"Tuh, betul kan apa kataku tadi. Ibu sangat khawatir dan memikirkanmu Dar, perlakuan Arini kepadamu telah membuat ibu terluka. Turutilah keinginannya Dar, siapa tahu ibu bisa sembuh dari sakitnya." Sartika membumbui ucapan ibunya.
"Aku juga merasa sakit hati mbak, sama sikapnya si Arini itu. Makanya tadi waktu aku jemput Haidar, aku kira Azzura ini calon istrinya yang baru. Kalau iya, aku turut bahagia untuk kalian berdua." Haryanto pun turut menimpali.
Haidar terpojok, sedangkan Azzura hanya dapat menyimak karena ia tidak tahu dan tidak mengerti masalah Haidar dan istrinya.
Pundak ibunda Haidar terlihat naik turun, wajahnya berubah sendu. Wanita tua yang duduk di kursi roda itu menangis, menangisi nasib putranya yang telah disia-siakan oleh istrinya.
Azzura menatap Haidar yang sedari tadi sedang menatapnya, untuk pertama kalinya Azzura melihat tatapan Haidar yang tidak seperti biasanya. Tatapan kali ini penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Haidar bangkit dan menghampiri sang ibu, ia berlutut dan menyandarkan kepala di pangkuannya.
"Ibu jangan banyak pikiran ya, biar cepat sembuh. Haidar baik-baik saja bu, masalah pernikahan nanti akan Haidar pikirkan lagi."
Ibunda Haidar mengangguk sambil menangis, ia memeluk putranya.
***
"Maafkan sikap ibuku kemarin ya."
"Hmm, iya pak santai saja. Hanya saja ...."
"Apa?"
"Kalau saya boleh tahu, alasan istri bapak meninggalkan bapak apa?"
"Jangan kepo!"
"Ish, nyebelin! Mendingan aku tidur saja, huh. Bapak awas ya jangan bersandar lagi di pundakku, kaya waktu berangkat dulu. Berat tahu pak."
Haidar tersenyum lalu memejamkan matanya.
"Dibilangin, malah senyum. Ckck!"
"Terlalu perih untuk aku ceritakan, Azzura."
"Tapi, mengapa bapak sampai saat ini masih mencintainya."
"Karena Arini adalah masih istriku, aku belum bercerai dengannya. Jadi sudah seharusnya aku mencintainya, sampai kapan pun."
"Sungguh beruntung, Arini pak."
"Begitu juga denganku, aku merasa menjadi laki-laki yang beruntung mendapatkannya. Dia gadis idola di kampusku dulu, tampilannya sangat anggun dan menawan. Walaupun kini ia tidak ada kabarnya, namun aku yakin sampai detik ini ia pun masih mencintaiku."
"Tapi, pak ... Kalau memang Arini mencintai bapak, mengapa tidak.kembali? Banyak akses yang bisa ditempuh untuk mencari bapak, bapak tidak menghilangkan ataupun merubah jejak keberadaan bapak selama ini."
"Entahlah, Azzura. Mungkin dia terbawa pergaulan yang salah, sehingga hal itu membuatnya khilaf."
"Seandainya Arini sudah menikah lagi, apakah bapak masih mengharapkannya?"
"Aku tidak tahu."
"...."
***
Derrrttt ... Derrrttt ...
Ponsel Haidar bergetar, Haidar melihat siapa yang meneleponnya.
'mbak Sartika' gumam Haidar dalam hati, namun ia tidak menjawabnya karena saat itu ia sedang mempimpin rapat divisi.
Derrttt ... Derrrttt ...
Ponselnya kembali bergetar, panggilan kali ini dijawabnya singkat.
"Mbak'yu, sebentar lagi aku telepon balik ya. Aku sedang rapat." disimpan kembali ponselnya di atas meja.
Haidar kembali menerangkan hasil pelatihan selama lima hari di Surabaya, penjelasannya sangat detail dan terperinci.
Satu jam kemudian, rapat pun selesai. Haidar bergegas masuk ke dalam ruangannya, untuk menghubungi kakaknya.
"Assalamualaikum, mbak."
"Waalaikumsalam, Dar ... Ibu."
"Ibu kenapa mbak?"
"Beliau ndak mau makan, dari kemarin. Hiks."
"Lho, waktu hari sabtu malam aku pamit pulang itu beliau masih baik-baik saja mbak."
"Entahlah, ia memanggilmu terus."
"Astagfirullah, ibu."
"Kalau bisa, ambilah cuti dan pulanglah kesini dik."
"Inshaa Alloh mbak, aku akan menemui atasanku untuk konfirmasi hal ini."
"Iya, hiks. Ya sudah kalau gitu, beri mbak kabar yo Dar! Assalamualaikum."
"Iya, mbak. Waaialukmsalam."
Haidar lemas seketika, kabar dari kakaknya barusan sungguh sangat membuatnya cemas dan khawatir.
Tidak menunggu lama, ia segera naik ke lantai 5 untuk menemui Regional managernya.
"Semoga ibunda lekas sembuh, dan sampaikan salam saya untuk ibu dan seluruh keluarga pak Haidar di Surabaya." ucap Andika, atasan dari Haidar.
"Amiinn, terimakasih banyak pak, inshaa Alloh nanti akan saya sampaikan. Saya permisi dulu pak."
"Mari pak Haidar, silahkan."
Haidar bergegas kembali ke lantai 3, sebelum ia cuti, ia ingin membereskan pekerjaannya.
"Azzura, masuk ke ruangan saya sekarang!" teriak Haidar mengejutkan seluruh karyawannya yang sedang khusyu bekerja.
Azzura yang sedang mencatat rangkuman dari hasil rapat tadi juga terkejut, pulpen yang sedang dipegangnya terpental keatas.
"Eh, i-iya pak. Siap."
Azzura pun bergegas bangkit dari duduknya, kemudian berjalan mengekor di belakang Haidar.
Semua rekannya tertawa tanpa suara, melihat tingkah Azzura, sang asisten divisi manager mereka yang super killer itu.
Azzura yang sadar sedang ditertawai oleh teman-temannya, memasang wajah menyeringai sambil mengepalkan tangan kearah mereka.
"Tutup lagi pintunya!"
"Iya, pak."
"Duduk!"
"Iya, pak."
"Ini berkas yang harus kamu periksa, jangan sampai ada yang salah sedikitpun. Kamu harus teliti dan jangan sampai ada kesalahan, setelah selesai kamu berikan semua berkasnya kepada Siska, asisten pak Andika."
"Bapak mau kemana?"
"Saya cuti satu minggu."
"Kok mendadak pak? Bapak mau kemana?"
"Surabaya."
"Mau dinikahin ya pak? Hihi."
"Tidak lucu, ini bukan saatnya bercanda."
"Habisnya bapak jawabnya setengah-setengah begitu, kan bapak baru dari sana kok hari ini mau ke sana lagi."
"Jangan ikut campur."
"Maaf, pak. Saya hanya mau tahu, saya kan yang akan menghandle semua tugas bapak, selama bapak cuti."
"Hmmm, jangan nangis!"
"Gak pak, saya gak cengeng. It's ok kalau memang bapak gak mau cerita sama saya. Yang penting bapak jelaskan saja semua yang harus saya lakukan, jangan sampai nanti saya keliru, bisa-bisa saya dikeramasin sama bapak. Hehe."
Haidar melotot, Azzura tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
Seminggu sudah Haidar berada di Surabaya, suasana kantor tampak sangat nyaman dan tenang tanpa kehadirannya, semua karyawan divisi pengadaan berkata seperti itu, namun tidak dengan Azzura.
Di dalam lubuk hatinya, ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa kehilangan Haidar, ia merindukan teriakan dan omelan yang sering dilontarkan atasannya yang sangat menyebalkan itu.
'Ish, kok gue mikirin dia sih. Tarik nafas Yuana, lalu buang! Semua biasa saja, tidak ada yang berubah, ada atau tiada Haidar semua sama.' bisik hati Azzura.
Bekerja tanpa kehadiran Haidar, membuat Azzura kurang bersemangat. Ibarat pepatah, bagai sayur sop tanpa daging, hanya sayuran tok, gak gurih.
Pepatah dari mana itu? Yaa, dari author dong. Wkwkwk.
***
Azzura melangkah gontai menuju halte bus kota yang tidak jauh dengan kantornya, hari itu ia bekerja lembur, karena selama Haidar cuti ia bekerja extra.
Sesampainya di halte, ia duduk menanti bus menuju daerah tempat tinggalnya.
Tiba-tiba sebuah mobil Toyota Rush putih berhenti, tidak lama turun seorang pemuda dan menghampiri Azzura.
"Yuana, maaf aku mengganggumu."
"Mau apa kamu kesini?"
"Tunggu, tenang ... Kali ini aku tidak akan berbuat kasar lagi kepadamu, aku ingin bicara hal penting. Aku harap kali ini, kamu bersedia mendengarkanku."
"Bicara saja disini!"
"Baik, baik ... Tapi janji ya, kamu akan berbicara dengan jujur. Setelah malam ini, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."
"Bicaralah, Ga. Aku akan mendengarkanmu."
Pemuda berbaju kaos kuning itu, adalah Yoga. Ia masih pantang menyerah, memperjuangkan cintanya kepada Azzura.
"Aku sudah tahu kalau kamu dan Haidar tidak punya hubungan apapun, aku juga sudah tahu alasan kamu menyudahi hubungan kita ini," tutur Yoga. "Semuanya aku sudah tahu, setelah kudesak akhirnya papaku mengakui dan menceritakan semuanya kepadaku."
Raut wajah Azzura berubah, matanya mulai berkaca-kaca, namun masih tetap ia tahan agar tidak menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di halte tersebut.
"Demi Alloh, Yuana. Tidak sedikitpun berkurang rasa cintaku kepadamu, aku tahu kamu kecewa setelah tahu aku ini anak Broto, yang hampir saja merenggut kesucianmu, walaupun memang dirimu sendiri yang menawarkan diri dengan meminta bayaran.
Tapi, kamu harus tahu. Aku tidak sama dengan papaku, aku tidak akan mengkhianatimu apabila kelak nanti kita menikah. Aku akan setia mencintai dan menyayangimu, seumur hidupku.
Kamu tahu, sedari kuliah dulu aku sudah menyukaimu. Dan baru kali ini aku mengutarakannya, saat kesempatan baik itu sudah ada di depan mataku, aku tidak mungkin dan tidak ingin menyia-nyiakannya."
Azzura tidak dapat menahan rasa sedih yang bergemuruh di dadanya, tangisnya pecah. Ia tidak memperdulikan lagi, dengan tatapan dari orang-orang di sekitarnya.
Yoga mencoba menenangkannya, perlahan ia mengajak Azzura memasuki mobilnya.
"Jangan takut, aku mengajakmu masuk mobil hanya ingin mengantarkanmu pulang."
Azzura mengangguk dan berjalan perlahan dipapah oleh Yoga.
Di dalam mobil, Azzura masih terus terisak. Yoga menghentikan mobilnya sejenak, ia memandang wajah gadisnya dengan tatapan penuh rasa sayang dan cinta.
"Kini, aku mengembalikannya semuanya kepadamu. Jikalau kamu mau meneruskan rencana kita, aku akan sangat bahagia. Namun apabila tidak, walaupun aku kecewa tidak apa. Aku menghargai setiap keputusanmu."
Azzura merenung menatap jalanan di hadapannya, ia bimbang dan ragu. Cintanya kepada Yoga tidak sebesar sewaktu ia belum tahu kalau Yoga adalah putra Broto.
Ditambah juga kini, ia mulai mengagumi sosok bosnya di kantor.
Bos yang dianggap kejam dan tengil oleh semua anak buahnya.
Bos yang selalu mengomel dan berkata kasar kepadanya.
Bos yang selalu seenak hati menyuruhnya lembur di kantor.
Boss itu kini mulai menari-nari di hati Azzura, entah ini cinta atau hanya rasa kagum karena Haidar banyak menolongnya.
Yang jelas, kini ... Azzura bimbang, harus menerima kembali Yoga atau tidak.
***
Yoga merubah posisi duduknya, ia menyodorkan tisu kepada gadis di hadapannya.
Dengan lekat, ia menatap wajah Azzura yang sendu.
"Terimakasih."
"Menangislah sepuasmu Yuana! Agar hatimu lega dan tenang. Semua terserah kepadamu, namun satu hal yang perlu kamu tahu ... Aku sangat mencintai dan menyayangimu. Bagaimana dan apapun keadaanmu, aku akan menerimanya."
"Hiks, terimakasih banyak Ga atas perhatianmu yang begitu besar untukku. Dari dulu, kamu selalu membuatku merasa dihargai. Untuk itu aku nyaman bersahabat denganmu. Untuk masalah rencana kita kemarin, aku perlu bertanya lebih banyak kepadamu. Agar aku yakin, kalau aku tidak salah dalam mengambil keputusan."
"Tanyalah sebanyak yang kamu mau, maka aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya."
"Kita bicara di rumahku ya, aku ingin suasana yang nyaman."
"Baiklah, mau makan dulu?"
"Gak usah, aku sudah makan tadi sebelum keluar kantor."
Yoga mengemudikan mobilnya menuju rumah kontrakan Azzura.
"Mari masuk Ga!"
"Yakin, gak apa-apa?"
"Ada yang salah? Kamu hanya bertamu duduk di ruang tamu, bukan di dalam kamarku."
"Baiklah, hehe."
Yoga pun duduk di sofa butut yang berada di ruang tamu, rumah kontrakan Azzura.
"Sebentar, aku buatkan minum."
"Air putih saja."
"Ok."
Tidak sampai lima menit, Azzura kembali dari dapur dengan membawa segelas air putih dan sepiring kue bolu pisang pemberian bu Santi.
"Terimakasih, Yuana."
"Iya sama-sama, hmmm ... Ga, kalau nanti aku memutuskan mau menikah denganmu, apakah itu tidak akan menjadikan hubunganmu dengan papamu menjadi renggang?"
"Tidak akan, kami sudah bicara. Papa sudah merestui kita."
"Lalu, kalau misalkan nanti sudah menikah, kita akan tinggal di mana?"
"Aku akan memboyongmu ke Malaysia, aku sudah punya apartement disana. Jadi kamu tidak usah khawatir."
"Oh iya, satu hal lagi ... Kamu pernah mendengar peribahasa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?"
"Iya aku tahu, apa hubungan peribahasa itu dengan masalah kita?"
"Ada hubungannya, ini mengenai perilaku papamu yang hobi 'jajan' di luar. Aku khawatir, kalau nanti kamu ...."
Yoga tersenyum, ia meraih kedua tangan Azzura.
"Hmmm, inshaa Alloh tidak akan sama. Justru setelah aku tahu, papa begitu, aku menjadi lebih menghargai wanita. Aku tidak rela, mama disakiti dengan cara begitu. Maka aku pun tidak akan menyakiti istriku kelak, apalagi aku mempunyai adik perempuan, percayalah kepadaku! Aku akan membahagiakan dan melindungimu dengan segenap jiwa dan ragaku."
Yoga perlahan mengangkat dan mencium punggung tangan Azzura, Azzura tersenyum dan memandangi wajah pria yang dahulu merupakan sahabatnya, yang saat ini sedang duduk di hadapannya.
"Jadi, bagaimana Yuana?"
Azzura mengangguk.
"Itu artinya ...."
"Ya, aku bersedia menjadi istrimu."
"Alhamdulillah, boleh aku memelukmu Yuana?"
Azzura kembali mengangguk, pipinya memerah tersipu malu.
Yoga memeluk erat kekasihnya itu, ia sangat bahagia karena akhirnya sang pujaan hati bersedia untuk dinikahi olehnya.
"Assalamualaikum, Azz ...p." tiba-tiba sosok Haidar masuk ke dalam rumah Azzura.
Yoga dan Azzura terkejut dengan kehadiran Haidar, segera melepaskan pelukan mereka.
"Maaf, aku mengganggu."
Haidar langsung berlalu, tanpa mengucapkan apa-apa selain salam sapa tadi.
"Pak, mari masuk dulu pak." teriak Azzura sambil beranjak, mengejar Haidar yang berjalan cepat menuju mobilnya.
"Besok saja, kita bicara."
"Tidak apa pak, Yoga sudah mau pulang kok pak."
"Kalian sudah berbaikan?"
"I-iya pak."
"Syukurlah, aku permisi pulang. Oh iya, aku hanya berniat memberikan ini."
"Apa?"
"Aku tak tahu, itu dari ibu."
"Oh iya, bagaimana kabar ibu?"
"Alhamdulillah, sudah membaik. Beliau menitipkan salam untukmu, Azzura."
"Wah, tersanjung sekali aku dapat bingkisan khusus dari beliau. Aku sangat senang sekali memdengar ibu semakin membaik."
"Ya sudah, kalau begitu aku pamit pulang. Aku turut bahagia, melihatmu bahagia."
Haidar tersenyum getir, seperti ada rasa kekecewaan di hatinya.
"Terimakasih banyak pak, salam kembali untuk ibu, semoga Alloh senantiasa memberikan kesehatan juga umur yang panjang kepada ibu."
"Amiinn, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Azzura berdiri memandang mobil Haidar yang perlahan bergerak meninggalkannya, setelah mobil Nissa Juke merah itu hilang dari pandangannya, barulah melangkahkan kakinya kembali masuk ke dalam rumah.
Ada rasa yang berbeda saat ia berpisah dengan Haidar, terbersit rasa senang dapat melihat Haidar kembali, namun dibalik rasa senangnya itu terselip rasa bimbang karena kini hatinya mulai bercabang, antara Yoga dan perasaan yang lain kepada Haidar.
Azzura merasa sudah menyesal atas keputusannya menerima Yoga kembali, hatinya sudah terpikat oleh sosok Haidar yang menawan.
Namun, semua keputusan sudah diambilnya. Ia tidak mau berlarut dalam perasaannya kepada Haidar, yang tak mungkin akan berbalas.
Yang ia butuhkan saat ini adalah sosok pria yang siap melindungi dan menyayanginya.
Karena kini, ia hidup sebatang kara. Tanpa sanak saudara yang mau peduli kepadanya.
'Sudahlah Yuana, percuma kamu memikirkan Haidar, hatinya saja hanya untuk Arini. Fokus, fokus kepada rencanamu dengan Yoga. Kamu butuh kepastian, karena hidupmu sekarang susah. Hanya Yoga yang dapat kamu andalkan sebagai tempat berlindung untukmu.'
Tangannya menenteng paper bag yang diberikan oleh Haidar tadi.
"Aku pulang ya Na," pamit Yoga.
"Iya, gak enak karena sudah malam."
"Iya, kamu istirahat ya sayang."
"Iya, Ga. Kamu hati-hati di jalan!"
"Ok, honey."
"Oh iya, Ga. Ingat ya permintaanku tadi."
"Iya honey, aku ingat. Aku tidak akan membawamu untuk bertemu dengan papaku lagi, nanti saja pas hari H."
"Syukurlah, kamu mau mengerti."
"Harus dong, untuk itu aku disini. Mencoba mengerti semua keinginanmu. Oh iya, kapan kita bertemu papamu?"
"Nanti, aku pikirkan. Aku harus mengumpulkan niat dulu, terlalu sakit untuk bertemu dengannya. Terutama bertemu istrinya."
"Tapi, jangan lama-lama yank. Karena dua minggu kemudian aku harus kembali ke Malaysia. Merampungkan semua pekerjaan yang tertunda."
"Iya, kamu gak usah khawatir tentang masalah itu."
"Ok, aku pulang dulu ya sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
==========
Haidar menghempaskan tubuhnya, di atas kasurnya yang empuk dan luas.
Ia meremas rambutnya, pikirannya sedang kacau.
Terngiang kembali, ucapan sang ibu. Ucapan berupa permintaan dan permohonan, agar dirinya mau melupakan Arini dan mencoba membuka hati untuk wanita lain.
***
"Demi ibu ya nak, bangkit dan jalani hidupmu dengan bahagia! Arini tidak pantas untuk dicintai, ibu sakit hati sekali kepadanya." dengan perlahan dan pelan ibunda Haidar berbicara.
"Iya bu, apapun akan Haidar lakukan asalkan ibu bisa sembuh."
"Sebelum ibu meninggal, ibu ingin melihatmu kembali menikah."
"Jangan bicara seperti itu bu, ibu akan sehat dan panjang umur. Aku bersedia bu, ibu boleh kok mencarikan aku istri. Aku manut, aku akan menikahi wanita pilihan ibu, kalau memang ibu mau mencarikan aku calon istri."
"Syukurlah kalau kamu bersedia, ibu bahagia karena baktimu begitu besar kepada ibu. Ibu sudah punya calon untukmu nak ...."
"Siapa bu?"
"Kamu sudah mengenalnya."
"Siapa bu? Lestari ... Atau ... Masayu? Yang dahulu pernah mau ibu jodohkan kepadaku."
"Bukan, bukan keduanya"
"Lantas siapa?"
"Dia gadis kota, berambut panjang coklat kemerahan, dengan kulit putih mulus dan berwajah oriental."
Haidar mengernyitkan dahinya, ia mencoba memikirkan sosok yang digambarkan oleh ibunya tadi.
"...."
"Sudah bisa menebak?"
"A-Azzura?"
"Iya nak, gak tahu mengapa ibu kok suka sekali kepadanya. Melihat wajahnya teduh dan sejuk sekali, ibu rasa ia adalah gadis yang tepat untukmu. Mudah-mudahan saja, ia juga mau menerimamu. Ibu sudah tanya kepadanya sewaktu dia kesini dulu, katanya dia belum punya pacar."
"Mengapa harus Azzura bu?"
"Karena ibu suka kepadanya."
"Sebenarnya ...."
"Kenapa?"
"Sebenarnya, aku sering sekali bahkan hampir setiap malam bermimpi didatangi oleh almarhumah mamanya Azzura bu. Beliau memintaku untuk menjaga putrinya itu, beliau menitipkan Azzura kepadaku sambil menangis."
"Masya Alloh, itu amanat nak. Segerakanlah, jangan ditunda-tunda!"
"Baik bu, aku akan coba bicara lagi dengannya. Walaupun saat ini aku belum mencintainya, namun aku akan belajar."
"Alhamdulillah, ibu doakan agar kamu berhasil nak."
"Amiinn, terimakasih bu."
Haidar berlutut di hadapan ibunya, ia segera memeluk wanita yang sangat dicintainya itu dengan erat dan penuh dengan kasih sayang.
***
"Maafkan aku bu, semua sudah tetlambat. Azzura sudah berbaikan dengan kekasihnya, semoga ibu mengerti dan memahami keadaannya."
Hati Haidar saat ini benar-benar sangat kecewa, entah mengapa hatinya merasa sedih dan marah saat memergoki Azzura sedang berpelukan dengan Yoga tadi.
Azzura, di dalam kamarnya sudah bersiap untuk tidur.
Ia teringat dengan paper bag yang diberikan oleh Haidar tadi, ia segera mengambilnya lalu membukanya.
Sebuah kotak perhiasan kecil, perlahan dibukanya kotak itu.
Mata sipit Azzura terbuka lebar, ia tidak menyangka kalau ibunda Haidar menghadiahkannya sebuah kalung emas beserta liontinnya.
Di dalam paper bagnya, ada terselip sebuah surat.
Azzura tersayang,
Terimalah hadiah kecil ini, ini tanda kasih sayang ibu kepada nak Azzura.
Semoga nak Azzura suka.
Peluk dan cium ibu untukmu.
-Wassalam, ibu-
Diangkatnya kalung berliontin bentuk hati dengan hiasan batu permata hitam di tengah dan seluruh sisinya.
Kemudian ia bercermin dan memakai kaling emas tersebut.
Ia tersenyum memandangi dirinya yang memakai kalung pemberian ibunda Haidar di pantulan cermin lemari pakaiannya.
"Terimakasih ibu, aku juga menyayangi ibu."
***
Rencana pernikahan yang disusun oleh Yoga, mengalami kendala.
Azzura belum bersedia untuk memperkenalkan Yoga kepada papanya, Azzura selalu menolak setiap kali diajak.
Yoga menangkap keraguan di dalam hati calon istrinya itu, bukan karena masalah Broto, papanya.
Namun Yoga belum mengetahui, keraguan yang tumbuh di hati Azzura karena apa.
Azzura nampak murung dan biasa saja setiap kali diajak berdiskusi tentang rencana pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Azzura antusias dengan rencana besar itu.
"Kamu kenapa honey?"
"Kenapa apanya?"
"Kok, kaya gak bergairah gitu setiap kali aku ajak bicara untuk mulai menyusun rencana kita."
"Come on, Ga. Selalu itu yang kamu bahas, aku capek. Aku mau istirahat, kamu bisa pulang sekarang!"
"Tapi ...."
"Aku mohon Ga, kalau tidak begini saja. Aku berikan KTP dan pas fotoku kepadamu, kamu urus ya semuanya. Masalah papaku, nanti aku yang urus."
"Gak bisa gitu dong sayang, kita harus sama-sama."
"Ya, biar cepat aja Ga. Aku yang tahu apa reaksi papaku nanti, jadi biar nanti aku saja yang urus masalah itu."
"Ya sudah kalau begitu, mana sini KTP dan pas fotonya?"
Azzura merogoh tas, mengambil dompet.
"Ini, aku manut sama semua konsepmu. Aku yakin, kamu pasti akan melakukan yang terbaik untuk rencana besar kita kali ini."
"Baiklah, aku pulang ya sayang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati ya!"
"Wait, the last ... Katakan dulu, 'aku mencintaimu'"
Azzura tersenyum, melihat kekasihnya yang mencoba merajuk kepadanya.
"Alay ...."
"Biarin."
"Sudah sana pulang!"
"Bilang dulu!"
"Bilang apa?"
"Yang tadi."
"Yang mana?"
"Aku mencintaimu."
"Itu sudah barusan, haha."
"Haha, gemas deh. Please, honey ...."
"Ok, ok ... I love you Aditya Yoga Pratama."
"Mood booster, langsung segar dan bersemangat aku sekarang. Hehe ...."
"Bisa aja, ya sudah met malam Ga."
"Iya sayang, daahh ...."
"Daah."
Yoga senyum-senyum sendiri mengingat ucapan Azzura tadi, Yoga menuntut agar kekasihnya mau menyatakan cinta karena memang sejak awal mereka berhubungan, Azzura tidak pernah mengucapkan kata-kata mesra layaknya orang yang sedang memadu kasih.
Hal itu disebabkan entah karena apa, apa memang karena Azzura bukan tipikal wanita yang selalu genit mengutaran cintanya, atau memang sebetulnya kini ... Azzura sudah mulai mendua hati dengan yang lain, tanpa ia sadari namun hal itu sudah terjadi.
"Maafkan aku Ga, entah mengapa hubungan ini kurasa sangat hambar, flat dan tidak berkesan. Ingin aku menyudahinya, namun semua itu tidak mungkin, karena kamu sangat menyayangi dan mencintaiku. Aku tidak mungkin menyakiti hatimu, yang sudah tulus membantu dan melindungiku."
cerita anak muda mengingatkan saya waktu muda
BalasHapus