"Kamu kenapa kok pucat begitu yank?" tanya Haidar panik, karena tiba-tiba saja istrinya berlari menuju toilet dan kembali dengan wajah yang pucat.
Ia merangkul bahu Azzura dan membantunya untuk duduk, tangannya meraih tisu di meja, lalu menyeka mulut sang istri yang basah kena basuhan air.
"Pusing dan mual."
"Minyak angin roll on kamu dibawa gak sayang?"
"Ada, mas. Di dalam tas aku."
Dengan sigap, Haidar merogoh tas istrinya mengeluarkan botol minyak angin, lalu memberikannya kepada Azzura.
"Dihirup aromanya yank, supaya enakan."
"Aku tiba-tiba aja mual, pengen muntah ... Tapi pas aku muntahin gak ada makanan yang keluar, cm lendir. Kenapa ya mas? Apa aku masuk angin?"
"Kita ke dokter ya!"
"Gak mau."
"Terus, gimana kalau nanti kamu kenapa-kenapa?"
"Ke rumah papa aja yuk, nanti di sana aku mau rebahan sebentar. Pasti enakan nanti badannya."
"Ok ... Ok, tapi kalau nanti terasa gak enak cepat bilang ya sayang."
"Iya, mas."
Tanpa menghabiskan makanannya, Haidar menuntun istrinya masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan restoran siap saji tersebut.
Melihat pemandangan seperti itu, hati Arini terasa sakit bagai disileti.
Bathinnya tidak terima kalau pria yang selama ini mengejar dan mengemis cintanya, sudah mempunyai pendamping baru yang diperlakukan sangat istimewa.
"Sungguh enak wanita sialan itu, jangan harap kamu bisa bahagia bersama Haidarku. Dia hanya milikku, hanya punyaku. Apalagi kini dia sudah mapan, aku tidak boleh melepaskannya."
Tangan kanan Arini mengepal dan ia menggebrak meja dengan pelan, menandakan kalau saat ini dia sedang emosi.
Tanpa menunggu kedatangan Salman, Arini memutuskan untuk keluar dari restoran siap saji tersebut.
Ia segera masuk kedalam mobil sedan model terbarunya, sudah tentu hadiah karena ia selalu berhasil membuat Salman puas di atas ranjang.
"Kita kembali ke rumah, pak." ucap Arini memberi perintah kepada Amir, supirnya.
"Siap, nyonya."
Mobil sedan BMW silver yang ditumpangi Arini pun melaju menuju rumahnya yang berjarak tidak jauh dari restoran tempat ia janji untuk bertemu dengan Salman.
Hati Arini kalut, entah mengapa ia selalu terbayang sosok Haidar yang kini jauh berbeda dibandingkan dahulu saat masih bersamanya.
Ia membulatkan tekadnya, target yang sedang ia incar sekarang harus ia dapatkan. Tentunya sama seperti ia menjerat pria yang memberinya kemewahan dulu, yaitu 1001 macam cara akan dilakukannya.
Mulai dari cara yang terang-terangan, maupun cara halus lewat perantara dukun ilmu hitam.
Wajah dan tubuh Arini sudah dipasangi susuk, hal ini agar pria-pria yang bersamanya akan menuruti semua permintaannya.
Salman adalah pria yang masih ia pertahankan untuk saat ini, hal itu karena pria hidung belang itu masih sanggup memberikan apa yang Arini minta dan karena perbuatan mesum mereka belum terendus oleh istri Salman.
Pria-pria sebelumnya juga cukup banyak yang sudah ia tendang, karena sudah tidak beruang lagi.
Begitu seterusnya ia menjalani kehidupannya selama ini, mendapatkan harta kekayaan dengan cara menjual diri kepada pria dari kalangan kelas atas.
***
"Kamu resign kerja, ya!"
"Kenapa?"
"Aku khawatir dengan kandunganmu, Yu. Ciputat - Pasar Rebo itu jauh sayang, aku gak mau kamu sama calon anak kita kenapa-kenapa."
"Jangan lebay mas ah, insya Alloh aku dan dede di perut aku akan baik-baik saja."
"Pokoknya aku gak kasih izin kamu untuk lanjut kerja, titik!"
Intonasi Haidar mulai meninggi, ini pertanda bahwa ia sudah mulai emosi.
"Bisa gak sih, mas jangan bentak-bentak aku? Huuu ... Huuu ... Jangan samakan dengan di kantor mas! Ini rumah, aku istrimu bukan anak buahmu."
Azzura melepaskan pelukan suaminya dan berbaring memunggungi Haidar yang terlihat menyesal.
Haidar berangsut menurunkan tubuhnya, kini ia tidak bersandar lagi. Tubuhnya mendekap Azzura yang masih terisak.
"Maafin aku."
"Lagi-lagi minta maaf, habis itu bentak aku lagi."
"Kan kamu tahu dari awal, aku orangnya gimana. Kok sekarang dipermasalahkan sih?"
"Iya, tapi kenapa mas gak mau berubah? Kalau ada yang gak mas suka, selalu saja bicara dengan nada tinggi. Aku sedih mas, huuuu ...."
Haidar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya, iya aku salah ... Maafin aku ya, sayang."
"Hiks."
"Kok 'hiks' sih? Apa gak bisa diganti, huks atau haks ...."
"Gak lucu."
"Ya jangan ketawa."
"Kan ini lagi nangis maaass."
"Coba lihat sini mukanya yang lagi nangis!"
Tangan kekar Haidar menarik perlahan tubuh istrinya, ditatapnya lekat wajah oriental Azzura yang basah karena bercucuran air mata.
"Oh iya, lagi nangis. Kirain aku, tadi Ayu lagi becandain aku, bilang hiks."
"Sekali lagi mas bercandain aku, aku tidur di sofa nih."
"Eits, eits ... Ancamannya menakutkan ih, jangan dong sayang. Ya udah maafin aku ya, pelan-pelan aku akan mengontrol volume suaraku agar tidak membuatmu sedih lagi."
"Beneran ya."
"Iya."
"Sumpah?"
"Iya, cius. Miapah? Mioyeng ...."
Azzura terkekeh digoda suaminya seperti itu, selalu ada saja candaan yang Haidar lontarkan saat dirinya sedang ngambek seperti itu.
"Aku jadi mau mioyeng mas."
"Mau beli atau mau aku buatin?"
"Mas yang buatin aja, pakai bakso dan sawi ya mas."
"Siiaaapp, temani aku di dapur yuk!"
"Iya, ayuk."
Azzura berjalan sambil memeluk manja suaminya dari belakang, semenjak hamil, Azzura menjadi lebih sensitif dan perasa.
Tidak seperti sebelumnya yang cuek bebek setiap kali Haidar mengomel, mungkin faktor bawaan orok yang membuatnya menjadi seperti itu.
Lima belas menit kemudian, mi goreng yang diinginkan oleh Azzura sudah siap.
Haidar menghias secantik mungkin tampilan mi goreng buatannya, Azzura yang sedang duduk di sofa sambil menonton tivi tertawa melihat tingkah suaminya yang muncul dari dapur dengan memakai celemek motif bunga-bunga berwarna merah muda miliknya.
Azzura mengusap perutnya, saat menyaksikan Haidar melenggak lenggok seperti pelayan restoran yang akan menghidangkan makanan ke meja pelanggannya.
"Amit-amit jabang bayi."
"Ini mioyeng ala chef papi Idar sudah jadi, taraaaa ...."
"Hihi, makasih ya mas."
"Sama-sama sayang, dimakan ya!"
Azzura menggeleng, "gak mau."
"Lho kok?"
"Udah gak kepengen, sekarang mas aja yang makan ya, aku mau lihat mas makan mioyeng ini."
"Oalaaahhh, ngerjain aja kamu ini yaank. Bisa buncit perutku kalau begini caranya, hehe."
"Hehe, gak apa-apa buncit juga. Aku tetap suka dan cinta."
"Masa?"
"Bodo, haha."
Mereka berdua pun tertawa bersama, Haidar yang sebenarnya sudah kenyang terpaksa menghabiskan mi goreng yang tadi ia buat untuk istrinya.
Ia duduk melantai melahap mi goreng yang tersimpan di atas meja kaca ruang tengah, sementara Azzura duduk di sofa tepat di belakang suaminya.
Tangannya ia lingkarkan ke leher Haidar dan wajahnya ia sandarkan ke bahu suaminya yang mulai berkeringat menyantap mi goreng.
"Sluuurrrp!"
Terdengar suara mi panjang yang disedot oleh Haidar, menyaksikan hal itu membuat Azzura menelan salivanya berkali-kali.
Saat mi goreng di piring telah habis, Azzura berbisik di telinga Haidar.
"Mas, aku jadi kepingin mi goreng persis seperti yang makan barusan. Bikinin aku yaa ...."
"Hadeuuuhhhh ... Orang hamil memang unik dan ajaib ya permintaannya. Ckck!"
"Mas gak keberatan kan?"
"Gak dong, sayang. Kan gak digendong, jadi aku gak keberatan."
Azzura kembali tertawa mendengar ocehan suaminya.
***
Setelah beberapa hari mencari informasi tentang Haidar, akhirnya siang itu Arini memutuskan untuk menemui target barunya itu.
Arini nekat mendatangi Haidar ke kantornya, hal ini demi melancarkan aksinya untuk menikmati pundi-pundi
yang Haidar miliki sekarang.
"Selamat pagi, mbak. Bisa saya bertemu dengan pak Haidar, Divisi manager departement pengadaan?" sapa wanita mudah berpakaian dress ketat merah menyala selutut.
"Selamat pagi juga mbak, sebentar saya tanyakan dulu kepada assistennya apakah beliau bisa ditemui atau tidak." jawab sang receptionist.
Setelah menunggu beberapa menit, wanita yang berpakaian serba ketat itu pun dipanggil oleh receptionist ke mejanya.
Sembari memegang gagang telpon, ia bertanya perihal nama wanita tersebut.
"Bilang saja dari Dewi, sekretaris PT MAJU SEJAHTERA."
"Mbak, silahkan naik ke lantai tiga dengan lift di sudut ruangan itu. Nanti disana akan ada assisten pak Haidar yang membantu mbak Dewi."
"Ok, mbak. Terimakasih."
Dengan langkah centil, wanita yang berdandan menor itu memasuki lift untuk menuju ke lantai tiga.
Sesampainya di sana, Dilla segera menyambut dan mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan Haidar.
"Silahkan duduk dulu ya mbak Dewi, pak Haidar sedang menghadap Regional Manager di lantai lima. Tidak lama lagi, beliau akan kemari." tutur Dilla sambil melirik penampilan wanita di hadapannya.
"Ok, mbak. Santai aja." jawabnya dengan suara dibuat-buat manja.
'Ish, menjijikan sekali.' gumam Dilla dalam hati.
"Kalau begitu, saya permisi dulu."
Dilla menutup pintu ruangan Haidar, ia memberi kode kepada rekannya dengan gerakan tangannya kalau wanita di dalam sok cantik dan sok seksi.
Semua tertawa menyaksikan tingkah Dilla yang lucu, tidak lama kemudian Haidar muncul.
Sikapnya kini sudah bisa ditolerir oleh semua anak buahnya, kini ia tidak pernah lagi berteriak dan membentak.
Semua itu ia lakukan demi istrinya.
Azzura meminta agar suaminya mau merubah sifat buruknya saat di kantor dan mau merangkul semua anak buahnya agar tercipta suasana kerja yang nyaman.
"Pak, tamunya sudah menunggu."
Haidar menghentikan langkahnya tepat di meja Dilla, "tamu siapa? Saya tidak punya janji dengan siapapun hari ini, Dil."
"Ibu Dewi pak, katanya sekretaris dari PT Maju sejahtera."
"Hmm, setahu saya sekretaris di sana namanya Amira, bukan Dewi. Tapi, sudahlah biar saya temui beliau."
"Baik, pak. Oh iya, pak. Ini berkas yang bapak minta tadi, sudah saya selesaikan semua."
"Ok, good job Dilla. Thankyu."
"Sama-sama, pak."
Dilla menyunggingkan senyuman karena dipuji oleh bossnya, boss yang sebenarnya sangat ia kagumi jauh sebelum Azzura menikah dengannya.
Haidar meraih berkas yang diberikan Dilla, dan segera memasuki ruangannya.
Wanita yang kini menunggunya, tampak sedang berdiri di samping meja Haidar sambil menatap pemandangan jalanan ibu kota dari balik kaca jendela.
"Selamat pagi, bu Dewi. Ada yang bisa saya bantu?"
Wanita itu tersenyum, lalu tidak lama kemudian ia pun berbalik.
Mata Haidar terbelalak, ia tidak percaya dengan sosok yang berada di hadapannya.
"A-a ... Arini!"
"Iya mas."
Dengan langkah pelan, Arini mendekat ke arah Haidar yang berdiri mematung tidak jauh dari pintu ruangannya.
Arini memeluk tubuh tegap Haidar, lalu ia mendongakan kepalanya menatap wajah tampan pria yang dulu pernah membaktikan cinta dan juga kasihnya hanya kepadanya.
Haidar memejamkan matanya, bau harum khas Arini menyeruak kedalam indera penciumannya.
Kenangan manis saat pertama berjumpa sampai berumah tangga dulu, kembali terbayang di benak Haidar.
Sejenak Haidar terbuai dengan pelukan wanita yang dulu sempat menghiasi hari-harinya.
Namun saat bayangan Azzura muncul, ia segera menyadari kalau Arini hanya masa lalunya.
Arini dengan manja, mengusap dada bidang Haidar yang tertutup kemeja polos berwarna abu tua.
Tanpa menunggu lama ia pun segera mendekap tubuh tegap Haidar, lalu menyandarkan kepala di dadanya.
"Aku merindukanmu, mas. Selama ini aku ingin menemuimu, namun karena keadaan membuatku baru bisa mendatangimu sekarang."
"Apa kabarmu Rin?"
"Sangat tidak baik mas, aku rindu padamu."
"Maaf, Rin. Sebaiknya kita duduk di sofa itu, tidak enak seperti ini."
Perlahan Haidar melepaskan pelukan dan mempersilahkan Arini untuk duduk.
"Kamu mau minum?"
"Tidak usah, mas. Aku kesini hanya untuk menjelaskan mengapa aku menghilang tanpa kabar."
"...."
"Aku dijebak teman-temanku, mereka mengiming-imingi aku bekerja di sebuah perusahaan yang baru buka di kota Jakarta ini.
Katanya perusahaan itu sedang mencari sekretaris. Tapi nyatanya aku dibawa ke batam untuk bekerja di club malam, namun disaat mereka tahu aku hamil, aku segera dibuang di jalanan tanpa uang satu rupiah pun. Huuuu ... Huuuu ...."
"Mengapa kamu gak meminta izinku, kalau memang mau bekerja?"
"Itulah kebodohanku mas, aku menyesal. Makanya hari ini aku memberanikan diri kemari, karena aku ingin menebus semua dosa-dosaku kepadamu, mas. Aku masih sangat mencintaimu."
"Tapi ... Semuanya sudah terlambat Rin, aku sudah menikah."
"Aku tahu, mas. Bapak dan ibuku di kampung sudah cerita, tapi aku masih istrimu mas. Kita belum bercerai, istrimu gak perlu tahu kalau memang mas tidak ingin menyakitinya."
"Aku tidak bisa, Rin. Aku sangat mencintai istriku."
"Aku sangat percaya, kalau di dalam hatimu masih ada ruang untukku. Aku mohon maafin aku ,mas."
"Aku sudah memaafkanmu, namun untuk kembali seperti dulu ... Aku rasa tidak mungkin."
"Benarkah tidak mungkin, mas?"
"Iya, tidak mungkin."
"Tatap mataku, mas. Katakan kalau memang kamu sudah tidak mencintaiku!. "
"...."
"Bicaralah, mas! Aku juga anakmu sangat membutuhkanmu, huhuuuu."
"Pulanglah Rin, tolong jangan ganggu kebahagiaanku lagi!"
Arini berpindah posisi duduk, tubuhnya mencoba dirapatkan ke tubuh Haidar.
"Hiks, hiks ... Mas, apa kamu tidak kasihan kepadaku? Aku harus berlindung kepada siapa lagi, kalau bukan sama kamu."
"Seandainya, kamu datang lebih awal. Aku akan sangat bahagia menerimamu kembali, bertahun-tahun aku menunggumu. Sampai aku seperti orang gila karena setiap malam selalu menyebut namamu."
"Tapi mas, semua itu bukan kemauanku. Aku juga sangat merindukanmu. Tapi keadaan yang membuat aku jauh darimu, bukan tak ingin mengabari. Tapi semua diluar kuasaku, huuu ... Huuuu."
"Tapi semuanya sudah terlambat Rin, aku sudah milik orang lain. Dan ... Aku sangat mencintainya."
"Mas, jangan berkata begitu. Aku tahu cintamu begitu besar kepadaku, jadi aku sangat yakin kalau sampai saat ini rasa itu masih ada untukku. Wanita itu hanya pelampiasan atas kesepianmu, tidak lebih."
Arini memaksakan diri untuk memeluk erat Haidar.
"Sudahlah Rin, jangan memelukku seperti ini. Rasanya sudah tidak pantas lagi, aku memeluk wanita lain selain istriku."
"Aku gak rela, kamu menjadi milik orang lain. Aku mohon massss, huuu ... Huuuu ...."
"Cukup, Rin! Tidak ada gunanya kamu seperti ini, jangan merendahkan harga dirimu di hadapanku. Arini yang kukenal dulu sangat tangguh dan kuat."
"Inilah aku sekarang, mas. Aku rapuh dan lemah tanpamu, seandainya saja kamu tahu kalau bukan hanya aku yang akan bersedih jika kamu gak mau kembali."
"Apa maksudmu?"
"Sudahlah ,mas. Rasanya percuma juga aku menjelaskan, kalau ada orang lain selain aku yang merindukanmu."
Arini beranjak dari duduknya, ia mulai dengan siasatnya yang kedua, yaitu membuat Haidar semakin resah dengan kabar yang akan ia katakan selanjutnya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rin."
"Aku pamit mas, biarlah aku yang akan merawat serta membesarkan anak kita, Satria."
"Anak kita?"
"Aku pamit, mas."
"Rin, tunggu Rin. Jelaskan dulu tentang Satria, Rin."
Arini berbalik dan bergegas berjalan menuju pintu keluar, dengan cepat Haidar menarik lengan Arini.
Arini tersenyum licik, 'masuk kamu ke dalam perangkapku, mas Haidarku yang tersayang.'
"Sudahlah, mas. Kamu mau apa lagi? Aku sudah mengemis cinta kepadamu, mengharapkan belas kasihmu, namun semua usahaku sia-sia saja."
"Ceritakan kepadaku perihal Satria!"
"Apa pedulimu?"
"Jangan begitu, Rin! Jangan korbankan anak, aku tidak sampai hati membiarkan anak kita kekurangan kasih sayang ayahnya."
"Mas, hubungi aku saja seandainya mas ingin berjumpa dengannya! No handphoneku ada di buku tamu. Namun satu hal yang harus mas tahu, aku meminta syarat mutlak yang wajib mas penuhi jika ingin bertemu dengan Satria."
"Katakanlah!"
"Yakin mas mau tahu apa syaratnya?"
"Katakanlah, Rin!"
"Mas, harus menikah kembali denganku. Jika mas menolak, aku pastikan mas tidak akan bisa melihat dia."
Seketika Haidar melepaskan cengkraman tangannya, wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca.
"Tega kamu, Rin!"
"Semua keputusan ada sama kamu mas, kalau memang mas sayang sama Satria, mas akan menuruti apa yang aku bilang tadi.
Aku pamit ya mas, hiks ... Semoga hatimu terketuk dengan adanya Satria, dia anak kita yang sangat merindukan sosok seorang ayah."
Dengan air mata yang masih bercucuran, Arini keluar meninggalkan ruangan Haidar.
Semua anak buah Haidar merasa heran dengan pemandangan yang ia saksikan barusan, Dilla memberi kode kepada Marsya.
Marsya berjalan menuju meja Dilla, "apaan?"
"Kok perasaan gue gak enak."
"Soal apa?"
"Cewek barusan."
"Kan udah biasa, si bos menerima tamu perempuan yang merupakan rekanan bisnisnya."
"Tapi, yang ini gue rasain ada yang aneh. Lihat aja bajunya kaya lepet gitu, ckck! Kayanya mereka berdua punya masalah pribadi, lo liat gak tadi itu cewe keluar sambil nangis?"
"Iya sih, cuma gue mohon sama lo. Jangan ngadu dulu sama si Azzura ya! Kasihan dia lagi bunting."
"Iya, ok."
"Kita cari tahu dulu, jangan sampai kita bikin rumah tangga sahabat kita berantakan."
"Sip ... Sip."
"Lo bilangin dah sama si Tita, takutnya gue lupa bilangin dia."
"Hooh bu Marsya and the bear, hehe."
"Iya lo si bear nya, haha."
Marsya kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya.
Sementara di dalam ruangan, Haidar tampak termenung dengan ucapan terakhir yang dilontarkan Arini.
"Apakah benar saat Arini pergi, dia sedang hamil? Kalau memang iya, mengapa dia tidak memberitahu aku?
Mengapa juga tidak satupun dari anggota keluarganya yang memberi tahu aku atau ibu? Huft, pelik sekali masalahku ini. Aku kira semuanya sudah berakhir, bagaimana aku menjelaskannya kepada Ayu? Astaghfirullah ...."
Haidar membanting pulpen yang sedang ia pegang ke lantai, ia sungguh tidak menyangka akan ada masalah besar yang siap menghantam biduk rumah tangganya yang sangat bahagia.
"Ya Alloh, tolonglah hambamu untuk dapat menyelesaikan semuanya tanpa menyakiti istri hamba ya Alloh."
Sesaat kemudian, Haidar pun bangkit dari kursinya. Ia segera menyambar tas kulitnya dan bergegas berjalan keluar ruangan.
"Dilla, segera kerjakan berkas di meja saya, harus rampung hari ini! Saya mau ke lapangan."
"Baik, pak bos."
Dengan wajah penuh kecemasan, Haidar berlalu meninggalkan kantornya.
***
"Yank, aku sudah di lobi ya." ucap Haidar bicara dengan Azzura melalui ponselnya.
"Loh kok mas, tumben ini baru jam empat. Masih satu jam lagi aku pulang, gak apa-apa tah mas nunggu?"
"Iya gak apa-apa sayang, tadi aku habis dari lapangan. Males ke kantor lagi, langsung saja aku kesini."
"Ya sudah kalau gitu, aku pesankan minuman ya untukmu?"
"Iya, sayang. Ice coffe aja ya!"
"Iya, mas. Aju telpon dulu OB nya yaa."
"Ok, makasih ya sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Haidar memasukkan ponsel kedalam saku celananya, ia menghempaskan tubuhnya ke sofa di lobi gedung kantor Azzura.
Ucapan Arini masih terngiang di telinganya, kejadian siang tadi sangat membuat jiwanya tergoncang.
Ia tidak sanggup membayangkan, bagaimana reaksi Azzura kalau mengetahui Arini mendatanginya di kantor.
Kini ia berada di dalam situasi yang sangat pelik, yang membuatnya sangat pusing.
Satu jam menunggu, dimanfaatkan Haidar untuk mempertimbangkan semua ucapan Arini tadi siang.
"Satria ... Anakku." gumam Haidar lirih.
Lamunannya buyar, saat sepasang tangan memeluknya dari belakang.
"Kasihan kamu mas, lama ya nungguin aku."
"Eh, sayang ... Gak apa-apa."
Azzura mencium punggung tangan suaminya, Haidar berdiri dan memeluk bahu Azzura berjalan bersama menuju mobil yang terparkir di parkiran samping gedung.
"Mas, kok tumben diam saja. Lagi gak enak badan kah?" tanya Azzura saat berjalan menuju mobil.
"Eh, iya nih ... Kepalaku agak pusing."
"Nanti aku pijitin ya kepalanya di rumah."
"Iya, sayang. Makasih ya!"
"Iya sayang, sama-sama."
Sesampainya di mobil, Haidar membukakan pintu untuk istrinya.
Azzura tersenyum dengan perlakuan suaminya, yang selalu saja bisa membuatnya senang dan bahagia.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Haidar lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang selalu bercerita tentang segala hal.
Azzura memperhatikan gerak-gerik suaminya, keringat dingin bercucuran dari kening dan leher Haidar, padahal ac mobil menyala dalam tingkatan sedang.
"Mas, keringatmu keluar banyak. Kamu masuk angin kayanya, dingin begini keringnya."
"I-iya mungkin aku masuk angin, kita langsung pulang saja ya sayang. Aku ingin rebahan istirahat."
"Ok, nanti aku buatin sup ayam ya. Supaya badan mas enakan."
Haidar mengangguk dan tersenyum ke arah istrinya.
Sesampainya di rumah, Haidar langsung berganti pakaian dan merebahkan dirinya di kamar.
Pikiran Haidar benar-benar kacau saat ini, ia ingin sekali bertemu dengan Satria, namun syarat yang diberikan oleh Arini sungguh sangat berat ia penuhi.
Ia tidak mungkin mengkhianati cintanya kepada Azzura, tidak sampai hati ia menduakan istri yang sudah setia mendampinginya.
Sementara Azzura, usai shalat maghrib, tanpa mengganti pakaian, ia langsung ke dapur untuk masak sup.
Satu jam kemudian, sup untuk Haidar pun telah masak. Azzura segera mengambil mangkuk dan menuangkan sup tersebut ke dalam mangkuk.
Ia juga tak lupa, membawakan sepiring nasi panas yang baru matang dari dalam rice cooker.
Dengan wajah berseri-seri, Azzura membawa nampan masuk ke dalam kamar, kemudian meletakannya di meja samping ranjang.
Haidar pura2 terpejam, demi menyembunyikan kegelisahannya.
"Mas, makan dulu! Ini sudah masak sayur supnya."
Haidar mengerjapkan matanya, bertingkah seolah-olah terbangun dari tidurnya.
"Oh iya, sayang. Nanti kita makan sama-sama ya, kamu ganti pakaian dulu sana!"
"Ok, mas sudah shalat maghrib belum? Ini sudah jam tujuh."
"Sudah, yank."
"Ya sudah, aku ganti baju dulu ya!"
Azzura berlalu masuk ke kamar mandi, setelah mencuci muka dan gosok gigi ia meletakan pakaian kotornya di keranjang cucian.
Seperti biasa, ia akan memeriksa pakaian dan celana kotor Haidar yang tersimpan di keranjang cucian, takutnya ada uang atau benda kecil penting yang tertinggal, supaya tidak tercuci.
Hidung Azzura mencium bau harum yang asing di kemeja bagian depam suaminya.
"Ini bukan bau parfumku juga mas Haidar, jangan-jangan ... Ah tidak mungkin, mas Haidar berbuat macam-macam di luar. Buang jauh-jauh Yuana! pikiran jelek tentang suamimu."
Sesudah memastikan semua aman, tidak ada yang tertinggal di saku celana juga kemeja suaminya, Azzura segera keluar dari kamar mandi.
Saat ia masuk ke dalam kamar, tampak Haidar sedang duduk bersandar di sandaran ranjang sambil menatap layar tivi flat di depannya.
Azzura membuka lemari dan mengambil dress kaus longgar motif kartun, lalu memakainya.
Haidar menatap istrinya tanpa berkedip, ia sungguh tidak kuasa kalau harus mengkhianati kepercayaan yang telah Azzura berikan kepadanya.
Setelah rapi dan wangi, Azzura duduk di tepi ranjang menghadap ke arah Haidar.
"Aku suapin ya, mas."
Haidar mengangguk pelan, perlahan ia membuka mulut yang sedari tadi terkatup.
"Kamu juga makan sayang!"
"Iya, mas. Aku makan terus sekarang ... Sering lapar pas usia kehamilanku masuk enam bulan ini. Gak kaya waktu awal kehamilan, cium nasi enek banget, hehe. Sudah mulai gerah juga mas."
"Alhamdulillah kalau sudah enak makannya, duh ... Kasihannya istriku ini, nanti kalau pas tidur gerah bilang ya, aku besarin ac nya."
"Hehe, iya. Oh iya mas, habis makan aku pijitin ya kepalanya."
"Gak usah ah, kasihan kamunya capek."
"Enggak, kok sayang. Aku senang bisa membuatmu nyaman bersamaku."
"Tanpa dipijitpun, aku betah berlama-lama sama kamu."
"Masa?"
"Iya."
"Walaupun sekarang aku buncit."
"Seksi."
"Mana ada, ibu hamil seksi."
"Ada, kamu buktinya."
"Ah gombal."
"Beneran sayang, aku sudah makannya yang, perutku terasa begah."
"Baru lima suap, mas."
"Nanti aku makan lagi, kalau lapar."
"Masih ada kok sayurnya di panci, yang ini aku habiskan ya."
"Hehe, iya ... Makan yang banyak ya sayang! Biar dedenya sehat dan kuat kaya papinya."
"Siapp, sayang."
Setelah sup ayam dan nasi habis, Azzura segera membawa mangkuk juga piring kotornya ke dapur.
Beberapa menit kemudian, ia pun kembali dengan membawa mangkuk besar berisi buah dan roti sobek.
Haidar tertawa kecil dengan kebiasaan baru istrinya, Azzura meletakan mangkuk tersebut di meja.
"Amunisi untuk tengah malam nanti." tutur Azzura sambil menahan tawanya.
"Mantap ih, makannya. Aku senang deh, lihatnya."
Azzura naik ke tempat tidur dan duduk selonjoran di samping Haidar.
Kemudian ia meletakan bantal di atas pahanya," sini mas kepalanya, boboan diatas bantal ini. Aku pijit pelan-pelan supaya mendingan pusingnya."
Azzura menyuruh suaminya untuk tidur di bantal yang ditaruh di atas pahanya.
Haidar menurut, tangan lembut Azzura memijat kening dan sesekali menjambak pelan rambut suaminya.
Haidar terpejam merasakan kenikmatan pijatan lembut dari jari jemari istrinya. Hingga tanpa ia sadari, ia tertidur di pangkuan istrinya.
"Kasihan sekali, kamu mas. Pasti capek sekali, karena semenjak aku hamil kamu setia antar jemput aku kerja setiap hari. Berangkat lebih awal demi bisa mengantarku tepat waktu sampai ke kantor, dan pulangnya masih harus menjemputku. Walaupun jauh dan melelahkan, namun kamu tidak pernah mengeluh sedikitpun."
Azzura menghentikan pijatannya, ia mengelus lembut punggung Haidar. Perlahan ia menggeser badannya menepi ke pinggir dan membiarkan suaminya tetap tertidur dalam posisinya sekarang.
Kemudian Azzura berpindah posisi ke tempat dimana Haidar biasa tidur dan merebahkan tubuhnya yang lelah setelah seharian bekerja.
Azzura tidak tahu, bahwa sudah ada badai yang akan menghantam biduk rumah tangganya yang bahagia dan tentram.
==========
"Beberapa malam ini, kok tidurmu gelisah sekali mas?"
"Masa sih?"
"Iya, sampai-sampai semalam kamu mengigau."
"Apa?"
"Nyebut-nyebut nama cowok."
"Siapa?"
"Satria."
"Uhuk ... Uhuk ... Uhuk." Haidar yang sedang menikmati makanannya tiba-tiba tersedak saat nama itu disebut oleh istrinya.
"Ini mas, minum dulu."
"Makasih, yank."
"Sebenarnya mas ada apa? Siapa Satria?"
"...."
"Mas, masih normal kan?"
"Maksudnya?"
"Iya, Satria itu kan nama laki-laki. Aku tadi tanya mas masih normal kah? Gak homo kan?"
"Haha, yank ... Kamu ada-ada aja, aku masih normal lah, itu aku kepengen motor Satria. Sampai kebawa mimpi."
"Oh, kirain."
"Kirain apa?"
"Homo."
"Enak aja."
"Aku udah takut aja."
"Takut apa?"
"Kamu homo."
"Haha, itu lagi dibahas."
"Haha."
"Udah makan lagi!"
"Iya, iya ... Biasa aja sih kalau nyuruh, pakai otot mulu, ish."
"Haha, maaf sayang. Suka loss kontrol."
"Sebel."
"Senang betul."
"Enggak!"
"Iya."
"Enggak!"
"Kalau enggak, kok bisa buncit gitu perutnya?"
"Terpaksa."
"Segitu merem meleknya, pakai bilang terpaksa, huuh dasar sipit."
"Ya merem melek lah mas, masa aku mau melek terus, perih lah matanya."
"Kamu paling bisa kalau ngeles."
"Hehe."
"Hehe (meledek)."
"Jelek ketawanya."
"Kok suka."
"Ibu yang minta, weee."
"Kalau ibuku gak minta, kamu gak suka?"
"Gak!"
"Bener?"
"Enggak bener, haha."
"Ngeladenin kamu mah, bikin aku emosi jiwa, heuh."
"Tapi suka, kan?"
"Iya, dong. Yuk ...."
"Apaan mas?"
"Itu, tengok dede."
"Ish, tadi malam kan udah maaasss."
"Ini masih ada waktu sayang, setengah jam lagi sebelum kita berangkat kerja. Bercinta kilat aja, yuk!"
"Gak maauuu, kabuuurrr."
Azzura berdiri sambil membawa piring kotor ke tempat cucian, Haidar terkekeh dengan reaksi yang dilakukan istrinya saat ia mencoba untuk menggodanya.
Namun sepeninggal istrinya, Haidar langsung melamun memikirkan semua ucapan Arini tempo hari.
'Satria ... Seperti apa rupamu nak? Mengapa ibumu dari dulu selalu bersikap egois dan suka sekali memaksakan kehendaknya?'
Cukup lama Haidar melamun sambil duduk di kursi makan, namun lamunannya seketika buyar saat suara Azzura terdengar lembut di telinganya.
"Hei, pak Haidar yang ngidam motor Satria. Cepat panaskan mesin mobilmu, lalu setelah itu kita berangkat."
"Hehe, iya sayang. Ok."
"Ini bekal makan siangmu, mas. Jangan sampai gak dihabiskan ya!"
"Iya, bawel."
"Hehe, bawel juga menggemaskan."
"Bisaa aja."
Haidar mencubit hidung mungil istrinya, lalu ia pun segera berjalan menuju garasi untuk memanaskam mesin mobilnya.
***
"Fitrah, boleh saya lihat buku tamunya?" ucap Haidar kepada receptionist, sesaat setelah ia sampai di kantornya.
"Ini pak bos." Fitrah menyerahkan buku batik besar, yang berisi daftar nama tamu yang datang ke kantor tersebut.
Haidar mencari nama 'Dewi' di deretan daftar tamu yang datang pada hari senin yang lalu.
Setelah mendapatkan informasi yang dicari, ia pun segera mencatat no handphone Dewi alias Arini di ponselnya.
"Terimakasih banyak, Fit."
"Sama-sama pak, bos."
Tidak menunggu waktu lama, Haidar pun bergegas melangkahkan kakinya menuju lift untuk naik ke lantai tiga.
Kedatangan Haidar disambut hangat oleh seluruh anak buahnya, Haidar membalasnya dengan senyuman ramah.
"Selamat pagi, pak bos. Ini berkas yang harus bapak tanda tangani, untuk selanjutnya di serahkan kepada bos Andika." tutur Dilla.
"Thanks Dilla. Oh iya, hari ini saya gak bisa menerima tamu ya Dil. Karena setelah menghadap Pak Andika, saya harus ke lapangan."
"Baik, pak bos."
"Ok." Dengan cepat, Haidar pun masuk ke dalam ruangannya.
Setelah dua jam berkutat dengan pekerjaannya, ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursinya yang empuk.
Kepalanya menengadah ke ujung sandaran kursi yang ia duduki, matanya terpejam merasakan sejuknya angin yang keluar dari mesin pendingin ruangan.
Untuk beberapa saat, ia bergeming dengan posisi yang dirasanya cukup nyaman itu.
Hingga saat bayangan Arini kembali muncul, ia menyudahi waktu rehat di sela-sela pekerjaannya.
Tangan kirinya meraih gagang telpon yang berada di hadapannya, sedangkan tangan kanannya memencet tombol angka yang ia lihat dari ponselnya.
Beberapa saat kemudian, sambungan telpon dijawab oleh lawan bicara Haidar.
"Halo ...." sapa seorang wanita.
"Halo, Rin. Ini aku, Haidar."
"Kamu tidak usah menyebutkan nama, mas. Aku sudah tahu suara bariton yang berat itu, adalah suaramu. Aku tidak lupa, mas."
"To the point ya Rin!"
"Bicaralah, mas. Aku mendengarkan."
"Bisa kita ketemu? Aku mau bicara, membahas masalah kita"
"Dengan senang hati, mas."
"Kita mau bertemu dimana?"
"Terserah kamu, mas. Aku manut ae."
"Kamu saja yang atur tempat dan waktunya!"
"Baiklah, kalau begitu. Di restoran Sedap Rasa saja, siang ini jam dua."
"Ok." Haidar segera menutup telponnya.
Ia menarik nafas panjang, ia sudah memikirkan semuanya dengan matang dan bijak.
Siang ini ia akan berbicara kepada Arini, karena ia sudah memutuskan akan melakukan hal yang sudah ia pikirkan dengan masak.
'Bismillah, semoga ini menjadi jalan yang terbaik untukku juga Arini. Terutama untuk putraku, Satria.'
Haidar bangkit dari kursinya, ia membawa berkas yang sudah ia tanda tangani untuk dibawa ke ruangan atasannya yang terletak di lantai lima.
***
"Maya ...." panggil seorang pria paruh baya kepada Azzura, saat wanita yang tengah hamil itu berjalan mendekat ke arah pria itu.
"Maya? Maaf pak, saya Azzura."
"Tapi, mengapa wajahmu mirip sekali dengan Maya?"
Mata pria paruh baya itu tidak berkedip sedikitpun, menatap wajah Azzura yang masih bingung dengan apa yang diucapkannya barusan.
"Saya Azzura pak, mungkin hanya mirip pak."
"Bukan hanya mirip nak, tapi sangat sama persis."
Karena penasaran, Azzura pun duduk di hadapan pria itu.
"Apa maksud bapak dengan sama persis?"
Pria berpakaian safari biru dongker itu menundukan kepalanya, matanya mulai berkaca-kaca dan tidak lama kemudian bulir bening dari sudut matanya jatuh ke lantai.
"Maaf, pak Amir. Bisa tolong jelaskan kepada saya tentang ucapan bapak tadi!"
"Ma-maaf non, saya hanya teringat kepada seseorang di masa lalu saya."
"Istri bapak?"
"Iya, namun ia menghilang tanpa jejak hingga sekarang."
"Astaghfirullah, saya ikut prihatin pak. Maafkan kalau pertanyaan saya, membuat bapak sedih."
"Gak apa-apa, non Azzura. Namun wajah non Azzura benar-benar sangat mirip Maya, istri bapak."
Untuk sejenak, Azzura terdiam. Ia tidak tahu harus berkomentar apa.
"Saya turut prihatin. Semoga bapak bisa segera dipertemukan kembali dengan bu Maya, ya pak."
"Amiinn, terimakasih non."
"Oh iya, pak. Ini titipan dari pak Salman untuk bu Dewi, katanya isinya dilebihkan dari yang diminta bu Dewi yaitu 25 juta." Azzura menyerahkan sebuah map bertali coklat kepada pak Amir.
"Baik, non. Terimakasih, kalau begitu saya permisi dulu."
"Iya, pak Amir. Silahkan. Hati-hati di jalan pak!"
Setelah menerima map coklat dari Azzura, Amir pun segera berlalu meninggalkan Azzura yang berdiri mempersilahkan pak Amir yang berpamitan pulang.
Azzura memandang punggung Amir, hingga pria paruh baya itu menghilang berbelok ke samping kiri gedung.
"Mengapa ia berbicara seperti itu? Apakah ada orang yang sama persis miripnya denganku secara kebetulan? Atau jangan-jangan ... Maya itu adalah ...."
Azzura berlari tergopoh-gopoh menuju luar gedung kantornya, ia bermaksud mengejar sosok Amir. Namun Amir sudah tidak ada, dengan raut wajah kecewa ia pun kembali masuk kedalam kantornya.
"Kenapa aku punya firasat, kalau Maya yang dibilang pak Amir mirip denganku itu erat kaitannya dengan siapa diriku di masa lalu?"
Hati Azzura menjadi gusar, ia terus saja mengingat obrolan bersama Amir di lobi tadi.
"Aku gak bisa diam seperti ini, aku harus mencari tahu siapa bu Maya dan pak Amir yang sebenarnya."
***
Saat sore hari tiba.
Tidak seperti biasanya, untuk pertama kalinya Haidar tidak bisa menjemput istrinya pulang kerja.
Haidar beralasan masih bertemu dengan relasi yang janji bertemu saat sore hari.
Namun hal itu tidak membuat Azzura bersedih atau marah, ia sudah terbiasa dengan kondisi dimana mengharuskannya untuk menggunakan transportasi umum saat berangkat dan pulang kerja.
Tepat lima menit sebelum adzan maghrib berkumandang, Azzura telah sampai di rumahnya.
Usai membersihkan diri dan shalat, ia segera ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Satu jam kemudian, masakan sederhana ala Azzura pun telah siap. Namun suami yang ia tunggu belum juga tiba pulang, berkali-kali Azzura mencoba menghubungi Haidar tapi tidak sekalipun dijawab oleh suaminya.
"Maass, kamu baik-baik saja kah? Aku cemas."
Azzura terus saja berjalan bolak-balik ke luar rumah untuk menunggu kedatangan suaminya, diketuk-ketukan ponselnya ke tangan demi mengusir rasa cemas yang kini melanda perasaannya.
"Duuh, mas. Kamu kemana sih? Aku takut sesuatu yang tidak baik menimpamu."
Tidak nyaman berdiam diri di dalam rumah, Azzura pun memutuskan untuk menunggu suaminya di teras.
Di atas kursi rotan ia duduk gelisah, keringatnya bercucuran membasahi wajah, leher dan tubuh bagian atasnya.
Ia membuka ponselnya, lalu coba menghubungi sahabatnya Dilla.
"Halo, Dil ...."
"Ya, bumil. Ada apa nih tumben, malam-malam telpon."
"Laki gue, janjian sama relasi siapa sih? Kok sampai sekarang belum balik."
"Waduh, gue gak tahu deh buu."
"Gimana sih lo Dil! Lo kan assistennya, pasti lo tahu doi ketemu siapa. Kan lo yang catat dan atur semuanya."
"Iya, bu. Sabar dong, jangan emosi dulu. Memang gue yang atur schedule pak bos, tapi kalau yang lo tanya tadi gue bener-bener gak tahu. Soalnya doi tadi nyuruh gue untuk gak menerima tamu hari ini, soalnya katanya doi mau ke lapangan. Doi keluar kantor sebelum waktu Jumatan."
"Hmm, sori ya bu. Gue cemas banget, ini pertama kalinya dia begini."
"Sabar buu, jangan banyak pikiran ya! Gue yakin si bos baik-baik aja kok."
"Amiinn, makasih ya Dil. Gue mau coba telpon laki gue lagi. Kali aja sekarang doi udah selesai kerjaannya, jadi bisa jawab panggilan dari gue."
"Amiinn, lo hati-hati ya bu di rumah. Ada apa-apa lo cepetan hubungi gue ya atau Marsya dan Tita."
"Ok, sip. Makasih ya, bye."
Azzura menghela nafas, ia meletakan ponselnya di atas meja rotan yang di lapisi kaca pada bagian atasnya.
Setelah kurang lebih satu jam ia duduk menunggu, akhirnya Azzura memutuskan untuk masuk dan beristirahat di kamarnya.
Di atas ranjangnya, Azzura hanya bisa menangis karena perasaannya kini sangat tidak enak.
Bantal yang ia pakai untuk menyandarkan kepalanya, basah oleh air mata yang tidak berhenti keluar dari matanya.
Hingga tidak terasa, Azzura pun terlelap dalam kecemasannya.
***
Pagi itu tidak seperti biasanya, Azzura tidak membangunkan suaminya yang tertidur di sampingnya.
Ia merasa marah atas kejadian semalam, tidak ada pesan ataupun panggilan balik dari Haidar.
Usai mandi dan shalat, Azzura bergegas ke luar kamar untuk berjalan berkeliling komplek.
Sudah menjadi rutinitasnya selama ia hamil, saat libur kerja ia akan berjalan-jalan tanpa alas kaki berkeliling komplek.
Azzura merasa lebih baik, setelah menghirup udara sejuk pagi hari ini. Semilir angin yang bertiup di sekitar, membuat ia bersemangat untuk berolah raga demi kesehatan calon bayi di dalam perutnya.
Azzura tampak ramah menyapa tetangganya yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, setelah merasa lelah berjalan, akhirnya langkahnya terhenti di pos satpam depan kompleksnya.
Azzura sibuk memilih sayur dan lauk di mobil tukang sayur keliling yang biasa selalu mangkal setiap pagi.
Tampak di tangannya sudah ada satu kantongan berisi setengah kilo iga sapi, sayuran untuk membuat sup, tempe dan tahu. Tidak lupa juga ia membeli buah melon dan pir, untuk cemilan di sela-sela waktu makan beratnya.
"Berapa semuanya, mas?" tanya Azzura kepada penjual sayur yang sedang mentotal belanjaannya.
"Seratus dua puluh ribu, bu."
Azzura memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribuan kepada tukang sayur. Setelah menerima uang kembalian, Azzura berpamitan kepada ibu-ibu yang sedang memilah milih belanjaannya sambil bergosip.
Sesampainya di rumah, Azzura langsung ke dapur. Sambil menunggu tulang iga sapinya empuk, ia menghidupkan mesin cuci.
Ia memasukan pakaian kotor satu persatu ke dalam mesin cuci, saku celana kerja suaminya ia periksa untuk memastikan tidak ada uang atau kertas penting yang nantinya akan tercuci.
Sampailah ia pada kemeja tangan panjang berwarna hijau botol, yang kemarin dikenakan oleh suaminya.
Ia kembali mencium bau parfum asing, bau parfum yang sama dengan ia cium di kemeja Haidar beberapa waktu yang lalu.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Azzura tidak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Walaupun ia tidak yakin kalau suaminya mulai ada main dengan wanita lain, namun kejadian semalam membuatnya sangat sedih.
Tangisannya ia sembunyikan, manakala sang suami masuk ke dapur dan memanggilnya.
Dengan segera, Azzura menghapus air matanya dan berjalan cepat menghampiri suaminya.
"Iya, mas."
"Kok gak bangunin aku yank?"
"Kasihan mas pasti capek banget."
"Kasihan kan kamunya, jalan pagi sendirian. Biasanya tiap sabtu dan minggu aku yang temani, bawain botol minum kamu, hehe."
"Gak apa-apa, mas."
Azzura tidak ingin berlama-lama berbicara dengan suaminya, "mas, aku ke samping dulu, nanggung lagi nyuci."
Menyadari kalau istrinya sedang marah, Haidar dengan segera menarik lengan Azzura dan memintanya untuk duduk di kursi makan.
"Sini sebentar sayang! Aku mau bicara."
"Iya, mas."
"Maafkan aku kemarin, aku tidak memberi kabar kepadamu. Aku sedang bingung dan kalut."
"Ada apa mas?"
"Aku ingin jujur sama kamu, yank."
"Mengenai apa mas?"
"Arini ...."
Saat nama itu disebut, seluruh tulang-tulang Azzura terasa ngilu, darahnya mendidih dan hatinya mendadak tidak menentu.
"Jadi, bau parfum yang aku cium di kemejamu, tempo hari dan tadi itu ...."
"Iya, itu bau parfum Arini."
Seketika tangis Azzura pecah dan ...
Dan ...
Dan ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel