Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 08 September 2020

Dilema Diantara Dua Cinta #14

Cerita bersambung

Bukan Arini namanya, kalau mudah menyerah setiap punya obsesi dalam hidupnya. Apalagi apabila obsesinya itu berhubungan dengan picis alias money, sampai dimana pun akan ia kejar terus.
Hingga sampailah ia di suatu pelataran rumah sakit, yang berlokasi dekat dengan kantor Haidar


Secepat kilat, ibu dari Satria ini segera turun dari mobil dan berjalan mengendap-endap bagai maling di siang bolong.
Satria yang berada di dalam gendongan Haidar, tidak sedikit pun melepaskan pelukannya.

Bocah kecil itu erat melingkarkan kedua tangannya di leher lelaki kekar, yang kini ia panggil 'om Idal'.
Ia tidak berhenti berceloteh dan terkadang menyanyi, suaranya yang cempreng sering kali membuat Haidar dan pak Amir tertawa.

Dari kejauhan, Arini menatap nanar pemandangan yang ada di hadapannya.
Sebuah senyuman tersungging, dari wajahnya yang menor bak pemain lenong.

Saat Haidar menyerahkan Satria kepada mertuanya, segera Arini mempercepat langkahnya.
Pak Amir duduk memangku sambil mengajak ngobrol anak gemuk yang sangat menggemaskan itu, sesekali terlihat pria paruh baya itu mencium dan mengusap rambut bocah malang yang sedang fokus menyanyi.
Haidar sedang ke loket bagian pendaftaran, untuk mendaftarkan Satria ke dokter spesialis anak yang merupakan kenalannya di rumah sakit tersebut.
Namun tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari ruang tunggu yang berada di belakang Haidar.
Pak Amir berteriak memanggil Haidar, suami dari Azzura itu pun segera menoleh ke arah mertuanya.
Betapa terkejutnya ia, saat mendapatkan Satria sedang menangis histeris di gendongan ibunya.

Anak laki-laki berusia tiga tahun itu, menjerit meminta agar Haidar atau pak Amir menolongnya.
"Om Idal, kakek ... Adek gak mau sama mama, mama nakal." suara cemprengnya terdengar lebih nyaring dari biasanya.
"Berikan anak itu, Rin!" pinta Haidar dengan suara lantang.

Semua pasien dan petugas rumah sakit memandangi Arini yang terlihat seperti orang gila, ia tidak henti tertawa terbahak-bahak. Sesekali tangan kanannya menampar pipi Satria, karena tidak mau berhenti menangis.

"Wanita gila, lepaskan anak itu! Akan aku berikan uang kalau memang itu maumu." lanjut Haidar.
"Bukan cuma uang yang aku mau."
"Apa lagi? Katakanlah!"
"Aku mau kamu, kembali menikah denganku."
"Berpikir yang waras, Rin."
"Justru karena aku waras, aku ingin kembali kepadamu mas. Masa kamu lupa, masa-masa indah kita dulu. Saat kita bergumul di atas ranjang, kamu sering berbisik kalau permainanku sangat hebat. Aku yakin, gundikmu yang sekarang gak bisa muaskanmu sepertiku."

Wajah Haidar memerah menahan malu dengan ucapan wanita yang sedang menggendong Satria di hadapannya, suaranya lantang sehingga Haidar sangat yakin kalau racauannya barusan terdengar jelas oleh semua orang.

"Lepaskan anak itu, atau aku akan panggil polisi."
"Lapor saja, aku gak takut. Tapi sebelum polisi datang, aku pastikan anak sialan ini akan celaka." ancamannya membuat seisi manusia yang ada di ruangan itu bergidik ngeri.

Pak Amir tidak tinggal diam, ia memberi kode kepada seorang perawat untuk memanggil security.
Arini kali ini merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya, betapa terperangahnya Haidar juga yang lainnya saat melihat benda yang dikeluarkan.

Sebuah pisau cutter besar berwarna merah, ditempelkan ke leher Satria. Seperti mengerti, bocah gemuk itu kini diam, namun nafasnya tersengal-sengal karena masih sesenggukan menangis dalam ketakutan yang sangat luar biasa.

Dua orang security rumah sakit yang baru datang, diminta diam di tempat oleh Haidar. Ia tidak ingin, sesuatu yang buruk akan menimpa anak kecil tidak berdosa yang kini sedang ketakutan itu.
"Jangan begitu, Rin. Baik-baik, aku akan menuruti kemauanmu."
"Benarkah mas?"
"Iya, aku akan menikahimu. Kalau perlu hari ini, kita cari ustadz yang bisa menikahkan kita."
Seketika wajah Arini berubah cerah, pisau cutter yang tadi ditempelkan ke kulit leher putranya, perlahan ia tarik menjauh dan kemudian memasukannya kembali ke dalam tasnya.

Dengan terpaksa, Haidar berjalan menghampiri calon mantam istrinya itu dan kemudian memeluknya.
Arini merasa di atas angin dengan perlakuan Haidar yang kini sudah mau menuruti apa maunya, ia membalas pelukan lelaki berkulit sawo setengah matang itu (kalau matang, berarti kulitnya gelap banget, wkwk.).

"Sudah, ya Rin. Jangan marah-marah terus, aku sedih melihatnya." rayu Haidar.
"Iya, mas. Mari kita pergi, kita ke rumah Ustadz kenalanku yang waktu itu. Kita menikah di rumahnya saja, supaya cepat."
"Tapi ... Aku ingin memeriksa kondisi kesehatan Satria dulu, Rin. Aku khawatir dia ada sakit di bagian organ tubuh dalamnya."
"Nanti saja, yang penting kita nihak dulu. Kan kamu gak mau kan kalau kita berzina?"
"Ya, ya ... Kamu benar, mari kita pergi."

Haidar menatap mertuanya, ia memberi kode agar pak Amir memanggil polisi dan membuntutinya.
Pak Amir mengangguk, kemudian ia pun berjalan agak jauh di belakang menantunya yang tampak sedang merangkul calon mantan istri yang kewalahan menggendong putranya.

Di pelataran parkir, Arini dan Satria bergegas masuk ke dalam mobil, lalu disusul oleh Haidar.
"Kita kemana, Rin?"
"Jalan saja mas, nanti akan aku tunjukan arahnya."
"Ok."
Haidar terus memantau keberadaan mertuanya, ia ingin memastikan kalau pak Amir tidak kehilangan jejaknya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka pun sampai di suatu perkampungan di pinggiran Jakarta.
Arini mengajak Haidar turun dan memintanya untuk berjalan mengikutinya.
"Sini Rin, Satria biar aku yang gendong."
"Gak, mas. Aku gak mau kecolongan."
Haidar tersenyum kecut, 'pintar juga kamu, Rin. Dari dulu kelicikanmu tidak hilang.'

Setelah berjalan kaki sejauh 100 meter, akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah sederhana bercat hijau yang sudah pudar, terlihat di beberapa bagian temboknya sudah berlumut karena terkena air hujan yang merembes.
Arini mengucapkan salam berkali-kali, namun tidak ada yang muncul dari dalam rumah.
Haidar berharap, agar pak ustadz yang dicari tidak ada di rumahnya.

"Pak ustadz kemana ya?" tanya Arini kepada dirinya sendiri.
"Kamu telpon barusan nyambung gak?"
"Gak aktif, bagaimana ini mas?"
"Terserah padamu, aku manut saja."

Mendengar jawaban Haidar seperti itu, Arini serasa mendapatkan angin segar. Bibirnya tersenyum, wajahnya terlihat sumringah.
"Kita makan dulu ya mas, nanti saat di tempat makan, akan aku pikirkan lagi langkah selanjutnya."
"Ok."

Akhirnya mereka pun kembali ke mobil, lalu pergi menuju rumah makan terdekat.
"Disana saja mas!" tunjuk Arini, ke sebuah restoran Padang.
"Iya, aku parkir dulu."

Setelah mobil terparkir di tempat yang teduh, mereka pun turun dari mobil. Dan memasuki restoran Padang, yang kebetulan sepi pengunjung.
"Mas, mau pesan apa?"
"Aku ... Masa kamu lupa makanan Padang kesukaan aku sih Rin." goda Haidar.
"Baiklah, aku pesan dulu ya sebentar. Titip Satria dulu ya, mas." tanpa curiga, Arini menyerahkan putranya yang kini terlelap.

Haidar mengangguk dan mencoba untuk genit dengan mencubit dagu wanita saiko yang membungkuk memindahkan putranya, ke pangkuan Haidar.
Arini tersipu malu, seperti wanita waras yang sedang dilanda cinta.
Sepeninggal Arini, diam-diam Haidar mengirimkan titik keberadaanya kepada sang mertua.

Tidak lama kemudian, pesan WA pun berbalas 'OK'.
Haidar segera mematikan dan memasukan kembali ponselnya ke saku celana jeansnya.

Tidak lama kemudian, Arini si wanita yang disinyalir mempunyai kelainan kejiwaan ini pun kembali. Kini ia duduk di samping pria yang dulu pernah sangat mencintainya.

"Rin ...." panggil Haidar dengan suara lemah lembut.
"Ya, mas."
"Kamu tahu? Sebenarnya, aku sangat merindukan masa-masa ini. Aku muak kepada istriku di rumah, ia sangat membosankan. Hanya karena demi ibu saja, aku bersedia menikah dengannya."

Arini tersenyum dan memandang suaminya dengan penuh kemenangan, karena dipikirnya mangsa yang sedang ia incar sudah masuk kedalam perangkapnya.
Padahal, tanpa ia sadari, ia yang sudah terjebak di dalam perangkap yang ia buat sendiri.

"Oh iya mas? Tapi mengapa saat aku.ke kantormu dulu, kamu menolakku mentah-mentah?"
"Kamu tidak tahu situasi di sana, assistenku di kantor itu mata-mata istriku. Kalau aku sampai dilaporkan yang tidak-tidak kepada istriku, nanti ibu yang akan menegur dan memarahiku.
Kamu kan tahu, rasa sayang dan baktiku kepada ibu seperti apa. Aku gak mau menyakiti hatinya, aku gak mau dicap sebagai anak durhaka."
"Dasar wanita pelakor, seenaknya saja memperlakukanmu." sungut Arini, membelai rambut Haidar.
Putra dari bu Lastri itu, merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh wanita di sampingnya. Namun ia tidak bisa menolaknya, semua ini demi membuat Arini percaya bahwa ia sudah kembali seperti yang dulu. Bodoh dan penurut.
Sampai saat seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka pun, Arini tetap membelai rambut Haidar.
Pelayan restoran sempat melirik dan senyum-senyum sendiri ke arah pasangan yang sedang bermesraan di hadapannya.
Hidangan nasi khas Padang ikan bakar dan gulai kepala ikan dengan paru goreng kesukaan Haidar pun telah tersaji di meja makan.

Selanjutnya, mereka berdua pun menyantap hidangan itu.
Haidar sengaja makan dengan menggunakan sendok, agar ia tidak perlu bersusah payah mencuci tangan. Ia akan memanfaatkan kesempatan kabur, di saat Arini ke wastafel yang berada di ujung ruangan dekat toilet.
Haidar hafal betul, kalau calon mantan istrinya itu akan mencuci tangannya kembali dengan sabun, walaupun sudah disediakan air kobokan di mangkuk stainles.
Arini tidak suka bau amis terus menempel di tangannya, untuk itu setiap makan di luar ia akan melakukan kebiasaan itu.

Haidar, selesai makan lebih dulu. Ia membetulkan posisi Satria, ia memastikan kalau bocah itu akan aman disaat misi melarikan diri nanti.

Diam-diam juga Haidar telah menyiapkan uang dengan pecahan seratus ribuan, untuk ia tinggalkan di meja.
"Mas, aku cuci tangan dulu ya."
"Iya, sayang."
Haidar tersenyum, karena dugaannya benar. Terlihat Arini masuk ke dalam ruangan di ujung restoran, kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Haidar.
Secepat kilat ia bangkit dari kursinya, kemudian berjalan cepat membawa Satria keluar dari restoran.
Beberapa kali Satria menoleh ke belakang, ia khawatir kalau Arini sudah keluar.
"Uda, uangnya saya simpan di meja makan."
Tanpa menunggu jawaban dari sang pelayan restoran, Haidar berlari bergegas menuju mobilnya, yang sengaja ia parkir di ujung restoran.

Setelah di dalam mobil, ia menempatkan Satria di kursi depan. Saat sedang memasangkan sabuk pengaman, tiba-tiba saat ia menoleh ke samping kiri, sosok Arini terlihat sudah berada di ambang pintu dan berlari menuju mobilnya.
Haidar mengurungkan memasangkan sabuk pengaman untuk Satria, ia segera menancapkan gas meninggalkan Arini yang lari mengejarnya sambil berteriak-teriak.

"Brengsek kamu Haidaaarrr, aku sumpahin kamu sama anak sialan itu mati tabrakan, sampai mayatnya susah dikenalin. Bangsaaattt!"
Semua karyawan restoran dan orang-orang yang berada di sekitaran ruko tersebut berdiri menonton tingkah Arini, tidak lama kemudian datang pak Amir menghampiri Arini.
Tentu saja kedatangan pak Amir itu tidak sendiri, ia membawa serta polisi untuk menangkap wanita yang dulu pernah menjadi majikannya.

"Apaan ini, hah?" teriak Arini saat kedua pria berseragam menggiringnya untuk masuk ke dalam mobil polisi. "Apa salah saya? Dan kamu Amir, dasar manusia gak tahu diri, cuih!"
"Jelaskan saja nanti di kantor, bu." jawab seorang polisi berpangkat bripka kepada Arini.
"Maafkan saya, nyonya. Tapi kejadian di rumah sakit tadi, tidak bisa dianggap sepele." tutur pak Amir tenang.
"Silahkan pak, anda ikut kami juga ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Tolong infokan juga kepada anak menantu bapak, agar segera menyusul."
"Baik, pak."

Di dalam mobil, Arini terus meronta dan menjerit. Tidak henti ia meracau dan menyumpahi Haidar, istrinya dan pak Amir.
***

Haidar sudah sampai di kediamannya, ia langsung menggendong Satria dan membawanya masuk ke dalam.
Azzura yang sedari tadi sudah cemas dengan kondisi keduanya, langsung saja menyambut kepulangan mereka.

"Waalaikumsalam, mas dan Satria bagaimana keadaannya? Ayah, tadi menelpon dan menceritakan semuanya."
"Aku gak kenapa-napa sayang, cuma Satria kayanya dia trauma karena perlakuan ibunya tadi di rumah sakit."
"Astaghfirullah, keterlaluan sekali mas dia itu. Aku gak ikhlas, kalau sampai Satria terluka."
"Iya, sayang. Tapi sekarang dia sudah ditangkap pihak berwajib kok.
Oh iya, sayang. Bisa tolong ambilkan aku minum dan sebotol susu untuk si gembil ini, sayang?"
"Masya Allah, aku sampai lupa. Sebentar mas, akan aku ambilkan."

Beberapa menit kemudian, Azzura kembali dengan segelas air dingin dan sebotol susu hangat untuk Satria yang mulai terbangun.
"Ini, mas. Dan ini susunya sayang ...."
Satria meraih botol susu pemberian dari Azzura, secepat kilat botol susu pun sudah kosong.
"Ini, tante. Adek habisin susunya." tuturnya sambil menyerahkan botol susu kosong kepada Azzura.
Azzura tersenyum dan mengacak rambut anak gembil yang kini sedang duduk di atas sofa.
"Mau lagi?"
"Gak mau, adek udah kenyang. Nih liat, pelut adek udaj besal."
Haidar dan Azzura tertawa mendengar suara cempreng si gembil.
"Pintar sekali sih, anak ...." Haidar menghentikan ucapannya.
"Anak, tante dan om Idal. Uh, sayang." ucap Azzura meneruskan ucapan suaminya, sembari ia menghujani pipi si gembil dengan ciuman sayang.
"Sayang, nanti aku mau ke kantor polisi ya sama Satria. Untuk memberikan keterangan, atas percobaan pembunuhan yang dilakukan Arini kepada Satria." bisik Haidar.
"Aku ikut ya, mas. Supaya Satria merasa tenang, aku cemas dengan kondisi psikisnya, hiks."

Haidar segera memeluk tubuh istrinya yang tidak bisa menahan tangisnya, "ssstt, sudah sayang jangan menangis. Tuh, Satrianya juga pulang dengan selamat."
"Tante kok nangis? Sini adek puluk (peluk)." suara cempreng bocah lucu itu kembali terdengar.
Azzura langsung tertawa disela tangisannya, "sini sayang, tante sayang adek."
Satria langsung berdiri dan memeluk Azzura, yang kini mulai mempunyai arti penting di dalam kehidupannya.
Haidar tersenyum melihat keakraban istrinya dengan anak kecil yang bukan siapa-siapa bagi istrinya itu.
'Masya Alloh, Azzura ... Hatimu sangat lembut dan penyayang, kamu yang bukan ibunya saja, merasa sakit dan sedih saat anak ini merasa kesakitan.'

Dari dalam dapur, diam-diam bik Minah mengintip ke ruang tengah, ia terharu dan ikut menangis saat majikan barunya itu menangis karena khawatir kepada anak yang diasuhnya selama ini.

"Mbak Azzura, manusia berhati malaikat. Diberkatilah hidupmu mbak, dengan kebaikan dan kebahagiaan dari Alloh."

==========

Saat menjelang petang, Haidar yang ditemani istrinya juga bik Minah sampai di halaman kantor polisi.

Haidar menggendong Satria masuk ke dalam untuk memberikan kesaksian, sementara Azzura dan assisten tumah tangganya duduk di kursi ruang tunggu.

Sesaat Haidar masuk, tampak pak Amir berjalan keluar dari ruangan dimana barusan menantunya masuk.
Azzura berdiri dan langsung memeluk ayahnya, "ayah baik-baik saja? Arini gak melukai ayah kan?"
"Alhamdulillah, ayah baik. Mari kita duduk."
"Iya, yah."
Bik Minah tersenyum dan memanggutkan kepalanya kepada pak Amir.
"Ayah tadi sudah memberikan kesaksian, semua yang ayah ketahui tentang Arini sudah ayah sampaikan kepada pihak yang berwajib. Dan tadi juga ada beberapa orang dari rumah sakit yang dipanggil untuk menjadi saksi juga.
Oh iya, bik Minah. Maafkan, tadi saya secara tidak sengaja menyebut nama bibik sebagai salah satu orang yang mengetahui tindak-tanduk mantan majikan kita. Untuk itu, nanti polisi juga akan memanggil bibik sebagai saksi.
Bibik gak keberatan kan?"
"Tidak, pak Amir. Saya akan bercerita sejelas dan sedetail mungkin, saya greget sama ulah bu Arini. Kok begitu banget sama anaknya."
"Makasih ya, bik. Kita sama-sama berdoa agar, semua prosesnya berjalan lancar."
"Iya, pak. Semoga, amiinn."
Benar saja, apa yang dikatakan oleh pak Amir tadi tentang bik Minah. Satu jam berselang, seorang polisi menghampiri mereka bertiga.

"Selamat malam, pak, bu. Maaf saya mengganggu, saya meminta kepada ibu Aminah tanpa Cendrakasih (maknyak-nya si Doel) untuk ikut saya ke dalam, kesaksian anda sangat diperlukan untuk keperluan penyidikan kami."
"Baik, pak polisi. Pak Amir, mbak Azzura, saya permisi dulu."
Bik Minah pun berjalan mengekor di belakang polisi yang menjemputnya, tangannya terasa dingin karena seumur hidupnya baru kali ini ia melakukan hal seperti ini.

Pemeriksaan kesaksian antara Haidar dan bik Minah dilakukan di ruangan terpisah, lalu pada pukul 20.40 pemeriksaan terhadap keduanya pun usai.
Haidar yang menggendong Satria juga bik Minah yang berjalan di sampingnya, mengucap syukur dan bernafas lega karena mereka telah melalui semua proses pemberian kesaksian dengan baik dan lancar.

"Bibik lega, mas. Karena sekarang Satria, aman."
"Iya, bik. Saya juga lega, karena kini ibu gila itu sudah dikurung di dalam tahanan. Biarlah anak ini saya dan Azzura yang urus, apapun hasil test DNA nya."
"Alhamdulillah, ya Alloh. Gusti pangeran, bibik senang sekali mendengarnya, mas. Makasih banyak mas Haidar."
"Iya, bik. Bibik juga tetap tinggal sama-sama kami ya, kasihan Azzura sebentar lagi akan melahirkan."
"Beress, mas."

Melihat suami dan assisten rumah tangganya berjalan bersama, Azzura bangkit dan menyambut mereka.
"Sini, sayang sama bibik." tutur bik Minah kepada Satria.
Azzura mencium Satria dengan penuh sayang, kemudian ia merangkul suaminya dan berjalan bersama menuju kursi ruang tunggu dimana di sana sudah ada pak Amir yang sudah duduk menunggu.
***

Haidar tampak cemas duduk di lobi sebuah rumah sakit, ia sedang menunggu kenalannya yang akan membawa hasil test DNA Satria dengannya.

"Maaf mas, menunggu lama. Tadi saya selesaikan dulu jam praktik saya, ada tambahan pasien ternyata yang urgent." tutur Danang, seorang dokter anak di rumah sakit tersebut.
"Iya, gak apa-apa mas Danang." ucap Haidar sambil menjabat tangan laki-laki berkemeja biru langit di hadapannya.
"Ini, mas hasilnya. Sudah saya buka, sesuai dengan permintaan mas Haidar. Hasil testnya menyatakan kalau pihak rumah sakit pusat, sudah menguji secara paralel sampel dari mas Haidar dan Satria. Hasilnya, bayi ini bukanlah bayi biologis mas Haidar. Itu artinya, hasilnya adalah NEGATIF mas. Satria bukan darah daging mas Haidar."

Seketika wajah Haidar terlihat lega, karena ia tidak merasa bersalah atas apa yang telah menimpa Satria selama ini. Namun ia juga sedih, karena setelah mengetahui kebenaran, pastinya nanti pihak keluarga Arini akan menuntut agar ia mengembalikan anak dari Arini itu kepada mereka.

"Saya bingung mas, harus senang atau sedih dengan hasil ini. Yang jelas semua sudah terungkap."
"Iya, mas. Coba saja bicarakan semuanya dengan istri dan keluarga besar, tindakan apa yang baik untuk kelangsungan masa depan Satria ini."
"Terimakasih banyak masukannya, akan saya lakukan mas sarannya."
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Haidar berpamitan untuk pulang.
***

Sesampainya di rumah, Haidar meminta istri dan ibu juga kedua kakaknya untuk berkumpul.
Sudah hampir seminggu mereka berada di Jakarta, untuk menghadiri syukuran tujuh bulanan Azzura yang sudah dilaksanakan dua hari yang lalu.

"Ibu, ndak setuju Dar." ucap bu Lastri pelan.
"Aku dan mbak Tika juga sama Dar. Kan sudah jelas to, bukan anakmu. Kan ada nenek dan kakeknya di kampung, sudah berikan saja kepada mereka. Toh mereka juga semenjak anaknya kabur ninggalin kamu, malah musuhin ibu dan kita semua.
Bilang sama tetangga, katanya si Arini kabur gara-gara kamu terlantarkan. Wong edan!"
"Sabar, mas. Tapi aku khawatir, dengan keselamatan anak itu. Aku takut dia dicelakai lagi, hatiku ndak tenang mas, mbak, bu." bantah Haidar.
"Apa yang diucapkan mas Haidar benar bu, mbak, mas. Bukan cuma mas Haidar yang khawatir, tapi saya juga." tukas Azzura pelan, wajahnya tertunduk. "Apalagi sekarang, aku sudah mulai menyayanginya. Dia lucu dan sangat pintar."
"Sayang, ibu tahu dengan perasaanmu juga Haidar. Tapi seorang anak, lebih baik berada di bawah pengasuhan keluarga kandungnya.
Ibu ndak mau, suatu saat nanti kalian akan terkena kasus penculikan anak, ibu yakin keluarga Arini gak akan tinggal diam. Ibu seperti ini bukan jahat atau tega, tapi karena ibu sangat menyayangi kalian berdua. Mengertilah, nak!"
"Begini saja, bagaimana kalau kita menunggu keluarga si Arini datang ke Jakarta saja? Pas hari vonis, pasti mereka akan datang. Nanti disitu kita akan membahas semuanya." usul Haryanto.
"Baiklah, mas. Aku setuju, tapi sebelum sidang putusan belum dilaksanakan, biarkan kami merawatnya." sahut Haidar.
"Iyo, iya to bu ndak apa-apa kalau begitu?" ujar Haryanto, menoleh ke arah ibunya.
"Iyo, ndak apa-apa. Sing penting, kalian jangan bertindak tanpa sepengetahuan kami yo, bukan apa-apa kami ini jauh. Kalau kalian kenapa-napa, kami di kampung kepikiran terus."

Haidar dan Azzura tersenyum lega.
***

Hari penentuan atas sidang kasus yang menjerat Arini pun tiba, sidang akan dijadwalkan pagi ini tepat pada pukul 09.00.

Haidar beserta istri juga Satria, sudah berada di perjalanan menuju Pengadilan.
Dengan harap-harap cemas, keduanya menantikan putusan hakim dan jaksa untuk Arini.
Pihak keluarga Arini pun turut hadir, diantaranya ada ayah, ibu dan juga pamannya.

Keputusan sudah ditetapkan, akhirnya wanita yang berasal dari Sidoarjo itu pun di tuntut atas pasal penganiayaan serta percobaan pembunuhan.
Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Tidak ada raut penyesalan, di wajah wanita berpakaian hitam putih tersebut.
Ia menatap sinis kepada semua orang yang hadir di persidangan itu, terutama kepada sepasang suami istri yang selama ini sangat ia benci, siapa lagi kalau bukan Haidar dan Azzura.

Usai persidangan, Haidar mencoba untuk membicarakan perihal Satria kepada pihak keluarga mantan istrinya itu.
Ayah Arini yang kini sudah mulai melunak sikapnya, berucap kalau ia keberatan bila harus mengurus Satria.
"Tapi, kenapa ayah tidak mau?"
"Maaf, nak. Bukan ayah tidak mau, tapi ... Sebetulnya Satria ini, bukan anak kandung Arini."

Baik Haidar juga Azzura saling bertatapan, karena sangat terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan ayah dari Arini itu.
"Lantas, dia anak siapa yah?"
"Dia anak adopsi." jawab ayah Arini lemas, wajahnya tidak dapat menyembunyikan kesedihan.
"Untuk apa dia mengadopsi anak ini?"
"Setelah meninggalkanmu, dia punya pacar seorang pekerja pelayaran, yang pulangnya setiap delapan bulan sekali. Untuk alasan keuangan, Arini berpura-pura hamil dan meminta pertanggung jawaban pria itu.
Dan benar saja, siasatnya berhasil. Pria itu setiap bulan, memberikan sejumlah uang yang lebih besar dari biasanya semenjak tahu kalau kekasihnya itu hamil.
Saat waktu kepulangan pacarnya itu sudah dekat ....
Ia pun nekat mengadopsi Satria, saat masih bayi berumur kurang dari 40 hari. Karena memang kebetulan sekali, di panti asuhan itu Satria baru diketemukan. Orang tua kandung Satria entah siapa dan ada di mana, karena dia dibuang di dalam kardus oleh orang tuanya. Menurut pengurus panti asuhan tempat dimana Arini mengadopsi Satria. Diduga anak ini adalah ... Anak lahir di luar nikah, atau anak hasil dari perselingkuhan."
"Mengapa ayah mendiamkan tindakannya?"
"Ayah baru tahu kemarin, saat menjenguknya di dalam penjara. Selama ini dia mengaku, kalau ... Kalau Satria ini anakmu. Makanya ayah dan ibu sangat membencimu, nak. Tolong maafkan kami!"
"Masya Alloh, Arini sungguh tega sekali. Ayah jangan pernah meminta maaf, aku tidak pernah merasa sakit hati kepada ayah juga ibu. Sungguh malang benar nasibmu naaak." tutur Haidar.

Mendengar penjelasan ayah Arini, Azzura tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya. Ia mendekap erat tubuh kecil bocah yang duduk di pangkuannya, dan menciuminya berkali-kali.
"Jangan takut, sayang. Mulai hari ini, tante akan menjadi mamamu. Sampai kapan pun, kamu adalah anak mama. Akan mama didik dan sekolahkan kamu sampai kelak menjadi orang yang sukses." ucap Azzura di telinga kecil Satria.

Haidar pun sama terpukul seperti sang istri, ia merangkul tubuh Azzura dan menciumi rambut istrinya yang tertutup jilbab hoodie motif Gucci merah marun.
***

"Setelah semua tenang, akan kita urus perpindahan adopsinya sayang. Kita masukan Satria kedalam KK kita, kamu setuju?" bisik Haidar di dalam mobil saat perjalanan pulang.
"Nanti aku hubungi papa ya mas, untuk minta bantuan pengacara mengurus semua ini. Aku gak rela, kalau Satria dikembalikan ke panti asuhan."
"Iya, sayang. Sudah ya, jangan sedih lagi. Bismillah, insya Alloh -- Alloh akan mempermudah niat baik kita ini." hibur Haidar, sambil mengelus kepala istrinya yang sedari tadi terlihat murung. "Senyum dulu dong."
"Hehe, iya mas. Makasih ya, aku makin cinta deh sama mas."
"Aku juga, sayang. Kita akan membesarkan Satria, tanpa membeda-bedakannya dengan anak kandung kita."
"Aku akan berusaha bersikap adil, insya Alloh aku akan adil."
"Sekarang, jangan sedih lagi ya! Masalah Arini sudah selesai, tinggal kita pikirin nama untuk calon anak kita nih yank."
"Hihi, jenis kelaminnya saja belum tahu."
"Lagian, kamunya bandel sok-sok'an gak mau dikasih tau sama dokter saat USG dua minggu yang lalu. Padahal dokter sudah bilang, kalau jenis kelaminnya sudah jelas."
"Hehe, biar kejutan mas. Kan yang penting aku sudah tahu, kalau bayi kita sehat, normal dan sempurna."
"Tapi, kan akunya jadi kepikiran sayang. Mau kasih nama siapa, bingung."
"Siapin aja nama untuk kelamin dua-duanya, pas brojol udah lihat cewek apa cowoknya, baru deh pilih yang sesuai."
"Bisa aja, kalau ngeles. Makin gemas deh. Tar malam yuk ...."
"Malam apa? Yuk kemana?"
"Ituu."
"Apa?"
"Ituuuuu."
"Gak ah, aku lelah banget. Gak mood juga, jadi gak enak ke akunya."
"Di enakin aja, kamu diam aja."
"Apalagi begitu, gak seru. Emangnya aku gedebok pisang."
"Haha, ngeres."
"Loh, memangnya mas mau ngapain?"
"Aku ngajak kamu buat lanjutin dekor kamar untuk Satria, kok jadi bawa-bawa gedebok pisang siihh. Haha."
"Ahhh, maass bikin aku malu aja. Emak-emak yang lagi baca pasti ngetawain aku tuh, huh jahaaattt."
"Haha, habisnya ngeres aja. Aku belum selesai ngomong udh main samber aja."
"Males, sebel sama mas."
"Sssttt, jangan berisik. Nanti Satria bangun, haha."
"Hihi, nyebelin ih."
"Tapi kamu gak pernah nyebelin, selalu nyenengin."
"Masa?"
"Bodo, haha."
"Maaaasss, arrgh. Aku marah beneran niihh!"
"Emangnya ada marah kawe?"
"Au ah cerah."
"Kok cerah?"
"Kalau aku bilang gelap, tar mas bilang aku tukang bohong. Masih siang kok dibilang gelap."
"Haha, gemaaaasss deh."

Tangan kiri Haidar pun mengusap lembut ubun-ubun istrinya, yang kini tersenyum karena tergugu kejahilan suaminya yang tiada hentinya.

"Hari yang sangat melelahkan." ucap Haidar seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang, dengan kedua tangan dilipat di dada.
"Bukannya senang ya."
"Senang kenapa, sayang?"
"Ketemu Arini di persidangan, hihi."
"Halah, nama itu tidak lagi dibahas."
"Haha, dulu dipuja-puja."
"Haha, sudahlah. Jangan ungkit masa lalu, tar kamu disomasi Inul Daratista."
"Mulaaiii, tapi aku kepo. Apa hubungannya masa lalu sama Inul?"
"Gak gahul sih, masa lalu kan single terbaru Inul Dartista. Haha ...."
"Wkwk, dasar generasi jadul."
"Jadul juga keren."
"Haha, maksain."
"Yank ...."
"Apa mas?"
"Sini dong! Sibuk amat di depan meja rias itu, lama-lama bercermin tar pecah loh kacanya."
"Huu, bentar aku pakai parfum dulu biar wangiiii."
"Hehe, iya-iya."

Tidak lama kemudian, Azzura pun berangsut duduk di samping suaminya.
Tubuh bagian atasnya ia sandarkan di atas dada pria yang sangat ia cintai.
Haidar mencium bau parfum khas istrinya, matanya terpejam dan kemudian ia mencium ubun-ubun sang istri dengan lembut.
"Sayang." bisik Haidar.
"Apa mas?"
"Makasih ya."
"Untuk apa?"
"Satria."
"Aku sayang dia, mas. Aku yakin, sudah besar nanti dia akan jadi orang yang berbudi baik sepertimu."
"Amiinn, semoga. Kita sama-sama menjaganya ya sayang."
"Iya, mas."
"Oh iya, apakah kamu mau mengganti namanya?"
"Memang bisa?"
"Bisa, kata pengacaranya papa beliau bisa urus prosesnya. Aku gak mau suatu hari ia dicari-cari lagi oleh Arini."
"Ok, mas saja yang beri nama untuk dia."
"Ok, nanti saja bersamaan dengan anak kita lahir ya sayang."
"Beres, atur aja."
"Sekarang ... Aku mau kamu."
"Hehe, aku juga."
Azzura menatap hangat wajah suaminya, yang ditatap mengerlingkan matanya nakal.

Perlahan Haidar memagut bibir istrinya dengan penuh cinta.
***

Di dalam penjara tidak membuat Arini bertaubat, ia semakin liar berulah.
Teman satu selnya sering kali menjadi sasaran kemarahannya, rasa-rasanya wanita itu mengalami depresi yang luar biasa.
Emosinya sewaktu-waktu bisa berubah dengan cepat, bisa jadi juga dia mengalami kelainan jiwa.
Beberapa kali juga ia ketahuan untuk mengakhiri hidupnya, ia berujar tidak tahan harus mendekam di dalam hotel prodeo tersebut.
Untuk itu, kini ia dimasukan ke dalam ruangan isolasi. Semua demi untuk kebaikannya juga, agar bisa insyaf dan tidak mencelakakan napi yang lainnya.

Kita tinggalkan kehidupan Arini yang sangat mengenaskan.
Mari kita simak kebahagiaan yang sedang meliputi keluarga kecil Haidar.
Istrinya, telah melahirkan anak pertama mereka, bayi berjenis kelamin laki-laki itu sungguh sangat membuat mereka bahagia.
Keluarga besar Haidar dan juga keluarga Azzura datang berkumpul di kediaman mereka.
Pak Amir pun tampak akrab sekali dengan papa angkat Azzura, keduanya sangat asyik berbincang membahas tentang semua hal.
Rasa suka cita tergambar jelas, di wajah pasangan suami istri itu.

Satria pun kini sudah terbiasa memanggil Azzura dan Haidar dengan panggilan 'mama dan papa'.
Nama baru pun telah disematkan kepada bocah kecil yang dulu di adopsi oleh Arini tersebut, nama Satria kini telah berganti dengan HAIKAL FIRDAUS.
Sedangkan bayi laki-laki mungil yang dilahirkan melalui proses persalinan operasi cesar itu diberi nama, HAISYAM FIRDAUS.

Kini Haikal, mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari keluarga keduanya.
Beruntunglah anak malang itu, setelah melewati kehidupan yang pelik dan getir. Kini berganti dengan kebahagiaan yang tidak terkira.

Sungguh Alloh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
***

"Sayang, udahan dong marahnya! Aku ngaku salah tadi pukul kakinya Haikal, habis dia nakal hampir menginjak adiknya."
Azzura masih bergeming, dia tidak suka suaminya bersikap kasar terhadap 'putra' pertamanya itu.
"Udah ya, maafin aku. Kalau kamu masih marah, aku bobo diluar nih."
Dengan cepat Azzura menarik tangan suaminya.
"Jangan dong, mas."
"Ya sudah kalau gitu, maafin aku ya."
"Iya, tapi jangan kasar lagi ya sama si kakak."
"Huum sayang, muach."
Haidar menciumi tengkuk istrinya, Azzura menggeliat kegelian.
"Sayang, sudah dua bulan nih. Kamu sudah siap belum?"
"Hehe, masnya mau?"
"Yaaaa ... Iyalah, masa yaaa iya dong. Istri udah 'siap' dianggurin, mubazir dong! Hahaha."
"Haha, maaasss."

Akhirnya malam itu, mereka melepaskan hasrat mereka setelah dua bulan lamanya menahan rasa rindu yang tidak terkira.

*THE END*

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER