Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 22 Agustus 2020

Sarah #4

Cerita bersambung
*Malam Pertama*

Tak ada reaksi apapun yang terjadi, namun hembusan nafas om Haris masih menerpa wajahku, hingga membuat bulu - bulu halus yang ada di tengkuk berdiri, aku masih belum berani membuka mata sampai kurasakan sakit yang begitu teramat.

"Aww!" pekik ku sontak membuka mata, tangan om Haris mencubit hidungku.
"Aduh- duh -duh ..., sakit,sakit!" jeritku berusaha melepas cengkramanya.
"Kau curang, tak akan kulepas sebelum kau menggeser tubuhmu agar berbagi tempat tidur denganku" ucap om Haris sambil mengendurkan cubitannya.

Mataku medelik tak setuju, "tidak mau, tadi bukan seperti itu perjanjiannya." aku menolak.
Om Haris melepaskan cengkaramnnya dari hidungku. Huff! Aku membuang nafas lega.
"Baiklah ...," jawab om Haris menggantung, "kalau kau tetap tidak mau berbagi maka aku akan mencubit bagian tubuhmu yang lain." ucap om Haris sambil tersenyum jahil, netra coklat miliknya melirik kearah tubuhku. Oh tidak, pria tampan ini pasti akan menerkamku.
"Berhenti!" seruku, saat tangan om Haris sudah terangkat keatas. Aku menggeser tubuhku.
Puk! Puk! Aku menepuk bantal untuknya, "tidurlah, kita bisa berbagi." ucapku dengan senyum meringis.
"Hahaha." om Haris tertawa puas, ia langsung merebahkan diri disampingku. Reflek aku bangun mengambil posisi duduk. Suasana ini terlalu canggung buatku.
"Kau akan tidur dengan posisi duduk?" tanya om Haris mengejek. Aku hanya memanyunkan bibir untuk menjawab pertanyaannya.
Om Haris tertawa melihat tingkahku. Kini ia pun ikutan duduk dengan kaki yang di tekuk menopang dagu seperti diriku. Aku tak ingin melihatnya, lampu kamar yang remang membuat om Haris semakin terlihat tampan.

"Kau tidak kangen padaku?"  tanyanya setengah berbisik, aku menggeleng.
"Sayang sekali, padahal aku ..."  om Haris menggantung ucapannya.
"Aku apa?" tanyaku penasaran, Ia tersenyum menatapku.
"Tidurlah Sarah."ucapny lembut, tangan om Haris merengkuh bahuku,  bagai tersihir sentuhannya membuat tubuh ini lemas tak berdaya. Aku menurut pasrah saat ia merebahkan tubuhku untuk tidur.
Sebuah kecupan mendarat di pipiku. "Aku jatuh cinta padamu." bisik om Haris lembut.
Hatiku berdesir aneh, pelan - pelan kutarik selimut untuk menutupi wajahku yang sudah merona merah bagai kepiting rebus. Aku mengintip dari balik selimut om Haris tengah memandangku lekat.
"Aku akan menunggu sampai kau siap untuk jatuh cinta padaku" ucapnya sambil merebahkan diri menaruh kepalanya diatas bantalku.

Hoammm! Om Haris menguap
Aku menahan nafas berharap detak jantungku tak terdengar olehnya.

Kembali aku mengintip untuk melihat apakah ia sudah tertidur? Ach ... Om Haris sudah tertidur rupanya, ku lihat ia menutup matanya,ada rasa kesal di hati kenapa om Haris tidur
Begitu cepat.
"Huh, dasar aki - aki. Belum apa - apa sudah tepar." ucapku lirih sambil terkekeh.aku memandangi wajahnya yang tampan, kuberanikan tangan ini membelai rahang pipinya yang masih kokoh. Entah karena memandangi terlalu lama atau otakku yang sudah konslet, timbul hasrat di hatiku untuk menciumnya.

Tidak, tidak! Ku buang jauh - jauh fikiran mesum itu. Aku bangkit untuk duduk agar bisa menetralisir hasrat yg sudah bergejolak aneh ini.
Namun mataku tak lepas dari memandanginya, kini aku memandangi dada yang bidang, lanjut  ke bibir.
Baiklah, kurasa mengecup bibirnya saja sudah cukup. Kudekatkan wajah ke om Haris, dan ... Cup! Aku mendaratkan kecupan di bibirnya. namun ini bukan kecupan, ini sebuah ciuman.karena Om Haris membalas pagutan bibirku dengan mesra. sial, ternyata ia belum tidur.
"Kurasa kau ingin memperkosaku Sarah." bisiknya di telinga. Aku semakin memeluknya erat.

Malam itu berlalu dengan indah, om Haris masih begitu perkasa untukku.

==========

*Separuh Jiwaku*

Anak dara usia belasan
Mengapa hanya padamu
Gita bathin biasanya mendayu
Jadi sumbang tak tentu lagu
Cintaku sederhana saja
Milik seorang jejaka hijau
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada riangku
Maka daun-daun yang bertunas
Pada musim semi lalu
Ciptakan sebagai awal kasih
Terungkap tabir rahasia
Cintaku sederhana saja
Milik seorang jejaka hijau
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada riangku_

Alunan musik dari Kla Project yang di putar om Haris melalui _compac disk player_ mengalun merdu di telingaku. Ear phone menempel di sisi telinga kami masing - masing, tangan om Haris lembut menggenggam jemariku, sementara kepalaku bersandar di bahunya yang kekar.

"Sarah, sampai kapan kau ingin berada di dalam kamar terus?" tanya om Haris memecah kesunyian.
"Tidak tau." jawabku singkat
"Kau ini kenapa jadi aneh, tadi pagi ketika bangun kau menyuruh aku menutup mata karena dirimu hendak berpakaian, padahal semalam kita ..." aku membekap mulut om Haris agar tidak melanjutkan kalimatnya.
"Sekarang kau mengurung diri dikamar hanya karena malu?" lanjut om Haris setelah menyingkirkan jemariku dari bibirnya.
"Soalnya semalam Tina melihat om Haris menggendong saya" jelasku pelan.
"Lalu ...?" om Haris masih bertanya, ish ... kenapa dia tidak peka. Tentu saja aku malu pada Tina, pasti dia akan mengejekku ketika ayah angkatnya ini tidak ada.
"Ya malu, pasti Tina akan berfikir yang aneh - aneh pada saya tentang semalam nanti." ucapku sedikit menggerutu.
"Hahaha," om Haris tertawa hingga pipinya merona merah.
"Kita suami istri sayang, orang tak akan berfikiran aneh bila kita sekamar dan bercinta." ucap om Haris, tangannya meraih ear phone yang ada di telingaku.
"Ayo kita keluar, ini sudah hampir jam dua belas siang, perutku sudah lapar" om Haris menarik lenganku untuk segera beranjak dari tempat tidur.
"Om duluan saja, nanti saya menyusul" ucapku mengelak
"Am - om ... am -om. Aku ini suamimu sekarang, masa di panggil om." protes om Haris.
"Lalu saya harus panggil apa?" tanyaku polos.
"Panggil honey kek, atau sayang, darling , mas, bisa juga kakang." ucapnya tersenyum menggoda.
Iihhh, pria berusia senja yang terjebak dalam tubuh muda dan wajah tampan ini benar - benar membuatku salah tingkah mendengar ocehannya. Aku menarik selimut menutupi wajah karena malu.

"Loh, malah selimutan lagi, minta nambah yang semalam apa ya?" om Haris mendekat kearahku. Melihat gerakannya yang ingin mencium, aku mengelak dan segera beranjak dari tempat tidur, menuju pintu dan bergegas keluar. Dari dalam kamar terdengar tawa om Haris yang begitu terbahak.
***

Seminggu sudah om Haris menetap di villa meninggalkan semua pekerjaannya, dan selama seminggu pula aku tidak melihat bi Entin dan Tina, om Haris bilang bi Entin minta cuti karena Tina datang dan itu sudah biasa dilakukan. Tapi aku tau itu bohong, sebab Tina mengirim pesan padaku bahwa ayah angkatnya telah mengungsikan dirinya dan bi Entin agar aku bisa keluar kamar dan tak malu. Aku tertawa membaca pesan dari Tina. Sial belum bertemu dia sudah mengejekku.

Tapi ide om Haris mengungsikan mereka ada bagusnya, aku jadi bisa lebih santai dan tidak gerogi saat bersama om Haris, untuk menghilangkan rasa gugupku sebagai seorang istri, tiap pagi om Haris mengajakku keluar pergi ke perkebunan dan juga kampung. Om Haris cukup terkenal di desa ini, hampir setiap warga yang berpas -pasan selalu menyapanya juga diriku.

Ada rasa kecewa  pada tiap orang tua  saat om Haris memperkenalkan aku sebagai istrinya. Mereka kecewa karena om Haris tidak menjadi menantunya. Pak Lurah salah seorang yang begitu jujur mengutarakan kekecewaannya di depan om Haris dan diriku.

"Ah, jelas saja pak ýHaris menolak Ima anak bungsu saya, ternyata sudah ada Eneng cantik ini yang berhasil merebut hati bapak." ucap pak Lurah saat itu, sewaktu kami menjemput bi Entin dan Tina untuk kembali pulang kerumah, karena lusa om Haris akan balik ke Jakarta.
***

"Kau yakin tidak ingin ikut bersamaku ke Jakarta?" tanya om Haris saat di kamar.
"Tidak, aku masih takut bertemu dengan Tari."
"Ayolah, Tari sudah berjanji tak akan mengusikmu lagi," bujuk om Haris dengan nada sedikit memohon.
"Apakah kau tega melihatku bolak - balik Jakarta - Sukabumi?"
"Mas Haris tidak perlu bolak balik, cukup mengunjungiku di akhir pekan saja, agar tidak terlalu capek." usulku.
"Tidak mau, saat bertemu denganmu aku bisa ubanan karena menahan rindu." rajuknya dan membuatku terkekeh.
"Kenapa tertawa?" tanyanya kesal.
"Bukankah mas Haris memang sudah tua ya." jawabku nyengir menahan tawa.
"Hahaha" om Haris pun ikut tertawa.
"Sarah, apakah kau menyesal menikah denganku?" tanyanya serius.
"Awalnya iya, tapi sekarang tidak."jawabku sambil tersenyum manis.
"Aku takut Sarah, aku takut tak bisa menemanimu lebih lama, kau taukan usiaku sudah kepala lima." ada raut sedih di wajahnya.
"Hai, kenapa bicara seperti itu, mas Haris tidak terlihat seperti pria senja di mataku, baik dari segi fisik maupun kemampuan." bisikku di telinganya.
Om Haris tersenyum, "Terimakasih Sarah,itu ku anggap pujian," sebuah kecupan diberikannya untukku.
"Apakah kau ingin merasakan kemampuanku lagi?" bisiknya dengan tangan yang mulai melepas kancing bajuku, aku menjawabnya dengan memberikan ciuman yang mesra di bibirnya, dan kamipun larut dalam gejolak cinta yang membara.
***

Bi Entin lari tergopoh - gopoh menemui Tina yang tengah berada di ruang tengah, wajahnya terlihat panik membuatku merasakan ada hal yang tak beres telah terjadi.
Mereka berbisik dan sesekali memandangiku yang tengah berada di taman.
"Ada apa bi?" tanyaku menghampiri mereka. Tina menyuruhku duduk di depan TV dan menyalakannya, ia memencet salah satu chanel tv yang tengah menayangkan berita dalam waktu lima menit. Aku terpekik melihat judul berita tersebut, "Mas Haris!" tangisku pecah. Bi Entin memelukku seakan ingin memberikan diriku kekuatan.
"Sabar Neng, sabar ... biar Tina menghubungi pak Danu dulu untuk memastikannya." ucap bi Entin berusaha menenangkan diriku. Ku perhatikan Tina yang tengah menelepon pak Danu asisten om Haris.
"Kita harus ke Jakarta, berita kecelakaan itu benar." ucap Tina memberitauku.
Seketika tubuhku lemas bagai tak bertulang.

Hari ini adalah genap sepekan sudah om Haris berada di Jakarta dan akan kembali menemuiku disini. Namun kecelakaan di pintu Tol Jagorawi telah menghalanginnya untuk kami melepas rindu.
'Tuhan, jangan kau ambil separuh jiwaku.' doaku dalam isak yang begitu menyesak.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER