Cerita bersambung
Tin ... Tiinnn ...
Suara klakson mobil di luar , membuat Azzura bergegas keluar rumah.
Yoga sudah duduk manis di dalam mobil, tersenyum saat melihat kekasih hatinya berjalan cepat menghampirinya.
"Kenapa gak masuk dulu sih?"
"Gak mau ah maless."
"Hmmm ...."
Azzura mencubit perut Yoga.
"Aww, sakit dong sayang."
"Habisnya pagi-pagi udah bikin kesal, ngejemput kok kaya gak ikhlas, buru-buru banget. Aku belum sarapan tahu."
"Jangan marah-marah gitu dong, pamali pagi-pagi udah ngambek. Sengaja aku jemput kamu pagi sekali, aku ingin sarapan bersama."
"Oh gitu, hehe. Ok deh, kita sarapan nasi uduk yuk."
"Siap nyonya Aditya Yoga Pratama."
Gadis berkemeja coklat itu mesem-mesem, melihat sang pujaan hati tersenyum sendiri, Yoga mencubit gemas hidung Azzura.
Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di warung nasi uduk langganan mereka sewaktu zaman masih kuliah dulu.
"Nostalgia ya sayang."
"Heem, sudah lama aku gak makan disini."
"Mau sepiring berdua?"
"Ogah ah, malu tahu Ga."
"Ngapain mesti malu, cuek aja lagi. Romantis lah sedikit, kamu gak pernah mesra atau manja sama aku, aku jadi curiga."
"Curiga kenapa?"
"Jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan, kamu gak cinta ya sama aku? Kamu menerima aku, kembali karena gak enak hati."
"Jangan ngaco ah, pagi-pagi udah bicara yang tidak-tidak."
Azzura memalingkan wajahnya kesamping, berusah menyembunyikan kebenaran yang baru saja diungkapkan oleh Yoga.
Memang kini, rasa cinta kepada Yoga dirasanya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah rasa hutang budi, karena Yoga sangat perhatian dan baik kepadanya.
Ia merasa dilindungi dengan kehadirannya, tidak lebih.
***
"Sayang, maafkan aku. Aku gak bisa menjemputmu besok-besok, ada tender besar yang harus aku urus. Jadi siang nanti aku harus terbang ke Malaysia, kamu gak apa-apa kan?"
"Iya Ga, gak apa-apa. Kamu yang semangat ya kerjanya, jangan ngoyo."
"Iya dong sayang, kan aku bentar lagi akan jadi seorang suami, hehe...."
"Iya nanti, kalau aku sudah bicara kepada papa untuk mau menjadi waliku."
"Hari ini saja yuk, kita menemui papamu, kamu izin sebentar masuk agak siang. Aku ada waktu sampai jam 11 siang ini."
"Sebentar aku hubungi dulu pak Haidarnya ya."
"Ok, sayang."
Haidar mengizinkan, akhirnya Yoga memutar balikan mobilnya, mereka kini sedang menuju rumah papanya Azzura.
"Baik sekali ya, bossmu itu."
"Kalau alasannya masuk akal, pasti beliau mengizinkan."
"Aku curiga."
"Kenapa lagi?"
"Dia suka sama kamu kayanya."
"Udah deh, jangan bikin gosip murahan. Beliau sudah punya istri, jangan ngaco."
"Ok, ok ... Maafin aku, cintaku terlalu besar kepadamu, sehingga aku jadi terlalu takut kehilanganmu."
'Huff, Yoga bisa-bisanya bicara seperti itu. Pak Haidar tidak pernah mencintaiku, namun aku yang kini mulai mengagumi dan menyukainya. Walaupun tidak mungkin untukku dapat bersamanya, biarlah kunikmati rasa ini sendiri.'
Satu jam kemudian, Yoga dan Azzura sampai di pekarangan rumah besar dan mewah.
Ting ... Tong ...
Pintu terbuka, seperti biasa bi Surti yang muncul menyambut kedatangan mereka.
Bi Surti memeluk Azzura dengan erat.
"Bapak gak ada non, lagi pergi sama ibu."
"Kemana bi?"
"Lagi umroh, baru tiga hari yang lalu berangkatnya."
"Apa si jalang itu gak takut diazab pergi ke rumah Alloh?" celetuk Azzura.
Bi Surti dan Yoga tersenyum sekilas, mereka tidak banyak berkomentar, mereka memahami perasaan yang dirasakan oleh Azzura.
Azzura kemudian duduk, mengeluarkan pulpen dan buku tulis.
Ia menulis surat untuk papanya, surat yang isinya pemberitahuan kalau ia akan kesini lagi untuk meminta papanya itu mau menjadi wali disaat pernikahannya nanti.
"Kapan non Yuana menikah?"
"In shaa Alloh, bulan depan bi."
"Bibi ikut senang ya non, mas."
Yoga tersenyum kepada bi Surti, Azzura menyerahkan surat tanpa amplop tersebut kepada bi Surti.
"Kasihin ke papa ya bi, jangan kasih ke si jalang itu."
"Iya non, tenang aja. Non mau makan dulu?"
"Enggak bi, terimakasih."
"Tapi, bibi mau bawakan non bekal makan, mau ya?"
"Hmmm, iya deh boleh."
Bi Surti pamit ke dapur, tidak lama kemudian ia kembali membawa kotak nasi susun berisi nasi dan lauk pauk.
"Makasih ya bi."
"Sama-sama non, jaga kesehatan ya. Bibi lihat, non Yuana kurusan."
"Hehe, lagi diet bi. Kan mau nikah. Ya sudah bi, kami permisi ya."
"Iya non, hati-hati."
"Mari bi Surti, kami pulang dulu." pamit Yoga.
"Iya, mas."
Bi Surti mengantar Azzura dan Yoga, sampai di ambang pintu.
"Kapan ya aku bisa menemui papamu? Sedangkan aku di malaysia sekitar dua sampai tiga minggu lamanya."
"Sudah, jangan dipikirin. Biar nanti aku saja yang temui papa. Tidak akan pengaruh kok Ga, walaupun kamu tidak ikut bertemu. Dia terlalu sibuk dengan istrinya."
"Tapi ... Aku gak enak, masa mau menikahi putrinya, gak sopan saat mau minta izin malah gak datang."
"Ah, peduli amat sama penilaiannya, abaikan saja. Percayalah kepadaku, semua akan baik-baik."
"Huff, baiklah. Namun nanti tolong sampaikan salamku kepada beliau ya Yuana, tolong jelaskan keadaanku yang memang sedang ada pekerjaan. Bukan aku tidak mau menemuinya."
"Iyaaa bawel, sudah berangkatlah dengan tenang."
"Terimakasih honey, i love you."
Azzura tersenyum membelai bahu Yoga.
"Tuh kan gak jawab ...."
"Memang kamu kasih aku pertanyaan?"
"Ck! Kan tadi aku ucapin i love you."
Wajah Yoga terlihat kesal.
"Hmmm, i-i love you too, Ga."
"Bisa gak, kamu panggil aku dengan sebutan 'sayang'? Jangan nama terus ... Kok aku merasa saat kamu bersamaku, hatimu berada di suatu tempat yang aku gak tahu."
"Kok begitu ngomongnya?"
"Aku bisa merasakan, aku gak pernah lihat mata kamu berbinar bahagia saat bertemu denganku, semuanya biasa saja. Datar ...."
"...."
"Selalu saja diam, aku kesal lama-lama sama kamu Yuana."
"Jangan mulai ... Aku lagi pusing, jangan memancing keributan pagi-pagi!"
"Aku gak mau ngajak kamu berdebat, aku hanya komplain tentang sikapmu kepadaku, kalau memang kamu terpaksa bilang saja, kan aku gak memaksa."
"Sudahlah, aku mau turun disini saja."
"Diamlah! Aku akan mengantarmu sampai ke kantor."
"Aku mau turun disini, berhentii!"
"...."
Yoga bergeming, ia melajukan mobilnya semakin kencang, hal itu membuat Azzura semakin emosi.
"Berhenti! Atau, aku akan lompat."
Yoga segera mengunci otomatis semua pintu mobilnya, Azzura mencoba terus membuka pintu mobil Yoga.
"Aku hanya ingin diperlakukan layaknya kekasih Yuana, walaupun tidak dengan kata-kata, tapi dengan sikap dan perhatian. Tapi selama ini kan tidak begitu, entah mengapa kamu bersikap acuh tak acuh kepadaku. Aku sedih Yuana, aku ingin cintamu. Tidak lebih! Mengapa kamu marah, sampai mau lompat dari mobil. Kalau memang aku salah, tolong maafkan aku."
Azzura bergeming, wajahnya masih saja ditekuk. Tidak ada sepatah katapun yang di ucapkan olehnya kepada Yoga.
"Kita sudah sampai, tolong maafkan aku ya sayang."
Yoga menatap wajah kekasihnya dengan wajah memelas, namun hal itu tidak membuat hati Azzura melunak. Ia masih tetap cembetut, tidak ada rona ramah di wajahnya.
"Buka kunci pintunya!"
"Maafkan aku dulu, baru aku bukakan." Yoga meraih tangan kanan Azzura.
"Ya, sudah aku maafkan."
"Aku tidak menuntut banyak darimu Yuana, aku hanya kamu menunjukan rasa cinta dan sayangmu kepadaku. Walaupun itu hanya sedikit, tak apa. Aku akan sangat bahagia."
"Sudah ya Ga, aku harus segera masuk. Tidak enak, lama-lama di dalam mobil."
"Baiklah, tapi janji ya kamu sudah tidak marah kepadaku!"
"Iya ...."
"Senyum dulu dong."
Akhirnya, Azzura menyunggingkan senyum untuk pria yang sedari tadi mengemis cinta kepadanya.
"Maafin aku juga ya, aku tadi terbawa suasana kesal kepada papa."
Azzura mengecup pipi Yoga.
"Terimakasih sayang."
"Hati-hati di jalan ya Ga, segera kembali untukku. Sebulan lagi kita menikah, yang semangat kerjanya."
"Ok, begitu pekerjaan selesai, aku akan segera kembali. Aku tidak betah lama-lama berjauhan denganmu, sayang."
Yoga mengecup kening Azzura, dan kembali membisikan kata-kata cinta di telinga sang pujaan hatinya.
"Terimakasih Aditya Yoga Pratama, atas cinta dan kasihmu yang begitu besar untukku. Maafin aku, gak bisa mengantarmu ke bandara."
"Gak apa-apa sayang, kamu juga yang semangat ya kerjanya. Jangan lupa, ajukan resign segera ya. Masalah hutangmu kepada pak Haidar, itu menjadi urusanku. Kamu tidak usah khawatir, ok!"
"Huum, bye Ga. I will miss you."
"Terlebih aku, bye sayang."
***
Ponsel Azzura bergetar, sebuah pesan masuk. Segera ia membuka pesat singkat WA itu.
[Papa ada di rumah, jam 20.00. Datanglah!"]
Azzura tersenyum lega, dan membalas pesan dari papanya.
[Baik, pa.]
Tanpa ia sadari, sosok Haidar sudah berdiri berkacak pinggang sejak tadi di depan mejanya.
"Eh, eh ... Bagus ya, ditinggal ke lapangan kerjanya main hp terus. Ada waktunya bu Azzura Yuana, bagaiman dengan pekerjaanmu apakah sudah selesai semua?"
Azzura yang cenderung ceroboh seperti biasa akan melemparkan barang yang dipegangnya ketika merasa terkejut.
Kali ini, ponselnya yang ia lempar dan terjatuh di atas papan keyboard yang ada di mejanya.
"Ma-maaf pak, ini saya balas pesan dari papa."
"Papa Yoga? Papa ketemu gede kalau itu."
"Eh anu, bukan pak. Sungguh, ini dari.papa saya."
Dengan kesal, Haidar masuk ke dalam ruangannya.
Brug ...
Haidar menutup pintu pintu agak kencang.
"Weleh-weleh, apes lagi gue." sungut Azzura.
Rekan-rekan sekerjanya tertawa pelan.
"Yang kencang tertawanya, hayo kalau berani." tantang Azzura kesal.
"Uhh, atut." ledek Marsya.
"AZZURAA, CEPAT SELESAIKAN BERKAS YANG TADI SAYA KASIH! JANGAN NGERUMPI TERUSSS!" teriak Haidar dari dalam ruangan.
Azzura berdiri dan mengepalkan kedua tangannya kesal.
"Uuuuhhhh, pengen gue unyeng-unyeng rasanya, uuuuuhhhh." gerutu Azzura emosi.
"Hihihi ... Hihihi ...." terdengar cekikikan dari rekan-rekan sekerjanya.
"Azzura, kami pulang duluan ya!" pamit Marsya, Tita dan Dilla.
"Ok, hati-hati dijalan."
Azzura masih berkutat dengan pekerjaannya yang masih menumpuk, masih sekita lima berkas lagi yang harus rampung di hari itu.
Entah mengapa, hari ini Azzura bekerja tidak bisa fokus seperti biasanya.
Haidar keluar dari ruangannya, ia menenteng tas leptop.
"Kamu mau lembur?"
"Iya pak, sisa lima berkas lagi."
"Huff, hari ini kerjamu lelet sekali. Ada apa?"
"Gak ada apa-apa pak, biarlah sekalian saya menunggu waktu."
"Ada janji sama pacarmu?"
"Bukan. Yoga sedang di Malaysia."
"Terus sama siapa?"
"Papa."
"Hubunganmu sudah membaik?"
"Belum, aku mau bicara untuk memintanya menjadi waliku."
"Pasangan aneh, mau nikah kok belum bicara sama orang tua."
"Bapak tahu lah, kondisinya seperti apa."
"Ya, ya ... Aku paham, sini aku bantu pekerjaanmu supaya cepat selesai."
"Hehe, terimakasih pak."
Haidar segera menarik kursi, dan ia duduk di samping Azzura.
Ia kini membantu mengerjakan pekerjaan Azzura, saat adzan maghrib berkumandang di ponsel Azzura, Haidar mengajaknya untuk shalat bersama.
"Saya lagi haid pak."
"Ok, aku shalat dulu ya."
"Iya, pak."
Sepeninggal Haidar ke mushala, Azzura terus saja menyunggingkan senyuman. Entah mengapa ia merasa sangat senang dapat duduk berdua dengan pria galak itu.
Ada debaran yang aneh di jantung Azzura saat ia sedang berduaan dengan Haidar, perasaan bahagia dan nyaman.
Perasaan yang tidak ia rasakan saat bersama Yoga.
'Apa mungkin, aku mulai menyukai pak Haidar? Hush, jangan sampai. Aku tidak ingin menyakiti Yoga, yang sudah sangat baik kepadaku.'
==========
Azzura semakin asyik dengan khayalannya, khayalan tentang Haidar tentunya. Bos galak yang kini sudah mulai mencuri hatinya.
Namun baru sebentar berkhayal, suara Haidar membuyarkan semuanya.
"Tuh kan, bukannya kerja malah melamun."
"Hehe, maaf pak."
"Mari kita lanjutkan, tinggal dua berkas lagi kan?"
"Iya, pak."
Haidar kembali duduk di samping Azzura.
"Aku saja yang mengetik ya."
"Ok, pak."
Dengan cepat jari jemari Haidar menari-nari di atas keyboard, jarak mereka semakin dekat karena letak PC dan keyboard berada si ujung meja, sementara Azzura duduk memojok ke dinding.
Azzura menghirup aroma maskulin Haidar, ia memejamkan matanya menikmati sensasi wangi yang sungguh dapat menenangkan hatinya.
"Hei, nona ... Kok tidur?"
Azzura membuka matanya, tersipu malu.
"Ckck, tadi begong, sekarang melamun. Hadeuh, gak beres kinerja kamu semenjak mau menikah."
'Aku gak beres gara-gara kamu, pak Haidar.' batinnya.
"Maaf, pak."
Kembali, Azzura membacakan setiap kata yang tertera di berkas laporan yang dibuat oleh rekan-rekannya.
Waktu sudah menunjukan pukul 19.00, semua berkas sudah selesai dikerjakan. Mereka bergegas untuk pulang.
"Pulang sama-sama saja ya, rumah papamu searah dengan rumahku."
"Memangnya bapak tahu?"
"Aku sudah pernah kesana, dengan bu Santi."
Azzura mengernyitkan dahinya, bingung.
"Sewaktu mamamu meninggal dulu, bu Santi memintaku mengantarnya kesana, untuk memberitahukan hal itu kepada papamu."
"Tapi kenapa dia tidak datang?"
"Beliau tidak ada, sedang pergi."
"Pastinya, sibuk dengan si jalang."
"Sstt, jangan mengumpat, tidak baik. Mari kita pulang."
"Iya pak."
Mereka berdua berjalan beriringan menuju lift, lalu parkiran tempat mobil Haidar diparkir.
"Kita makan dulu ya."
"Ok, pak."
Mobil melaju di jalanan yang macet, setengah jam kemudian mereka sampai di sebuah kedai makan.
"Kamu mau makan apa?"
"Bebek goreng, sambal ijo aja pak."
"Bebek sambal ijo, 2 ya mbak. Minumnya es jeruk."
Azzura mencuri pandang, netranya menatap wajah teduh Haidar.
'Seandainya, rasa cinta ini hadir sejak awal, mungkin aku tidak akan mengalami 'DILEMA DIANTARA DUA CINTA'. Sosokmu kini membuatku terpesona, walaupun dirimu sangat kasar dan jutek, tidak romantis dan puitis seperti Yoga, namun aku benar-benar mengagumi dan menyukaimu.'
Hati Azzura berkecamuk, sungguh sangat dilema. Disaat dirinya sudah memantapkan keputusan untuk menikah dengan Yoga, namun tiba-tiba keteguhan hatinya mulai goyah dengan perhatian Haidar yang tidak terasa lebay seperti kekasihnya.
"Mbak ... Woiii mbak, ini loh bebeknya udah nungguin dari tadi, ckck!" Haidar menepuk lengan Azzura dengan agak kasar.
Bentakan Haidar mengejutkan Azzura, dengan refleks Azzura mengucapkan isi hatinya kepada Haidar.
"Iya, aku juga sangat mencintaimu pak Haidar."
"What?" Haidar memekik kaget.
"Eh, anu ... Maaf pak, maksud saya yoga."
"Sejak kapan Yoga kamu panggil dengan sebutan 'pak'?"
"...."
Azzura menunduk, ia tidak tahu harus menjawab apa.
Seketika kegarangan Haidar berubah menjadi diam, ia merasakan hal yang sama dengan Azzura, yaitu salah tingkah.
"Sudahlah, mari kita makan!"
"Ba-baik pak."
Keduanya sepertinya sudah kehilangan selera makan, baru beberapa suap mereka terlihat menyudahi santap makan malamnya.
"Kenapa tidak dihabiskan?"
"Diet, pak. Bapak juga kenapa tidak menghabiskan makanannya?"
"Aku tiba-tiba kenyang."
"...."
"Sudah pukul delapan lewat, mari kuantar kamu ke rumah papamu."
"Baik, pak."
Azzura berjalan mengekor di belakang Haidar, kemudian masuk ke dalam mobil.
"Maafkan ucapanku tadi ya pak. Saya harap bapak jangan salah paham."
"Iya, sudahlah jangan dibahas lagi. Aku perhatikan, kamu seperti sedang banyak pikiran. Ada apa? Siapa tahu aku bisa bantu."
"...."
Azzura menunduk, ia memainkan jari jemarinya.
"Kenapa diam? Ada masalah kah dengan calon suamimu?"
Azzura menggeleng, ia masih sibuk memainkan jari jemarinya.
"Lalu kenapa? Si Yoga kasar lagi?"
"Tidak, hiks ...."
Tangis Azzura semakin menjadi, malah kini sesenggukan.
Haidar meminggirkan mobilnya, setelah mobilnya berhenti ia membetulkan posisi duduknya.
Kaki kiri dinaikan ke kursi dan kaki kanannya menyilang, sehingga tubuh haidar menghadap kepada Azzura.
Tangan Haidar menarik pelan tangan Azzura yang dipakai menutup wajahnya, lalu wajah Azzura didongakan oleh Haidar.
Netra Haidar menatap lekat wajah Azzura dibawah cahaya remang-remang lampu jalanan.
"Katakan kepadaku, ada apa?"
Azzura tidak dapat menahan perasaannya, tanpa sungkan dan ragu ia memeluk tubuh Haidar.
"Hiks, yang saya katakan tadi di kedai makan benar adanya pak."
"Apa maksudmu?"
"Entah sejak kapan, saya mulai mengagumi sosok bapak. Bukan karena mama memberi amanat, atau ibu pak Haidar yang memintaku agar mau menjadi istri bapak. Semakin hari, rasa kagum itu berubah menjadi suka dan sekarang berkembang menjadi cinta. Setiap kali saya sedang bersama bapak, hati saya terasa nyaman dan tenang. Maafkan saya pak, saya tidak dapat menahannya kini. Hiks ...."
"...."
Haidar diam seribu bahasa, ia terkejut, benar-benar terkejut dengan pernyataan yang diucapkan Azzura barusan.
Dengan ragu, Haidar membelai rambut Azzura yang tergerai.
"Terimakasih atas semua rasa yang kamu miliki untukku, tapi semua itu mustahil untuk kubalas. Pertama aku belum dapat melupakan istriku, walau aku tahu dia sudah mengkhianatiku, namun rasa cinta untuknya masih sama seperti waktu dia masih mendampingiku. Kedua, kamu juga sudah mau menikah, jangan sakiti Yoga. Kalau memang dia baik dan sangat mencintaimu, menikahlah dengannya. Lanjutkan hidupmu Azzura, Yoga adalah masa depanmu."
"Tapi, pak. Apa saya bisa berpisah dengan bapak? Walaupun bapak tidak bisa membalas cinta saya, tapi setidaknya saya bisa bertemu dan dekat dengan bapak, itu sudah cukup.untuk saya bahagia."
"Ikuti alur hidup! semua sudah diatur oleh Alloh. Jalani semuanya dengan ikhlas, inshaa Alloh kamu akan menikmatinya."
"Hiks, iya pak. Tapi izinkanlah, saya memeluk bapak sebentar lagi. Maafkan kelancangan saya ini pak."
Haidar mengangguk dan mengelus punggung Azzura, berusaha membuat Azzura tenang dari kegundahannya.
Setelah dirasa puas, Azzura melepaskan pelukannya. Dan Haidar pun kembali melajukan mobilnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil Haidar sudah sampai di depan pekarangan rumah mewah milik papa Azzura.
"Terimakasih tumpangannya ya, pak."
"Aku akan menunggumu disini."
"Tinggal saja, pak."
"Ini sudah malam, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa."
"Masuk saja kalau gitu, yuk!"
"Aku di mobil saja, takut papamu salah paham."
"Salah paham kenapa?"
"Nanti dikira aku calon suamimu."
"Hehe, baiklah. Tunggu sebentar ya pak."
"Ok, santai saja."
Azzura turun dari mobil dan berjalan cepat masuk kedalam rumahnya.
Sekitar setengah jam kemudian, Azzura mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil Haidar dengan kencang.
Haidar yang sedang bersandar santai duduk sambil mendengarkan musik, sangat terkejut.
Azzura masuk kedalam mobil, dengan wajah penuh dengan air mata dan penuh dengan rasa marah dan sedih.
"Ayo pak, mari kita pergi!"
"Tapi ... Tapi, kamu kenapa?"
"Pergii, sekarang pak!"
Haidar menurut, hatinya penuh dengan tanda tanya besar dengan kehadiran Azzura yang sangat sedih seperti itu.
Tangisan Azzura terdengar sangat pilu, beberapa kali ia memukul dashboard mobil.
"Turunkan saja saya di depan komplek pak, biar saya naik taksi saja."
"Tidak apa, aku akan mengantarmu sampai ke kontrakan."
"Turunkan saya di depan pak!"
"Ini sudah malam, bahaya."
"SAYA BILANG, TURUNKAN SAYA DI DEPAN PAK, HUUUUUU ...."
"Mau kamu apa? Kamu mau dicelakai orang jahat, malam-malam begini masih berkeliaran di jalan raya?"
"Biar pak, biar saya mati dibunuh sekalian. Tidak ada gunanya juga saya hidup, hiks."
"Ada apa?"
"...."
"Baiklah, kita ke rumahku saja ya. Nanti kalau kamu sudah tenang, baru aku akan mengantarmu pulang."
Azzura mengangguk, sekitar sepuluh menit kemudian mereka pun sudah sampai di rumah Haidar.
Haidar mempersilahkan Azzura duduk di ruang tamu, ia sengaja membuka pintu rumahnya agar tetangganya tidak salah paham dengan kedatangan Azzura.
Dengan segera, Haidar mengambilkan air minum untuk Azzura.
"Minumlah dulu, agar kamu tenang."
Perlahan Azzura meraih gelas kaca yang sudah berisi air putih, lalu kemudian meminumnya.
"Terimakasih banyak, pak."
"Sudah merasa tenang?"
"Sedikit, pak."
"Ceritakanlah, ada apa?"
"Papa, tidak bisa menjadi waliku."
"Kenapa?"
"Karena ...."
"Apa?"
"Menurutnya tadi, saya ini bukanlah anak kandungnya. Saya juga bukan anak kandung mama, mama dan papa mengadopsi saya dari panti asuhan. Mama mandul, jadi dengan alasan itu saya di adopsi oleh mereka. Saya sangat hancur pak. Belum kering luka papa yang menikah lagi, lalu mama tiada, kini ditambah dengan kebenaran tentang status saya. Masya Alloh, sungguh hebat cobaan yang Alloh berikan kepada saya."
Haidar seketika lemas dengan berita yang dibawa oleh Azzura barusan, tidak diduga Haidar menitikan air matanya.
"Sungguh pelik hidupmu, Azzura. Bersabarlah, kuasa Alloh diatas segalanya."
"Apa yang harus saya katakan kepada Yoga pak?"
"Katakanlah apa adanya, kalau dia mencintaimu, pasti akan menerimamu."
"Saya mau pergi saja pak, saya mau cari orang tua kandung saya."
"Tenanglah dulu, jangan tergesa-gesa mengambil keputusan."
"Rasanya saya mau mati, saya tidak menyangka kalau saya ini anak yang tidak jelas asal usulnya. Hiks ...."
"Kamu yakin, papamu tidak sedang berdusta?"
"Tidak pak, hiks. Papa menunjukan berkas sewaktu mengadopsi saya dulu, masya Alloh ... Pak Haidar, mengapa hidup saya seperti ini pak, huuu, huuuu ...."
"Istighfar Azzura, pasrahkan semuanya kepada Alloh. Ada aku yang akan selalu membantumu, jangan sungkan."
Malam itu, adalah malam paling menyedihkan bagi Azzura. Kebenaran yang diungkapkan oleh papanya tadi, sungguh sangat membuatnya terpukul.
Seketika, tubuh Azzura lunglai terjatuh. Ia pingsan, dengan panik Haidar membaringkan tubuh Azzura di sofa.
Hati Haidar merasakan sakit yang sama dengan Azzura, ia tidak tega menyaksikan gadis yang selama ini sangat ceria dan ceroboh di kantornya itu, kini sedang mengalami musibah yang datang bertubi-tubi.
Haidar segera membopong tubuh Azzura, kemudian membaringkannya diatas sofa ruang tamu.
"Azzura, sadarlah! Kamu jangan menyerah dan putus asa, ada aku yang akan selalu dapat kamu andalkan."
Azzura bergeming, sekujur tubuhnya dingin dan berkeringat.
Wajahnya tampak terlihat lelah, Haidar dengan penuh kecemasan duduk menunggui Azzura.
"Bangunlah Azzura! aku tidak tega melihatmu terus menderita seperti ini."
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel