Cerita bersambung
"Kalau jalan liat-liat ya, Mba." Dengan nada agak ketus, ternyata Mba Dewi bersama mama Irma, mamanya Bang Arman. Dan tebak, siapa yang ada di belakang mengiringi mereka? Bang Arman!
"Eh, oh iyyaa, maaf Mba Dewi .... "
Merasa namanya kusebut, Mba Dewi pun mengernyitkan dahi.
"Hemm, kamuu ..., Risa kan?" Mba Dewi akhirnya mengingat siapa aku.
"Iya, benar, Mba ..., " jawabku sambil mengulurkan tangan. Mba Dewi menyambut tanganku dengan malas. Bang Arman terlihat kagok di sana.
"Oh iya, ibu ingat! Kamu bukannya sekretaris Arman?" Mama Irma memastikan. Mama Bang Arman sesekali juga ke kantor.
"Iya, Mmm ..., Bu. Tapi saya sudah resign." hampir saja aku sebut mama. Haduh!
Aku pun menyalimi mama mertuaku dan mencium tangannya takzim. Mama mertua membelai kepala yang tertutup hijab syar'iku.
Maa syaa Alloh. Ini pertama kali aku bertemu dengan Beliau semenjak pernikahan kami. Bang Arman hanya diam saja menggaruk pinggir alisnya dengan tangan kanan dan melipat tangan kirinya di dadanya di belakang Mba Dewi dan Mama Irma. Aku menganggukkan kepala tandaku menegur mantan Bosku itu. Ia hanya membalas dengan senyum yang tampak kikuk.
"Ah, ya udah yuk kita lanjutkan lagi belanjanya, Tante!" seru Mba Dewi sambil mendorong keranjang belanjaan mereka.
"Mari, Risa .... " lanjut mama Irma menyunggingkan senyum ke arahku. Mereka pun berlalu, dan Bang Arman kembali tersenyum getir kepadaku.
Kok terasa sesak di dadaku sekarang. Yaa Alloh ... Aku cemburu.
Menahan sesak di dada, mataku pun jadi terasa panas. Sebulir bening kuusap sebelum ia jatuh ke pipi ini.
Kupercepat langkahku untuk merampungkan keperluanku di supermarket ini. Setelah selesai aku pun membayar semua belanjaan itu ke kasir dan langsung memesan taksi online.
Sampai di rumah kuserahkan kantong-kantong belanjaan ke Bi Atik, dan segera menuju kamar tidurku. Tak kuhiraukan tatapan heran Bi Atik atas sikap ketergesaanku.
Ku segera ke kamar mandi dan mengambil wudhu, karena sudah masuk waktu dzuhur. Tak mampu lagi kutahan, air mata pun mengalir deras bercampur dengan air wudhu. Yaa Robb, sakitnya.
Di dalam shalat kuterus menangis hingga selesai pun tak berhenti air mata ini mengalir. Dengan sesenggukan bibirku hanya mampu berucap "astagfirullah" berulang-ulang.
Tanpa sadar akupun tertidur karena kelelahan menangis.
Tok Tok Tok!
Suara ketukan pintu membangunkanku. Subhanallah, aku masih terbaring di atas sajadah.
Aku pun berusaha bangun untuk membuka pintu. Terasa lemas sekali badan ini, seakan sebagian besar tenagaku hilang.
Ku buka pintu kamar ternyata Bi Atik. sebenarnya hari ini Bi Atik libur, cuma karena hari selasa lalu ia izin karena ada keperluan keluarga, ia pun menawarkan mengganti hari bekerjanya di pekan ini.
"Neng, Bibi permisi mau pulang dulu."
"Oh iyya, Bi. Ini jam berapa?"
"Hampir setengah 5, Neng."
Astagfirullah sudah sore banget rupanya.
"Neng Risa sakit?" Bi Atik mungkin melihat mataku yang sembab.
"Eh, iya Bi lagi kurang enak badan aja nih. Ya udah Bibi pulang aja. Saya gapapa, ga usah khawatir."
"Baik kalau gitu Bibi pulang dulu ya, Neng. Makanan udah Bibi siapin mungkin Neng belum makan siang."
"Iya, Bi. Makasih banyak ya."
"Assalamualaikum .... "
"Wa 'alaikumussallam warahmatullah."
Setelah Bibi pergi, aku pun mengambil wudhu untuk shalat ashar, karena tertidur tadi, wudhuku batal. Dan setelah shalat aku pun makan siang yang kesorean.
Aku harus makan, padahal tak selera sama sekali. Walaupun begitu, ini untuk janin yang kukandung. Jangan dia yang tak tahu apa-apa jadi korban karena ibunya yang lagi sedih begini. Maafkan Bunda, Nak. Huuuft ....
Hari pun berganti gelap. Jam menunjukkan pukul setengah 8. Aku duduk di ranjang dengan menyandar pada kepala tempat tidur, membaca buku fikih wanita sambil ngemil potongan apel hijau. Entah mengapa padahal tadinya aku kurang begitu suka, tapi beberapa waktu belakangan rasanya yang asem manis terasa enak dimulutku, mengurangi rasa mual yang sering melanda akhir-akhir ini.
"Assalamualaikum, sayang .... " Tiba-tiba pintu terbuka, rupanya Bang Arman.
Suasana hatiku yang tadinya terbakar cemburu sudah mulai mereda setelah puas menangis tadi siang.
"Wa 'alaikumussallam sallam." jawabku malas tanpa merubah posisiku. Biasanya akan kusambut suamiku ini dengan salim dan ciuman di tangannya.
"Lagi baca apa?" Bang Arman mengecup keningku.
Ku hanya mengangkat buku dipangkuanku, menunjukkan covernya.
"Oh ...., " sahutnya.
"Udah makan malam?" lanjut Bang Arman.
Aku menggeleng.
"Kenapa kok belum? Ini sudah hampir jam 8 lho."
Aku hanya mengangkat bahu, mencebikkan bibirku. Mataku masih terus melihat buku, walau rasanya sudah tidak konsentrasi lagi dengan isi bacaan.
"Lagi sariawan ya, males ngomong dari tadi?" Bang Arman tersenyum menggodaku.
Aku masih bergeming, suasana hatiku masih ga enak.
"Huuuuufftt .... " Bang Arman menghembuskan udara, setelah menarik nafas panjang.
"Marah ya?" Seraya mengambil buku dari tanganku ia meletakkannya di atas nakas, dan langsung mendekati dan menggenggam jemariku lembut. Pikir aja sendiri! Aku jadi sebel.
"Lagi marah aja cantik, gimana kalau lagi senyum .... " Bang Arman mencubit pipiku lembut.
Ga lucu!
Ih, aku makin sebel sama Bang Arman kalau udah begini. Pipiku kan terasa merona kalo dirayu seperti ini. Ihh, kok susah ya mau marah dengan Bang Arman!
Ditariknya tanganku sambil beranjak dari tempat tidur.
"Makan yuk!"
Mau tak maupun aku mengikutinya ke ruang makan. Tadi habis shalat isya lauk sudah aku panaskan, agar tidak basi. Karena aku tak berselera, kubiarkan saja di bawah tudung saji. Aku hanya ngemil apel, kupikir paling tidak perutku berisi makanan.
Bang Arman mengambilkan nasi dan lauk pauk ke dalam piring.
"Aaaaa ... " Yaa Alloh liat deh tingkah suamiku ini. Dia mau nyuapin aku kayak anak kecil saja. Akhirnya tak bisa kutahan lagi bibir ini ketarik ke atas. Dan aku menerima suapan demi suapan darinya.
Hemm, enak juga makanan ini, ga kayak tadi sore rasanya hambar. Padahal masakan yang sama. Apa karena suasana hatiku yang sudah berubah. Ah, sudahlah abaikan perasaan yang tadi, sekarang hatiku lagi menghangat atas perlakuan manis babang tampanku.
Aku makan dengan lahap, tadi sore aku makan hanya sesuap dua suap saja. Tadi eneg banget. Dan itupun tak lama aku muntahkan lagi. Biasa pengaruh hamil muda bawaannya mual. Apalagi kalau hati lagi ga nyaman.
Setelah selesai menikmati makanan, yang hanya aku sendiri disuapi Bang Arman, karena dia sudah makan katanya, aku pun memulai obrolan.
"Abang malam ini kok sudah pulang ke sini? Katanya besok baru dateng?"
"Kamu bikin abang cemas dari tadi sore abang hubungi hape kamu, tapi ga diangkat."
Astagfirullah, dari tadi memang aku tak mengeluarkan hapeku dari tas. Hemm.
"Maaf, Bang aku lupa. Tadi pulang dari mall ga liat hape sama sekali."
"Itu mata kenapa?" mataku masih agak sembab soalnya.
"Ga papa," jawabku seraya menundukkan pandangan. Ia kemudian menggamit jemariku.
"Besok in syaa Alloh abang mau bilang sama mama agar membatalkan pertunangan abang dengan Dewi."
Aku terkejut dengan perkataan Bang Arman barusan.
"Tapi, abang belum siap bilang ke mama kalau abang sebenarnya sudah nikah dengan kamu. Gapapa kan?"
"Hemm, iya gapapa, Bang. Pelan-pelan aja. Nanti mama kaget."
Bang Arman mau membatalkan pertunangannya saja aku sudah merasa senang, tadinya aku sempat berpikir Bang Arman akan berpoligami.
Bukannya anti poligami, aku tahu itu syariat. Tapi aku tak bisa membohongi diri sendiri, kalau aku masih belum siap. Apalagi jika maduku kayak mba Dewi yang melihat gayanya saja rasanya aku ga bakalan cocok.
Hidup berkeluarga itu jangan berspekulasi. Kelak aku akan punya anak, dan kalau mba Dewi jadi maduku, mungkin dia akan punya anak juga. Aku tak mau anak-anak kami punya ibu tiri yang sikap dan penampilannya seperti itu. Anak-anak itu meneladani orangtuanya. Bukan begitu?
Malam ini Bang Arman menginap di rumah kami. Rasa sakit yang ada di dadaku kini raib entah kemana dengan sikap manis dan lembut suamiku.
***
Dua hari ini aku uring-uringan. Setelah sabtu malam kemarin Bang Arman menginap, dan paginya ia pulang ke rumah mama mertua, sampai hari ini dia tidak menghubungi dan hapenya pun tidak bisa dihubungi.
Duh abaaang, apa yang terjadi? Katanya kemarin mau ngomong tentang pembatalan pertunangan dengan Mba Dewi ke mama Irma, sampe sekarang kok ga ada kabar sih. Apa aku hubungi kantor aja ya?
"Hallo selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Suara seorang lelaki, ku yakin ini Bobby sekretaris penggantiku.
"Bisa bicara dengan Pak Arman?"
"Maaf, dengan siapa saya bicara?"
"Saya Risa, mantan sekretaris beliau."
"Oh, Mba Risa. Maaf, Mba. Pak Arman kemarin kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit, beliau sedang kritis."
Deg!
Mendengar itu aku terhenyak. Badanku tiba-tiba lemas tak berdaya, ku bersimpuh di lantai keramik yang dingin, tak terasa bulir bening jatuh berderai.
Setelah mendapat info di mana Bang Arman dirawat, aku berusaha menguatkan tubuhku sendiri dan bersiap menuju rumah sakit.
==========
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit air mata tak berhenti mengalir. Yaa Alloh, lindungi dan selamatkan suamiku.
"Pak, cepetan ya, Pak!" Sekali lagi kusuruh supir taksi mempercepat laju mobilnya.
"Iya, Mba. Saya usahakan cepat." Jalanan terlihat ramai.
Akhirnya sekitar setengah jam aku pun sampai di Rumah sakit tempat Bang Arman dirawat. Aku segera turun setelah membayar ongkos taksi. Kemudian masuk dan bertanya kepada petugas rumah sakit di mana ruangan suamiku.
Setelah mendapat kejelasan di mana ruangannya, sambil menghapus air mata, aku berusaha tegar. Risa kamu harus kuat. Aku menyemangati diri sendiri.
Tak jauh dari ruangan suamiku, kulihat dua orang lelaki sebaya sekitar 30-35 tahunan yang tidak kukenal duduk di kursi panjang. Aku bingung bagaimana caraku bisa melihat Bang Arman, sepertinya itu keluarganya.
Aku bersender di pagar yang menghadap taman Rumah sakit, seraya menenangkan hatiku, tak berapa lama aku melihat Mama Irma dengan seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan ICU tersebut dan bergantian masuk dua orang yang tadi duduk di kursi.
Akupun berbalik menghadap taman, kuambil bedak padatku dari dalam tas slempangku. Aku memoles sedikit wajah ini untuk menghilangkan jejak air mata dan menyamarkan warna hidungku yang memerah karena menangis dari tadi. Kuambil kacamata beningku dan kupakai agar sembabnya tidak lagi kentara.
Setelah selesai dan bercermin dari wadah bedak padatku, akupun menuju ruangan Bang Arman.
"Assalamualaikum, Bu ... " Aku menegur mama Irma yang sedang termenung duduk di kursi panjang dengan wanita paruh baya yang tadi.
"Wa 'alaikumussallam. Eh, Risa." Gurat kesedihan tampak jelas di wajah beliau.
Akupun mengulurkan tangan kepada ibu di sebelah Mama mertua kemudian menyalimi Mama Irma dengan takzim dan memeluknya.
"Sabar ya, Bu...," ucapku pelan di telinganya.
"Iya, makasih, Risa.Tahu kabar dari orang kantor ya?" Tanya Mama Irma sambil mengusap bulir airmatanya yang hendak luruh.
"Iya, Bu." Air matakupun tak tertahan mengalir juga. Tapi kucoba tetap mengontrol rasa sedihku. Jangan sampai Mama Irma heran karena aku sangat berduka. Kuasai dirimu Risa, bathinku.
"Kamu kalau mau lihat Arman sebentar lagi ya, Risa. Soalnya belum boleh dijenguk banyak orang, paling banyak dua orang aja. Sepupu Arman masih di dalam."
"Iya, Bu .... "
"Gimana keadaannya, Bu?" lanjutku.
"Belum sadar, kemarin kritis. Alhamdulillaah kata dokter sekarang sudah lewat masa kritisnya. Kepala Arman terbentur keras, sebab dia ga pake siftbelt, tulang lehernya agak geser. Tangan kirinya juga patah. Kemarin sudah dioperasi."
"Astagfirullaah .... " air mataku jatuh lagi.
"Bagaimana kejadiannya, Bu?" Lanjutku.
"Entahlah, hari itu kan hujan lebat. Menurut saksi, Arman mengendarai mobil memang agak kencang. Di tikungan dia menghindari truk, lalu mobilnya masuk ke semak-semak dan akhirnya menabrak pohon."
"Laa haula walaa quwwata illa billaah. "
"Nah, itu sudah. Risa silahkan ya kalau mau besuk." Kedua sepupu Bang Arman tadi sudah keluar dari ruang ICU. Mama Irma mempersilahkan aku masuk.
"O, iya. Risa, bisa tolong kamu jagain Arman sebentar ya? Ibu mau antar tantenya Arman ke depan sekalian mau ke apotek ngambil obat."
"Iya, Bu." Akupun menuju ruang ICU.
Dadaku berdebar memasuki ruang itu.
Yaa Alloh! setengah berlari aku menuju bangsal tempat Bang Arman berbaring lemah.
Keadaan Bang Arman terlihat sangat buruk. Kepalanya digunduli, ada jahitan di sana, ada beberapa luka dan memar di wajah dan bagian kepalanya. Lehernya ditahan dengan penyanggah entah aku tak tahu apa namanya. Mulut dan hidungnya tertutup oksigen. Ada monitor di samping bangsalnya. Sepertinya untuk mendeteksi jantung atau sejenisnya. Tangan kirinya digips. Beberapa tempelan mirip kabel-kabel di dadanya yang terbuka. Yaa Rabb, sedemikian parah keaadan suamiku.
Aku memeluk dan mencium pipinya. Air mataku luruh tak tertahan.
"Baaang, banguuun ..., " bisikku di telinganya.
Kugenggam jemari kanannya dan menatap wajah yang selama ini riang, namun kini berubah hening dan suram.
Hanya deru nafas teratur yang terdengar.
"Abang bangun, Bang. demi Risa dan anak abang ...." Kusentuhkan telapak kanannya ke perutku. Tapi Bang Arman tetap bergeming.
Terdengar suara pintu yang dibuka, segera kuletakkan tangan Bang Arman di atas tempat tidurnya, lalu kuhapus air mata yang membasahi pipi.
Mama Irma mendekat dan membelai wajah anak semata wayangnya.
"Doain Arman ya, Risa. Oh iya, kalau Arman pernah salah sama kamu, mungkin dulu ketika kamu masih jadi sekretarisnya, tolong maafin ya." Mama Irma berkata tanpa mengalihkan pandangan matanya dari wajah Bang Arman.
"Iya, Bu. Insyaa Alloh Pak Arman orang yang baik, beliau juga sangat bijaksana selama jadi bos saya. Beliau tidak pernah berkata keras selama saya bekerja kepadanya."
"Alhamdulillaah kalau begitu." Mama Irma tersenyum kepadaku.
"Ya sudah, Bu. Saya permisi dulu. Maaf ga sempat bawa apa-apa." Aku menyalimi Mama Irma pamit, walau sebenarnya aku masih ingin di sini menemani suamiku. Tapi itu tidak mungkin.
"Gapapa, terimakasih sudah mau menjenguk Arman. Doa saja sudah sangat berarti." Mama Irma pun memelukku penuh kehangatan.
"Terimakasih sekali lagi tadi kamu sudah jagain Arman sebentar." seulas senyum di wajah Mama Irma.
"Iya, Bu, sama-sama. Insyaa Alloh sesekali saya jenguk kembali kalau tidak keberatan."
"Maasyaa Alloh, tentu saja boleh. Saya senang, jika teman-teman Arman perduli." Mama Irma sumringah. Walau aku tahu hatinya berduka, tapi beliau wanita yang tabah.
"Baik. Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam."
Dengan berat hati aku pun pergi dari ruangan itu, kemudian pulang ke rumah.
Sampe di rumah kukabari Rino dengan tangis yang pecah. Dia pun sangat terkejut, lalu bilang hendak pulang dan bolos kuliah. Tapi aku cegah. Ya aku tak mau nanti Mama Irma heran. Kenapa kok adikku pun begitu khawatir. Nanti beliau curiga lagi. Ada apa antara aku dengan Bang Arman. Aku tak mau ada masalah disaat seperti ini.
***
Sudah 3 pekan Bang Arman tak sadarkan diri, dan aku hanya bisa sesekali saja menjenguk tanpa mampu berbuat apa-apa. Untuk sekedar mengecup kening atau menggenggam jemarinya pun sulit.
Yaa Rabb, sadarkanlah suamiku.
Hari-hariku kini terasa begitu hampa. Sejak kami menikah tiada hari tanpa perhatian kasih sayang Bang Arman, walau ia hanya sepekan sekali atau dua kali saja mengunjungiku di rumah, tapi kami selalu intens komunikasi via hape.
Risa kangen canda tawamu, Bang ... Risa kangen gombalan serta cumbu rayumu ... Kenapa kau tak juga membuka matamu? Butir bening kembali luruh dari mataku.
***
Hari ini pekan ke empat dari hari kecelakaan itu, ini kali ke tiga aku menjenguk Bang Arman. Sesekali aku hanya melewati ruangannya menyamar dengan memakai cadar dan kacamata yang agak gelap.
Sengaja kulakukan hanya untuk memantau perkembangan suamiku tanpa harus dicurigai oleh mama Irma. Alhamdulillah selama ini penyamaranku berhasil.
Kali ini aku menjadi diriku sendiri, dengan tampilan syar'i tanpa niqab ataupun cadar. Dan qadarullah mama menelpon aku, untuk membantunya menjaga Bang Arman, karena hari ini Mama Irma harus mengganti beberapa pakaian yang telah kotor dan tidak ada yang bisa ia mintai tolong katanya lalu teringat kepadaku.
Yah maklum saudara-saudara mama Irma tidak tinggal satu kota dan mereka juga sudah sering bolak balik ke rumah sakit ini beberapa pekan yang lalu. Tapi Bang Arman masih saja belum sadar hingga detik ini.
Cuma aku heran kenapa aku tidak pernah melihat Mba Dewi di sini. Apa mungkin mereka sudah membatalkan pertunangannya? Pertanyaan itu muncul begitu saja di benakku.
"Assalamualaikum, Risa." Mama Irma menelpon hapeku. Tumben.
Sepekan yang lalu memang kami bertukar nomor hape ketika aku menjenguk Bang Arman untuk kedua kalinya secara langsung, bukan menyamar.
"Wa 'alaikumussallam warahmatullaah ... I-iyaa, Ibu Irma," jawabku agak kagok. Itu pertama kali mama Irma menelepon.
"Risa, bisa bantu ibu ga?"
"Bantu apa ya, Bu?"
"Ini ..., Ibu mau pulang sebentar mau bawa pakaian kotor dan mau ambil pakaian bersih. Arman ga ada yang jagain. Tante-tantenya sudah pulang. Maklum Ibu ga ada keluarga yang sekota. Bisa ga tolong jagain Arman pagi ini? In syaa Alloh habis dzuhur nanti Ibu balik lagi ke rumah sakit."
"Oh, boleh, boleh, Bu. Saya siap-siap sekarang ya. Pagi ini kan?"
"Beneran nih? Kamu ga keberatan, Risa? Ibu bingung mau minta tolong sama siapa, teringat kita sudah tukar nomor kan, jadi ibu coba hubungi Risa aja."
"Ga, ga keberatan kok, Bu. Kan Risa sudah bilang sama ibu, ga usah segan jika perlu bantuan. Risa ga sibuk hari ini."
"Alhamdulillaah kalau gitu. Ibu tunggu ya ...."
"Oke."
"Assalamualaikum."
"Wa 'alaikumussallam warahmatullahi wa barakatuh."
Teringat tadi pagi, betapa senang hatiku dapat kesempatan menjenguk Bang Arman secara langsung lagi tanpa bingung mau alasan apalagi kalau jenguk ke sana. Nanti Mama Irma bingung kok aku begitu perhatian sama mantan bossku satu ini. Ya kan?
Kubelai rambut Bang Arman yang sudah mulai tumbuh menutupi sebagian bekas jahitan di kepalanya. Bang Arman sudah tidak memakai bantuan oksigen untuk bernafas. Sekarang sudah dipindah ke ruang HCU. Perkembangan fisiknya bagus. Tapi entah mengapa ia belum sadar juga.
Kali ini aku bisa leluasa menggenggam jemarinya, memeluk tubuhnya, menciumi permukaan wajahnya, dan menghirup aroma tubuh yang selalu aku rindukan.
Walaupun tiada ekspresi kehangatan yang sebelumnya selalu ia berikan, aku sungguh bersyukur. Alhamdulillaah atas kesempatan ini yaa Alloh..
Waktu dzuhur pun tiba, aku shalat dan kemudian membaca mushaf sakuku di dekat telinga suamiku seraya melantunkan doa-doa kesembuhan untuk Bang Arman di dalam hati. Tiba-tiba jemari tangan kanan Bang Arman yang sedari tadi aku genggam dengan tangan kiriku bergerak lemah.
Akupun tersentak dengan hal ini. Ku hentikan bacaan qur'an. Dan mengeratkan genggaman sambil kudekatkan wajahku ke telinganya.
"Bang ... Bang Arman .... "
Pergerakan tangannya semakin kentara, dan kulihat kelopak matanya bergerak-gerak.
"Assalamualaikum."
Aku kaget karena Mama Irma tiba-tiba masuk dan mengucap salam di saat itu.
"Wa-wa 'alaikumussallam," jawabku terbata dan spontan kulepaskan tangan Bang Arman.
"Maa .... " Sekali lagi aku dikagetkan oleh suara lemah itu yang tak lain adalah suara lelaki yang selama ini aku rindukan.
"Armaaaan ...! " refleks Mama Irma memekik melihat anak kesayangannya sadar. Dan langsung ia melepaskan tas pakaian yang ada di tangannya menuju pembaringan Bang Arman dan memeluk serta menciumi wajah anaknya yang kini terlihat tirus.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel