#Terbongkarnya Rahasia#
Tari benar-benar melaksanakan ancamannya untuk memenjarakan ayahnya. Sejumlah polisi datang ke Hotel menemui Om Haris dan membawanya.
Om Haris menyuruhku sementara waktu tinggal bersama Dokter Siska untuk keamanan.
"Aku sudah menelpon Siska untuk menjemput nanti, jangan khawatir sore aku pasti pulang ini hanya penyelidikan biasa." ucap Om Haris mencium keningku sebelum ia dibawa oleh polisi. Aku hanya mengangguk menahan buliran bening yang sudah ingin meronta keluar dari pelupuk mata.
Lima menit setelah kedua ibu dan anak itu mendatangiku lagi di lobi. Dokter Siska datang.
"Belum puas kalian memenjarakan orang, apa sekarang ingin menganiyaya orang juga?" tanya dokter Siska tepat ketika Tari mengayunkan tangannya ingin memukulku.
"Ooo, dua pelakor saling melindungi rupanya." ejek tante Widiya.
Dokter Siska tersenyum mendengar ejekan itu, "Dua, Harusnya tiga kau ingat?" wajah tante Widiya memerah seolah tersindir akan ucapan dokter Siska.
"Aku di pinta resmi oleh orang tuanya." jelas tante Widiya.
"Oh ya? lalu kenapa kau baru di nikahin resmi setelah mengandung Tari." ejek dokter Siska.
Tante Widiya mengayunkan tangan kearah wajah dokter Siska, namun dengan sigap ia menangkap pergelangan tangan mantan istri suamiku itu dan mencengkramnya.
"Ini membuktikan kalau kau memang pelakor.Tari pun menuruni bakatmu."
"Jangan asal bicara ya wanita oplas!" hardik Tari.
"Apa Ibumu tidak menceritakan siapa Ayah kandungmu?"
"Siska, kumohon hentikan." tante Widiya memohon, tapi sia-sia Tari terlanjur mendengar.
"Apa maksudmu?"
"Tanyakan pada Ibumu kenapa Haris bersikap dingin padanya tetapi begitu penyayang terhadapmu? Dengan kejam kalian mencoba mencebloskannya ke dalam penjara." suara dokter Siska gemetar menahan emosi
"Ini semua gara-gara Ayah yang mata keranjang tergoda sama kau dan temanku ini."
"Yang berhianat bukan Haris, tapi Ibumu. Ia selingkuh hingga melahirkan kau!"
"Apa?," Tari terkejut mendengar ucapan dokter Siska.
"Mamah itu nggak benarkan Mah?" tanya Tari bingung kepada ibunya. Tante Widiya membisu.
"Kau serakah Widiya, Haris begitu berbaik hati tidak menceraikan kau dan tetap mengakui Tari sebagai anaknya. Harta pun ia kasih untuk kau dan Tari, lalu kenapa kau mengulangi kesalahan yang sama berselingkuh pada pemuda yang sekarang menjadi menantumu!" tutur dokter Siska membuat aku dan Tari terkejut.
"Mamah!" teriak Tari
"Jangan dengarkan ocehannya."
"Hari di mana kau dan Sarah melabrakku dulu, itu adalah hari saat aku dan Ayahmu memergoki Ibumu bersama Aryo," kembali dokter Siska bercerita.
"Lalu kesempatan datang ketika Sarah meminta Haris untuk menikahinya. Akulah yang menghasut Ayahmu untuk segera menceraikan Widiya dan menikahi mantan sahabatmu ini." rupanya om Haris pun memanfaatkan ku untuk balas dendam. Tari bergeming, tangisnya pecah. Tak ada reaksi apapun dari tante Widiya untuk menenangkan Tari atau sekedar meminta maaf. Wanita yang tetap terlihat cantik dengan kerutan di pelupuk matanya berjalan mendekati dokter Siska.
Plak! Tamparan mendarat di wajah dokter yang gemar oprasi plastik itu.
Plak! Plak! Dokter Siska membalas tamparan tante Widiya dua kali.
"Sudah lama sekali aku ingin menampar kau seperti ini, karena telah mengkhianati Laras!" maki dokter Siska.
"Siapa Laras?" tanya Tari pada tante Widiya.
Dokter Siska menarik lenganku untuk meninggalkan ibu dan anak itu. Entah apa yang akan di jelaskan oleh tante Widiya pada anaknya, tapi yang pasti kulihat tadi Tari begitu terpukul atas semuanya.
==========
*Everyday I Love You*
Fakta tentang Tante Widiya cukup mengejutkan, entah bagaimana bila aku berada dalam posisi Tari? Ach, ingin rasanya aku berada di sampingnya seperti dulu, mendengar ocehan dan keluhannya sebagai seorang sahabat. Tari yang kupikir hidupnya sempurna karena terlahir dari keluarga kaya ternyata tak kalah menyedihkan dari pada diriku yang di besarkan di Panti Asuhan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Dokter Siska beliau banyak bercerita tentang Om Haris padaku. Bagaimana dulu ia amat terkejut waktu pertama kali melihatku.
"Kau tau Sarah, hampir tiap hari Haris menelponku sekedar bercerita bagaimana kau telah membuat hatinya berdegup kencang saat dirimu memasuki ruangannya untuk melaporkan agenda kegiatannya." tutur dokter Siska memulai cerita.
Aku tersenyum mendengar cerita Dokter Siska, "Sarah juga awalnya kaget liat Mas Haris ternyata tampilannya tidak sesuai dengan usia."
"Ha ha ha," tawa dokter Siska pecah.
"Tapi wajah rupawannya tidak bisa membuatmu jatuh cinta, pesona Aryo memang lebih kuat di bandingkan temanku itu." jleb! Ucapan dokter Siska membuat hatiku seperti dihujani pisau, meski pelan namun sindirannya begitu jelas terbaca.
"Kebodohan di masa lalu." ucapku membela diri.
"Tapi aku suka kebodohan yang kau buat, karena temanku jadi jauh lebih bahagia berkat kebodohanmu," senyum dokter Siska mengembang.
"Oh ya, apakah kau marah setelah mengetahui fakta Haris hanya memanfaatkanmu?" tanya dokter Siska.
"Tidak, karena saya pun melakukan hal yang sama terhadapnya." jawabku malu.
"Gadis Pintar, Haris memang memanfaatkanmu, tapi percayalah kalau dia benaran jatuh cinta padamu. Aku yang mengetahui gelagat itu mulai menghasutnya agar mau menceraikan Widiya. Percayalah mereka bercerai bukan karena kau, tapi memang sudah seharusnya. Haris hanya butuh alasan hadirnya seorang wanita agar bisa mengakhiri pernikahannya." terang Dokter Siska panjang lebar.
"Tampaknya Mas Haris begitu dekat dengan dokter." ucapku keceplosan.
Dokter Siska tersenyum mendengar perkataanku, "Apakah Haris tidak memberitahu siapa aku?" tanyanya dengan senyum mengembang.
Aku menggeleng, "Kalian temankan?"
"Aku adik tiri Haris Sarah" ucapnya sambil tertawa memarkan gigi putihnya. Sial, aku merasa bodoh telah melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Pasti saat ini Dokter Siska mengira aku sedang cemburu padanya.
"Lalu kenapa Tante Widiya tidak mengenali anda sebagai adik Mas Haris." sudah terlanjur aku penasaran.
"Karena kami tidak tinggal satu rumah, ibuku istri kedua yang dipinta resmi oleh ibunya Haris. Aku hanya menghadiri pernikahan Haris dan Laras, sepulang dari London, aku baru tau soal pernikahan Haris dan Widiya." jelas Dokter Siska sambil menatap dengan senyum mengembang.
"Kau tau kenapa alasan aku oprasi plastik." bisik Dokter Siska di telingaku seolah tak ingin supir mendengar kami.
"Kenapa?"
"Karena Kakaku Haris tidak bisa menua, aku sebagai adiknya serasa di intimidasi oleh kemudaannya," aku menatapnya lekat, benarkah itu?
"Kelak kau pun akan melakukan hal yang sama sepertiku Sarah, bila suamimu itu tidak bisa menua juga." Dokter Siska tertawa terbahak.
Aku bersyukur jakarta malam ini tidak diliputi dengan kemacetan sehingga kami bisa cepat sampai dan aku terhindar dari percakapan canggung bersama dokter nyentrik itu. Tak bisa kupungkiri bahwa ucapannya memang benar, andai dulu aku tak mengambil langkah bodoh saat ditinggal Tari dan Aryo menikah, mungkin saat ini aku tidak berstatus nyonya Prasetiyo. Sungguh kebodohan terindah yang pernah kubuat, tapi apakah aku juga akan melakukan oprasi plastik sepertinya bila Om Haris benar- benar tidak bisa menua.
***
Tari mencabut tuntutan pada ayahnya. Wajah cantiknya terlihat berantakan, ia memutuskan bercerai dengan Aryo. Air mata masih bergulir deras di pipi mulusnya. Om Haris berusaha menenangkan.
"Sudahlah jangan menangis lagi, keputusan yang kau buat sudah tepat dan terimakasih telah membebaskan Ayah." hibur Om Haris.
"Tari masih anak Ayahkan?" tanya Tari penuh isak. Dijawab dengan anggukan kepala dan pelukan hangat dari Om Haris, aku yang melihat ikut terbawa suasana menjadi sedih.itu adalah hari perpisahanku dengan Tari sebelum ia memutuskan untuk menetap diluar negeri.
Bagaimana denga Aryo?
Aryo di pecat dari perusahaan karena terlibat kasus percobaan pembunuhan terhadap ayah mertuanya. Kecelakaan mobil yang dialami Om Haris tiga bulan yang lalu ternyata ulahnya bekerja sama dengan Tante Widiya.
Mereka tak ingin OM Haris melimpahkan hartanya pada anakku kelak. Aryo berhasil ditangkap tapi tidak dengan Tante Widya, ia menjadi buron sekarang.
"Sungguh hebat si Aryo itu, ia berhasil mencerai-beraikan keluargaku." ucap om Haris dengan menghela nafas berat, seperti orang yang tengah membuang sebuah beban berat.
Aku melirik ke pemilik wajah tegas itu, ada bulu halus berwarna perak yang menghiasi pipinya, achh, usia memang tidak dapat menipu fisik dengan sempurna. Meskipun wajah suamiku masih terlihat muda tetap saja akan tampak rupa senjanya ketika Om Haris lupa mencukur jenggotnya.
"Apa masih menaruh dendam pada pria yang sekarang meringkuk di penjara?" tanyaku heran mendengar keluhan om Haris.
"Tidak bolehkah? Jangan bilang kau masih mengasihinya." ucapannya terdengar seolah menyindirku.
Seminggu setelah kami kembali ke Sukabumi om Haris sedikit berubah sikapnya, bila kutanyakan perihal sikapnya ia pasti menjawabnya dengan alasan 'kangen cucu'.
"Kau mau kemana Sarah?" tanya Om Haris mencegahku yang ingin pergi dari _gazebo_ ini.
"Di sini dingin, Sarah mau masuk aja" jawabku sedikit ketus.
"Kau tidak jadi mencukur janggutku?" Om Haris berdiri dan menyodorkan pipinya ke wajahku.
"Cukur saja sendiri." ucapku masih ketus. Bukannya kesal atas jawaban yang kuberikan, om Haris malah menghujani ku dengan kecupan, aku berusaha mengelak dengan memalingkan wajah ke kiri dan kanan.
"Lepasin."
"Nggak mau, sebelum kau menjawab pertanyaanku." Om Haris memonyongkan bibirnya, tingkahnya membuatku berusaha menahan tawa.
"Sarah sebel sama Mas Haris, tiap kali membicarakan Aryo pasti menyindir Sarah."
"Aku tidak menyindir, hanya bertanya 'Apakah kau masih mengasihinya' kau menyesal bukan menikah dengan pria tua sepertiku?"
"Kalau menyesal buat apa Sarah mempertahankan calon bayi di perut ini" ups! Aku keceplosan.
"Yess!" om Haris kegirangan mendengar ucapanku.
"Tadinya ingin membuat _suprise_ di hari _anniversary_ kita."
"Kau tau, aku sudah penasaran dari seminggu yang lalu sejak melihat bungkus tespack di kamar mandi."
"Kenapa tidak bertanya kalau Mas Haris penasaran."
"Sengaja, Aku ingin membuat kamu jengkel dulu. Katanya wanita hamil emosinya tidak stabil." bisik om Haris sebelum mendaratkan kecupan di telingaku. Alunan lagu _evryday i love you_ milik Boyzone mengalun indah melalui _ear phone_ yang disematkan Om Haris di telingaku.
Sore itu senja tampak begitu indah dengan sapuan jingga dari sang surya, sebelum ia tenggelam berganti jaga dengan bulan dan bintang.
* T A M A T *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel