Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 15 Agustus 2020

Yang Terlupakan #8

Cerita bersambung

Kenapa hatiku terasa patah kini ....
"Sudah berapa bulan?" lanjutku.
"Sudah masuk 5 bulan, Pak."
Subhanallah, sudah 5 bulan?

Kuperhatikan perutnya di balik khimar yang agak tersingkap karena tangannya berada di handle trolly. Memang terlihat mulai menonjol.

Selama ini mungkin tidak begitu terlihat dikarenakan Risa selalu memakai pakaian longgar dan memang usia 1 sampai 3 bulanan tentu perut belum begitu buncit. Khimar yang dipakainya juga lebar dan panjang, bagian depan saja hingga setengah paha.

"Ibu Irma gimana kabarnya, Pak?" tanya Risa.
"Alhamdulillaah sehat."
Hatiku jadi berubah ga nyaman.
"Bapak juga terlihat lebih sehat sekarang. Sudah operasi pelepasan pen ya, Pak?"
"Iya .... " Aku tersenyum getir.
"Ya sudah, Risa. Saya duluan ya. Mau ada rapat sebentar lagi." Aku pamit.
"Iya, Pak."
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam warohmatullaah," jawab Risa.
Aku pun pergi menuju lokasi pertemuan dengan klien setelah membayar di kasir.

Sepanjang pertemuan aku tidak begitu antusias, untunglah ini hanya pertemuan untuk melaporkan pekerjaan kami yang sudah rampung kepada klien.
***

[Author]

Semenjak pertemuan Arman dengan Risa di supermarket tadi pagi, hati Arman terasa sakit. Patah berkeping berserak begitu saja setelah mendengar kenyataan bahwa Risa bukanlah seorang gadis single tanpa pasangan. Bahkan Risa sedang mengandung buah cinta dengan seorang pria.

Semilir angin malam yang menelusup dari jendela kamar Arman yang terbuka membuat tirainya melambai-lambai syahdu seolah ingin memberikan kenyamanan bagi Arman yang sedang termenung menatap langit-langit kamar yang temaram. Tetapi tidak! Hatinya porak poranda kini. Harapannya seakan pupus tak terperi.

Tok Tok Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arman.
"Masuk!" sahut Arman.
Irma menghampiri Arman di tempat tidur dan duduk di pinggir ranjang.
Arman berpura-pura memainkan gawainya. Hanya melihat-lihat gambar dan status-status pendek teman fb yang ada di beranda.
"Besok jadi kan kita ke tempat Risa?" tanya Irma sambil membelai rambut anak kesayangan.
"Ga jadi, Ma," jawab Arman singkat.
"Lho, kok ga jadi?" Irma terlihat kaget dan kecewa.
"Risa sudah punya suami, Ma." Arman meletakkan hapenya ke atas nakas dan mulai duduk bersila, sambil tertunduk lesu.
"Masak sih?" Irma bertambah kaget dan melihat tajam ke arah anaknya.
"Iya, kemarin Arman ketemu Risa di supermarket dan melihat perutnya yang sudah membuncit lagi beli susu hamil." Arman memainkan ujung sarung bantal dipangkuan.
"Sudah masuk lima bulan katanya."
"Hemm ... Mama pikir Risa suka sama kamu, Nak. Terlihat dari matanya kalau melihatmu." Irma coba menerka-nerka setelah beberapa kali melihat gelagat Risa. Tapi kini ragu mulai menelusup setelah mendengar berita dari anak semata wayangnya.
"Entahlah, Ma ... Mungkin hanya perkiraan mama saja." Walau Arman tadinya juga berpikir begitu. Karena sorot mata Risa seolah berkata demikian. Ia teringat ketika berada di butik milik Risa, mereka saling mencuri pandang.
***

[Risa]

Sudah sebulanan ini aku tidak lagi mendapat kabar tentang Bang Arman. Walaupun berat aku harus belajar melupakannya. Bang Arman kelak akan menikah dengan mba Dewi. Dan aku tidak mau jadi duri di keluarga mereka. Bukankah pada awalnya aku menerima lamarannya itupun hanya karena merasa berhutang budi padanya.
Kini Bang Arman sudah melupakan kenangan kami. Tidak ada lagi harapan untukku saat ini. Biarlah aku jalani hidup sendiri dengan buah hati kami.

Pagi ini aku ke salah satu supermarket untuk berbelanja bulanan, sekalian aku mau membeli susu agar bayi yang kukandung mendapat nutrisi yang cukup.
Memasuki bulan kelima usia kehamilanku, rasa mual di pagi dan sore hari mulai berkurang. Aku sudah bisa menikmati banyak menu makanan. Sebelumnya hanya makanan tertentu yang bisa masuk.

"Risa .... " Suara yang selalu aku rindukan tiba-tiba terdengar disaat aku berada di lorong susu.
Aku pun tertegun melihat Babang tampanku sudah berada di hadapan. Dia kelihatan sangat sehat, postur tubuhnya sudah kembali seperti sedia kala sebelum kecelakaan itu. Gagah. Lengan kirinya pun sudah tidak lagi digips. Yaa Rabb, aku rindu ....
"Eh, Pak Arman." Tak bisa kutahan tarikan ke atas bibir ini. Tak mampu kumenafikan bahagianya melihat suamiku lagi.

Selama ini aku berharap setelah dia mengetahui kontak hapeku, dia mau menghubungiku kembali. Ternyata itu hanyalah harapan kosong.
Tadinya kukira sikapnya ketika di butik yang mencuri-curi pandang kepadaku adalah suatu bentuk ketertarikan. Ah, aku hanya berhayal!

"Bapak beli apa?" tanyaku menghalau tatapannya yang terus fokus kepada apa yang aku pegang. Hemm, apa yang Bang Arman pikirkan melihat aku hendak membeli susu hamil.
"Eh, oh, ini ... Beberapa map dan alat tulis," Bang Arman mengangkat tangannya menunjukkan barang yang dibelinya.
"Kamu ... Hamil?" Hemm akhirnya dia bertanya soal kehamilan kan. Ya tentu saja orang beli susu hamil!
Ini aku mengandung anakmu abaaang ... Hiks ....
"Hemm iya, Pak." Aku coba tersenyum walau mungkin terlihat getir.
"Sudah berapa bulan?" Lanjutnya.
" Sudah masuk 5 bulan, Pak."

Pandangan Bang Arman pun menuju ke perutku. Selama ini tentu ia tidak menyadari, sebab perutku tidak akan terlihat buncit ketika masih usia kandungan tiga sampai empat bulan, lagi pula aku selalu memakai gamis longgar juga khimar yang panjang dan lebar.

"Ibu Irma gimana kabarnya, Pak?"
"Alhamdulillaah sehat," jawab Bang Arman.
"Bapak juga terlihat lebih sehat sekarang. Sudah operasi pelepasan pen ya, Pak?"
"Iya," jawab Bang Arman singkat.
"Ya sudah, Risa. Saya duluan ya. Mau ada rapat sebentar lagi." Pamit Bang Arman.
"Iya, Pak," jawabku.
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam waraatullaah."

Bang Arman pun berlalu. Mungkin dia berpikir aku menikah dengan siapa gitu. Ah biarlah. Bukannya aku tak mau memberitahukan tentang anak ini. Mungkin belum saatnya. Bukankah tidak lama lagi Bang Arman dan Mba Dewi akan menikah. Aku bisa merusak semuanya kalau sampai Bang Arman tahu aku mengandung anaknya. Aku tak mau itu terjadi.

==========

[Author]

Hari ini Rino pulang ke Jakarta. Dia sedang liburan semester pertama. Rino bilang IPK-nya bagus 3,85 dan hal itu membuat Risa semakin bangga kepada adik kesayangannya.

"Assalamualaikum." Rino mengucapkan salam ketika sampai ke rumah Risa.
Pintu sengaja tidak ditutup oleh Risa karena Rino tadi mengirim pesan kalau dia sudah tidak jauh lagi.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Risa sumringah. Ia sangat rindu dengan adik satu-satunya ini.
"Kaaak!" Rino mengambil tangan Risa dan menciumnya dengan takzim. Kemudian mereka berpelukan melepas kerinduan setelah sekitar 6 bulan tidak bertemu.
"Eeh, kamu gemukan, No?" Risa melihat badan Rino yang semakin berisi, dia kelihatan semakin gagah. Dan dia mulai memelihara janggut.
"Ini anak, udah kayak om om jadinya ... Hahaha ..., "  Risa berseloroh. Ia pangling melihat perubahan fisik adiknya. Rambut Rino pun dibiarkan gondrong hingga ke bahunya.
"Om ganteng dari dedek bayi iniii ...," seru Rino kepedean sambil mengelus perut buncit Risa.
"Udah berapa bulan, Kak?"
"Lima bulan," jawab Risa seraya tersenyum.
"Ayo, makan. Kakak udah masakin kamu makan malam yang enak nih."
"Okee!" sahut Rino semangat.

Mereka pun makan malam bersama. Sambil ngobrol macam-macam.
"Kamu kok bisa gagah begini, No. Perasaan baru 6 bulanan yang lalu kamu masih cungkring."
Tinggi badan Rino hampir sama dengan Arman sekitar 178cm. Cuma tadinya Rino masih kurus mungkin karena pengaruh penyakitnya dulu.

Sekarang Rino jadi kelihatan dewasa apalagi dengan janggut yang dibiarkannya tumbuh. Janggut Rino malah lebih hitam daripada janggut Arman.

"Hehehee ... Ga tau deh, Kak. Di Jogja makanannya murah dan enak-enak. Tapi kan aku tetap jaga pola hidup sehat kak. Tetap rutin olah raga sama teman-teman. Mantapkan bodyku sekarang, Kak. Macho mana dengan Bang Arman? Hahahahaa ... " jelas Rino penuh percaya diri.
"Iya, lebih bagus badan kamu begini dibandingkan dulu. Ceking!" sahut Risa terkekeh.
"Bang Arman gimana bisa kecelakaan dan akhirnya amnesia, Kak? Jadi sama sekali ga ingat sama kita?" tanya Rino sambil mencuci tangannya setelah piringnya bersih dari makanan. Sementara Risa sudah selesai makan duluan. Porsi Risa tidak banyak, tapi ini makan malamnya yang kedua kali.
"Yaaah, gitu deh ... Kelihatannya benturan di kepala Bang Arman cukup keras ketika kecelakaan itu, jadinya ia kehilangan ingatannya sekitar dua tahun ke belakang. Otomatis tidak kenal kita." Risa tersenyum getir.
"Terus kakak ga ngasi tahu Bang Arman bahwa kakak itu istrinya?"
"Biarlah, No. Bang Arman sudah bertunangan dengan pilihan mamanya. Kakak tidak mau mengganggu. Toh Bang Arman sudah tidak ingat sama kakak. Apalagi kenangan kita."
"Tapi kan kakak lagi mengandung anaknya. Walau bagaimana, Bang Arman harus tahu tentang darah dagingnya, dan anak kakak juga berhak tahu siapa ayahnya, Kak."
"Iya, kakak paham. Tapi mungkin bukan sekarang saatnya, No."
"Terus kapan?" Rino meminta kejelasan.
"Entahlah kakak belum tahu kapan. Tapi insyaa Alloh suatu saat kakak akan kasi tahu ke Bang Arman."
"Apa mau Rino yang bantu kasi tahu?"
"Eeh, jangaaaan ... Biar kakak yang memberitahunya sendiri." Risa ingin Arman tahu berita itu dari dirinya sendiri. Bukan orang lain.
Rino mencebikkan bibir seraya menaikkan alisnya.
"Terserah kakak deh. Yang penting kakak jangan sampai menyiksa diri ya. Kasihan tu dedek bayinya kalau kakak stres." Rino coba menasehati kakak kesayangan.
"Insyaa Alloh kakak berusaha tegar, ridha dengan taqdir Alloh ini, No. Kamu doain kakak ya!"
"Insyaa Alloh. Rino bahagia kalau kakak juga bahagia."

Rino merasa kakaknya sudah banyak berjasa dalam hidupnya. Sejak ibu mereka meninggal kemudian disusul ayahnya, Risa lah yang selalu ada. Dan Risa pula yang menjadi perantara Alloh untuk menyelamatkan hidupnya ketika penyakit gagal ginjal menggerogotinya. Rino menyadari di dalam dirinya kini ada bagian tubuh kakak kandungnya.

Risa terharu dengan ucapan Rino.
"Kamu sudah shalat isya tadi?" tanya Risa kemudian.
"Udah, Kak di kereta. Shalat sambil duduk." jawab Rino.
"Ini sudah hampir jam sepuluh, kamu mandi, trus istirahat gih. Langsung tidur ya! Besok kamu temenin kakak jalan-jalan pagi di taman kota. Udah lama kakak ga jalan-jalan," perintah Risa kemudian.
"Okee!" jawab Rino sambil berlalu masuk ke kamar.
***

Hari ini qadarullah Arman mau joging di taman kota. Seperti Risa dan Rino yang juga berencana ke sana. Arman merasa bosan berkeliling kompleks. Sesekali ingin mencari suasana baru.

Arman menghentikan mobil di area parkir taman kota. Kelihatannya tidak begitu ramai hari ini.
Arman pun mulai meregangkan otot untuk pemanasan sebelumnya. Setelah itu ia mulai berlari kecil menelusuri jalan setapak.

Sekitar 20 menit berlari badan Arman sudah basah dengan keringat. Kakinya juga sudah mulai capek. Ia pun berjalan santai sambil menikmati suasana di taman ini.
Pepohonan rindang ditanam teratur. Bunga-bunga indah pun turut menghiasi pinggir jalan setapak itu.

Dari kejauhan Arman melihat sosok yang mirip dengan Risa sedang duduk di kursi panjang di pinggir lapangan basket. Ia pun coba mendekati. Risa seperti sedang memperhatikan permainan sekelompok laki-laki yang asyik bermain basket.

Setelah beberapa langkah cepat, tiba-tiba Arman melambatkan gerak kakinya. Matanya terlihat nanar melihat pemandangan di hadapannya.
Ada salah satu pemain yang menghampiri Risa, dan Risa pun memberikan sebotol air dari tas ransel yang dari tadi diletakkan di atas kursi panjang sampingnya.
Itu Rino adik Risa. Mereka terlihat sangat akrab. Saling tertawa dan lelaki gondrong itu membelai perut Risa...
Risa dan Rino sama sekali tidak menyadari ada sorot mata menatap tajam ke arah mereka.
Ada hati yang terbakar melihat 'kemesraan' kakak adik itu.
Arman pun mengurungkan niat untuk menghampiri Risa. Ia pun bergegas menuju parkiran hendak pulang. Sepertinya Arman sudah tidak lagi antusias melanjutkan olahraga hari ini.
***

[Arman]

Malam ini kembali aku sulit untuk tidur. Mata kupejamkan tapi pikiran tak mau juga istirahat.
Teringat pertemuan dengan Risa di supermarket. Teringat pula keakraban Risa dengan seorang pria di taman. Kelihatannya pria itu lebih muda dariku. Dan dia tampan. Yaa Alloh, aku merasa cemburu!

Mengapa hatiku harus diambil oleh wanita yang sudah bersuami? Sakit!
Aku tidak mudah tertarik dengan wanita. Kenapa ketika rasa itu hadir, tapi malah harus dengan istri orang. Kesal!

Aku harus menghilangkan Risa dalam benakku. Harus!

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER