Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 17 Agustus 2020

Yang Terlupakan #10

Cerita bersambung

"Iya, Mba Lani. Hati-hati," sahut Mama Irma.
Bang Arman menyunggingkan senyum kepada Mba Lani.
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam .... " Kami menjawab salam Mba Lani serentak.
***

[Author]

Karena persalinan Risa normal dan tidak banyak memerlukan tindakan berlebihan.
Keesokan harinya pun Risa dibolehkan pulang ke rumah. Pagi-pagi sekali Lani menjemput Risa dengan taksi. Tadinya Arman yang bermaksud mengantar Risa pulang, tetapi ia terlambat. Arman datang ke Rumah Bersalin untuk menjemput ketika Risa sudah sampai rumah.

Tak terasa waktu sudah berjalan dua bulan sejak kelahiran 'Alim. Irma dan Arman sesekali mengunjungi rumah Risa. Mereka begitu antusias mengikuti perkembangan 'Alim. Sering rasa haru menyusup di relung hatinya.
Sebenarnya Risa ingin menanyakan tentang status pertunangan Arman dengan Dewi. Namun selalu saja datang meragu. Ia takut kecewa lagi seperti sebelumnya yang tadinya ia pikir Arman tertarik kepadanya, ternyata beberapa bulan sama sekali tidak datang. Bahkan mengirim suatu pesan pun tidak. Padahal kontak Risa sudah di tangan Arman.

Ini hari keenam Rino pulang, dia sedang liburan semester genap. Risa sudah  menceritakan kepadanya kalau Armanlah yang membantu membawa Risa ke Rumah Bersalin. Arman juga yang sudah memberi nama anaknya 'Alim Alfaruq. Kata Arman Alfaruq ini gelar sahabat Rasulullah shalalahu 'alaihi wa sallam, 'Umar radhiallahu 'anhu.

Awalnya Rino menyarankan sebaiknya Risa segera berterus terang kepada Arman dan Irma. Tapi Risa menyatakan belum siap. Atik pembantu mereka pun juga ia suruh tutup mulut.
Risa masih ingin melihat seberapa besar kepedulian Arman kepadanya dan juga anaknya.
Dikarenakan Risa sendiri belum tahu bagaimana kabar rencana pernikahan Arman dengan Dewi. Risa pun tak mau tergesa-gesa, ia khawatir malah salah langkah.
Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.

Rino sempat sekali bertemu dengan Arman, ketika Arman dan ibunya berkunjung. Tapi Rino menahan diri untuk berterus terang. Biarlah Risa yang menyampaikan kebenaran itu sendiri, pikirnya.
Rino hanya sepekan di rumah Risa. Rupanya selain kuliah, Rino juga sudah bekerja sambilan, mengajar bimbel di sore hari.

Kuliah libur, bimbelnya tidak. Rino izin tidak mengajar sepekan karena ingin melihat keponakan yang sudah berusia dua bulan saat ini, dan dia juga kangen kepada kakak kesayangannya.
***

[Risa]

Tok Tok Tok!
Terdengar ketukan dari pintu luar. Padahal ini sudah cukup malam. Cuaca juga sedang hujan deras.

Siapa yang datang malam-malam dan hujan-hujan begini? Rutukku dalam hati sambil berjalan ke arah depan. Ini sudah pukul 21.45 WIB. Aku sih belum tidur karena baru selesai menyusui 'Alim yang terbagun lagi.
Kuintip dari balik gorden, ternyata Bang Arman. Kenapa kok hujan-hujan begini ke sini sih. Kan bahaya di jalan! Aku kesal karena mengingat kejadian kecelakaannya dulu.
"Assalamualaikum." Bang Arman mengucap salam setelah kubuka pintu.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah," jawabku.
"Bapak kok hujan-hujan ke sini?" tanyaku agak ketus kepada Bang Arman.
Ku persilahkan Bang Arman masuk dan duduk.
"Iya, saya dari tempat teman di ujung jalan sana. Karena hujan semakin lebat saya singgah ke sini dulu. Tadinya mau langsung pulang. Tapi Mama tadi nelpon, suruh singgah ke rumah kamu saja, lagian kan ada Rino kata mama. Mama bilang, mama trauma saya pake mobil dalam keadaan hujan lebat. Ya sudah, saya nurut mama aja. Dari pada beliau khawatir, kasihan. Maaf kalau kamu keberatan, Ris .... " Bang Arman menjelaskan panjang lebar.

Oh, begitu ceritanya ....
"Hemm, ga keberatan sih, Pak. Tapi Rinonya juga sudah pulang ke Jogja tadi siang ..., " jawabku seraya tersenyum menghalau rasa bersalah yang terlihat dari wajah babang tampanku.
Lagian bener kata mama, aku juga trauma dengan kecelakaan kamu, Bang ... Batinku berkata.
"Oooh, Rino sudah berangkat balik ke Jogja?  Ya sudah kalau begitu saya pamit pulang saja, Risa." Bang Arman berdiri kembali.
"Eeeh, ja-jangan, Pak! Benar kata Bu Irma, bahaya hujan lebat gini di jalan. Tunggu aja hujannya reda sebentar lagi. Ntar saya bikinin kopi susu dulu ya .... " Aku langsung ke belakang, walau Bang Arman tadi kulihat mau bicara lagi. Ku abaikan saja. Aku tak mau kejadian waktu itu terulang kembali, na'udzubillaah.

Ku letakkan secangkir kopi susu panas di hadapan Bang Arman.
"Diminum, Pak kopi susunya."
"Iya." Bang Arman mengangguk sambil mengambil cangkir dan menyeruput kopi susu tersebut.
Kutatap Babang tampanku ini, dia terlihat salah tingkah. Aku pun tersenyum melihatnya begitu.

Dia mengambil hapenya dari atas meja. Dan mencoba menelpon seseorang. Tapi kelihatannya orang di seberang sana tidak mengangkat panggilan itu.
"Mau nelpon siapa, Pak?" tanyaku.
"Mama, mau nanya di sana lebat juga ga hujannya. Tapi kayaknya mama sudah tidur."

Hujan terlihat makin deras, waktu menunjukkan pukul 22.15 WIB.
Terus terang aku merasa aman saja, karena toh Bang Arman masih berstatus suamiku walau dia tidak ingat.
Tapi beda halnya dengan si babang tampan. Bang Arman terlihat mulai gelisah ketika melihat jam melalui layar hapenya. Sedangkan hujan tak kunjung reda.
"Sebaiknya bapak menginap di sini saja, kamar Rino kan ada."
"Hemm, saya jadi ga enak sama kamu, Risa." jawabnya.
"Ga papa, Pak. Namanya juga lagi hujan lebat begini. Mari saya antar ke kamar."
Aku pun beranjak dan diikuti Bang Arman menuju kamar Rino yang berhadapan dengan kamarku.
Aku siapkan selimut bersih dari lemari. Dan kupersilahkan Bang Arman istirahat.

Kemudian aku keluar kamar dan kembali ke depan menutup pintu lalu menguncinya.
Lalu akupun ke kamarku, mengambil daster babydoll dan kuganti bajuku.

Karena mata sudah terasa mengantuk sedari tadi, tak lama setelah merebahkan diri di peraduan, akupun terlelap.

==========

Aku terbangun oleh tangisan 'Alim, kuambil hape rupanya pukul dua dini hari. Memang biasanya 'Alim terbangun pada dini hari karena ingin menyusu.
Akupun menyusuinya sambil menutup mataku yang masih mengantuk. Tapi kerongkonganku terasa haus. Setelah beberapa menit menyusu, bayiku pun tertidur kembali.
Karena haus banget, aku pun keluar kamar pergi ke dapur menuju dispenser mengisi air di dalam gelas. Lalu aku duduk di kursi di samping meja makan. Kubasahi kerongkonganku yang terasa kering. Alhamdulillah, legaa.

Ketika hendak balik ke kamar tiba-tiba ada sosok siluet seseorang yang keluar dari arah kamar mandi belakang.
Karena kaget aku serta merta berdiri, tak sengaja kusenggol gelas kosong bekas minumku tadi dan jatuhlah ke bawah.

Praaaaang!
Pecah berderai gelas kaca tersebut.

Aku dan sosok tersebut sama-sama kaget. Rupanya itu Bang Arman. Aku lupa kalau dia menginap di rumah. Saat ini hujan telah reda, tapi udara masih terasa dingin.
Aku jadi salah tingkah ketika kusadari Bang Arman terpana melihatku dalam keadaan tanpa hijab, rambut panjang bergelombangku tergerai, aku memakai baju babydoll yang hanya sepanjang setengah paha dan kancing bajuku juga terbuka terlihatlah apa yang ada dibaliknya. Hemm tahulah, maklum ibu menyusui.

Ketika hendak kabur aku lupa ada pecahan gelas kaca di depan kakiku dan ....
"Auw!" Aku memekik kecil kakiku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Aku pun terduduk kembali di atas kursi di samping meja makan tadi. Meringis memegang kakiku yang perih.

Bang Arman tersadar dari keterpanaannya, langsung mengambil pengki juga sapu yang ada di samping kulkas di dekatnya. Segera ia bersihkan pecahan gelas kaca tadi. Kemudian langsung mencabut kaca kecil yang melukai kakiku.

Wajahku kini terasa memanas ketika tiba-tiba Bang Arman menggendongku menuju kamar. Diletakkannya perlahan tubuhku di atas kasur.
"Ada obat luka ga?" tanyanya kepadaku.
Kubuka laci nakas, dan mengambil kotak P3K di sana. Dengan segera Bang Arman mengambil kotak itu dari tanganku.
Kuselipkan rambutku yang menutupi wajah ke balik telinga. Kulihat betapa perhatiannya suamiku kepada istri 'yang terlupakan' ini.

Dibersihkannya lukaku dengan kapas yang sudah diberi cairan revanol. Refleks kutarik kakiku karena perih. Bang Arman meniup-niup lukaku meringankan rasa perihnya. Ada desiran hangat terasa di hatiku. Kemudian diteteskan betadine ke luka tersebut. Lalu ditutupnya dengan kasa dan plester.
Sesudah itu ia menyimpan kembali kotak P3K tadi ke dalam laci.
"Saya permisi dulu, Risa .... " Dengan menundukkan pandangannya, Bang Arman pamit hendak kembali ke kamar Rino. Diapun berbalik, tapi kutahan tangannya dengan tanganku.

Bang Arman menolehku kemudian menatap dengan tatapan yang hemm ... aku tahu dia sedang bergairah. Entahlah apa yang ada di otakku. Tapi aku tak ingin dia meninggalkan aku.
Kutarik pelan Babang tampanku, dia pun seolah tak mampu menolak. Kudekatkan tubuhku ke tubuh Bang Arman. Kubelai rahang kokohnya.
Jarak kami sangat dekat sampai hangat nafasnya terasa di wajahku. Uh! Aku kangen sentuhan suamiku ....

Bang Arman mulai menangkup wajahku dengan dua telapak tangannya. Mataku tertunduk tak mampu membalas tatapan penuh hasrat darinya.
Diapun semakin mendekatkan wajahnya, aku tak sanggup menahan gejolak yang ada. Menanti sesuatu yang sejak lama aku rindukan.
Deru nafas kami semakin memburu. Detak jantungku apalagi. Seperti sedang ditabuh dengan sekencang-kencangnya.
"Bang Armaaan, Risa kangeeeeenn .... " suaraku terdengar serak. Bulir basah tak terasa mengalir dari sudut mataku. Yaa Rabb, Aku sangat merindu.

Kami pun melalui malam dingin bersama, tenggelam dalam lautan asmara. Melepas segala rindu dendam. melepas semua yang melekat pada tubuh kami berdua. Dan akhirnya... dendam rindu itu... 

"Risa... "
"Baang.."
Dan setelah itu... aku merasakan sesuatu yang mendesak masuk ke dalam tubuhku.
"Auwh.." sedikit sakit karena bang Arman agak terburu-buru. Tapi setelah itu ada desiran kalbu yang menyeruak nikmat... 
"Ou..aahh... bang Arman.." aku tak kuasa menahan getaran kalbu yang menggelora di dalam dada. Apalagi bang Arman menambah gairahnya hingga terdengar deritan dipan yang bergoyang.
"ahhsshh...Ooohh.." sekali lagi aku mendesah tak tahan. Kucengkeram pantat Bang Armanku untuk melampiaskan dendam rinduku.
Bang Arman semakin gencar untuk menuju ke puncaknya... hingga.. "Argh..."
Lepaslah sudah dendam rindu itu bersama gairah babang tampanku.

***

[Author]

Sayup-sayup suara adzan membangunkan Risa yang lelap di peraduan cinta. Mata bulat indahnya mengerjap berusaha memulihkan kesadarannya. Ia memperhatikan di sebelah kirinya 'Alim ngoceh sendiri ala baby.
Sedang Arman sudah tidak berada lagi di sebelah kanannya.
Hemm, rupanya Arman sudah bangun. Mungkin sedang bersiap shalat subuh di kamar Rino pikir Risa.

Tersungging senyuman di bibir Risa, teringat kejadian indah semalam. Betapa panas pergelutan mereka. Apalagi rindunya sudah sekian lama terpendam. Akhirnya terlampiaskan dengan cara yang tidak diduga sama sekali.

Kemudian Risa beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Setelah melaksanakan shalat subuh, Risa pun keluar kamar seraya menggendong 'Alim menuju kamar Rino.
Kosong ....

Lalu Risa pun memeriksa pintu depan, tertutup tapi sudah tak berkunci. Mobil Arman pun sudah tidak ada lagi di halaman. Sepertinya Arman sudah pulang, pikirnya. Sudahlah ....

Setelah makan siang dan shalat dzuhur Risa menidurkan 'Alim. Ketika  'Alim mulai lelap, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Risa beranjak dari ranjang dan menuju pintu luar.
"Assalamualaikum." Arman mengucap salam.
Arman datang bersama ibunya, Irma.
Risa menjawab salam. Menatap heran kenapa rona wajah Irma terlihat berbeda.
Risa pun mempersilahkan mereka masuk dan duduk.
"Silahkan duduk, Bu ...  Pak. Sebentar Risa buatkan minum dulu ke belakang."
Belum sempat Risa beralih. Tiba-tiba Irma berkata,
"Tidak perlu! Ibu mau bicara serius sama kalian!" sahut Irma ketus.
Hemm. Apa Arman sudah menceritakan apa yang terjadi semalam diantara mereka. Tanya Risa dalam hati.
"Mama duduk dulu sini ..., " kata Arman kemudian sambil menepuk sofa di sampingnya.
Risa hanya terdiam, menunggu apa yang hendak dibicarakan oleh Irma.
Irma duduk lalu melanjutkan omongan. "Saya tidak pernah menyangka! Kalian bisa melakukan hal di luar batas!" Sorot mata Irma terlihat nanar.
Risa menatap Arman yang terlihat sangat tak nyaman dengan keadaan itu.
"Sabar, Ma ... Kita bicarakan baik-baik. Ini salah Arman."
"Emm, se-sebenarnya begini, Buu ..., " Risa terbata.
"Sebenarnya Risa .... " Omongannya terputus.
"Apa kalian tidak tahu agama? Apa kalian tidak takut dosa!" Irma membentak, terlihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Hemm. Tolong dengarkan Risa dulu, Bu .... " Risa kembali mencoba menenangkan Irma sembari menyentuh lengannya.
"Iya, Ma ... Kita bicarakan dengan kepala dingin, insyaa Alloh Arman akan bertanggung jawab. Toh Arman juga dari awal ingin melamar Risa," lanjut Arman.

Risa mengernyitkan dahi mendengar ungkapan Arman yang menyatakan bahwa dia sejak awal sudah berniat melamarnya. Benarkah? Bathin Risa berkata.
"Apa? Kamu Arman! Sudah lama mama bilang! Lamar segera ... Tapi kamu tunda terus! Alasan masih sibuklah, sebentar lagi lah! Memang mama berharap kalian menikah, tapi bukan dengan cara seperti ini!" Lanjut Irma penuh emosi. Air matanya pun mengalir deras dan suaranya mulai bergetar.
"Please, dengarkan Risa, Bu ... Sebentar Risa jelaskan ... " Mata Risa pun jadi memanas melihat Irma begitu sedih. Bulir bening pun menggelantung di pelupuk matanya.
"Apa ... apalagi yang mau dijelaskan? Saya benar-benar kecewa dengan kamu Arman, juga kamu Risa!" Irma merendahkan suaranya tapi masih dengan emosi yang tinggi seraya menunjuk wajah Arman juga Risa.
"Padahal kalian tahu itu dosa besar! Kenapa kalian begitu lemah dengan godaan seetaan .... "
"Kami tidak melakukan dosa, Bu!" sahut Risa tegas memotong omongan Irma.

Arman yang sedari tadi tertunduk dengan mata berkaca-kaca mendongakkan kepalanya menatap aneh kepada Risa.
"Maksud kamu ... Apa, Risa?" tanya Irma mengernyitkan dahinya bingung. Menoleh Arman sebentar, lalu kembali menatap Risa.

Risa pun segera masuk ke dalam kamarnya sebentar, kemudian keluar lagi, lalu meletakkan dua buah buku hijau dan merah di atas meja sambil menggendong 'Alim yang ternyata terbangun.
Irma dan juga Arman meraih kedua buku tersebut dan melihat isi dalamnya.
"I-ini maksudnya gimana ...?" tanya Arman bingung.
Irma juga tak mau kalah menatap Risa dengan pandangan penuh tanda tanya.
Risa duduk, kemudian menundukkan pandangan.
"Kejadian tadi malam, sebenarnya saya yang memulai ... Risa yang menggoda Bang Arman."

Irma menatap Arman dan Risa bergiliran.
"Maaf selama ini Risa menutupi kebenaran ini, sebenarnya Risa akan menceritakannya, cuma belum menemukan momen yang pas." Risa mendudukkan bokongnya di sofa.

Arman dan Irma menatap tajam ke arah Risa menunggu penjelasan.
"Hemm, Risa juga agak ragu untuk mengungkapkan kebenaran ini sekarang disebabkan Risa tahu kalau Bang Arman dan Mba Dewi sudah bertunangan dan akan segera menikah." lanjut Risa.
"Ibu sudah lama memutuskan membatalkan hubungan pertunangan mereka, Risa. Sejak Arman masih di rawat di rumah sakit waktu itu." sahut Irma.
Risa tertegun mendengar berita itu.
"Oh ya?" Mata Risa bergantian menatap Arman dan Irma. Ada rasa bahagia yang tiba-tiba menelusup dalam hatinya. Kenapa ga dari dulu bilangnya. Kalau tahu seperti itu kaaan ... Batin Risa merutuk.
"Tolong kamu jelaskan tentang Buku Nikah ini, kenapa ada identitas kalian di sini?" lanjut Irma sambil mengangkat buku kecil berwarna hijau itu di tangannya.

Lalu Risa pun menceritakan kepada Irma dan Arman semua yang telah terjadi.
Raut wajah mereka berduapun mulai berubah.
"Maksud kamu apa Arman menikah diam-diam seperti itu?" tanya Irma kepada Arman kemudian.
"Arman ga ingat sama sekali, Ma. Beneran .... "
Arman mengernyitkan dahinya.

'Lucu juga. Ya Bang Arman kan amnesia. Gimana bisa dia ingat alasan apa tidak mau berterus terang tentang pernikahan kami dulu. Ingat pernah menikah denganku saja sama sekali tidak.' kata hati Risa yang terasa sedikit tergelitik.
"Intinya Bang Arman menjaga perasaan Mama Irma, karena telah menjodohkan Bang Arman dengan mba Dewi," sahut Risa mencoba menjelaskan.
"Terus kenapa hari itu Arman minta putuskan pertunangan tapi ga ngasi alasan apa-apa selain alasan ga suka seperti yang dia katakan sebelum-sebelumnya?" lanjut Irma mengingat kejadian sebelum kecelakaan yang merenggut sebagian memori Arman.
"Waktu itu Bang Arman bilang ke Risa, Bang Arman belum siap. Entahlah, Risa juga ga paham, Ma .... "

Tanpa sadar sejak tadi dengan sendirinya Risa sudah mengganti panggilannya ke Irma dan Arman.
Arman mendekati Risa, kemudian mengambil 'Alim dari gendongannya. Matanya berkaca-kaca menatap bayi kecil itu. Didekap dan dikecupnya berkali-kali.
"'Alim anak saya kan, Risa?" Arman menatap Risa dengan mata yang sudah basah dengan air mata.
Risa mengangguk pelan dengan derai air mata.

Irma pun mendekat, menepuk bahu Arman, kemudian mereka memeluk 'Alim bersamaan.
Risa menatap dengan penuh keharuan. Air mata mereka tumpah tak terbendung ....

Kita tak pernah tahu takdir dari Yang Maha Kuasa, namun ketika takdir itu datang, maka rendalah hati untuk selalu ridha atas segala ketetapanNya. Baik ataupun buruk menurut kita.

Mungkin Arman tidak lagi mengingat kenangannya bersama Risa selama dua bulan pernikahan mereka sebelum kecelakaan. Tapi ketika cinta itu kembali tumbuh, ternyata sungguh tak mudah untuknya melupakan.

Masih ada kesempatan untuk mereka merajut apa yang sudah terurai. Dengan kisah yang baru. Menciptakan memori indah yang baru. Walaupun yang sebelumnya akan tetap menjadi ... 'kenangan #YANG_TERLUPAKAN'....

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER