"Jadi, bau parfum yang aku cium di kemejamu, tempo hari dan tadi itu ...."
"Iya, itu bau parfum Arini."
Seketika tangis Azzura pecah dan dengan cepat Haidar merangkul istrinya.
"Namun semua itu tidak seperti yang kamu bayangkan, sayang. Aku berani bersumpah demi Alloh, kalau aku gak berbuat yang macam-macam sama dia." Haidar menarik nafas panjang, jari jemarinya membelai lembut rambut sang istri. "Beberapa hari yang lalu dia menemuiku di kantor, entah darimana ia mendapatkan alamat kantorku, tiba-tiba ia memelukku dan mengutarakan niatnya ingin kembali kepadaku."
"Lalu apa yang mas katakan kepadanya?"
"Aku jelas menolaknya, sama seperti dulu aku setia terhadap pernikahan bersamanya. Kali ini aku juga akan setia kepadamu."
"Tapi, kenapa kemarin kamu menemuinya lagi? Bahkan sampai larut malam."
"Tidak sampai larut malam kok sayang, aku sengaja menemuinya untuk membuat kesepakatan dengannya."
"Kesepakatan apa?"
"Arini bilang sama aku, kalau saat ia pergi meninggalkan aku, dia tengah hamil muda. Dan kini anak itu sudah tumbuh besar bersamanya, usianya tiga tahun. Dia seorang anak laki-laki. Katanya kalau aku mau bertemu dengan anakku, aku harus menikahinya. Aku sempat bingung dan cemas harus berbuat apa."
"Satria?"
"I-iya ...."
"Lalu, mas akan kembali sama dia?"
"Kalau aku mau kembali sama dia, aku tidak akan pulang semalam."
"Jadi, mas buat kesepakatan apa dengannya?"
"Kemarin aku janjian ketemu sama dia jam dua siang di resto Sedap Rasa. Namun sampai pukul tiga sore, ia tidak kunjung muncul. Sampai pada pukul setengah empat, disaat aku akan pulang, tiba-tiba supirnya datang dan mengatakan kalau aku harus menemu Arini di rumahnya.
Aku pun menurut, sesampainya disana dia sudah menyiapkan seorang ustadz dan dua orang muridnya. Mereka bertiga diminta Arini untuk membantu proses rujuk, Arini sudah merencanakan semuanya dengan sangat matang."
"Mas menikah dengannya?"
"Jelas tidak, untuk apa?"
"Supaya mas bisa bertemu Satria."
"Masih banyak cara lain, sayang."
"Lalu akhirnya?"
"Akhirnya aku bilang kalau akan menyetujuinya dengan satu syarat, Satria harus tes DNA dulu. Aku ingin memastikan kalau anak itu benar darah dagingku, awalnya ia setuju dengan meminta rambutku. Namun aku menolak, aku mau sampel bagian tubuh Satria saja yang aku bawa. Biar aku saja yang melakukan test DNA tersebut, tapi kamu tahu yank? Dia menolak, dia bersikukuh memaksaku semua yang ia mau.
Ia menahanku di rumahnya, pak ustadz yang ditunjuk olehnya untuk membantunya menikahkan pun akhirnya pamit pulang lepas maghrib, sekitar jam tujuh malam.
Aku hendak pulang, namun masih saja ditahannya. Hingga sampai akhirnya aku bisa lolos kabur."
"Bagaimana caranya mas?"
"Waktu aku ikut shalat maghrib, pas aku berwudhu ke kamar mandi, aku melihat ke sekeliling dapur yang menuju kamar mandi. Ternyata ada pintu samping yang tembus ke garasi.
Jadi saat jam sembilan malam, aku berpura-pura untuk shalat isya. Ia tidak curiga, ia sibuk dengan ponselnya sambil menjaga pintu depan rumahnya seperti satpam."
"Terus, kenapa mas gak jawab telpon aku? Gak bales WA aku juga."
"Hape sengaja aku tinggal di mobil, kunci mobilnya aja aku umpetin di bawah pot bunga yang ada di teras rumahnya."
"Beneran kan mas gak macem-macem?"
"Ya gak dong sayang, aku udah punya kamu sekarang. Jadi kalau memang mau macem-macem mendingan aku sama kamu."
"Aku lega mendengarnya."
"Lagian sayang, aku gak mungkin bikin ibu sedih. Ibu sudah mewanti-wanti agar aku tidak kembali kepada Arini lagi."
"Kalau ibu gak wanti-wanti, gimana?"
"Ya aku ...."
"Aku apa?"
"Aku maunya tetap sama kamu."
"Janji ya mas, jangan tinggalin aku."
"Gak bisa janji kaya gitu sayang."
"Kenapa gak bisa?"
"Kalau aku janji kaya gitu, nanti kita mau makan apa?"
"Maksudnya?"
"Kan aku gak boleh ninggalin kamu, berarti aku gak bisa kerja dong. Harus ngintilin kamu terus, haha ...."
"Aaaaa, maaasss. Kebiasaan, gak pernah bisa serius."
"Gak akan pernah bisa sayang, kan sudah bubar, hahaha ...."
Dengan kesal, Azzura meremas paha suaminya dengan kencang.
"Adddduuuhhhh, yaaank. Pedeeeess banget, periihh tau yank!"
"Biarin, habisnya mas selalu bikin aku kesal dan selalu saja merusak suasana."
"Uuuhh, uuhhh sayang. Gitu aja ngambek, sini aku peluk lagi."
Azzura tertawa dihibur konyol oleh suaminya seperti itu, ia menenggelamkan kembali wajahnya di dalam dekapan Haidar.
"Makasih ya mas, udah mau bertindak tegas menolak dia dan memilih aku."
"Sudah seharusnya sayang, kamu adalah wanita luar biasa. Walaupun kamu bukan yang pertama, namun aku inginkan jadi yang terakhir, bahkan aku selalu berdoa agar kamu bisa jadi bidadari untukku kelak di syurga nanti, Amiinn."
"Amiinn, ya Alloh."
"Jangan raguin aku ya sayang! Arini saja yang hilang tanpa kabar, aku setia sama dia selama bertahun-tahun lamanya. Apalagi sekarang, aku punya istri yang sangat mencintai aku, cantik paras juga hatinya. Walaupun ...."
"Walaupun apa?"
"Walaupun manja dan cengengnya gak ketulungan, hehe."
"Argh, mas. Jahat!"
"Ckck! Ngatain aku jahat, awas ya."
Secepat kilat, Haidar membopong tubuh istrinya dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu yang tidak jauh dengan dapur.
"Mas, aku lagi masak. Turunin!"
"Aku mau buktiin, kalau jahat. Haha ...."
Sesampainya di kamar, Haidar menurunkan tubuh Azzura di atas ranjang berukuran sedang.
Tanpa ampun, ia mencumbui Azzura. Azzura melakukan penolakan berkali-kali, namun semua usahanya sia-sia belaka.
"Jangan berontak dong, sayang. Aku kangen sama kamu. Emangnya kamu gak kangen sama aku?"
"Hihi, enggaakkkk."
Dengan gemas Haidar kembali menghujani wajah istrinya dengan ciuman. Hingga akhirnya, Haidar dan Azzura pun sama-sama melampiaskan kerinduan yang selalu tumbuh di hati mereka.
Rasa rindu yang selalu dipupuk dan dijaga agar terus tumbuh berkembang untuk mewarnai hari-hari mereka yang bahagia.
"Maass ... Tolong jawab panggilan aku dengan mesra dan lembut!"
"Haha, kamu kok tahu aku mau jawab 'apa'?"
"Udah kebaca."
"Memangnya aku buku."
"Hehe, mas ...."
"Iya, sayang."
"Lalu bagaimana dengan Satria?"
"Selama Arini belum mau mempertemukan aku dengannya dan masih keberatan buat test DNA itu, aku gak akan ambil pusing."
"Tapi, saranku. Walaupun Arini begitu, mas tetap saja kasih uang untuk biayanya Satria mas. Kasihan."
"Untuk apa? Toh aku juga belum tahu rupanya dia kaya apa?"
"Loh, memangnya semalam mas lama di rumahnya, gak ketemu?"
"Enggak, sayang. Suara tangisan atau tawanya juga gak ada. Makanya aku curiga, jangan-jangan Satria hanya karangan si Arini saja."
"Hmm, tapi kalau bisa nanti mas cari tahu ya!"
"Iya pasti, sayang. Aku akan suruh orang buat cari info lengkap soal Arini."
"Syukurlah, aku senang mendengarnya."
"Kamu gak keberatan, kalau misalkan nanti aku membiayai Satria?"
"Kenapa harus keberatan? Yang bersalah kan ibunya, bukan anaknya."
"Masya Alloh, benar kata ibu. Kamu benar-benar malaikat gak bersayap."
"Hehe, ibu mah lebay."
"Gak lebay, bukan ibu. Haha ...."
"Eh mas, aku mau cerita sesuatu. Kemarin supirnya selingkuhan pak Salman datang ke kantor, aku disuruh pak Salman untuk memberikan map coklat berisi uang cash.
Pas aku menemuinya, masa dia bilang aku mirip sama istrinya yang sudah lama menghilang tanpa kabar."
"Apa yang kamu simpulkan dari ucapannya?"
"Apa mungkin, supir yang bernama pak Amir itu adalah ayah kandungku mas? Dan, bu Maya yang dibilangnya menghilang itu adalah ibuku yang tewas karena terbunuh."
"Kok bisa berpikir seperti itu?"
"Soalnya, kata pak Amir wajahku bukan hanya sekilas mirip dengan istrinya, tapi sama persis plek."
"Bagaimana kalau nanti kita cari tahu dan bertanya langsung kepadanya?"
"Aku gak tahu dimana rumah pak Amir."
"Kan bisa tanya pak Salman, dimana rumah pacarnya, lalu kita bisa ketemu sama pak Amir di sana."
"Tapi ... Aku ragu, apa pak Salman akan kasih aku alamatnya."
"Kamu ini aneh, belum dicoba sudah mundur. Apa perlu aku yang temui bosmu itu?"
"Hihi gak usah, malu-maluin aja."
Sejenak mereka pun melanjutkan perbincangannya, namun tiba-tiba Azzura menjerit histeris.
"Ada apa sayang?"
"Tulang igaku?"
"Sakit tulang iganya? Kenapa terbentur kah?"
"Bukan tulang iga ini, tapi tulang iga sapi yang lagi aku rebus apa kabarnya?"
Dengan susah payah, Azzura bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju dapur untuk melihat tulang iga sapi yang sudah asat airnya.
"Untung saja, gak gosong. Semua gara-gara mas Haidar, maaaaasssss!"
"Hahaha ...." terdengar suara tawa Haidar dari dalam kamar tamu.
***
Azzura mencegat Salman, saat atasannya itu hendak akan pergi keluar kantor.
"Pak, boleh saya minta tolong."
"Ya, Zura. Katakanlah!"
"Boleh saya minta alamat rumah bu Dewi, atau minta no hape pak Amir supir dari bu Dewi?"
"Untuk apa?" tanya Salman penuh dengan rasa curiga.
"Tenang saja pak, ini ada urusan pribadi yang mau saya selesaikan dengan pak Amir. Bukan dengan bu Dewi nya."
"Hmm, baiklah. Nanti saat saya kembali, akan saya berikan no nya. Ada di buku agenda yang saya simpan di meja kerja."
"Baik, pak. Makasih banyak ya, pak."
"Ok, sama-sama. Saya mau menemui klient dulu ya!"
"Silahkan, pak. Semoga berhasil."
"Thanks, lanjutkan pekerjaanmu!"
"Siap, pak."
Azzura mengantarkan kepergian bosnya, dengan senyuman penuh harapan.
Saat sore hari tiba, seperti biasanya Haidar sudah siaga menunggu istrinya di lobi gedung.
Setelah hampir lima belas menit menunggu, akhirnya sang pujaam hati yang dinanti datang menghampiri.
"Assalamualaikum, suamiku sayang."
"Waalikumsalam, kayanya sumringah sekali yank. Ada apa?"
"Nanti, aku ceritain di mobil."
"Baiklah, sini tasnya aku bawain."
Sambil tersenyum bahagia, Azzura memberikan tas slempang merah kepada suaminya.
Di dalam mobil, Azzura mulai menceritakan tentang keberhasilannya dalam mendapatkan no hape pak Amir.
"Kapan kita mau menemuinya?"
"Nanti saja pas kita libur, ya mas!"
"Ok, siap sayang."
"Mudah-mudahan ya mas, pak Amir itu benar ayahku. Maka aku akan sangat berbahagia."
"Amiinn, aku pun akan turut bahagia untukmu sayang."
"Oohhh, sooo sweeettt."
Rajuk Azzura sambil merangkul lengan suaminya dengan manja.
Haidar mengecup ubun-ubun istrinya, dalam hatinya ia berdoa agar semua harapan yang diucapkan oleh Azzura barusan benar adanya dan Alloh mempermudah jalannya.
***
Jumat malam, Azzura mencoba menghubungi pak Amir. Ia bersyukur karena panggilan telponnya dijawab oleh pria yang diduga sebagai ayah kandungnya.
Azzura mengajak pak Amir untuk bertemu, di kedai makan yang dekat dengan rumah majikannya.
Usai menutup telpon, ia langsung memberitahukan berita ini kepada Haidar yang sedang asyik nonton bola bersama bapak-bapak komplek di teras rumah.
Haidar mengangguk dan dengan senang hati ia akan mengantar istrinya besok.
"Sayang, bobo duluan gak apa-apa ya? Aku masih mau nonton."
"Iya, aku masuk dulu ya."
Haidar mengiyakan dan mencubit gemas dagu istrinya.
***
Waktu yang dinanti pun telah tiba, Azzura sangat bersemangat bersiap.
Begitu juga dengan suaminya, Haidar tampak sibuk memanaskan mesin sambil membersihkan kaca mobilnya dengan kemoceng.
"Sayang, yuk kita berangkat!"
Dari dalam rumah, Azzura menjawab sambil tergopoh-gopoh berlari menuju garasi.
Tanpa berlama-lama mereka berdua pun langsung meluncur ke tempat tujuannya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, akhirnya Azzura dan Haidar sampai di kedai makan yang ternyata jaraknya tidak jauh dari kantor Azzura.
"Sudah ada belum pak Amirnya?" tanya Haidar sambil celingukan di ambang pintu masuk kedai.
"Sepertinya belum, mas. Kita duduk di sudut itu yuk, enak dekat kipas jadi aku gak kegerahan."
Haidar menurut, ia berjalan mengekor di belakang istrinya.
Sudah hampir setengah jam menunggu, namun orang yang dinanti belum juga datang.
Azzura menelpon pak Amir untuk memastikan, ia bisa datang atau tidak.
"Bagaimana, dia bisa datang?"
"Iya, mas. Dia tadi pulang dulu ke rumahnya untuk mengambil semua yang aku minta."
"Syukurlah, aku mau merokok dulu ya sebentar. Pahit sekali rasanya mulut ini."
"Iya, mas."
Sepeninggal Haidar ke samping kedai, tidak lama pak Amir pun datang.
"Maaf non, saya terlambat."
"Gak apa-apa, pak Amir. Silahkan duduk!"
"Ini album foto yang non minta."
Amir menyodorkan sebuah album foto putih kepada Azzura.
Dengan hati berdebar, Azzura membuka cover depan album tersebut.
Matanya terbelalak, ia sangat terkejut dengan yang di ucapkan Amir kemarin ternyata benar adanya.
Wanita muda yang ada di foto itu benar-benar mirip dengannya, tidak ada yang dibuang sedikitpun.
Rambutnya yang lurus dan tipis, matanya yang sipit, hidung yang mungil, kulit putihnya dan juga tompel kecil sebesar kancing baju di atas lututnya. Semua persis sama, Azzura seakan-akan sedang bercermin saat melihat sosok Maya di foto itu.
"Istri bapak pergi dari rumah karena saat itu kami ribut besar, sikap bapak yang selalu malas-malasan setelah kena PHK membuatnya gerah dan memutuskan untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya di daerah Bekasi.
Maya adalah seorang keturunan tionghoa, keluarganya orang yang berada. Sedangkan bapak hanya seorang buruh pabrik biasa. Namun ia bersikukuh tetap menikah dengan bapak sampai ia berpindah keyakinan menjadi muslim walaupun semua keluarganya menentang. Bapak sangat menyesal."
Azzura menangis memeluk album foto itu, melihat hal itu Amir merasa bingung.
"Ada apa non?"
"Istri bapak menghilang pada saat hamil besar?"
"Iya. Saat itu usia kandungannya menginjak sembilan bulan. Menurut bidan yang memeriksa istri bapak lewat USG, bayi kami perempuan dan diperkirakan lahir dua minggu dari hari kepergiannya."
"Saat pergi bu Maya menggunakan baju daster babydoll biru telur asin?"
"Betul, non. Non tahu dimana keberadaan istri saya?"
Azzura menatap Amir, tanpa bicara ia bersimpuh di kaki Amir.
"Apa-apaan ini non, jangan non!"
"Saya Azzura pak, bayi yang diselamatkan dari perut seorang ibu yang tewas dibunuh di seputaran daerah dekat terminal Tanjung Priuk."
"Jadi, Maya sudah tiada dan non ini adalah ...."
"Iya, pak. Saya dapat info tentang asal usul saya dari panti asuhan yang merawat saya. Bapak bisa memastikan kebenaran beritanya kesana."
Tangis Amir seketika pecah, tanpa ragu ia merangkul Azzura.
"Azzura ... Anakku!"
"Ayah, aku merindukan sosokmu."
"Masya Alloh, puluhan tahun ayah mencarimu juga ibumu. Ayah tidak menyangka, kalau Maya sudah berpulang lebih dulu. Tapi ayah lega, karena anak ayah selamat dan baik-baik saja."
"Ayah, aku kangen." Azzura mempererat pelukannya, isakam tangisnya semakin kencang.
"Ayah juga, nak. Sudah-sudah jangan menangis lagi! Ssssttt ...."
Amir mengangkat kepala Azzura, ia membelai dan merapikan jilbab yang dikenakan putrinya.
"Iya, yah."
Azzura tersenyum dan kembali memeluk Amir.
"Mana suamimu, nak?"
"Ada yah, sebentar lagi kemari."
Haidar yang sudah selesai merokok, segera bergegas kembali masuk ke dalam ruangan kedai tersebut.
Dari kejauhan, ia melihat istrinya tampak akrab berbincang dengan pria paruh baya di sampingnya.
"Assalamualaikum." sapa Haidar.
"Waalaikumsalam." jawab Azzura dan Amir bersamaan.
Azzura berdiri dan memperkenalkan suaminya kepada Amir.
Amir berdiri kemudian berbalik hendak menyalami Haidar. Mata Amir terbelalak saat bertemu Haidar yang merupakan suami dari putrinya.
Begitu pula dengan Haidar, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat bertemu dengan sosok Amir yang selama ini hanya ia dengar dari istrinya.
Sesaat kemudian mereka diam, keduanya saling bertatapan.
Kemudian ...
Kemudian ...
Kemudian ...
==========
Pak Amir berdiri kemudian berbalik hendak menyalami Haidar. Mata Amir terbelalak saat bertemu Haidar.
Begitu pula dengan Haidar, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat bertemu dengan sosok pak Amir yang selama ini hanya ia dengar dari istrinya.
"Pak Haidar, jadi bapak adalah ...."
"Iya pak, saya suaminya Azzura."
"Mas, pak Amir adalah ayahku. Dan ini, adalah bu Maya." Azzura menyodorkan foto ibunya.
Haidar memandang foto dengan perasaan takjub akan kekuasaan Alloh, begitu hebatnya Alloh menciptakan istrinya yang sama persis dengan ibunya.
Mungkin Alloh sengaja membuatnya sama agar suatu hari kelak, Azzura mudah dikenali oleh ayahnya.
"Masya Alloh, pak Amir. Saya menantu bapak." Haidar meraih tangan Amir dan kemudian menciumnya dengan takzim.
"Alhamdulillah, ya Alloh. Hari ini engkau menjawab doa-doa hamba." Amir memeluk tubuh tegap menantunya, air matanya kembali bercucuran.
"Saya sangat bahagia, karena kini istri saya telah bertemu dengan ayah kandungnya."
"Terimakasih banyak nak, karena telah menjaga serta mencintai anak saya."
"Iya, yah. Saya sangat mencintainya, dia wanita yang hebat dan luar biasa."
Haidar menarik pelan tangan istrinya dan merangkulnya dengan penuh haru.
"Jangan bersedih lagi ya sayang, kini ayahmu ada di hadapanmu. Sayangilah dan rawatlah beliau secara baik."
"Iya, mas."
Suasana haru sangat kental terasa diantara kebersamaan mereka bertiga, kini mereka sedang makan bersama. Pak Amir panjang lebar bercerita tentang kisah cintanya dengan Maya, ibunda Azzura.
Pak Amir juga menceritakan tentang sifat dan kebiasaan istrinya dulu, lagi-lagi Azzura tercengang karena semua yang diceritakan oleh Amir tentang sifat dan kebiasaan Maya itu sama persis dengan dirinya.
"Ayah lega nak, karena di masa tua ayah, ayah bisa bertemu denganmu."
"Iya, yah. Aku juga sangat bahagia."
"Tapi, nak. Apakah kamu tidak kecewa saat mendapati kalau ayahmu hanya seorang supir pribadi?"
"Masya Alloh, gak sama sekali yah. Aku bangga siapapun ayah, aku sayang ayah."
"Oh iya yank, maaf aku potong pembicaraanmu dengan ayah."
"Ada apa mas?"
"Kamu bilang, ayah adalah supir dari selingkuhan pak Salman yang kamu pergoki tempo hari sedang berciuman di ruangannya?"
"Iya, mas. Betul."
"Itu artinya ...."
"Kenapa mas?"
"Ayah adalah supir pribadi Arini, dan itu berarti Arini adalah ...."
"Astaghfirullah, benarkah itu mas, yah?"
Haidar menundukan kepalanya, Azzura mengelus punggung suaminya.
"Untunglah nak Haidar kemarin tidak mengikuti kemauan Arini." ujar Amir.
"Aku masih gak percaya yah, kalau selingkuhan pak Salman adalah Arini, istri pertama mas Haidar."
"Bukan istri, namun mantan istri. Akan segera kuurus proses perceraiannya."
Azzura dan pak Amir saling berpandangan, mereka tersenyum senang atas apa yang diucapkan oleh Haidar barusan.
"Sudah berapa lama Arini dan Salman berhubungan yah?" tanya Haidar.
"Hampir dua tahun, nak."
"Ayah bekerja sama dia sudah berapa lama?"
"Satu setengah tahun, dulu ayah adalah supir pak Salman. Namun saat beliau menghadiahi Arini sebuah mobil, sejak itu ayah bekerja untuknya, namun digaji oleh pak Salman."
Rahang Haidar mengeras, wajahnya tampak sangat emosi dan juga kecewa.
"Sabar, mas. Aku tahu kamu marah dan sedih karena kini mengetahui seperti apa Arini itu. Namun semuanya mas ambil saja hikmahnya, dibalik semua itu kita bisa memetik pelajaran hidup yang sangat berharga."
"Aku gak habis pikir, bisa-bisanya dia bersandiwara bilang kalau hidupnya selama ini menderita. Dan rumah yang kemarin aku datangi katanya itu adalah rumah saudaranya yang kini sedang bekerja di pelayaran."
"Itu dusta nak, rumah itu adalah hadiah dari pak Salman. Pak Salman selalu mengalirkan dana yang tidak sedikit untuk Arini, itu diluar dari hadiah-hadiah yang tidak murah harganya. Tanpa sepengetahuan pak Salman, Arini juga sering berkencan dengan laki-laki lain.
Ayah sering mengantar dan menungguinya di parkiran hotel berbintang lima yang ada di Jakarta ini."
"Benar-benar aku telah ditipunya mentah-mentah, masya Alloh. Aku gak menyangka kalau tindak-tanduknya seperti itu, naudzubillahimindzalik."
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Nak Haidar fokus saja sama keluarga yang sekarang, biarlah Arini menikmati hidupnya yang bergelimang dengan dosa."
"Iya, oh iya yah, ayah tahu mengenai Satria?"
"Tahu, nak. Sewaktu ayah mulai bekerja dengan Arini, Satria sudah ia bawa serta dengannya. Namun ayah lihat, tidak pernah sekalipun Arini memperlakukan putranya dengan baik."
"Lalu selama ini siapa yang merawat Satria?"
"Pembantu rumah tangga di rumah Arini, bik Minah namanya."
"Masya Alloh, dasar wanita gila."
"Ayah sering kali menggendong Satria saat ia mengadu karena dipukuli oleh Arini, malah tidak jarang Satria dikurung di dalam kamar mandi seharian apabila anak itu mulai bersikap nakal.
Bayangkan nak, anak umur tiga tahun diperlakukan seperti itu. Ayah tidak tega, terlebih lagi bik Minah. Ia selalu menangis bila Arini sudah mulai mengahajar anaknya."
"Kurang ajar sekali kamu Arini!" tangan Haidar mengepal.
Lagi-lagi Azzura menenangkan suaminya, ia paham betul sifat temperament suaminya saat sedang ada masalah menimpanya.
"Ssstt, sudah mas ... Sudah! Sebaiknya kini kita menyusun rencana untuk membuktikan kebenaran Satria itu anak mas atau bukan."
"Yang diucapkan istrimu benar, nak. Ayah bersedia membantu kalian."
"Tapi, yah. Aku ingin ayah berhenti kerja dan tinggal bersama kami. Aku gak mau ayah masih harus kerja di saat usia senja seperti sekarang."
"Tidak apa-apa, kalau ayah ikut bersamamu, ayah harus melakukan apa? Makan dan tidur setiap hari? Bisa sakit semua badan ayah, hehe."
"Ayah yakin?"
"Insyaa Alloh yakin, lagi pula jadi supirnya Arini sangat santai kok, paling hanya mengantarkan dia ke mall, salon, hotel, atau rumah temannya untuk arisan. Selebihnya ayah berdiam diri di rumahnya, untuk menemani Satria."
"Baiklah yah, tapi ayah janji ya harus menjaga kesehatan. Nanti habis dari sini, ayah ikut dulu bersama kami ya. Sekalian nanti aku mau belikan ayah multivitamin dan susu untuk tulang."
"Hehe, iya baik."
"Iya, yah. Kalau memang dirasa sudah capek, resign dan tinggal bersama kami saja ya yah."
"Alhamdulillah, anak dan menantu ayah sangat perhatian."
Azzura merangkul lengan suaminya, ia sangat bahagia karena ternyata Haidar juga sangat menyanyangi pak Amir.
"Sudah seharusnya yah, ayah jangan membandel seperti anaknya."
Azzura melirik sinis kearah suaminya, Haidar dan pak Amir tertawa.
"Dari dulu disuruh resign kerja, gak mau aja. Jadinya aku yang repot nganterin dan jemput dia tiap hari, haha."
"Iihhh, masss."
"Kenyataan, kan. Aku kasih tahu ayah, supaya ayah gak kaget. Haha."
Azzura bersungut dan melepaskan rangkulannya.
"Tuh ayah lihat kan, anak ayah ini ngambekan. Untung saja mantu ayah ini baik hati dan ...."
"Suka teriak-teriak dan jahil, super jahil, huh!" samber Azzura kesal.
Kembali Haidar dan ayah mertuanya tertawa menyaksikan tingkah Azzura yang baper.
Ketiganya sama-sama merasa bahagia, Azzura terlihat sangat manja kepada suami dan ayahnya.
Usai makan siang yang sudah telat waktunya itu, mereka pun beranjak pergi menuju rumah kediaman Haidar.
"Nak, apa tidak sebaiknya ayah dan kamu test DNA dulu?"
"Buat apa yah?" tanya Azzura.
"Takutnya cerita Maya hanya sebuah kebetulan, dan nantinya kamu akan kecewa kalau ternyata tahu kalau ayah bukan orang tua kandungmu."
"Aku gak mau yah, aku mau ayah yang jadi orang tuaku. Titik!" jawab Azzura ketus, ia tidak mau melakukan test tersebut karena ia yakin kesamaan dirinya dengan Maya secara fisik maupun kebiasaan juga sifatnya bukanlah kebetulan semata.
"Sudahlah, ayah. Aku juga yakin kok, kalau ayah dan bu Maya adalah orang tua kandung Azzura. Ayah jangan merasa sungkan atau tidak enak ya kepada kami."
"Iya, yah. Aku sayang ayah, selamanya."
"Kalau sama aku?" goda Haidar
"Au ah gelap."
"Haha, tuh kan yah anaknya. Selain ngambekan, suka memaksa, keras kepala dan cengeng. Dia juga suka ngarang cerita. Bilang gelap, padahal kan ini masih sore ya yah."
"Haha, haduh kalian ini lucu sekali. Lama-lama perut ayah sakit, karena kebanyakan tertawa."
Diam-diam di kursi belakang, Azzura tersenyum mendengar candaan suaminya, yang disusul komentar ayahnya yang menggelitik.
Sesampainya di kediaman anak menantunya, pak Amir dengan Haidar berbincang serius membahas strategi untuk membuktikan tentang status Satria.
"Tenang saja, nak. Ayah akan bantu kamu, nanti ayah akan simpankan beberapa helai rambut anak itu. Nanti kalau sudah ada, biar ayah titip kepada Azzura ya!"
"Iya, yah. Terimakasih banyak, mudah-mudahan semua teka-teki ini akan terjawab. Jujur saja yah, kepalaku pusing memikirkan semuanya. Aku kasihan sama Azzura yang pasti akan terkena imbas, setiap kali aku sedang badmood karena mumet."
"Kamu jangan banyak pikiran ya! Fokus sama anak dan istrimu, insya Alloh semuanya akan terkuak dan jelas. Ayah sih berharap kalau Satria ini memang benar adalah anakmu, jadi kamu bisa merebutnya. Kasihan anak itu, ayah khawatir lama-lama dia akan celaka akibat ulah ibunya."
"Aku pun khawatir, namun aku dalam posisi yang tidak baik yah, kalau memang ternyata Satria adalah anakku, aku takut Azzura akan keberatan ...."
"Keberatan? Gak akan mas, anakmu berarti anakku juga." jawaban Azzura mengejutkan suaminya.
"Masya Alloh, yank. Sungguh kamu istri yang sangat hebat."
"Masa?"
"Jangan mulaaaii."
"Kalian nih ya, mulai mau debat kusir lagi, haha. Kaya Tom and Jerry saja, sebentar akur, sebentar ribut."
Haidar mengacak rambut istrinya yang tertawa sambil memeluk pinggangnya.
***
Usaha Arini untuk kembali memikat hati Haidar tidak pernah surut, namun tidak surut juga usaha Haidar untuk menghindari segala rayuan mautnya.
Mata Haidar kini sudah terbuka tentang siapa sosok Arini, beruntungnya pak Amir datang tepat pada waktunya.
Setiap saat, pak Amir selalu memberikan informasi terbaru mengenai majikannya kepada Haidar.
Haidar sangat bersyukur, karena berkat bantuan mertuanya, ia kini bisa lebih berhati-hati dalam menghadapi Arini.
Berkat bantuan pak Amir pula, akhirnya Haidar bisa mendapatkan sampel rambut Satria.
Beberapa helai rambut Satria yang dimasukan kedalam plastik bekas obat itu, ia berikan kepada salah seorang kenalan Haidar yang kebetulan salah seorang dokter di rumah sakit yang tidak jauh dari kantornya.
Dengan harap-harap cemas, ia tidak sabar menanti waktu dimana hasil test tersebut akan keluar.
"Lancarkanlah jalanku dalam mencari kebenaran ini ya Alloh." gumam Haidar dalam hatinya.
Namun semua lamunannya buyar, saat pintu ruangannya diketuk oleh Dilla.
"Ada apa?"
"Ini, pak ... Bu Dewi memaksa masuk untuk bertemu dengan bapak."
Haidar menarik nafas panjang, kemudian ia pun mempersilahkan Dewi alias Arini untuk masuk.
"Maasss, apa-apaan ini?" teriak Arini sesaat setelah ia masuk.
Dilemparkannya amplop putih ke meja kerja Haidar.
"Sebaiknya kamu tidak usah datang, agar lebih cepat prosesnya." jawab Haidar dingin.
"Tapi, aku gak mau cerai. Aku masih mencintaimu, maaassss." seperti orang kesurupan, Arini mulai histeris. Ia membanting tumpukan berkas laporan yang tersusun rapi di sisi kiri meja kerja Haidar.
"Braaakkk!"
Haidar bangkit dari kursinya, "apa-apaan kamu Rin?"
"Pokoknya aku gak mau cerai! Aku mau kita rujuk lagi. Titik."
"Pulang Rin! Sebelum aku habis kesabaran."
"Habiskan kesabaranmu sekarang mas! Aku tidak perduli, yang aku perdulikan adalah masa depan Satria anak kita."
"Heeh, gak salah kamu bicara soal kepedulian? Sejak kapan kamu bisa perduli dengan orang-orang di sekelilingmu, hah? Aku saja dulu kamu tinggalkan."
"Tapi, mas. Kamu kan sudah tahu mengapa aku tidak mengabarimu selama ini?"
"Ya aku tahu, tentu saja aku tahu. Untuk itu aku ingin segera menceraikanmu secara resmi."
"Mas, kamu akan menyesal karena telah bicara seperti itu."
"Ya, aku akan menyesal. Menyesal karena baru sekarang aku berani mengambil sikap untuk menyudahi hubunganku denganmu."
Arini tidak terima dengan ucapan demi ucapan Haidar yang mengandung makna penolakan kepada dirinya, ia mengamuk dan mengacak-acak meja kerja Haidar, sehingga barang-barang yang ada di meja itu berjatuhan ke lantai.
"Dilla ...." teriak Haidar.
Dengan cepat Dilla masuk, "ya, pak boss."
"Panggilkan security atau polisi kalau perlu. Aku akan dinas ke luar."
Tanpa memperdulikan Arini yang sedang duduk melantai sambil menangis, Haidar meraih tasnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan ruangannya.
Dilla yang berjalan mengekor di belakang Haidar, berkali-kali ia bergidik menyaksikan sikap Arini yang seperti orang gila.
Tidak lama kemudian, dua orang security masuk untuk menjemput putri salju yang berada di ruangan Haidar, wkwkwk.
Arini memberontak dan berteriak-teriak tanpa rasa malu.
Kepergiannya diantar oleh tatapan prihatin dari semua anak buah Haidar.
Sepeninggal Arini, Dilla dan teman-temannya mulai bergosip tentang drama tentang putri salju tadi, wkwkwk.
"Cewek kaya gitu gak tahu malu ya, dunia berasa milik berdua tuh bener-bener dianggapnya begitu. Ish, amit-amiiiitt." celoteh Dilla.
"Hooh Dil, makhluk kaya gitu bagusnya kecebur got, ketabrak kereta, kesamber petir atau mati disantet, haha." sungut Marsya.
"Hush, jahat banget mulut lo Sya!" protes Tita.
"Haha, itu bukan kata gue. Tapi itu sumpahnya dari emak-emak KBM pembela Azzura dan Haidar."
"Hahaha, emak-emak berdaster pembaca setia KBM sangar juga ya kalau udah marah."
"Yoi, atuuuutttt dagh." pungkas Dilla, lalu diikuti suara gelak tawa dari teman-temannya.
***
Berita tentang kedatangan Arini, telah sampai di telinga Azzura.
Secepat kilat, Dilla mengabarkan semuanya kepada sahabatnya itu.
"Keren beud ah laki lo buu, dengan tegas dia nyuruh gue manggilin security buat nyeret keluar si putri salju dari ruangannya."
"Masa Dil?"
"Hooh bu, buat apa gue bohong. Dan ajaibnya, si putri salju itu gak tahu malu nangis meraung-raung saat doi dijemput paksa sama kedua bodyguard kantor, haha aneh banget itu cewek. Udah kecil, tengil, hidup lagi."
"Haha, sssttt sudah ah jangan bicara gitu. Sekarang laki guenya masih di kantor?"
"Gak, bu. Doi cabut bilang mau ke lapangan, ya kali buat apa juga doi ngendog di kantor. Tar yang ada si putri salju itu semakin menjadi-jadi cari perhatian laki lo. Ih amit-amit gak banget jadi cewek, ckck!"
"Makasih banyak ya Dil, infonya. Gue lega banget karena ternyata laki gue beneran membuktikan ucapannya, bukan sekedar menenangkan hati gue aja. Alhamdulillah ...."
"Iya bu, sama-sama. Ya udah kalau gitu, gue lanjut gawe dulu ya! Takutnya si bos datang and gue belum rampungin tugas dari doi, bisa habis gue dikeramasin kaya lo dulu ciinn."
"Haha, ok-ok. Met kerja ya, assalamualaikum."
Azzura menutup telponnya sambil tersenyum sendiri, ia sengaja tidak menghubungi suaminya.
Ia akan berpura-pura tidak tahu dengan semua kejadian yang telah terjadi siang ini di kantor Haidar.
Saat petang menjelang malam tiba ...
"Mas, kok loyo banget."
"Iya nih, lagi ruwet." jawab Haidar sambil duduk di sofa membuka sepatunya.
"Ada apa?"
Haidar menggeleng, kemudian ia pun mengajak istrinya untuk segera shalat berjamaah.
"Sudah mau jam setengah tujuh, cepetan ya! Biar aku mandi dan wudhu di kamar mandi belakang."
"Iya, mas."
Sesaat setelah shalat, Haidar tampak duduk santai di sofa ruang tengah.
Sementara Azzura melaksanakan tugas negara, memasak untuk makan malam mereka.
"Yaaaaaank ...." teriak Haidar.
"Sebentaaarrr, lagi nanggung."
"Apanya yang nanggung? Akunya kan di sini."
Azzura tertawa sendiri dengan ucapan suaminya barusan.
Lima belas menit kemudian, Azzura masuk ke ruang tengah dan duduk di samping suaminya.
"Ono opo mas?"
"Temani aku, masa aku nonton sendirian. Takut, hehe." sahut Haidar manja.
"Malu sama badan dong mas, hihi. Eh mas, kamu kok gak bergairah gitu. Kenapa?"
"Ah, masa iya kamu belum tahu ... Sekarang kan di kantor banyak 'cctv' kamu."
"Hehehe, tau aja kaya dukun."
"Dukun berotot, wkwk."
"Hihi, kok aku gak habis sama pola pikirnya Arini mas. Berani mempermalukan diri sendiri kaya gitu, ckck!
"Yaa, begitulah Arini. Dari dulu sifatnya tidak pernah berubah, kalau ada kemauan, harus ia dapatkan saat itu juga. Kalau gak diturutin, dia gak segan ngamuk. Gak pandang lagi dimana-mananya."
"Ya ampun, kok bisa ya mas?"
"Iya, aku juga heran mengapa dia begitu. Padahal kakak dan adik perempuannya gak begitu, mereka kalem dan penurut."
"Mas hebat juga, bisa tahan dengan sifatnya yang unik itu, sampai-sampai dibela-belain nungguin dia, setia banget."
"Itulah cinta, bikin aku tutup mata dan telinga."
"Tapi kenapa sekarang mas galak sama aku? Kayanya waktu sama Arini dulu, mas unyu-unyu dan penurut."
"Efek jomblo yang kelamaan, hehe."
"Ya sampai aku bilang cinta sama mas di mobil dulu, masnya keukeuh menolak. Katanya aku gak mungkin mengkhianati istriku, hihi."
"Udah ah, jangan dibahas lagi! Kayanya hatiku sakit banget."
"Hehe, iya. Lalu bagaimana dengan test DNA nya mas?"
"Kata Danang, hasil akan diusahakan keluar secepatnya. Nanti dia menghubungi aku kok."
"Aku deg-degan, nunggu hasilnya."
"Apa reaksimu kalau ternyata Satria benar anakku?"
"Ya gak gimana-gimana, aku akan menerima dia."
"Walaupun harus tinggal bersama kita?"
"Why not!"
"Beneran?"
"Iya."
"Mulut dan hati, sama-sama kompak ikhlas?"
"Insyaa Alloh, maaass."
"Makasih ya, sayang. Aku sangat bersyukur karena Alloh sudah menciptakanmu, untuk melengkapi hidupku."
"Sama-sama sayang, pokoknya ... Bagaimana dan apapun keadaanmu, aku akan tetap menerimamu."
"Makaciihhh?"
"Kebiasaan deh, kalau lagi mesra-mesraan kaya gini, mas rusak suasananya."
"Hehe, habisnya kepalaku sakit kalau sebentar saja aku gak godain kamu."
"Maaass ...."
Mereka pun menghabiskan waktu malamnya dengan bercengkrama bersama. Sesekali Haidar mengelus perut istrinya dan menyapa malaikat kecil di dalamnya.
***
"Dasar wanita jalang!" teriak seorang wanita setengah baya dengan riasan dan dandanan yang sederhana.
"Plaaaaaakk!"
Sebuah tamparan dilayangkan wanita berkerudung hijau botol itu.
"Tidak malu kamu, hah! Meniduri suami saya, dengan imbalan uang dan barang-barang mewah."
"Haha, buat apa saya malu. Tampar saya lagi! Lampiaskan kemarahan anda! Silahkan, lakukan apa yang anda mau! Hahaha ...."
"Benar-benar wanita murahan kamu!"
"Haha, suami kamu yang murahan. Karena selalu mengemis belaian juga sentuhan dari saya, dia yang selalu meminta saya memuaskannya diatas ranjang. Kepuasan yang gak dia dapatkan dari anda, wanita tua! Haha."
"Naudzubillahomindzalik, ya Alloh wanita macam apa yang ada di hadapanku ini?"
"Masih ada yang mau anda lakukan kepada saya? Kalau tidak, silahkan tinggalkan rumah ini sekarang juga!"
"Papih, kenapa kamu diam saja? Seperti bukan laki-laki saja kamu Piiiihhh!" teriak wanita itu kepada laki-laki yang sedari tadi duduk di sofa dengan kepala tertunduk.
"Ckck! Kasihan anda, sudah tua, gak menggairahkan, dicuekin sama suaminya pula. Kalau saya jadi anda, saya akan gantung diri atau menabrakan diri saja supaya cepat mati. Daripada hidup menanggung penderitaan seperti ini."
"Bicaralah semaumu, wanita penghuni neraka jahanam!" ujarnya menyumpahi. "Dan untukmu pih, mulai detik ini kita cerai. Aku akan mengurus semuanya, satu hal yang harus kamu tahu. Setelah ini, kamu tidak ada hak lagi dari semua aset yang ada, termasuk dengan rumah ini dan mobil BMW di luar yang sudah papih beli dengan uangku. Suami gak tahu diri, sudah diangkat dari kemiskinan tapi balasanmu seperti ini, cuih."
Dengan wajah yang penuh dengan amarah, wanita yang tidak lain adalah dari istri Salman melangkah keluar.
"Heh, kamu gak berhak atas rumah dan mobil yang diberikan suamimu kepadaku. Itu hakku!"
"Bicara saja dengan pengacaraku nanti nona Arini yang tidak tahu malu!"
Salman yang terkejut dengan ucapan terakhir dari mulut sang istri, langsung berjalan cepat menyusul istrinya keluar dari rumah wanita simpanannya.
Sepeninggal Salman dan istrinya, Arini mengamuk. Hiasan kristal yang tertata rapi di atas meja habis dibantingnya ke lantai.
Dan finalnya, Satria kembali menjadi bulan-bulanan atas kemarahan ibunya.
Tanpa rasa kasihan, wanita berpakaian minim itu memukuli putra kecilnya. Tangis dan jeritan keluar dari mulut kecil Satria, namun hal itu tidak ia perdulikan.
Bik Minah dan pak Amir yang mengetahui hal itu, hanya bisa berdiam diri dan menangis di dapur.
Namun diam-diam, pak Amir menelpon menantunya, Haidar. Agar segera datang untuk menolong bocah kecil yang tidak bersalah itu.
"Cepatlah, nak! Sebelum Arini membunuh anaknya karena sedang tidak stabil emosinya, dia habis dilabrak istri pak Salman." jelas pak Amir kepada menantunya.
"Iya, yah. Aku segera kesana."
Usai mengucap salam, pak Amir kembali masuk ke dalam rumah untuk membantu bik Minah membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
"Bagaimana ini pak Amir?" isak bik Minah.
"Bagaimana apanya Min?"
"Ya bagaimana dengan nasib kita?"
"Jangan takut, ada Alloh Min."
"Iya, pak. Tapi kalau semuanya akan diambil sama istrinya pak Salman, nanti kita akan tinggal dimana dan kerja sama siapa?"
"Semua itu kita pikirkan nanti."
"Iya, pak Amir."
Terlihat jelas kecemasan luar biasa di wajah bik Minah, ia khawatir tentang kelangsungan pekerjaannya.
Sebagai janda beranak satu, ia sangat butuh pekerjaan untuk membiayai sekolah putranya, serta untuk membiayai hidup orang tua yang mengurus anak semata wayangnya di kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel