"Armaaaan ...!" Refleks Mama Irma memekik melihat anak kesayangannya sadar. Dan langsung ia melepaskan tas pakaian yang ada di tangannya menuju pembaringan Bang Arman dan memeluk serta menciumi wajah anaknya yang kini terlihat tirus.
Aku hanya mampu menutup mulutku, aku terpana dengan kembalinya kesadaran suami tercinta. Air mataku tak bisa kutahan aliran derasnya.
Begitu juga Mama Irma, sambil menangis tergugu, haru ia menciumi dan memeluk anaknya.
"Akhirnya kamu sadar, Naaak .... "
"Maa, A-Arman di mana?" Bang Arman bertanya pada ibunya.
"Di rumah sakit, sayaaang. Kamu habis kecelakaan, dan sebulan kamu ga sadar," jawab mama Irma sambil memencet tombol panggilan ke dokter.
"Ke-kecelakaan?" Tampak wajah Bang Arman yang bingung.
"Iya, Nak," jawab mama Irma meyakinkan dengan tatapannya.
"Itu siapa?"
Haa? Maksud kamu apa, Bang. Kamu ga kenal aku?
Betapa terkejutnya aku, Bang Arman menatap heran kepadaku yang sedari tadi hanya mematung dengan air mata yg terus mengalir di belakang Mama Irma. Ada yang berbeda dari sorot mata itu. Mungkinkah ia ...?
"Itu, Risa ... Kamu ga ingat?"
"Risa? Risa siapa, Ma?"
"Dia kan .... " Kalimat Mama Irma terputus ketika pintu ruangan terbuka.
Ternyata datang seorang dokter dan perawat.
"Oh, sudah sadar ya? Kita periksa dulu ya, Pak Arman." Dokter dan perawat itu memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Bang Arman.
"Tekanan darah bagus, Gimana perasaannya, Pak?" lanjut dokter lelaki paruh baya itu setelah memeriksa.
"Hemm, Dok ... Saya bingung kenapa saya ada di sini?" Sorot mata Bang Arman penuh tanda tanya.
"Bapak mengalami kecelakaan sebulan yang lalu, dan saat ini baru sadar."
"Jadi saya tidak sadar selama sebulan?"
"Iya." jawab dokter itu singkat.
Bang Arman memperhatikan tubuh dan tangannya yang digips.
"Ini tangan saya patah? Dan leher saya kenapa diberi penyanggah seperti ini, kaku sekali rasanya."
"Iya, tulang leher Bapak agak geser, dan tangan kiri Bapak patah. Tapi in syaa Alloh akan segera sembuh. Karena kita intens melakukan terapi walau Bapak tidak sadar." Dokter menjelaskan sambil tersenyum.
"Saya lihat, kondisi Pak Arman sudah cukup stabil. Dan karena sudah sadar. Kita lihat lagi perkembangannya besok. Kalau semakin baik, mungkin besok boleh pindah ruangan perawatan umum," ujar dokter sambil bergantian menatap Bang Arman, Aku dan Mama Irma.
"Tunggu, Dok. Kenapa anak saya tidak ingat dengan kecelakaannya dan dia juga lupa dengan mantan sekretarisnya ini?" Pertanyaan Mama Irma sama dengan apa yang ada dibenakku.
"Oh, ya?" Dokter mengalihkan pandangannya dari mama Irma ke Bang Arman.
"Kalau kecelakaan mungkin karena kejadian begitu cepat, dan Pak Arman langsung kehilangan kesadaran. Maka wajar tidak ingat. Tapi kalau tidak ingat dengan orang yang pernah kenal dengannya. Hemmm .... " Kening dokter berkerut sambil menatap Bang Arman dengan tanda tanya.
"Oh, Risa ini mantan sekretaris Arman, Ma?" Bang Arman menatapku kemudian beralih ke mama Irma.
"Iya, Risa sempat beberapa bulan bekerja sebagai sekretaris kamu. Ya kan, Ris?" Mama Irma memandangku.
"I-iya, Bu. Selama lebih kurang lima bulanan, kemudian saya resign, " jawabku dengan kagok.
"Sejak kapan kamu jadi sekretaris saya, Risa?"
Ya Alloh Bang, kamu menatapku seperti orang lain saja. Kita sudah menikah tiga bulanan, Bang! Hatiku seakan teriris. Perih!
"Sejak bulan November tahun lalu, Pak. Kemudian saya resign bulan April tahun ini." Kucoba menguasai kegundahan ini.
"Memang ini bulan apa ma? Bukannya bulan lalu kita baru menghadiri walimah pernikahan Mas Jaka di Semarang?"
"Lho, Nak ... Jaka sepupumu kan nikah dua tahun yang lalu!" Mama Irma keheranan.
Deg!
***
Setelah pulang dari rumah sakit, aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas ranjang, menutup wajahku dengan bantal dan menangis tergugu di kamar.
Yaa Alloh, cobaan apalagi ini ... Setelah sebulan menanti kesadaran Bang Arman, lelaki calon ayah dari bayi yang kukandung sama sekali tak mengenaliku. Bahkan dia sama sekali tidak ingat! Dokter memvonis Bang Arman terkena amnesia. Dia kehilangan sebagian memori dikarenakan benturan keras di kepala akibat kecelakaan itu.
Hatiku serasa hancur berkeping-keping. Cintanya hilang begitu saja bersama hilangnya kenangannya bersamaku.
Bagaimana nasibku dan juga bayi ini? Yaa Rabb, kuatkan hambamu ini.
Pupus sudah harapanku untuk diakui menantu oleh Mama Irma, Bahkan suamiku sendiri tak mengenaliku.
***
[Arman]
"Ma, ngapain sih ngadain acara segala. Arman males ah ... Mama kan tahu Arman ga begitu suka keramaian."
Setelah sekitar tiga hari sejak pulihnya kesadaranku, dokterpun menyatakan aku boleh pulang untuk dirawat jalan.
Akhirnya kini aku bisa berada di kamarku lagi. Walau hanya terasa tiga hari saja, padahal sebulan lebih aku di rumah sakit, aku benar-benar ga betah. Badanku terasa kaku jika harus banyak berbaring di tempat tidur, sedangkan jika berjalan-jalan di rumah sakit pun pemandangannya tidak ada yang menyenangkan. Hanya membuat aku bosan.
Kalau di rumah kan aku bisa jalan di taman belakang dan melihat kolam ikan.
"Mama mau syukuran atas kesehatan kamu yang membaik. Lagian jarang-jarang kita ngadain acara di rumah kan?" jawab mama atas pertanyaanku.
"Huuuft, iya deh terserah mama." Aku tak mau berdebat panjang lebar dengan mama. Mama dari dulu susah dibantah. Beliau lembut, tapi tegas jika sudah berkeputusan. Tapi beliau adalah wanita yang sangat aku cintai di muka bumi ini.
Mama bercerita selama aku tidak sadar, Sandi lah yang mengurus perusahaan yang kami rintis sejak kami masih kuliah dulu.
Sandi memang sahabatku sejak SMA, dan kami masuk perguruan tinggi yang sama. Kami punya banyak kesamaan soal hobby dan bakat. Sehingga kami sangat akrab.
Sandi menikah dengan Melisa teman kami satu kampus, sejak mereka menikah tiga tahun lalu, dikarenakan Melisa asal Bogor dan tidak mau jauh dari orangtuanya, jadi kami membuka kantor cabang di Bogor. Sandi mengurus kantor cabang di sana, sementara aku di Jakarta.
Namun, karena aku sakit selama sebulanan ini mau tidak mau Sandi harus sering bolak balik Jakarta-Bogor agar pekerjaan bagianku tidak mangkrak. Untunglah dia mampu menghandle.
Hari ini hari Sabtu, hari kelima sejak aku keluar dari rumah sakit, mama mengadakan syukuran atas kesehatanku yang mulai membaik siang ini. Walau aku masih harus memakai gips di tangan kiri dan penyanggah leher, aku sangat beruntung diberikan kesempatan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah ....
Satu per satu kerabat dari Semarang, dari Jogja, Bandung dan lainnya berkumpul di rumah, sebagian mereka menginap di hotel dari kemarin. Sebagian ada yang menginap di rumah ini juga. Papa anak tunggal, dulu papa juga sempat punya perusahaan property, tapi di akhir kehidupan papa, ia sakit parah, beliau terkena stroke, dan tak lama papa meninggal dunia. Perusahaannya pun terbengkalai tidak ada yang meneruskan. Ketika itu aku masih kelas 2 SMA. Mama membiayai hidup kami sendiri dengan pekerjaannya sebagai guru di sebuah sekolah swasta. Karena itu aku begitu sayang dengan mamaku. Beliau sudah banyak berjuang menghidupi dan mendidikku sampai dewasa. Walaupun aku tidak akan mungkin bisa membalas jasa beliau, paling tidak aku harus menjadi anak yang berbakti.
Aku kuliah sambil bekerja dulu. Awalnya aku memberi les Matematika dan Fisika kepada siswa-siswa tingkat SMP dan SMA. Di semester-semester akhir aku memulai belajar bisnis property bersama Sandi.
Mama tiga bersaudara, semua perempuan. Mama anak kedua, kakak mama tinggal di Semarang, adik mama tinggal di Bandung. Mereka ikut suami masing-masing.
"Assalamualaikum. Heei, Bro!" Akhirnya yang dari tadi aku tunggu datang. Si Sandi dan istrinya Melisa.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaahi wa barakatuh.... Heeii.. Dateng juga loe!" Ku peluk sahabat baikku ini walau agak kaku dikarenakan leher dan tanganku yg masih belum pulih.
"Haaaii, ini siapa?" tanyaku sambil membelai pipi chuby gadis kecil yang sangat lucu di gendongan Melisa.
"Ini Marsya anak gueh, masak loe lupa."
"Lho, elo udah punya anak, Bro?" tanyaku heran tanpa memalingkan pandanganku dari gadis kecil yang lucu itu.
"Maklum Nak Sandi, dokter bilang dia kena amnesia, sebagian ingatannya hilang. Sekitar dua tahunan ke belakang dia lupa ...," Sahutan mama dari belakangku menjawab tanda tanya dari tatapan Sandi dan Melisa.
"Waaah. Yang bener, Bro? Loe amnesia? Hahah!
Untung loe masih ingat sama temen loe yang ganteng ini yaah ...! " Seloroh Sandi disambut cubitan gemas Melisa di perutnya. Sandi meringis sambil terkekeh.
"Jangan banyak bercanda. Orang masih sakit juga." cicit Melisa
"Sorri, Arman ... Kamu tahu sendiri papanya Marsya ni gimana." Melisa tersenyum.
"Hehe, iya aku udah tahu luar dalam kalau si Sandi mah, Mel! " sahutku.
"Ayo yok, langsung ya ke dalem. Makaaaaan ...! "
"Aseeeekk, gueh udah laper, Bro." Sandi semangat banget dengar makan.
"Assalamualaikum .... " Terdengar suara seorang wanita dari depan pintu masuk.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaahi wabarakatuh!" Mama sumringah menjawab salam.
"Risaa..! Sini masuk, Sayaaang .... "
Aku menoleh ke arah wanita yang memakai jilbab syar'i itu. Senyum manisnya merekah menyambut pelukan mama. Kenapa mereka terlihat begitu akrab?
Terus terang, aku merasa penasaran dengan sosok wanita yang kata mama mantan sekretarisku ini. Kenapa waktu itu dia ada di rumah sakit? Dan sorot matanya ketika itu sangat mengusik hatiku. Cuma aku berusaha mengabaikannya.
Hari ini dia lebih ceria, tidak seperti di hari pertama aku sadar dari tidur panjangku. Dan hari ini pertama kali kulihat senyum di bibirnya yang begitu manis, hemm.
Tampilan yang syar'i dan bersahajanya sungguh membuatku merasa sejuk jika melihatnya. Walau dia berkulit sawo mateng, tapi bagiku dia sangat cantik. Heeeei! aku bukan type pria yang menganggap wanita cantik itu harus putih, tinggi, semampai kayak model-model itu.
Justru wanita manis begini yang aku suka. Ah, kenapa denganku. Bahkan aku tak ingat pernah kenal dengannya.
Dia masuk dan tersenyum ketika mata kami beradu. Ada desiran hangat di dada ini. Hemmm.. Segera ku alihkan pandanganku. Astagfirullah. Jaga pandangan Arman!
Justru wanita manis begini yang aku suka. Ah, kenapa denganku. Bahkan aku tak ingat pernah kenal dengannya.
Dia masuk dan tersenyum ketika mata kami beradu. Ada desiran hangat di dada ini. Hemmm ... Astagfirullah. Jaga pandangan Arman!
***
[Risa]
Hari ini hari ke delapan setelah kesadaran Bang Arman. Sejak saat itu hingga kemarin aku tidak tahu kabarnya.
Beberapa hari ini aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Berusaha ikhlas menerima taqdir dari Alloh berupa hilangnya kenangan Bang Arman atas apa yang pernah kami lalui. Yang harus aku yakini adalah Rabb-ku tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuan makhluq-Nya, iya kan?
Hanya kepadaNyalah aku pasrahkan hidup ini, jika Bang Arman memang bukan ditaqdirkan bersamaku. In syaa Alloh aku ridha.
Kemarin Mama Irma menelponku. Beliau mengundangku datang ke rumahnya untuk acara syukuran atas kesehatan Bang Arman yang membaik siang hari ini.
Ternyata suamiku sudah keluar dari rumah sakit 3 hari setelah dia sadar.
Sekarang di sinilah aku. Di rumah orangtua suamiku Bang Arman. Ternyata lumayan ramai yang datang. Mulai dari kerabatnya, beberapa teman dan beberapa karyawan kantor. Tapi rumah ini cukup luas untuk menampung manusia yang tak kurang dari 40an orang.
Tadi aku sempat beradu pandang dengan suami tersayang, ada gelenyar indah di hatiku seperti ketika saat pertama kali kami berada di rumah kami pada hari pernikahan hampir empat bulan yang lalu.
Warna pucat di wajah Bang Arman ketika berada di pembaringan rumah sakit sudah berubah dengan warna cerah ceria seperti sebelumnya. Walau tubuh itu masih terlihat lebih kurus karena selama sebulan nutrisi hanya di dapat dari cairan infus. Kumisnya yang tadinya mulai panjang sudah dirapikannya. Ah, Babang tampanku, sayang kau lupa padaku. Hiks ....
Ketika aku sedang bercengkrama dengan mba Susan, mantan teman kerjaku di perusahaan Bang Arman. Tiba-tiba sudut mataku memandang Mba Dewi yang menggamit manja lengan kanan Bang Arman. Walau kulihat suamiku merasa risih dan berusaha melepas gamitannya, Mba Dewi terus saja tak menghiraukan, malah menyenderkan kepalanya di bahu Bang Arman.
Dadaku seketika terasa sesak melihat pemandangan itu. Mataku mulai memanas. Sebelum bulir air mata ini jatuh, aku permisi menuju toilet kepada Mba Susan dan Mama Irma pun menunjukkan arah menuju belakang.
Aku berusaha menetralkan perasaan ini dengan menarik nafas panjang di depan toilet, dan segeraku ke dalam membasuh muka karena air mata ternyata jatuh juga.
Setelah hatiku mulai tenang dan jejak air mata sudah kuhapus dengan saputangan. Akupun keluar dari toilet.
Ketika aku berbalik dan bergerak hendak menuju ruang tengah kembali, tiba-tiba aku menubruk tubuh tinggi seseorang.
Sontak aku terkejut ketika menyadari siapa yang aku tubruk barusan.
"Ma-af, Bang ... Eh, Pak .... " Ups! Aku keceplosan.
Bang Arman terlihat sedikit meringis, baru kuingat bukankah tangannya masih belum pulih.
Refleks aku menyentuh lengan kirinya.
"Eh, sa-sakit ya, Pak?!" tanyaku panik.
Telapak tangan kanannya terbuka dihadapkan kepadaku dan dia sedikit menghindari sentuhanku.
"Eh. Hehe ... Ga, ga papa, Risa. Saya baik-baik aja. " Bang Arman tersenyum masih sambil meringis.
Ah, aku lupa. Dia anggap aku bukan siapa-siapa. Tentu saja dia menghindari sentuhanku. Sentuhan Mba Dewi yang tunangannya saja, dia berusaha hindari.
Dan dia juga selama ini tidak pernah terlihat menyambut jabatan tangan dari yang bukan mahrom sama seperti aku. Tapi kan aku istrinya! Istri yang terlupakan. Huhu ...
"Eh, iya, Pak. Maaf saya pamit pulang dulu ya."
Sebaiknya aku pulang sebelum aku melihat pemandangan tak mengenakkan lagi antara suamiku dengan tunangannya itu.
Aku capek harus menghindari orang lain karena kalau sudah cemburu ini datang susah aku untuk mengendalikan airmata.
"Sudah mau pulang?" tanya Bang Arman.
"Iya, Pak. Ada yang harus saya kerjakan di butik saya."
"Oh, kamu punya butik?"
"Hemm, iya, Pak. Butik pakaian syar'i. Masih kecil-kecilan. Saya pamit ke Ibu Irma dulu, Pak ... Assalamualaikum .... "
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah."
Ah senyuman itu, senyuman yang selama ini aku rindukan. Abaaang! Aku pengen peluuuuuuk ...!
Aku pun pamit pulang kepada Mama Irma dan kepada beberapa teman kantor yang aku kenal.
==========
[Arman]
Lagi asyik ngobrol dengan Sandi tentang bisnis yang kami geluti tiba-tiba ada yang menggelayut di lengan kananku. Rupanya Dewi.
Mama bilang tadinya kami bertunangan, tapi sebelum aku kecelakaan aku berkeras membatalkan pertunangan. Aku pergi dalam keadaan sedih dan marah sebab Mama masih berkeras agar aku bersabar dengan Dewi serta berharap aku memberikan kesempatan untuknya. Mama juga berkeras tidak mau membatalkannya.
Dalam keadaan emosi yang tertahan, aku pergi dalam keadaan cuaca hujan yang sangat deras.
Mama begitu menyesal setelah kejadian itu, merasa telah memaksakan kehendak sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Karena ternyata hal itu mungkin menjadi penyebab kecelakaan yang aku alami.
Ketika aku di rumah sakit tak sadarkan diripun Dewi dan mamanya hanya sekali saja menjengukku. Merasa tidak diperhatikan oleh calon menantunya itu mamapun memutuskan pertunangan kami di pekan kedua aku dirawat.
Mama bilang keluarga tante Vina justru menerima dengan senang hati pemutusan pertunangan itu. Terlihat dari bahasa tubuh mereka yang acuh tak acuh dengan kondisiku yang terus-terusan tak sadarkan diri.
Papanya Dewi juga bilang, bahwa mereka pun tidak mau menunggu aku yang tidak jelas bisa sadar kembali atau tidak.
Mama bilang, beliau sungguh menyesal telah meneruskan perjodohanku, harusnya dari awal tidak pernah ada pertunangan antara aku dan Dewi. Seperti yang sering aku katakan kepada mama bahwa Dewi selama ini hanya mencari muka.
Mama tidak sengaja mendengar percakapan antara Dewi dan Ibunya ketika menjengukku di rumah sakit. Dewi bilang kondisiku terlihat sangat buruk seperti orang mau mati saja, dan dia bilang mau membatalkan pertunangan kami, tante Vina saja yang membujuk anaknya agar tetap bertahan karena mengingat persahabatannya dengan mama.
Ketika itu mama kaget bukan kepalang melihat calon menantu yang dikiranya perhatian ternyata tidak seperti anggapannya.
Pada saat itu juga mama memutuskan untuk segera membatalkan pertunangan kami. Dan ternyata disambut dengan baik oleh keluarga tante Vina.
"Dewi, tolong lepaskan aku .... " Aku berusaha menghindari sentuhan wanita ini.
"Arman, aku kangen lho sama kamu." Malah semakin ia menyenderkan kepalanya ke bahuku. Membuatku jengah!
"Hai, Wi ... Makin cantik aja kamu!" Sandi menggoda Dewi. Aku tahu Sandi cuma bercanda. Dewi sama sekali bukan typenya.
Sandi pun tak suka dengan Dewi dari dulu, karena tahu sifatnya selama di kampus seperti apa. Melisa hanya tersenyum kecut melihat suaminya menggodai Dewi. Melisa juga paham aku tak pernah menyukai Dewi dari cerita Sandi suaminya.
"Tentu aja aku selalu cantik, San ...," jawab Dewi penuh percaya diri dan mulai mengendurkan gamitan tangannya dari lengan kananku.
Langsung kuambil kesempatan itu untuk melepas tanganku.
"Permisi dulu ya semua, aku mau ke belakang dulu. " Padahal aku hanya ingin menjauh dari Dewi.
Wajah Dewi terlihat emosi, karena penolakanku. Ah, emang gue pikirin!
Lagi jalan menuju taman belakang tiba-tiba dari dalam kamar mandi keluar seseorang yang tanpa bisa dihindari menubruk tubuhku.
"Ma-af, Bang ... Eh, Pak." Ternyata Risa si gadis manis berhijab syar'i. Dia terlihat kaget ketika melihatku ditubruknya.
'Bang.... ' sepersekian detik ku terpana dengan panggilan refleks pertamanya tadi sambil meringis menahan rasa yang sedikit nyeri di tangan kiriku yang belum benar-benar pulih.
Dan aku agak terkejut ketika dia langsung menyentuh lengan kiriku ketika sadar melihatku memegang tangan kiriku yang masih terbalut ini.
Sejenak aku terdiam, namun tak lama aku sadari dia bukan mahromku, segera aku sedikit mundur menghindari sentuhan refleksnya tadi dan membuka telapak tangan kananku dihadapannya tanda penolakan.
Aku berusaha tersenyum walau mungkin terlihat getir, sambil sedikit cengengesan aku berkata, "Eh. Hehe ... Ga, ga papa, Risa. Saya baik-baik aja."
Melihat gelagatku, ada yang aneh dari sorot matanya. Tapi entah aku tak paham.
"Eh, iya, Pak. Maaf saya pamit pulang dulu ya...," lanjut Risa.
"Sudah mau pulang?"
"Iya, Pak. Ada yang harus saya kerjakan di butik saya." Oh mungkin dia resign dari kantor kemarin karena mulai berbisnis pakaian.
"Oh, kamu punya butik?"
"Hemm, iya, Pak. Butik pakaian syar'i. Masih kecil-kecilan. Saya pamit ke Ibu Irma dulu, Pak... Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah...," jawabku sambil tersenyum, dan kulihat bibir indah itupun membalas senyumanku. Maa syaa Allooh.. Maniiiiis bangeet!
Astagfirullaah. Rasa apa di hatiku ini.
Dari jauh kuperhatikan ia berpamitan mencium takzim tangan mama, dan memeluk hangat mamaku. Pemandangan yang membuatku terpukau. Seandainya ... Ah, entahlah!
Terus terang dari dulu aku sudah sangat menyukai wanita yang berpenampilan syar'i. Terlihat menenangkan, dan merupakan salah satu tanda bahwa ia wanita yang memahami bahwa itu perintah Rabb semesta alam. Aku ingin punya satu yang begitu. Apalagi gadis seperti Risa yang mempunyai warna kulit khas Indonesia, wajah bersih berbentuk oval, mata bulat menawan, bentuk hidung yang pas, serta senyum yang entahlah tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Senyum dari bentuk bibir yang tidak begitu tipis dan tidak juga tebal, warna bibirnya kemerahan alami walau tanpa lipstik, ranum sempurna.
Huuuft, astagfirullah kenapa aku jadi terus mengingat senyuman manisnya....
Ada rasa penasaran apakah dia masih sendiri? Mudah-mudahan saja. Nanti aku tanya mama.
***
Tiga hari berlalu dari acara syukuran itu, rumahku sudah mulai lengang yang tadinya ramai oleh keluarga yang menginap dari berbagai kota.
Siang ini jadwalku check up ke rumah sakit.
Pagi-pagi seperti ini aku manfaatkan untuk berolah raga di taman belakang rumah. Tubuhku yang berbalut kaos tanpa lengan terasa basah oleh campuran keringat dan embun. Terasa segar badan ini.
"Arman, ngopi dan sarapan pisang goreng dulu sini! " panggil mama yang membawa nampan berisi 2 cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Kelihatan enak banget.
"Oke, Ma!" kuhentikan aktivitasku mengangkat barbel ukuran 10kg ini dan menuju kursi di teras.
"Siang ini jadwalmu check up kan, Arman?"
"Iya, Ma," jawabku singkat sambil menyeruput kopi yang wanginya menggoda dan langsung melahap pisang goreng hangat bikinan mama. Hemm, nikmat ....
"Mama ikut kan?" lanjutku sambil mengunyah.
"Iyalah, mama juga mau tahu perkembangan kesehatan kamu langsung dari dokter."
"Hehe. Kayaknya leherku sudah ga sakit ma."
"Iya, di rumah sakit waktu kamu ga sadarkan keadaan kamu terus dipantau dan dilakukan terapi juga. Mama minta penanganan yang bagus agar suatu saat kalau kamu sadar tubuh kamu ga begitu kaku karena kelamaan tidur."
Aku mengangguk. Sambil terus mengunyah pisang goreng.
"Kamu ini doyan apa laperrr? Hehehe .... " Mama terkekeh melihat aku lahap menikmati pisang goreng.
"Dua-duanya, Ma." aku ikutan terkekeh.
"Ma, Risa itu single ga?" Tanyaku sambil kembali menyeruput kopi. Kualihkan pandanganku dari mama, takut mama melihat raut penasaran dari wajah ini.
"Hemm, kenapa? Kamu suka sama dia?" dari sudut mata terlihat mama tersenyum menggodaku.
Aku tertunduk dan tak mampu menahan tarikan ke atas bibir ini.
"Entah ..., " jawabku singkat. Kok wajahku jadi terasa panas begini.
"Hayoooo ... Mukamu jadi kayak udang rebus tu .... "
Tak bisa kumenafikan rasa berbeda sejak kedatangan Risa di acara syukuran kemarin.
"Mama juga ga tahu. Sepertinya dia single ... Mama belum pernah tanya. Mama cuma beberapa kali ngobrol sama Risa. Dia kelihatannya gadis yang baik. Mama lihat dia seperti perhatian gitu sama kamu. Entahlah. "
"Beneran, Ma?" Aku antusias mendengar mama bilang kelihatannya Risa perhatian kepadaku.
Mama hanya mengangkat bahu sambil terus tersenyum menggodaku.
"Arman kan sudah tidak ada ikatan dengan Dewi, Ma. Boleh ga kalau Arman deketin Risa?" Kuangkat pandanganku dan menatap mama. Bagaimanapun Beliau adalah seorang yang sangat berharga dan berjasa dalam hidupku. Aku berharap ridha darinya dalam memilih pendamping hidup yang aku inginkan.
"Sekarang mama serahkan keputusan ke kamu aja ... Mama ga mau kamu uring-uringan lagi kayak waktu tunangan sama Dewi. Mama percaya sama kamu sepenuhnya. Maafin mama ya, Nak. Karena mama udah egois waktu itu. " Mama terlihat sedih ... Aku tahu mama sangat menyesal dengan keputusannya dulu memaksaku karena janjinya dengan tante Vina. Walaupun aku lupa kalau aku pernah bertunangan.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan kudekati mama dan memeluk serta mengecup kepala beliau.
"Udah, Ma. Lupain yang udah lewat. Arman sayang sama mama .... "
Mama membalas pelukanku hangat. I love you, Mom ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel