Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 07 September 2020

Dilema Diantara Dua Cinta #13

Cerita bersambung

Sesampainya di depan rumah Arini, Haidar berlari menerobos masuk untuk menyelamatkan Satria.
Terdengar suara cacian dari mulut si putri salju, yang disusul dengan jeritan tangis putra semata wayangnya.
Dengan dibantu ayah mertuanya, Haidar segera mendobrak pintu kamar. Betapa terpukul hati pria yang belum resmi bercerai dengan Arini ini, aat mendapati Satria duduk ketakutan di pojok kamar ibunya, dengan wajah dibanjiri dengan air mata dan terdapat luka lebam di sekujur tubuhnya.
Haidar langsung memeluk anak lelaki berusia tiga tahun itu dengan erat, Arini mencoba menghalangi calon mantan suaminya membawa pergi putranya.

"Gak berhak kamu membawa dia pergii, maaaass." teriak Arini. "Kalau sampai kamu berani membawanya, aku gak segan melaporkanmu kepada polisi."
Haidar diam seribu bahasa, ia tidak gentar dengan ancaman si putri salju.

Namun tenaga pria bertubuh tinggi besar itu lebih kuat, sehingga sia-sia saja usaha Arini untuk menghentikannya.
Pak Amir dan bik Minah yang berjaga di luar kamar, sangat bahagia saat melihat Satria berhasil diselamatkan.

"Ayah dan bik Minah, sebaiknya segera mengemasi pakaian. Lalu ikut dan tinggal bersama saya."
Ayah mertua dan asisten rumah tangga Arini menurut dan segera berlari ke kamarnya masing-masing.

Azzura yang sedari tadi menunggu di dalam mobil, merasa sangat cemas yang luar biasa. Ia khawatir, Satria akan tewas di tangan ibu kandungnya yang sudah tidak memiliki akal sehat itu.
Namun segala kecemasan itu berganti dengan senyuman lega, karena sosok Haidar masuk kedalam mobil dengan menggendong bocah kecil yang tidak mau lepas dari pelukannya.

"Astaghfirullah, luka-luka di tubuhnya banyak sekali." ucap Azzura seraya menangis, tidak tega melihat kondisi malaikat kecil di hadapannya.
"Syukurlah aku tidak terlambat."
"Iya, mas. Masya Alloh nak, malang sekali nasibmu. Sini duduk dipangku sama tante."
Perlahan Satria menuruti ucapan Azzura, kini ia sudah duduk di pangkuan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Jangan takut, nak. Tante akan melindungi dan mengobati kamu, supaya kamu bisa sembuh." dikecupnya rambut ikal anak lelaki yang kini sudah mulai tenang bersamanya.
"Mama nakal pukulin adek, hiks." tutur Satria dengan suara parau.
"Masya Alloh. Jangan takut, sayang. Ada tante dan om Idar." tak tega mendengar pengaduan Satria, Azzura kembali menangis lalu memeluk bocah malang itu dengan erat. Sangat erat sekali.
"Yank, sebentar ya mau jemput ayah dan bik Minah dulu ya."
"Iya, mas hati-hati."

Beberapa menit kemudian, Haidar kembali bersama ayah dan bik Minah. Mereka bergegas masuk kedalam mobil.
Tanpa menunggu lagi, Haidar segera menancap gas untuk pulang ke rumahnya yang berjarak kurang lebih sekitar 100km.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Satria tertidur di pangkuan Azzura. Wanita yang sedang hamil tujuh bulan itu tidak memperdulikan rasa pengap yang dirasakannya saat ini.
"Sini bu, biar den Satria sama bibik saja."
"Gak apa-apa bik, dia sudah tidur. Kasihan sekali anak ini, bik."
"Untung saja, kami cepat datang nak." tutur pak Amir.
"Makasih ya yah, sudah cepat memberitahu."
"Iya nak, sama-sama."
"Ayah? Apa maksudnya ini pak Amir?" tanya bik Minah heran.

Pak Amir, Haidar dan Azzura tertawa kecil. Kemudian pak Amir pun bercerita panjang lebar tentang putri tunggal, yang baru ia ketemukan beberapa waktu yang lalu.
"Masya Alloh, alhamdulillah. Saya ikut bahagia untuk ibu juga pak Amir."
"Jangan panggil saya ibu, bik! Kayanya saya tua banget, haha. Panggil aja ...."
"Oma." samber Haidar mulai menggoda istrinya.
"Ayaaahh, tuh mantunya. Ish!"
"Haha, kejelekan baru anaknya tu yah, yaitu NGADU."
"Haha, sudah-sudah! Kalian ini ya, selalu saja begini, mulai bikin perut ayah sakit lagi."
"Weee, kasihan deh lo gak dibelain ayahnya." Haidar menjulurkan lidahnya.
"Uh, ya. Kalau aku gak lagi mangku Satria, kamu udah aku ...."
"Ciumin? Jangan dong, sayang. Akunya malu sama ayah dan bik Minah. Haha."
Jawaban Haidar mengundang tawa dari sepasang orang tua paruh baya, yang sebelumnya adalah assisten rumah tangga dan supirnya si putri salju.
Diam-diam, Azzura pun tersenyum.

Satu jam kemudian, mereka pun telah sampai di rumah. Haidar menggendong Satria, lalu menidurkannya di kamar tamu. Bik Minah sebagai orang yang sangat dekat dengan anak malang itu, meminta tidur satu kamar dengan anak majikannya.
Sedangkan pak Amir, menempati kamar tamu yang ada di belakang dekat dapur.

Usai semuanya beristirahat, kini tinggal Azzura yang duduk selonjoran di sofa. Sedangkan Haidar sedang pergi ke pos satpam, untuk memberikan instruksi agar si putri salju tidak bisa masuk.
Karena memang kebetulan, setiap tamu yang akan mengunjungi perumahan itu akan dimintai KTP nya. Jadi Haidar meminta agar satpam berkoordinasi dengan rekannya untuk berjaga-jaga.
Ia tidak mau keselamatan keluarganya terancam, karena ia sangat yakin Arini akan datang untuk mengacau.

Setelah urusan dengan satpam perumahan beres, dengan langkah cepat Haidar kembali pulang ke rumahnya.
Saat masuk, ia mendapati sang istri tengah tidur sambil duduk bersandar di sofa ruang tengah.
Dengkuran halus keluar dari mulut wanita yang selama ini sangat setia dan sabar mendampinginya.

Haidar duduk di tepi sofa, ia mengelus perut Azzura sambil memanggilnya untuk tidur di kamar.
"Yu, Ayu sayang. Bobonya pindah ke kamar yuk!"
Azzura menggeliat, perlahan matanya terbuka. Ia tersenyum saat.mendapati suaminya sedang duduk di sampingnya.
"Iya, mas. Sudah beres urusan dengan satpam di depan?"
"Beres, insya Alloh kalian akan aman kalau aku tinggal bekerja."
"Terimakasih banyak ya mas, kamu sangat memikirkan keselamatan kami."
"Iya, sayang. Sudah kewajibanku, untuk melindungi dan menjaga istri dan seluruh anggota keluarga yang lain. Yuk, kita ke kamar!"
"Gendong ...."
"Haaa, haha. Berat dong, lihat perutnya udah besar gitu."
"Huu, mas ngeselin deh sekarang. Gak sayang lagi sama aku, malu sama otot tangan."
"Huhu, ngambek lagi. Gemes deh."

Dengan cepat, Haidar langsung membopong istrinya masuk ke dalam kamar. Sang istri melingkarkan tangan ke leher Haidar, dengan manja ibu hamil itu menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya yang bidang.

Azzura dibaringkan di tepi ranjang, dengan penuh perhatian Haidar menaikan selimut sampai ke paha istrinya.
"Makasih, mas."
"Iyaa, aku ganti baju dulu."
"Huum, oh iya mas. Bagaimana kalau bik Minah tinggal aja?"
"Kamu gak keberatan?"
"Kenapa aku keberatan?"
"Takutnya risih, ada orang lain."
"Enggak, malah aku senang. Karena ada yang temani aku, kan minggu depan aku sudah resign kerja. Pasti akan suntuk kalau sendirian."
"Jangan nunggu minggu depan, sekarang saja resignnya!"
"Tapi, mas ...."
"Jangan bantah ya yank! Aku khawatir sama kamu, apalagi akhir-akhir ini kamu sering mengeluh sakit pinggang juga kaki. Lagian lusa ibu dan yang lainnya mau kesini, minggu depan kan acara syukuran tujuh bulanan."
"Iya, mas. Aku nurut, tapi jangan galak gitu dong."
"Nah gitu dong, jangan kepala batu terus." sungut Haidar sambil mengganti kemejanya dengan kaus lengan pendek putih polos. Ia berbaring di samping istrinya yang cemberut karena tidak terima habis dibentaknya barusan. "Maaf ya!"
"Bosen ah, minta maaf terus. Tar begitu lagi."
"Kalau bosen, ganti menu dong."
"Gak lucu!"
"Emang aku gak lagi ngelawak."
"Dari dulu sampai sekarang gak mau berubah."
"Ya gak bisa dong, yank."
"Usaha lah."
"Tetap gak akan bisa, aku kan bukan Kotaro Minami, manusia baja hitam RX yang bisa berubah. Haha."
Azzura menahan tawanya, ia tetap berpura-pura ngambek.
"Ga lucu."
"Ntar deh aku kursus."
"Kursus apaan?"
"Kursus ngelawak, biar lucu."
"Gak nyambung!"
"Ada pantunnya loh yank. Jaka Sembung bawa gitar, gak nyambung JRENG!"
"Haha, maaaasssss. Gak lucu!"
"Haha, tapi kok ketawa."
"Terpaksa."
"Haha, bisa aja ngelesnya."

Dengan gemas, Haidar memeluk istrinya dengan penuh rasa cinta dan sayang.
Dan kemarahan Azzura pun luluh saat nyamannya ia dipeluk oleh sang suami.
"I love you, Ayuku!"
"I love you too, Habibiku"
***

"Mih, papih minta maaf. Berikan papih kesempatan!"
"Setelah mamih mengancam akan bikin papih menjadi gembel, baru kamu minta ampun pih!"
"Papih menyesal, benar-benar menyesal. Maafin papih."
"Aku akan memaafkanmu pih, tapi dengan satu syarat yang wajib papih penuhi."
"Apapun itu, akan papih lakukan. Katakan mih!"
"Besok, papih ambil kembali mobil dan rumah yang papih berikan kepada wanita jalang itu. Kalau perlu, suruh dia ganti semua uang yang sudah dia terima dari papih."
"Tapi, mih ...."
"Semua terserah papih, kalau masih mau hidup enak, lakukan! Tapi kalau mau jadi gembel, silahkan."
"...."
"Mamih akan mengadukan kasus ini kepada atasanmu, dan aku akan meminta si Nandar untuk memecat papih. Biar papih hancur sehancur-hancurnya. Gak ingat pih, dulu papih itu siapa? Hanya supir almarhum papaku.
Susah payah aku memohon sama si Nandar sepupuku, supaya menjadikanmu pimpinan di salah satu perusahaan keluarga. Tapi apa balasanmu pih?!"
"Papih khilaf, mih. Maafin papih ya, papih janji gak akan begitu lagi."
"Kerjakan dulu syarat yang mamih berikan tadi! Baru papih akan mamih maafkan."
"Baiklah, besok papih akan kesana untuk mengurus semuanya."
"Ajak serta pengacara dan salah seorang aparat hukum, firasatku wanita jalang itu akan berulah."
"Iya, mih."
"Ok, untuk malam ini papih tidur di kamar Daffa saja, aku gak mau diganggu."
"Baik, mih."

Wanda, istri Salman melangkah cepat masuk kedalam kamarnya. Sedangkan sang suami, dengan gontai melangkah menuju kamar tidur putra sulung mereka yang kini sedang study di luar negeri.
***

Keesokan harinya, Salman dengan ditemani seorang pengacara dan aparat kepolisian mendatangi rumah yang ia berikan kepada simpanannya.
Arini membukakan pintu dengan dingin, setelah duduk di ruang tamu, pria setengah botak itu mulai mengutarakan niatnya.

Sesuai dugaan, Arini mencaci ketiga pria di hadapannya dan ia kembali mengamuk. Namun Salman tidak tinggal diam, saat wanita yang selama ini menjadi gundiknya itu mengamuk, ia menyelinap masuk ke dalam kamar Arini untuk mengambil sertifikat rumah, surat-surat mobil lengkap dengan kuncinya.

Saat semua yang diperlukan sudah ada di tangannya, Salman mengajak kedua orang yang menemaninya itu untuk pulang.
"Pak Yanto, tolong bawa mobil saya ke rumah ya!" ucap Salman kepada Yanto, seorang polisi yang merupakan kenalannya.
"Siap, 86 pak Salman."

Menyaksikan mobilnya diambil paksa, Arini hanya bisa menangis meraung-raung di ambang pintu.
Ia tidak memperdulikan tatapan dari para tetangga yang kebetulan sedang berkumpul makan bersama di rumah yang terletak tepat di sebrang rumahnya.

Arini, Arini ...
Sungguh malang benar nasibmu, sekian tahun hidup dengan manfaatkan kemolekan tubuhnya untuk medapatkan kekayaan dari pria hidung belang yang datang dan pergi di dalam kehidupannya, tapi kini Alloh memberikan ganjaran atas semua perbuatan kotornya.

Semoga kita semua, bisa mengambil hikmah dari kisah hidup si putri salju itu.

==========

"Bedebaahh kamu, Salman! Kurang apa aku memuaskanmu di atas ranjang? Kini seenaknya, kamu ambil semua milikku, huuuuuu ...." racau Arini di ambang pintu sambil meraung-raung.
Ibu-ibu yang sedang asyik menikmati makan bersamanya, mendadak riuh dan menonton atraksi yang dilakukan oleh tetangga depan rumah mereka.

Tetangga yang selama ini tidak pernah mau bergaul, menyapa saja tidak pernah.
Sungguh ironis memang nasib Arini kini, setelah puas mencaci maki teman ranjangnya, tanpa merasa risih ataupun malu ia pun gontai masuk kedalam rumah.
Wanita berpakaian seksi itu duduk melamun di atas sofa ruang tamunya, tangan kanannya mengepal menahan rasa marah, sedih dan kecewa terhadap Salman juga Haidar.

Kedua laki-laki yang dulu ia anggap sebagai bonekanya, kini mulai memperlihatkan taringnya. Mereka berdua, kini sama-sama sudah tidak perduli lagi kepadanya.
"Aku harus mengambil kembali Satria, itu jalanku satu-satunya untuk bisa memeras Haidar. Sampai aku mendapatkan mangsa baru, Satria bisa aku manfaatkan."
Dengan semangat menggebu-gebu, ibu dari Satria itu pun bangkit dari sofanya. Ia berjalan masuk kedalam kamar mandi, untuk selanjutnya bersiap menjalankan misinya.
***

Pagi ini, suasana di rumah Haidar benar-benar berbeda. Yang biasanya hening, kali ini ramai dengan jeritan juga tawa dari seorang anak lelaki berusia tiga tahun, bertubuh tambun dengan pipi yang sangat menggemaskan.

Usai adzan subuh berkumandang, Satria sudah bangun. Seperti tidak merasakan sakit atas luka lebam yang ada di sekujur tubuhnya, bocah kecil itu terus berlari-lari di dalam rumah sambil tertawa dengan riangnya.

Azzura yang ditemani bik Minah tampak sedang sibuk di dapur, ia sangat berbahagia dengan kehadiran bocah kecil itu.
"Satria nakal gak bik?" tanya Azzura.
"Gak, mbak. Dia kalem sekali, aktif tapi gak badung kaya anak-anak seusianya yang ada di sana."
"Tapi kok saya heran, kenapa ibunya begitu."
"Yah, bibik juga bingung kenapa. Terkadang, bu Arini suka mukulin anaknya itu tanpa sebab loh mbak, Satria lagi tidur, tau-tau udah njerit nangis kesakitan minta tolong karena dipukulin sama ibunya. Ckck!"
"Astaghfirullah, ya ampun jahat sekali Arini itu."
"Bibik sama pak Amir sering menangis berduaan di dapur mbak, kalau bu Arini udah mulai kambuh ngamuknya. Walaupun bibik ini hanya pembantu sekaligus pengasuhnya, tapi kok rasanya sakit hati saat Satria disakiti kaya gitu."
"Alhamdulillah sekarang sudah aman bik, jangan sedih lagi."
"Iya, mbak. Tapi ...."
"Tapi, apa bik?"
"Saya kepikiran dengan nasib saya, bagaimana ya? Saya janda, saya ini tulang punggung untuk anak dan orang tua saya."
"Hmm, jangan sedih dan bingung gitu bik. Bibik bisa tinggal disini, menemani saya sekalian bantu-bantu ngerjain pekerjaan rumah."
"Betul, mbak?"
"Iyaa, bik. Masa saya bohong."
"Masya Alloh, gustiii pangeraaann. Terimakasih banyak ya mbak, saya gak galau lagi sekarang, hehe."
"Hehe, kaya ABG aja bibik ini galau."
"Bibik juga ABG mbak, ABG tua, hihi."
"Bibik bisa aja, persis kaya mas Haidar pinter ngeguyon, walaupun kadang guyonannya nyebelin."
"Bibik senang lihat mas dan mbak, serasi dan cocok sekali. Kata pak Amir tingkah mbak sama masnya kaya Tom and Jerry, hehe."
"Ah ayah, suka benar kalau bicara. Hihi ...."
"Bibik gak nyangka, kalau pak Amir ternyata ayahnya mbak. Dia sering cerita katanya istrinya kabur saat ribut dulu, dia sempat bilang kalau bu Maya tega sekali meninggalkannya. Tanpa tahu hal yang sebenarnya."
"Iya, bik. Cara Alloh mempertemukan kami benar-benar tidak terduga."
"Bibik, ikut bahagia."
"Makasih ya bik, oh iya bik sewaktu kerja sama Arini digaji berapa?"
"Satu juta setengah mbak."
"Ok, disini sama gak apa-apa ya bik?"
"Iya, mbak."

Dalam hati bik Minah, ia sangat bersyukur karena majikan penggantinya adalah seorang yang waras dan baik hati.
Tidak seperti majikannya terdahulu, yang gak jelas dan berkepribadian tidak baik.
Kita tinggalkan seksi konsumsi di dapur, hehe.
Di luar rumah, tepatnya di teras tampak Haidar sedang duduk bersantai bersama ayah mertuanya.
Menantu dari pak Amir itu sengaja izin tidak masuk kerja, karena harus mengurus beberapa kepentingan.
Salah satunya membawa Satria berobat ke dokter, ia harus memastikan kalau anak malang itu kondisinya benar-benar baik.
Apa yang dilakukan ibunya kepada Satria, sungguh tidak bisa ia maafkan.
"Yah, nanti jam sembilan antar aku ya, bisa?"
"Mau kemana?"
"Memeriksakan kondisi Satria, yah."
"Iya, nak. Baik."
"Aku khawatir kepadanya, takut dia mengalami luka dalam."
"Ayah juga berpikiran yang sama denganmu. Bagaimana dengan hasil testnya?"
"Belum keluar hasilnya yah, nanti temanku akan menelpon jika sudah ada."
"Kamu menginginkan hasilnya apa nak?"
"Entahlah, yah. Aku bingung."
"Kalau ayah, berharap Satria adalah anakmu."
"Kenapa yah?"
"Agar dia merasakan kasih sayang orang tua, yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya dari Arini."
"Kasihan anak itu, tapi aku takut yah."
"Kenapa lagi?"
"Takut gak bisa adil membagi kasih sayang antara Satria dan anak kami kelak kalau sudah lahir."
"Masalah seperti itu, janganlah dipusingkan. Jangan pernah mengkhawatirkan sesuatu hal yang belum terjadi, ayah yakin kalau istrimu akan sangat sayang kepada anak malang itu."

Pak Amir memiringkan badannya ke arah Haidar, lalu menepuk bahu menantunya, disusul dengan senyuman yang penuh dengan rasa sayang orang tua kepada anaknya.
"Terimakasih yah, kini aku tahu sifat baik hati yang luar biasa dari Azzura menurun dari siapa."
Keduanya tersenyum dan kembali menikmati kopi susu dan roti bakar, buatan ibu hamil yang mulai hari itu sudah resmi menjadi seorang ibu rumah tangga sejati.
***

"Mas, berangkat jam berapa ke rumah sakit?" tanya Azzura sesaat setelah suaminya keluar dari kamar mandi.
"Rencana jam sembilan, tapi Danang bilang ia praktiknya habis duhur. Jadi siang saja aku kesananya, aku minta antar ayah."
"Mudah-mudahan hasilnya baik ya mas, jujur ... Aku sangat khawatir dengan kesehatan anak itu."
Haidar tersenyum dengan jawaban yang terlontar dari mulut istrinya, ia merundukan kepalanya mengecup ubun-ubun Azzura yang sedang melipat kerudung-kerudungnya.
"Makasih ya sayang, hatimu sungguh luar biasa baiknya. Aku makin cinta deh sama kamu."
"Hmm, sama-sama mas. Oh iya mas, aku sudah bilang ya sama bik Minah kalau dia mulai hari ini bekerja disini, dengan gaji yang sama dengan disana."
"Alhamdulillah, pasti bik Minah sangat senang karena sudah dapat kerjaan lagi, kasihan dia tulang punggung keluarga."
"Iya, katanya sekarang dia sudah gak galau lagi, hihi. Lucu banget bik Minah itu kalau bicara, persis kaya kamu mas."
"Katanya aku gak lucu, tapi sekarang bilang lucu. Gimana sih, mana yang benar?"
"Dua-duanya."
"Tapi lebih banyak yang mana."
"Hmmmm ...."
"Kok cuma, hmmmm ...."
"Mau aja, kenapa gak boleh?"
"Gak."
"Bodo amat ah, si amat aja gak bodo."
"Memang gak bodo, si amat rangking satu dikelasnya."
"Kok mas tahu?"
"Kan aku teman sekelasnya, haha."
"Hihi, mulai kumat lagi ngaconya."
"Memang aku macho, yank."
"NGACO maass, bukan MACHO. Pak boloootttt."
"Ssstt, jangan bawa-bawa nama artis ,tar ketahuan infotainment kamu dituntut loh."
"Wkwkwk, badan aja gede, macho. Tapi hobinya nonton acara gosip. Gak sesuai mas."
"Harusnya nonton apa dong?" Haidar mulai nakal, kini bibirnya mulai menciumi tengkuk istrinya.
"Apa aja, mas." jawab Azzura tidak konsen, karena terbuai dengan sentuhan dari suaminya.

Haidar berlutut di hadapan istrinya, bibirnya mulai memagut lembut bibir Azzura.
"Boleh pagi ini, aku tengok dede bayi?"
"Huum."

Selanjutnya tahu kan mereka ngapain, hehehe.
***

"Pak Haidar gak masuk bu hari ini." ucap Fitrah, receptionist di kantor tempat Haidat bekerja.
"Jangan bohong, mbak! Saya tahu dia ada, cuma kalian berusaha menyembunyikannya."
"Maaf bu, saya bicara sejujurnya. Ditambah barusan menurut assistennya juga begitu."
"Panggil assistennya kemari, mbak. Saya mau bicara sama dia."
"Ba-baik, bu."
"Cepat mbak, jangan cuma baik-baik aja."
"Maaf bu, dengan ibu siapa? Silahkan isi buku tamu terlebih dahulu!"
"ARINI KUSUMA DEWI, istri sah bapak HAIDAR direktur di sini. Tolong hormati saya!"
"Ma-maafkan saya bu, segera panggilkan bu Dilla kemari."

Wanita berkaca mata hitam yang tidak lain adalah Arini itu, berkacak pinggang di depan meja receptionist.
Makeupnya yang tebal dan menor membuat tampilannya semakin horor, wkwk.
Apalagi bibirnya yang agak tebal, diolesi lipstick warna merah cabai menambah kesan ia seperti habis makan orok, haha.

Sepuluh menit kemudian, Dilla muncul dari dalam lift. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Arini si putri salju yang kini lebih mirip dengan cabe-cabean, hihi.
"Ada yang bisa saya bantu, bu." sapa Dilla ramah.
"Bilang sama bosmu, ditunggu sama istrinya di lobi."
"Maaf bu, pak Haidar hari ini gak masuk kantor."
"Kenapa?"
"Maaf, bu. Saya kurang tahu."
"Gimana sih kamu! Kamu kan assistennya, harusnya tahu dong. Gak berguna punya wakil seperti kamu."
"Iya, maafkan saya."
"Bisanya cuma minta maaf, kamu tahu gak? Bos kamu itu udah ngelakuin tindakan kriminal, dia sama simpanannya bawa kabur anak saya."
"Simpanan?"
"Iya, simpanannya yang kini tengah hamil tua. Yang bernama Azz, Azzaru, ah itulah pokoknya namanya."
"Azzura, bu. Bukan Azzaru, dia bukan simpanannya pak Haidar bu. Melainkan istrinya."
"Hah, apa kamu bilang? Saya ini istri sahnya Haidar, bosmu. Dia cuma gundik, yang karena rayuan mautnya kemudian menjerat suami saya dengan drama kehamilannya. Saya yakin dia hamil oleh laki-laki lain, bukan hamil anaknya Haidar."

Mendengar ocehan Arini seperti itu, darah Dilla mendidih. Ia tidak terima, sahabatnya dijelek-jelekan sehina itu.
Namun emosinya masih ia tahan, demi menjaga ketertiban di dalam kantornya.
"Maaf sebelumnya, bu. Saya permisi, karena masih banyak pekerjaan."
"Heh, kamu gak sopan ya! Ngusir saya itu kalau begitu caranya."
"Lalu ibu mau apa lagi? Kan pak Haidarnya gak ada, buuu."
"Bohong kamu! Saya yakin suami saya ada di ruangannya."
"Gak ada bu."
"Jangan sekongkol kamu sama simpanannya si Haidar, saya tahu kamu sengaja menghalangi saya untuk bertemu dengannya. Saya istrinya, jadi saya berhak bertemu dengannya kapan lagi."
"Bu, sebelum saya hilang kesabaran. Tolong berhenti menyebut Azzura sebagai gundik atau simpanan pak Haidar!"
"Ow, ow ... Kamu pro sama cewek matre itu rupanya hah!"
"Yang matre bukan Azzura, tapi anda bu Arini. Saat pak Haidar bukan siapa-siapa, anda membuangnya seperti sampah. Tapi kini setelah beliau sudah menjadi seseorang yang sukses, tanpa rasa malu anda ingin memungutnya kembali."
"Hei, jaga bicaramu wanita sialan! Aku laporkan ke bosmu, dipecat tahu rasa."
"Silahkan, bu. Saya gak takut, laporkan saya sekalian ke General.Manager saya."
"Dasar karyawan gak tahu diri, pelacur berkedok karyawati ya begini ini, gak tahu sopan santun."
"Silahkan anda bicara sesuka hati anda, saya permisi bu."

Dilla berbalik hendak berjalan menuju lift, yang berada di ujung ruangan. Namun dengan cepat, tangan Arini menarik kerah kemeja Dilla dari belakang.
Tidak terima diperlakukan kasar dan tidak sopan seperti itu, Dilla mendorong tubuh mungil Arini.
Wanita berpakaian kurang bahan itu, jatuh tersungkur ke lantai. Ia kembali mengamuk dengan berteriak memaki Dilla dan Azzura.

Assisten Haidar yang berusaha mengontrol amarahnya, segera memanggil security untuk mengusir Arini yang terus berteriak.
"Pak, black list wanita ini dari daftar tamu kantor! Jangan pernah sekali pun membiarkan dia masuk kesini lagi, dengan alasan apa pun pokoknya dia gak boleh masuk kesini lagi." ucap Dilla, dengan suara lantang.
"Baik, mbak Dilla. Akan saya laksanakan."
"Tolong koordinasi dengan security yang lainnya pak!"
"Siap, mbak. Saya permisi."
Dilla menatap tindakan eksekusi yang dilakukan kedua security kantor kepada si putri salju.

Setelah wanita tidak tahu malu itu hilang dari pandangan, barulah Dilla berbalik untuk kembali ke ruangan divisinya di lantai tiga.
"Dasar nenek lampir, kurang asem." umpat Dilla kesal.
"Kenapa bu? Mukanya asem banget, kaya ketek gue kalau abis joging pagi, haha." ledek Dion.
"Diam lo, gue lagi galak nih."
"Ceileh, galak aja pamer."
"Kenapa sih, Dil?" tanya Marsya mendekat ke meja sahabatnya.
"Itu, si nenek lampir bikin gue emosi jiwa. Ngata-ngatain si Azzura perek, jelas gue emosi."
"Hmm, beneran ya itu si kamper lemari kagak ada kapok-kapoknya bikin ulah."
"Gue sumpahin, dia gila dan masuk rumah sakit jiwa."
"Hush, jangan gitu ah. Gak baik, lebih baik kalau dia mati ketabrak becak aja, haha."
"Haha, keenakan dia kalau becak. Yang bagus truk gandeng."
"Sstt, sudah-sudah ah. Jangan nyumpahin orang kaya gitu, gak baik. Pamali. Harusnya kita doain dia, mudah-mudahan si Arini itu berubah ... Jadi wewe gombel, hahaha." celetuk Tita.
"Hahaha, kampret lo Tit. Kiraim gur bener, taunya sama aja sengklek." sahut Marsya.
"Haha, gue mau ngabarin dulu Azzura ya gaes. Supaya doi, siaga 1 di rumahnya." ujar Dilla.
"Good idea, sip. Gue lanjut gawe, ya!" pamit Marsya, kembali ke mejanya.
***

Kabar yang dibawa oleh Dilla, membuat Azzura terkejut, ia sama sekali tidak menyangka kalau Arini akan datang lagi untuk menemui suaminya.
"Mas, tadi Dilla telpon."
"Iya, aku sudah tahu sayang. Tadi dia juga telpon aku. Kamu jangan khawatir ya!"
"Aku sih gak takut sama dia, cuma aku takut dia mengamuk disini. Nanti malu sama tetangga."
"Insya Alloh, enggak akan sampai kesini dia. Karena satpam di depan menjaga ketat tamu yang akan masuk."
"Tapi, bagaimana kalau dia menyamar?"
"Pake kaca mata, wig kribo dan kumis kaya di sinetron FTV gitu? Ckck! Kebanyakan nonton sinetron begituan sih, jadi kepikiran kesitu."

Azzura memukul paha suaminya, ia mendengus kesal karena lagi-lagi suaminya menggodanya.
"Mas tuh yang ngaco, kan bisa aja dia pakai kerudung cadar masuk kesininya, supaya lolos dari pemeriksaan satpam di depan."
"Kan KTP visitor itu diperiksa dan ditahan di pos yaaank, jadi gak mungkin dia bisa lolos?"
"Ya, kali bisa aja dia minjem KTP temannya."
"Insya Alloh enggak, sayang. Percaya deh sama aku!"
"Gak mau!"
"Kenapa?"
"Musyrik lah kalau aku percaya sama kamu, percaya itu hanya kepada Alloh."
"Huhu, udah pinter nembak balik sekarang ya."
"Haha, iyalah. Kan mas yang ngajarin. Weeee ...."
"Ya sudah, aku berangkat dulu ya ke rumah sakit. Ayah sudah nungguim kayanya tuh, biasanya kan orang tua suka ontime. Kaya ibuku, janjian jam 8 pagi. Jam 6 sudah siap, hehe."
"Wah, wah ... Mantap banget ibu, hihi. Sabar banget yah, gak kaya anaknya."
"Mulai deh, aku tidurin kamu yank kalau ngeledek lagi."
"Memangnya aku kasur, ditidurin. Huh!"
"Hehe, yuk keluar!"
"Keluar di luar apa di dalam, mas?"
"Haha, ngeresss nih otaknya. Aku vacum cleaner juga nih."
"Haha, sakarepmu ae lah mas."

Benar saja, pak Amir sudah bersiap duduk di ruang tamu sambil memangku Satria yang asyik memakan biskuit.
"Mari yah, kita berangkat sekarang!"
"Iya, nak."

Azzura menyalimi kedua pria hebat di hadapannya, Haidar mengecup kening dan perut istrinya dengan mesra.
Melihat pemandangan seperti itu, pria paruh baya yang berdiri sambil menggendong bocah gembil itu pun tersenyum bahagia.
"Kami berangkat dulu ya sayang, kunci semua pintu!"
"Iya, mas. Hati-hati di jalan, dah ayah dan Satria."

Kepergian mereka diantar Azzura sampai di ambang pintu, saat mobil yang dikendarai sang suami sudah hilang dari pandangan, barulah ia masuk kedalam rumah, tidak lupa mengunci semua pintu agar aman dari ancaman si putri salju.

Di perjalanan menuju rumah sakit, tanpa Haidar sadari, sebuah mobil taksi sedang membuntuti mobilnya dari berlakang.
Mobil taksi yang tadinya akan memasuki area komplek rumah Haidar, namun tidak jadi karena penumpang wanita yang tidak lain adalah si putri salju itu melihat mobil Haidar keluar.
Dengan cepat, Arini menyuruh sang supir untuk mengikuti mobil Haidar.
"Akan aku ikuti kamu Haidar, aku gak akan melepaskanmu. Kali ini aku harus berhasil meyakinkanmu, untuk kembali kepadaku."

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER