Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 14 Agustus 2020

Yang Terlupakan #7

Cerita bersambung

Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekati mama dan memeluk serta mengecup kepala beliau.
"Udah, Ma. Lupain yang udah lewat. Arman sayang sama Mama ...."
Mama membalas pelukanku hangat. I love you, Mom ....
***

[Risa]

Setelah 2 kali muntah pagi ini, Aku duduk di meja makan mengunyah apel hijau makanan favorit baruku sejak terasa sering mual di pagi dan sore hari.
Bi Atik baru datang, kemudian langsung menyiapkan sarapan karena beberapa hari ini kalau ba'da subuh badanku terasa lemas karena hampir selalu muntah dua atau tiga kali  sampai hanya keluar cairan kuning yang terasa pahit. Ya jelas aja belum masuk makanan apa-apa kalau subuh.
Namun, jika masuk makanan duluan malahan lebih ga enak. Otomatis makanan yang baru dimakan terbuang lagi di wastafel. Hehe ... Kunikmati saja sensasi kehamilan pertama ini. Bersyukur kepada Alloh, Dia telah menitipkan benih cintaku dan Bang Arman di dalam rahimku.
Ah, teringat lagi dengan suami yang tidak ingat kepadaku.
Sudahlah, Risa. Ikhlaskan saja ... Kalau Bang Arman ditaqdirkan kembali, maka dia akan kembali. Jika tidak ya tetap harus terima, ridha dengan taqdir Alloh, biar Alloh juga ridha kepadamu. Batinku selalu menyemangati.

"Jadi Den Arman hilang ingatan, Neng?" tanya Bi Atik meminta kejelasan dariku setelah kuceritakan peristiwa demi peristiwa yang terjadi pada kami. Diawali dengan pertanyaan Bi Atik, kenapa Bang Arman setelah kecelakaan, tidak pernah lagi terdengar kabarnya.
"Ya begitu deh, Bi. Bang Arman kehilangan ingatannya selama dua tahun ke belakang. Artinya Bang Arman ga ingat saya, ga ingat Rino, ga ingat Bibi juga Mba Lani."

Mba Lani karyawan yang menjaga butikku pun aku ceritakan kejadian ini. Karena sama dengan Bi Atik, dia pun bertanya-tanya kenapa suamiku tak pernah datang lagi selama lebih dari satu bulan ini sejak kecelakaan. Waktu itu aku hanya bercerita bahwa Bang Arman kecelakaan.
Sebenarnya mereka ingin menjenguk Bang Arman ketika masih di Rumah Sakit. Tapi aku larang, sebab aku tak mau mereka membocorkan perihal pernikahan kami di hadapan Mama Irma.

"Sabar ya, Neng. Semoga suatu saat Den Arman bakalan kembali lagi ingatannya."
"Aamiin. Insyaa Alloh, Bi."
"Sarapan dulu, Neng." Bi Atik menyajikan telur balado, tempe goreng tepung plus lalapan timun yang kelihatan segar.
"Iya, makasih Bi, ayuk makan sama-sama!"
"Bibi sih udah sarapan pagi-pagi tadi di rumah, Neng."
"Oh gitu ... Oke deh." Akupun mengambil nasi dan makan dengan lahap. Perutku terasa lapar kalau sudah selesai muntah berkali-kali seperti tadi.
Usia kandunganku sudah hampir memasuki bulan ke empat. Kata orang kalau sudah empat bulan ke atas rasa mual akan sedikit-sedikit berkurang.

Habis sarapan dan mandi pagi, Aku duduk di pinggir kasur dan mengelap rambut panjangku yang basah, karena habis keramas. Dan tidak lama hapeku berdering. Ada nomor baru menelepon.
"Hallo. Assalamualaikum .... " Ku angkat telepon selularku.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaahi wa barakatuh ... Dengan Risa?"
Deg!
Suara itu, suara itu suara suamiku Bang Arman. Benarkah ini dia?
"Halloo .... "
Benar! Ini suara Babang tampanku!
"Hallooooo .... " Sekali lagi suara bariton itu lembut berhallo ditelingaku.
"I-iya ... Iniiii siapa ya?" Aku pura-pura tak mengenali.
"Saya Arman, ingat kan?"
Ah! tentu saja Risa ingat, Baaaang! Abang yang ga ingat! Rutukku di dalam hati.
"Ooh, Pak Arman. Iya, Pak ... Ada apa ya?"
"Saya mau cariin mama saya gamis, lalu teringat sama kamu yang bilang punya butik pakaian syar'i, jadi saya mau singgah ke sana siang ini. Bisa minta alamatnya?"

Huwaaaaa, babang cayangku mau mendatangiku, aku kangeen ....
Sadar Risa, suamimu tak ingat sama kamu. Dan dia sudah punya calon istri! Hiks.
"Ooh, iya tentu saja, Pak. Nanti saya kirimkan alamatnya via sms."
"Oke. Saya tunggu ya, Risa."
"Baik, Pak."
"Assalamualaikum .... "
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaahi wa barakatuh .... " terdengar telpon diputus.
Aku segera menyimpan nomor baru Babang kesayanganku, ternyata ada WAnya. Lalu kukirim alamat rumahku via applikasi perpesanan itu.

Setelah selesai mengeringkan rambut akupun memakai gamis dan khimar instanku. Segera ku menuju butikku yang berada di depan rumah.
Mba Lani sibuk merapikan barang yang baru datang di rak di belakang meja kasir.
"Mba, nanti siang Bang Arman mau ke sini, tolong Mba Lani pura-pura ga kenal yah!"
"Lho kenapa begitu, Dek Risa?" tanya Mba Lani bingung.
"Nanti deh Risa jelasin semuanya ... Intinya Mba Lani pura-pura aja ga kenal. Toh Bang Arman juga lupa sama kita .... "
"Kenapa ga kita coba ingatin aja gitu?"
Hadehh Mba Lani susah banget diajak kompromi. Rutukku dalam hati.
"Ga usah, Mba. Risa maunya Bang Arman bisa mengingat sendiri nanti. Mba Lani ikutin aja apa kata Risa. Nanti Risa jelasin sejelas-jelasnya sama Mba Lani."
"Hemm. Iya deh, terserah Dek Risa aja. Mba Lani ngikut."
Nah! Gitu donk ....
"Siip!" Ku acungkan jempol ke Mba Lani.

Siang ini sekitar pukul 14.00 WIB akhirnya Bang Arman muncul. Ternyata dia tidak sendiri, melainkan dengan Mama Irma.
Terlihat dari dalam karena bagian depan butikku itu kaca bening.
Terlihat senyuman hangat Mama Irma ketika melihatku setelah masuk ke dalam. Akupun membalas senyumannya. Bang Arman juga terlihat sumringah, dan gagah dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya.

Maa syaa Allooh, ganteng banget suamiku.
Penyanggah lehernya sudah ga dipake, kelihatannya lehernya sudah pulih.
Hanya lengan kirinya saja yang masih setia digendongan dan digips. Walau begitu tak memudarkan pesona Babang tampan kesayanganku.

"Assalamualaikum." Mama Irma mengucap salam kepada kami.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah wabarakatuh." jawabku serentak dengan Mba Lani.
Akupun menyaliminya dengan takzim dan memeluk beliau. Kemudian mengangguk di depan Bang Arman yang langsung menanggalkan kacamata hitamnya, lalu menyelipkan ke saku jaketnya. Kemudian kupanggil Mba Lani agar mendekat.
"Mba Lani, ini Pak Arman mantan bos Risa di kantor yang dulu."
"Pak Arman ini Mba Lani. Yang bantuin saya urus butik ini."
Mba Lani pun menyatukan tapak tangannya di dada, begitu juga bang Arman.
"Dan ini mamanya Pak Arman, ibu Irma." lanjutku memperkenalkan mama mertuaku ke Mba Lani.
Merekapun bersalaman.
"Dari mana ini, Bu?" tanyaku kepada Mama Irma.
"Dari rumah sakit, check up. Alhamdulillaah penyanggah di leher Arman sudah boleh dilepas. Dokter juga bilang tangan Arman juga sudah terus membaik. Mudah-mudahan sekitar dua pekan mendatang sudah bisa dilepas gipsnya. Dan dioperasi untuk buka pen."
"Alhamdulillaah kalau begitu." Aku tersenyum senang mendengar perkembangan bagus tentang kesehatan Bang Arman.
Lalu kuantarkan mama Irma melihat-lihat koleksi gamis, khimar dan pernak perniknya yang ada di dalam butikku.
Bang Arman kupersilahkan duduk di sofa. Memang kusediakan sofa di dalam butik untuk kenyamanan pelangganku. Karena kadangkala mereka membawa suami yang seringnya tidak mau ikutan berkeliling melihat koleksi dagangan. Maklum saja wanita kalau soal memilah memilih barang biasanya lupa waktu. Heheee ....
Sesekali mataku beradu pandang dengan Bang Arman, kemudian kami saling mengalihkan pandangan kalau sudah begitu. Entahlah kenapa jadi canggung sekali rasanya saat ini. Seperti anak abege yang naksir-naksiran aja. Curi-curi pandang dari tadi. Yaa Alloh ... Lucu. Hihii.

Mama Irma memilih dua setel gamis plus khimar, lalu Bang Arman pun ikut ke meja kasir hendak membayar.
Kuserahkan uang 700 ribu ke Bang Arman setelah ia membayar dengan uang sebanyak 1,5 juta. Diapun refleks mengambil, tapi dengan wajah bingung.

"Lho?" katanya.
"Bayar satu setel saja, Pak. Yang satunya hadiah dari saya untuk Ibu." ujarku menjawab tatapan penuh tanyanya.
"Eeeh, ga usah, Risaa .... " Sahut mama Irma.
"Tolong jangan ditolak, Bu. Ini hadiah dari saya." Aku tersenyum meyakinkan.
Sejenak mama Irma berpikir. Kemudian berkata, "Baik, Ibu terima hadiah dari kamu, Risa. Terima kasih banyak yaa."
Semakin ku kembangkan senyuman kepada mama mertuaku ini.
Bang Arman pun berterima kasih kepadaku. Dan kubalas dengan anggukan kecil serta senyuman.
"Ibu permisi dulu. Main-main ke rumah nanti ya, Risa!" Mama Irma pamit.
"Insyaa Alloh, Bu." sahutku sambil mengikuti langkah mereka menuju pintu keluar.
"Janji lhooo ...."
Akupun mengangguk.
"Ini rumah kamu?" Mama Irma menunjuk ke arah rumahku.
"Iya, Bu."
"Oke.kami pulang dulu ya, Sayang."
Akupun menyalimi mama Irma dan kami saling berpelukan.
"Lain kali ke rumah saya ya, Bu."
"Iya, insyaa Alloh. Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah."

Bang Arman menganggukkan kepala seraya menyunggingkan senyuman manisnya sebelum masuk ke dalam mobilnya. Dan supirnya pun memutar kendaraan roda empat itu setelah mama Irma masuk.

"Hemm, jadi itu mama mertua Dek Risa?"
"Iya, Mba," jawabku atas pertanyaan Mba Lani.
"Apa mertua Dek Risa amnesia juga?"
"Hahahaaa .... " Aku tertawa dengan pertanyaan lanjutan Mba Lani. "Ya enggak lah, Mbaa!" kutepuk lengan Mba Lani lembut.
"Tapi kok kayak orang lain gitu sikapnya? Kayak bukan ke menantu aja. Walaupun memang sepertinya akrab dengan Dek Risa."
"Mama Irma ga tahu kalau Risa dan Bang Arman sudah menikah, Mba." Aku tertunduk.
Kucoba tersenyum, walau terasa getir.
"Hemm, begitu... Pantesan .... " Mba Lani coba mengintip mataku.
Kemudian mulailah kuceritakan semua kepada Mba Lani apa yang terjadi sejak Rino anfal di rumah sakit dan butuh operasi transplantasi ginjal.

==========

[Arman]

Sepekan ini aku manfaatkan hanya di sekitar rumah saja demi pemulihan. Pagi hari aku olahraga, kadang hanya di taman belakang rumah atau mengelilingi kompleks perumahan kami. Terkadang mama menemani, kadang pula tidak. Kalau siang sampai sore palingan aku mempelajari bisnisku dari file-file yang dibawakan Boby yang ternyata sekretaris pengganti Risa ke rumah. Pekan depan aku berencana untuk ke kantor untuk observasi dan memeriksa kinerja perusahaan.
Lumayan dua tahunan memoriku hilang, ternyata bisnis yang kurintis bersama Sandi sejak masih semester 5 dulu berkembang pesat. Maasyaa Alloh, aku bersyukur banget atas keberkahan ini. Semoga semakin berkembang.

Adapun malam hari setelah shalat isya, aku manfaatkan untuk membaca buku. Seringkali kuteringat pesona gadis manis berhijab syar'i, Risa.

Bayangan gadis itu selalu saja terselip di hari-hariku sekarang. Kadang aku kesal, kenapa aku tak dapat mengingat sedikitpun tentang Risa sebelumnya. Seingatku, type wanita yang seperti dia inilah yang aku idam-idamkan dari dulu, baik secara fisik dan kepribadian. Weeehhh, sepertinya terlalu dini aku menilai kepribadian seseorang yang 'baru dikenal'. Tapi entahlah! Feelingku Risa pasti gadis yang baik dan shaleha.
Masak sih selama dia kerja di kantorku aku tak tertarik padanya? Saat ini aja, bayangannya selalu muncul di waktu-waktu sendiriku. Seperti hantu saja. Haha. Apakah aku jatuh cinta?

Sesekali kulihat status WA-nya hanya untuk meredakan 'kangen'. Walau isinya rata-rata koleksi dagangannya doang. Mau kutegur tapi selalu datang meragu. Huuuft ... Risaaaaa! Kenapa kau buat aku jadi gilaaaa!

Sebulan ini aku sudah disibukkan oleh pekerjaan. Alhamdulillah tak perlu banyak waktu aku untuk mempelajari apa yang sedang dan telah kami kerjakan karena aku hanya kehilangan memori sekitar dua tahun kebelakang. Sedangkan aku merintis usaha ini sudah enam tahunan bersama Sandi. Hanya saja dikarenakan perusahaan kami sudah tambah berkembang, maka memang lebih sibuk dibandingkan dulu.

"Arman!" Mama meletakkan kopi untukku di atas meja ruang tengah di mana di situ aku memainkan laptopku menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum rampung.
"Hemm. Kenapa, Ma?"
"Kamu sekarang sibuk banget. Dari pekan lalu mama ajak ke rumah Risa belum sempat aja. Katanya mau ngedeketin?" lanjut mama.
"Iya ini, Ma. Arman belum sempat karena sebulan ini harus mempelajari banyak hal di kantor. Ternyata perusahaan berkembang bagus ya, Ma .... "
"Iya, memang. Tapi kamu jangan terus-terusan sibuk dengan pekerjaan. Kamu harus pikirkan juga. Umur kamu sudah hampir 29 tahun. Dari 3 tahun lalu mama suruh kamu nikah dengan Dewi akhirnya tahun ini baru kamu bisa tunangan. Eh sekarang sudah putus tunangan bilangnya mau ngedeketin Risa masiiiih aja sibuk dengan urusan kerjaan. Mama juga udah kepengen nimang cucu."
"Lihat Bu Sita tetangga kita itu, anaknya lebih muda dari kamu tapi sudah punya dua anak."
"Iya, Ma. Insyaa Alloh weekend ini kita ke rumah Risa ya. Pekerjaan Arman sudah banyak yang rampung. "
"Bener ya." Mama sumringah.
"Iyaa. Insyaa Alloh." Aku pun tersenyum. Disambut belaian lembut tangan mama di kepalaku.
"Ya udah, jangan terlalu malam tidurnya. Mama ke kamar dulu."
"Siap, Boss!"

Hari ini aku ada rapat dengan klien di sebuah rumah makan pukul 09.30 WIB.
Ini masih pukul 08.35 WIB. Masih ada waktu satu jaman. Kusuruh pak Anton supirku singgah ke sebuah supermarket. Ada beberapa barang yang hendak aku beli.

Aku berkeliling ke lorong di supermarket mencari beberapa barang keperluanku. Setelah dapat aku pun berjalan hendak menuju kasir. Tanpa sengaja mataku melihat sosok yang akhir-akhir ini bayangannya selalu singgah di hari-hariku. Risa!
Akupun berjalan ke arahnya, kenapa dadaku terasa bertabuh kencang seperti ini. Huuuft ....
Pandangan matanya masih menelusuri pajangan barang-barang. Hemm, kenapa dia di lorong ini, pikirku.
Diraihnya sebuah kardus susu. Kok susu hamil?!
"Risa .... " Akhirnya jarakku tidak lebih dari dua meter di hadapannya. Dia terlihat tertegun sejenak melihatku.
"Eh, Pak Arman." Senyumnya mengembang, ah! Aku rindu senyum manis ini.
Mataku tak lepas dari kotak susu yang dipegangnya. Iya, benar itu susu hamil.
Segera ia letakkan di dalam trollynya yang mulai penuh.
"Bapak beli apa?" pertanyaan Risa membuyarkan pikiran yang berkecamuk di benakku.
"Eh, oh, ini ... Beberapa map dan alat tulis." Ku angkat apa yang ada digenggamanku.
"Kamu ... Hamil?" Tak bisa kutahan rasa penasaran setelah melihat barang apa yang dipilih Risa.
"Hemm ... Iya, Pak. " Terlihat Risa tersenyum dengan kagok.

Deg!

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER