Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 24 Agustus 2020

Sarah #6

Cerita bersambung

*Masih Jebakan Aryo*

Memoriku kembali mengingat kisah setahun lalu, dimana dulu hati ini pernah begitu tertambat pada sosok pria tampan teman sekantorku.
Aryo, pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh yang atletis, kulit putih,hidung mancung dan sorot mata tajam. Aku terpikat pada pandangan pertama saat melihatnya. Hati ini selalu berdegup kencang acap kali Aryo memasuki ruangan om Haris yang saat itu masih menjadi  atasanku.

Tari menyuruhku memberi sinyal pada Aryo, agar ia tau tentang perasaan ini. Sahabatku itu selalu menjadi tempat curhat tentang si  pujaan hati.


"Tunjukan pada Aryo, kalau kau menyukainya." nasehat Tari padaku suatu hari.
"Caranya?" jawabku polos
"Kau bisa memberikan dia hadiah kecil seperti kue, coklat sebagai bentuk perhatian atau bisa juga dengan menanyakan kabar." saran Tari kala itu.

Aku menurut, perhatian kecil mulai kuberikan pada Aryo. Ucapan selamat karena terpilih sebagai manajer terbaik, kue tart di hari ulang tahun, dan masih banyak lagi hadiah-hadiah kecil yang kuberikan pada Aryo sebagai bentuk perhatian dan juga kode kalau aku menyukainya. kami pun menjadi akrab tetapi ia belum juga mengungkapkan perasaannya padaku.

Tari yang penasaran akan sosok Aryo karena berhasil membuatku mabuk kepayang, Meminta untuk di perkenalkan pada Aryo.

"Penasaran kaya apa seh orangnya, sampai sahabatku tergila-gila di buatnya."
"Biasa aja ko Ri."
"Tak percaya, siapa tau aku bisa mewakili dirimu yang cupu ini untuk mengungkapkan cinta pada Aryo, biar aku yang jadi mak comblang kalian" usul Tari, meski sedikit ragu karena aku takut Tari akan jatuh cinta juga pada Aryo.

Yah ... Dari dulu Tari selalu menyukai seleraku, mulai dari tas,baju, sepatu bahkan pria yang aku taksir. Kami memiliki selera yang sama.

"Aku janji nggak akan merebutnya darimu." ucapnya kala itu, tapi semua palsu. Tari mengulangi perbuatannya ia merebut Aryo dariku.
"Apa yang kau fikirkan Sarah?" tegur om Haris membuyarkan lamunanku.
"Tidak ada," jawabku sambil memeluk om Haris yang tengah asik dengan laptopnya.
"Cepatlah sembuh, Sarah sudah tidak betah di sini." ucapku pelan dari balik punggungnya.

Om haris menyingkirkan laptop beralaskan bantal yang ada di pangkuannya, dan memutar tubuhnya ke arahku. Ia hanya memeluk diri ini erat tanpa kata atau pun bertanya. Aku membalas pelukannya dengan membenamkan kepala kedalam dada bidang suamiku. Alunan lagu 'Anak Dara' milik Kla Project yang di putar om Haris dalam laptopnya, membuai diriku hingga terlelap dalam dekapan pria senja ini.
***

Tidaklah mudah berada dalam satu rumah bersama orang yang dulu pernah sangat kau cintai, namun sekarang berubah menjadi musuh. Terlihat om Haris begitu asik bermain dengan cucunya yang kini menginjak usia dua bulan.

"Rara cucu Abah, udah  bisa melek sekarang," celoteh om Haris pada bayi mungil montok yang tengah di jemur pagi oleh ibunya.
"Rara mau punya teman nggak? Nanti main ya sama om Adit." om Haris menjawil pipi cucunya.
Tari mengkerutkan kening mendengar celoteh ayahnya, "Om Adit?" lirik Tari ke om Haris.
"Iya, kalau Sarah hamil pasti bayinya laki-laki dan namanya harus Adit." jelas om Haris sambil tersenyum ke arahku yang tengah mengupas Apel di ruang tengah.
"Tari nggak mau punya adik, apalagi dari Sarah." protes Tari kesal, di ambilnya Rara dari pangkuan ayahnya, dan ia berlalu melewatiku yang tengah mengupas buah untuk ayahnya.

Tari begitu sinis menatapku, Bi Irah datang menghampiri bersama seorang wanita bertubuh tinggi, mengenakan kaos dan celana jins.

"Bu, ini terapisnya bapak sudah datang." ucap Bi Irah memperkenalkan seorang wanita muda padaku.
Om Haris datang menghampiri kami dengan langkah yang tertatih, karena masih mengenakan _kruk_.

"Maaf, Bukankah yang saya latih adalah seorang kakek." ucap terapis bernama Dewi itu.
Aku tersenyum padanya, "Iya, ini orangnya mba." jelasku. Dewi tampak begitu kaget melihat om Haris yang di luar dari bayangannya.
"Saya memang sudah kakek mba." ucap om Haris memperkenalkan diri.
"Maaf, Saya tidak bermaksud ...." Dewi tampak begitu kikuk karena gerogi.
"Sebaiknya bisa langsung latihan." aku mengantar Dewi ke taman, om Haris meminta latihan berjalan di sana. Taman yang terletak di teras samping rumah itu memang cukup luas, karena ada kolam renang di dalamnya. Terlihat Aryo tengah berjemur di tepi kolam dengan bertelanjang dada. Mengetahui mertuanya tengah berlatih berjalan Aryo menghentikan aktifitasnya. Ia sempat mencuri dengar ketika om Haris mengatakan, "Saat aku sembuh, kita harus berbulan madu Sarah." ucapnya yang kini tengah berjalan pelan tanpa _kruk.

Aryo tersenyum sinis padaku ketika ia berlalu.
Tling! Sebuah pesan masuk ke aplikasi WA. Keningku berkerut membaca nama pengirimnya, Aryo.

[Aku tidak yakin kakek tua itu bisa memuaskanmu saat bulan madu nanti.] hatiku jengkel membaca pesan ini, tak ku balas.
Tling! Tling! Tling! Notip pesan kembali berbunyi berturut-turut.
[Tidakkah, kau ingin kembali padaku?]
[Aku bisa memuaskanmu lebih baik dari pria pincang itu.]
[Datanglah, aku sedang berada di depan kamar tamu menunggumu.] emoticon kecupan.

Plung! Aku melempar gawai ke kolam renang karena kesal. Om Haris tampak terkejut melihatku yang tengah emosi.
"Ada apa Sarah, kenapa kau buang handphone mu?" tanya om Haris menghentikan latihannya. Aku tak menggubrisnya dan berlalu masuk ke dalam menemui Aryo yang tengah berdiri di depan pintu menungguku.

Plak! Sebuah tamparan ku layangkan pada Aryo.
"Sarah!" pekik Tari dari atas tangga lantai dua, yang terkejut melihat aksiku. Ia bergegas turun menghampiri dengan mata yang sudah menyalak marah.
"Tari hentikan!" seru suara bariton om Haris mencoba menghentikan ayunan tangan Tari yang ingin menamparku. Kami terkejut melihat om Haris berjalan normal tanpa bantuan _kruk_.

==========

*Emosi*

Sedikit kasar Om Haris menarik lenganku untuk menjauh dari Tari.
"Sarah sudah gila, ia menampar Aryo tanpa sebab!" jerit Tari kalap.
Om Haris memandang Tari dan Aryo dengan lekat, netra coklat milik pria senja itu melotot tajam, "Ayah belum tuli. Pelankan suaramu saat bicara dengan Orang Tua!" hardik om Haris ke Tari.
Mantan sahabatku sangat terkejut mendapat omelan dari ayahnya.
"Dasar pelacur!" maki Tari padaku.

Plak! Om Haris menampar Tari, aku terkejut begitu juga dengan suamiku, ia terlihat begitu menyesal karena telah memukul anaknya.

"Maafkan Ayah sayang." om Haris memeluk Tari untuk menenangkan, namun Tari meronta tak sudi di sentuh oleh ayahnya.
"Hanya karena pelacur ini Ayah menceraikan Mamah, dan gara-gara dia juga sekarang aku mendapat pukulan. Tari benci sama Ayah!" jerit Tari dengan tangis yang pecah.

Om Haris terlihat begitu terluka dengan hujatan Tari, dengan menarik lenganku ia mengajak pergi menuju kamar. Di dalam kamar om Haris mengambil gawainya yang terletak di atas nakas. Ia tampak membaca sebuah pesan, raut wajahnya berubah penuh emosi setelah melihat pesan tersebut.

"Brengsek! Jadi pesan ini yang membuat kau menamparnya Sarah." ucap Om Haris penuh emosi, ia melempar gawai ke kasur tepat di sampingku duduk. Aku mengambil alat komunikasi itu dan membacanya. Rupanya handphone ku tersambung langsung ke handphone om Haris, jadi setiap ada pesan dan panggilan yang masuk dia dapat mengetahuinya.

Kulihat om Haris sudah tidak ada di dalam kamar, terdengar teriakan Tari dari luar mencoba menghentikan aksi ayahnya. Aku bergegas keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Bak! Buk! Bak! Buk! Terlihat om Haris tengah menghajar Aryo tanpa ampun.
"Berhenti! Ayah berhenti!" teriak Tari memohon pada Om Haris yang tengah menghajar Aryo sampai bonyok.
Aku mendekat dan melerai, menarik tubuh om Haris.
"Kau! Jangan pernah tunjukan batang hidungmu lagi di hadapanku. Kau ku pecat!" maki Om Haris yang sudah sedikit reda emosinya.
"Ayah kejam!" maki Tari dalam isaknya.
"Tidak! suamimu juga akan melakukan hal yang sama seperti Ayah bila istrinya di lecehkan." jelas Om Haris.
"Aryo nggak melakukan apa-apa Tari melihatnya, Sarah lah yang gila memukul Aryo tanpa sebab." protes Tari sambil memeluk Aryo yang sudah terkapar babak belur.
"Periksa lah handphone suamimu, kau akan tau alasan Sarah menampar bajingan ini."
***

Siang itu juga Aku dan Om Haris meninggalkan rumah besar yang ditempati oleh Tari dan memilih tinggal di Hotel untuk sementara waktu. Masih terlihat bengkak dan memar jemari tangan Om Haris akibat memukul Aryo.

"Apakah masih sakit? Tanyaku khawatir. Bukannya menjawab Om Haris malah memeluk.
"Aku masih kuatkan Sarah." ucap Om Haris merenggangkan pelukannya dan menatapku tajam.
"Tentu saja, suamiku adalah pria terkuat sedunia." hiburku.
"Apakah kau ingin merasakan kekuatanku juga?" tanyanya dengan senyum nakal yang mengembang. Aku menggeleng untuk menggodanya.
"Kenapa?" wajahnya memelas.
"Karena Mas Haris tidak cukup kuat sekarang." ucapku,melirik ke bawah.
"Hai! ini masih berfungsi normal meski kemarin aku terkapar di Rumah Sakit." ucap om Haris membuat aku terbahak.
"Hahaha, dasar Kakek mesum." ejekku, membuat dia marah tak terima, Om Haris menarik tubuh ini hingga terbaring dan ia mulai menggelitik pinggangku.
"Haha ..., udah berhenti! Geli tau!" teriakku sambil meronta dan tertawa.
"Bilang dulu kalau suamimu  ini kuat." pintanya mengendorkan kelitikannya.
"Maksud Sarah bukan yang itu, tapi yang ini." aku memencet punggung tangannya yang bengkak.
"Awww! Sakit tau." pekiknya lalu melepaskan cengkramannya dari tubuhku.
"Tuh belum kuat kan." ku kompres tangannya dengan batu  es yang di bungkus handuk kecil. Sebuah kecupan kecil mendarat di dahi ku.
"Kita akan balik ke Sukabumi lusa." ucap Om Haris memandangku dengan mesra.
***

Aku mendengar semua percakapan Om Haris dengan Pak Danu asistennya. Ia menemui suamiku, ketika kami sedang makan malam di restoran mewah yang ada di Hotel ini.

"Jadi Widiya memimpin rapat direksi untuk mengangkat Aryo menjadi _CEO_, dan semua setuju?" tanya om Haris dengan emosi yang tertahan.
"Sebaiknya besok bapak datang ke kantor untuk membicarakannya kembali pada dewan direksi."

Om Haris melirik meminta persetujuan, karena bila mulai bekerja itu artinya rencana kepulanganku ke Sukabumi akan di undur. Aku hanya mengangguk pelan menyetujuinya.

"Aku akan tetap memecatnya, Aryo tidak berhak ada di posisi itu.
"Apa sebaiknya di mutasikan saja." usul Pak Danu.
"Kenapa harus mutasi bila aku bisa memecatnya."
"Bu Widiya dan Mba Tari sebagai pemilik saham terbesar ke dua di perusahaan pasti menentangnya."
"Widiya iya, tapi Tari tidak, aku belum mewariskan perusahaan untuknya."
"Bu widya tadi telah mengumumkan Mba Tari sebagi pewaris tunggal di perusahaan Pak." jelas pak Danu membuat om Haris terkejut.
"Apa? Gila!" Om Haris bangkit dan pergi meninggalkan kami dengan emosi.

Pak Danu mencegahku untuk mengejarnya. Om Haris butuh waktu untuk berfikir kata Pak Danu.Memecat Aryo itu berarti membongkar masa lalu Tante Widiya dan status Tari yang sebenarnya pada dewan direksi. Pak Danu menjelaskan semua itu padaku.

"Sebaiknya  Bu Sarah segera hamil agar pewaris Angkasa Grup bisa segera di umumkan." nasehat pak Danu sebelum ia pamit meninggalkanku yang tertegun kaget.
Kenapa jadi rumit begini, bak di dalam sinetron saja hidupku ini. Seharusnya sejak awal sudah ku akhiri pernikahan ini.
***

Tante Widia dan Tari menemuiku di lobi Hotel, ada yang ingin mereka katakan padaku.
"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanyaku sedikit angkuh.
"Cih! LihatTari temanmu ini berlaga jadi nyonya besar." tante Widiya menatapku sinis.
"Tinggalkan Ayahku atau kubuat ia di penjara karena menganiyaya suamiku." ancam Tari."
"Apa kau sudah gila ingin memenjarakan Ayahmu?"
"Tidak, dulu pun ia juga melakukan hal yang sama ketika aku menghajarmu di Hotel tempo lalu."  ucapnya penuh keyakinan.
"Penjarakan saja kalau memang bisa." tantangku, Tari dan tante Widiya terkejut mendengar ucapanku.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER