, iyeu maah babaturan." jawab Tina sambil memelukku.
Aku senang Tina datang, "Eh kamu nginep ya disini."
"Mau banget." Tina kegirangan menjawab ajakan ku.
"Eh, ceritain malam pertama dong ...." goda Tina membuatku tersedak.
Uhuk!
Bi Entin menyodorkan segelas air untukku.
Bluk! Bantal kecil kembali mendarat di kepala Tina.
"Ish, Uwa!" Tina mengusap kepalanya yang terantuk sandaran kursi.
Tintin ...! Bunyi klakson mobil terdengaar dari luar
"Bapak pulang Neng!" seru bi Entin dan bergegas kehalaman untuk membuka pintu. Aku dan Tina mengekor di belakangnya.
Om Haris berjalan menghampiri kami, wajahnya tersenyum saat melihat Tina.
"Eh ada Tina rupanya, kapan datang?"
"Baru aja Bapak kasep." jawab Tina sambil tersenyum, tangannya meraih tangan Om Haris. Tina mencium punggung tangannya memberi salam takzim.
"Ini Tina Anak angkatku, kemenakan bi Entin." om Haris memperkenalkan Tina padaku.
"Sudah kenal Bapak Kasep, tadi di suruh ibu nginep sini." ucap Tina sumringah.
"Oh ya, bagus kalau gitu. Kamu bisa Tidur di kamar yang biasa kamu tempati bila menginap disini." om Haris menghampiriku, dan berbisik ketelingaku,
"Kamu tidur sekamar bersamaku malam ini, karena kamar yang biasa ia tempati adalah kamarmu yang sekarang." aku mematung mendengar ucapannya.
Tina lompat kegirangan lalu berlalu masuk kedalam, bi Entin pun juga masuk sambil membawa tas kantong belanja yang diserahkan om Haris.
"Sampai kapan mau berdiri disitu?" tanya om Haris menyadarkan ku dari keterkejutan.
Aku hanya bisa tersenyum, sial ...tau begini, aku tak perlu mengajak Tina menginap tadi.
***
Selepas ba'da isya kami makan malam bersama dan mengobrol setelahnya di ruang tengah, Tina banyak menghibur kami dengan celotehnya. Sedari kecil Tina sudah memanggil om Haris dengan sebutan 'Bapak Kasep', ia diangkat anak sejak usia enam tahun.
Hoammm! Tina menguap dengan jemari yang berusaha menutupi mulutnya.
"Tina pamit tidur duluan ach." ucapnya pamit kepada om Haris.
Bi Entin pun ikutan pamit untuk langsung tidur setelah mengunci pintu.
Kini tinggal aku dan om Haris yang masih duduk di depan perapian.
Suara jangkrik terdengar begitu jelas dari luar
"Kalau kau sudah mengantuk, tidurlah duluan." ucap om Haris, aku lega mendengar tawarnnya. Jujur sedari tadi aku bingung untuk berpamitan ingin tidur, karena akan terlihat seperti ingin mengajak tidur bila aku meminta ijin. Meninggalkannya begitu saja juga tidak sopan.
Om Haris berdiri ketika aku beranjak dari kursi. Sopan sekali sikapnya, fikirku sebelum ia mengucapkan kata yang membuatku terkejut.
"Bagaima jika kita berlomba menuju kamar, siapa yang duluan masuk kedalam kamar dia yang akan tidur diatas kasur." om Haris tersenyum padaku.
"Apa!" aku kaget mendengar ucapannya.
"Satu ..., dua ..., ti ...." Aku berlari duluan sebelum om Haris selesai menghitung.
"Curang!" pekik om Haris sambil tergelak, dan berlari mengejarku.
Kami berbarengan sampai di depan pintu kamar sambil tertawa pelan. Pertandingan belum selesai kini kami saling berebut membuka pintu.
"Aww!" jerit om Haris mengaduh karena kakinya kuinjak, berharap ia akan melepas tangannya pada jemariku yang lebih dulu memegang _handle_ pintu.
Klek! Terdengar suara pintu yang akan terbuka dari kamar Tina.
Sstttt! Desisku dengan jari telunjuk yang menempel di bibir. Aku memberi kode pada om Haris agar jangan berisik. Ia tersenyum, kurasakan genggaman tangannya mengendur, dan ...
Hap! Om Haris mengangkat tubuh ini, aku terkuejut namun pasrah tak berkutik.sempat ku lirik Tina yang melongo keluar dari kamar, melihatku di gendong masuk kamar oleh ayah angkatnya.
Om Haris menutup pintu kamar dengan kakinya. Ia berjalan menuju pembaringan. Aku menatap lekat wajahnya, kenapa adegannya jadi seromantis ini. Pria tua yang terperangkap dalam wajah mudanya itu menatapku. ada debaran aneh di dada ini yang sulit aku terjemahkan.
"Aww!" jerit om Haris mengaduh karena pinggangnya ku cubit dengan kencang.
Gendongannya mengendur dan aku jatuh mendarat di atas kasur yang empuk.
"Yea, aku yang menang!" pekik ku girang karena berhasil terbebas dari adegan romantis tadi. Namun belum sepenuhnya bebas.
Om Haris membungkuk, aku dapat merasakan hembusan nafasnya lembut menerpa wajahku. Aku menutup mata sambil berfikir apakah om Haris akan menciumku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel