Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 16 Agustus 2020

Yang Terlupakan #9

Cerita bersambung

Mengapa hatiku harus diambil oleh wanita yang sudah bersuami? Sakit!
Aku tidak mudah tertarik dengan wanita. Kenapa ketika rasa itu hadir, tapi malah harus dengan istri orang. Kesal!
Aku harus menghilangkan Risa dalam benakku. Harus!
***

[Author]

Arman berazzam untuk melupakan Risa sejak mengetahui bahwa Risa bukanlah seorang wanita yang masih sendiri. Hatinya semakin terkoyak ketika melihat pemandangan yang membuat dirinya terbakar api cemburu.
Tapi ternyata rasa itu sangat sulit ia bunuh. Arman tak memahami mengapa Risa selalu saja menggelayut di sudut hatinya. Bayangan Risa selalu datang tanpa diundang dan diharapkan. Arman tak tahu sampai kapan hatinya terus terpaut dengan bayangan semu.

Di tempat lain ada hati yang selalu merindu. Risa sering menangis sendiri menerima kenyataan bahwa kenangan cintanya telah hilang ditelan bumi. Arman sama sekali tidak memberinya asa. Risa menganggap Arman tak mungkin lagi bisa ia harapkan. Jangankan mengingat, sedikit perhatian pun tidak lagi ia rasakan. Rasa rindu yang dulu indah, kini berubah menjadi sangat menyiksa. Begitu sakit! Begitu perih!

Hari berganti hari mereka lewati dengan siksaan hati masing-masing. Kandungan Risa semakin besar tanpa  seorang suami di sisinya.  Akankah ada secercah kemungkinan? Entahlah.
***

[Risa]

"Ini usia kandungan Ibu sudah masuk 36 weeks ya, Bu. HPL-nya tidak lama lagi. Kalau dalam pekan ini belum juga ada tanda-tanda mau melahirkan, segera datang lagi ke sini ya, Bu." Dokter Hana, Sp.OG memperingatkan setelah memeriksa kandunganku seraya menyunggingkan senyum.
Hasil USG-nya bagus posisi kepala bayi sudah di bawah, bayi juga tampak sehat kata beliau tadi.
"Iya, Dok. Insyaa Alloh."
Akupun pamit dan tidak lupa berterimakasih kepada dokter Hana.

Esok harinya aku jalan-jalan ke mall. Aku hendak mencari baju-baju bayi lagi dan juga kain untuk bedong. Walau aku sudah membelinya beberapa, tapi sepertinya masih kurang.

Setelah selesai membayar belanjaan, aku pun keluar dari baby shop. Kemudian aku singgah ke sebuah food court di dalam mall ini. Aku memesan Coffee ice dan french-fries.
"Risa .... "
Deg!
Aku yang sedang ngemil french-fries tersentak dengan suara yang tak asing.
"Baa ... Eh Pak!" hampir aja sebut 'Bang'. Huuuft. Kaget euy.
Yaa Alloh, babang tampanku. Setelah sekian lama ga ketemu. Bang, aku kangen tauuuu! Hiks.
"Sendirian aja?"
"I-iya, nih pak." jawabku gugup.
Sudah lama banget ga ketemu. Selama ini aku selalu berusaha menepis rasa kangen kepada suamiku ini. Tapi aku tak sanggup! Huhuhuuu ....
Sekuat apapun aku berusaha. Percuma saja. Aku terus dan terus mengingat dan membayangkan kenangan kami. Hal itu sungguh menyiksa bathinku.
"Boleh saya duduk di sini?"
"Silahkan, Pak." Aku berusaha menghilangkan kecanggungan ini dengan senyuman.
"Bapak ga pesan minum atau makan?" tanyaku mencairkan suasana yang terasa kaku.
"Ga usah, saya barusan dari restoran sana pertemuan dengan klien." Maa syaa Allooh senyum Babang tampanku, gimana bisa aku melupakan ayah dari anakku ini. Huhuu ....
"Saya jadi ga enak ngemil sendiri ini."
"Santai aja ...," lanjut Bang Arman.
"Kelihatannya kandunganmu udah gede ya, sudah berapa bulan?"
"Tinggal nunggu hari aja, Pak," jawabku sambil menyeruput Coffee ice-ku.
"Waah, maa syaa Alloh. Semoga lancar persalinannya nanti ya, Ris .... "
"Makasih doanya, Pak. Aamiin." Kenapa jadi grogi banget sih.
Menghalau rasa hati yang kacau seperti ini, aku tak putus mengunyah stik kentang di depanku.
"Ituu .... " Bang Arman menunjuk wajahku.
"Kenapa .... ?" tanyaku sambil menyentuh pipiku. Apa ada yang salah dengan wajahku ya?
Bang Arman mengambil sapu tangan dari balik jasnya. Dan mengarahkan ke wajahku.
"Maaf." Bang Arman mengusap sudut bibirku dengan sapu tangannya. Dan kemudian menunjukkan sapu tangan itu.
Ternyata ada saos di situ. Yaa Alloh, ku yakin mukaku udah kayak udang rebus saat ini ....
"Makasih," sahutku seraya menundukkan pandangan.
"Lama kita ga ketemu ya, Risa."
"Iya, Pak. Gimana kabar Ibu?"
"Alhamdulillaah baik."
"Alhamdulillaah. Hemm, Saya mau pulang dulu, Pak." Aku mau pulang aja, canggung banget!
"Pake apa ke sini tadi?"
"Pake taksi online, Pak."
"Ya sudah, Saya antar kamu pulang."
"Ga usah, Pak. Nanti ngerepotin!" Ku menolak tawaran Bang Arman.
"Ga papa ... Lagian searah ini."
"Takut Bapak sibuk." Aku berusaha tetap menolak.
"Ga sibuk kok sekarang. Ayo!" Bang Arman langsung mengambil barang belanjaan yang sedari tadi ada di kursi sebelahku. Mau tak mau aku mengikutinya.

Sepanjang jalan kami tak banyak bicara. Hanya mengomentari situasi jalanan yang ramai lancar.

Akhirnya setelah lebih kurang 25 menit perjalanan, sampai juga di halaman rumahku.
"Singgah dulu, Pak?" ajakku basa basi namun tak berharap.
"Baik!"
Ha?! Aku kira Bang Arman bakalan menolak. Aku pun turun dari mobilnya. Kemudian mempersilahkan Bang Arman masuk. Bi Atik libur, karena hari ini hari sabtu. Untunglah. aku takut kalau Bi Atik ada, malah keceplosan.
"Silahkan duduk, Pak. Saya ke dalam dulu." Bang Arman hanya tersenyum seraya mengangguk.

Ku letakkan belanjaanku ke atas meja makan dan aku ke dapur membuatkan kopi untuk Bang Arman.
"Silahkan minum, Pak." Ku letakkan secangkir kopi di meja di hadapan Bang Arman.
"Terimakasih." Bang Arman menyeruput kopinya.
"Kopinya enak, seperti selera saya," puji Bang Arman.
Tentu saja aku sudah paham bagaimana selera abang. Bathinku berkata.
Ku hanya tersenyum.
"Suami kamu ... di mana?" tanya Bang Arman.
"Hemm, eh ituu ... Suami sayaa ... Ga ada, Pak." Haduh. Suamiku ya kamu, Baaaang! Hiks!
"Ga ada gimana maksudnya, Ris?"
"Maaf, Pak saya ga bisa jelasin."
"Oh ... " Bibir Bang Arman hanya ber'oh'. Tampak raut wajahnya kebingungan.
"Hemm, saya pernah lihat kamu sama suamimu di taman kota." lanjut Bang Arman membuatku mengernyitkan dahi.
"Kapan, Pak?"
"Tepatnya saya lupa ... Udah lama sih. Beberapa bulan yang lalu. Tapi saya ingat waktu itu di taman kota, saya lagi joging, kemudian saya lihat kamu sama suamimu duduk di pinggir lapangan basket."
Aku berusaha mengingat-ingat ....
"Hemm. Oooh ituuu ... " Aku tersenyum.
"Itu bukan suami saya, Pak." Giliran kening Bang Arman yang berkerut. Lucu.
"Saya lihat kalian bercanda mesra."
"Hahahaaa. Masak sih, Pak. Itu adik saya Rino ... Memang keliatan lebih dewasa dia semenjak kuliah."
"Oooh, itu adik kamu?" Wajah Bang Arman kenapa jadi gitu. Lucu banget!
"Iyaa ... Sekarang Rino kuliah di Jogja. Dia ngekost di sana."
Bang Arman menganguk-angguk.
"Terus suami kamu mana? Mungkin bisa kenalan dengan saya .... " Issh, nanya itu lagi! suamiku itu kamuu, Baaang! Tapi kamu lupa sama akuu ... Huuuuufftt.
"Sebenarnyaa, suami saya kecelakaan daaan .... " Kayaknya belum waktunya aku terus terang kepada Bang Arman. Aku tak mau kalau dia tahu, lalu aku merusak hubungannya dengan tunangan dan ibunya sendiri. Hemm.
"Maaf, saya baru tau kalau suami kamu sudah meninggal .... " Haaaa?! Kenapa jadi Bang Arman menyimpulkan seperti itu. Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Kutundukkan wajahku.
"Saya permisi dulu, Risa. Sudah hampir dzuhur."
"Oh, iya. Mama pernah ajak kamu main ke rumah kan? Besok saya jemput yah!" Bang Arman sumringah sekali. Hemm.
"Jem-jemput gimana maksudnya, Pak?"
"Besok saya jemput kamu ke sini, saya ajak ke rumah ... Mama pasti senang bisa jumpa lagi dengan kamu."
"Hemm. Baik, Pak." Aku iyain aja deh.
"Oke. Jam 9 pagi saya jemput!"
Akupun mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam warahmatullahi wa barakatuh."

==========

[Arman]

"Oh, jadi Risa itu janda?" tanya mama memastikan ceritaku.
"Yaah gitu, deh. Tadinya Arman kira Risa istri orang, Ma. Makanya selama ini Arman berusaha menghindarinya."
"Kamu sih, menyimpulkan sendiri .... "
"Hehe ... Tapi sekarang Arman senang, Ma. Artinya Arman ada kesempatan kan?" Aku bukannya senang dengan kenyataan meninggalnya suami Risa. Tapii ... Senang kenapa ya? Ya gitu deh. Intinya senang. Haha.

Selama ini aku berusaha melupakan Risa. Tapi aku tak bisa. Aku tak paham kenapa pesona Risa begitu kuat di diriku.
"Kamu yakin mau menikahi seorang janda yang punya anak?" tanya Mama.
"Mama ga setuju?" Bibir yang sedari tadi ketarik ke atas jadi turun kembali.
"Mama sih setuju ajaaa ... Mama juga suka sama Risa. Mama lihat Risa itu anak yang santun dan shaleha."
"Alhamdulillaah .... " Aku bahagia banget.

Mamapun semakin mengembangkan senyumannya.
***

[Author]

Arman sangat bergembira mendengar bahwa Risa ternyata seorang wanita 'single'. Walaupun ia seorang janda. Arman tak perduli.

Pagi ini Arman berangkat ke rumah Risa hendak menjemput untuk dibawa ke rumahnya. Seperti janjinya kemarin.
"Assalamualaikum!" Arman mengetuk pintu rumah Risa yang terbuka. Ia heran, kenapa butik di depan rumah Risa tutup. Risa pernah bilang dulu ke mamanya, kalau butiknya tutup hari Jum'at, bukan hari ahad. Dan kenapa kok pintu rumahnya terbuka lebar seperti ini.
"Assalamualaikum ...! " Arman mengucap salam sekali lagi dengan menambah tinggi suara.
"Wa 'alaikumussallam!" sahut seorang wanita dari dalam. Rupanya Lani yang setengah berlari ke depan menghampiri Arman.
"Pak Arman, tolooong!" Lani terlihat panik.
"Kenapa, Mba? Risa mana?" tanya Arman cemas melihat wajah panik Lani.
"Dek Risa sudah mau melahirkan! Ketubannya sudah pecah ... Tolong, Pak. Dek Risa ada di kamarnya. Lemas ga kuat berdiri ...! " lanjut Lani menjelaskan dengan kepanikan yang masih kentara.

Arman pun bergegas menuju ke dalam dituntun Lani.
"Yaa Alloh .... " Arman melihat Risa tanpa hijab, dengan gamisnya yang basah terduduk di lantai. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda tampak berantakan.
"Biar saya bantu papah ya, Ris ...." lanjut Arman seraya mencoba mengangkat bahu Risa.
Risa terlihat meringis kesakitan.

Lani bergegas mengambil khimar lebar Risa dan membantu memakaikannya.
"Sakiitt .... " Risa mencicit, memegang perut bagian bawahnya sambil terus meringis.
Arman pun membantu memapahnya bersama Lani menuju mobil.

Mereka berangkat setelah Lani mengunci pintu rumah dan memasukkan tas perlengkapan Risa yang katanya sudah disiapkan dari beberapa hari yang lalu.
Arman berusaha tetap menjaga ketenangannya, agar tidak ikut panik.

"Kemana kita Mba Lani?" Tanya Arman kepada Lani.
"Ke kanan, Pak. Ada klinik bersalin di situ."
"Oke." Arman melirik sebentar  ke spion di depan matanya, Risa terlihat menggigit bibir menahan sakit.
Yaa, Alloh. Mudah-mudahan selamat ibu dan anaknya. Doa Arman dalam hati.
Sampai di depan UGD Arman pun langsung meminta tolong kepada perawat.
Perawat dengan sigap segera membawa Risa ke dalam ruang persalinan. Lani menemani Risa ke dalam ruangan.

Arman menunggu di luar dengan harap cemas.
Kemudian Arman mencoba menelepon mamanya. Takut orangtua itu khawatir karena Arman dan Risa lama sekali sampai di rumahnya.
"Assalamualaikum, Ma."
"Wa 'alaikumussallam. Arman, kalian kemana? Kok belum nyampe juga?"
"Arman sekarang di Rumah Bersalin ga jauh dari rumah Risa, Ma. Risa mau melahirkan."
"Haaaaa? Yaa Alloh, oke. Mama susul ke situ sekarang ya ...!"
"Iya, Ma. Hati-hati."
Arman pun menutup teleponnya.

Beberapa menit kemudian, Irma datang. Mereka pun sama-sama menunggu di luar ruang bersalin.

Setelah sekitar dua jam, terdengar suara tangis bayi. Ada kelegaan dari wajah Arman dan ibunya.
Tak lama kemudian keluar seorang bidan wanita menggendong seorang bayi. Arman dan Irma langsung beranjak berdiri dari kursi panjang.
"Keluarga Ibu Risa, ini anaknya laki-laki ya. Berat badan 3,2 kilogram, panjang 49cm. Persalinan normal."
"Boleh saya gendong, Mba?" tanya Irma ke bidan tersebut.
"Iya, silahkan," jawab bidan tersebut kemudian menyerahkan bayi laki-laki itu ke gendongan Irma.

Tak lama pintu ruangan bersalin terbuka, Risa hendak dipindahkan ke ruang perawatan.
Arman dan Irma mengiringi ke ruang baru.
Sambil berjalan Irma memanggil Arman. "Eh Arman, lihat deh. Ni anak mirip kamu lhoo."
"Masak sih, Ma?" Arman mengernyitkan dahinya sambil tersenyum seakan tak percaya apa yang Irma katakan.
"Iya, beneran," lanjut Irma seraya menyunggingkan senyuman.
"Cocok dong Arman jadi ayahnya, Ma. Heheheee .... " Arman terkekeh merasa dicandain oleh mamanya.
Irma sumringah. Di dalam hatinya membenarkan ucapannya sendiri. Seakan memorinya membawa ke masa ketika ia baru melahirkan anak kesayangannya, Arman.

Sampai di ruang perawatan, Risa terlihat lelah. Tapi rona bahagia sungguh memancar dari wajahnya.
"Risa, selamat yaa ... Anak kamu cakep!" Kata Irma.
"Makasih, Bu ... Alhamdulillaah." Risa tersenyum dengan rasa haru.

Ia tak menyangka takdir Alloh sungguh indah. Ia melahirkan ditunggui oleh suami dan mertuanya sendiri. Walau Arman dan Irma tak menyadari bahwa bayi itu darah daging mereka sendiri.
Arman hanya tersenyum simpul menatap Risa.
"Dedeknya dikasi nama apa ini, Risa?" Lanjut Irma.
Risa bergantian memandang ke arah Lani dan kemudian ke arah Arman.
"Hemm, sebagai ungkapan rasa terimakasih saya ke Pak Arman dan Mba Lani, saya serahkan usulan nama kepada kalian berdua."
Arman tertegun sejenak.
"Waaah, Dek Risa. Mba Lani bingung kalau disuruh cari nama, dua anak Mba Lani juga bapaknya yang ngasih nama," jawab Lani menolak untuk mengusulkan nama.

Kemudian Risa menatap ke arah Arman.
"Hemm apa ya. Bagaimana kalau 'Alim? Artinya yang berilmu." sahut Arman kemudian.
Risa tersenyum dan mengangguk pelan tanda setuju.
"'Alim doang?" tanya Irma kepada Arman.
"Ya nanti cari lagi sambungannya, Ma. Heheh." Arman terkekeh sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Irma pun mencebik seraya menaikkan alisnya.
***

[Risa]

Aku tak tahu apa yang direncanakan oleh Alloh dengan ditakdirkanNya aku melahirkan ditunggui oleh suami dan ia sendiri yang memberi nama anaknya.
Walau sampai saat ini Bang Arman masih tidak ingat kalau aku adalah istrinya. Aku sungguh bersyukur dengan takdir indah ini.
Bahkan Mama Irma pun tidak menyadari bahwa bayi yang ia gendong itu cucu kandungnya sendiri.

"Kamu kasi ASI dulu, Risa. Colostrum sangat bagus untuk kekebalan tubuh 'Alim." Mama Irma meletakkan 'Alim di sisi kananku.
"Iya, Bu," sahutku.
Bang Arman pun langsung berbalik ke belakang ketika aku mulai mengangkat khimarku hendak memberi ASI kepada 'Alim.
Bang, Bang ... Bahkan kamu pernah lihat seluruh tubuhku.
"Auw!" Aku sedikit menjerit, rupanya sakit juga isapan bayi.
"Heheh sakit ya ... Biasanya sampe lecet lhoo, Ris," kata mama Irma.
"Oh ya?" sahutku sambil meringis. Emang sakit iniii ....
"Iya, kalau lecet kasi madu aja nanti." jawab mama Irma.
Akupun menganggukkan kepala.

"Dek Risa, Mba Lani permisi pulang dulu ya. Barusan bapaknya anak-anak kirim pesan kalau si Soni anak Mba yang kecil tiba-tiba badannya panas."
"Oh, iya, Mba Lani. Makasih banyak ya." sahutku.
"Iya, sama-sama, Dek."
"Permisi dulu Bu Irma, Pak Arman ...."
"Iya, Mba Lani. Hati-hati," sahut mama Irma.
Bang Arman menyunggingkan senyum kepada Mba Lani.
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam .... " Kami menjawab salam Mba Lani serentak.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER