Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 30 Agustus 2020

Dilema Diantara Dua Cinta #5

Cerita bersambung
Perlahan, Azzura membuka matanya. Ia menolehkan kepalanya, menatap ke sekitar ruangan yang terasa asing baginya.

"Kamu sudah siuman?"
"Saya dimana pak?"
"Klinik lah, masa di bioskop."
"Hmmm, maaf saya merepotkan bapak terus."
"Kenapa kamu bolos kerja?"
Azzura memalingkan wajahnya, tidak ingin menjawab pertanyaan yang dilontarkan Haidar.
"Kamu tuli?"
"Saya sudah bilang semalam, saya resign."
"Saya tidak mengizinkan, berilah kabar kalau memang tidak akan masuk kerja."
"Buat apa? Saya bukan anak buah bapak lagi."
"Jangan sok, kamu masih butuh uang untuk keseharianmu."
"Saya bisa cari pekerjaan lain."
"Carilah dulu, setelah dapat baru kamu resign. Aku gak mau dicap sebagai pimpinan yang dzalim kepada bawahannya."

Azzura memejamkan matanya, hatinya sungguh terluka. Ujian ini membuatnya sangat terpuruk dan bersedih, ia merasa tidak berguna hidup tanpa mamanya.
'Mama ... Aku rindu.'
Lelehan air matanya terus keluar, perasaannya tidak karuan. Ia kehilangan semangat hidup dan telah lupa bagaimana caranya untuk berbahagia seperti dulu.
"Hei, malah bengong." bentak Haidar. "Dokter bilang, kamu depresi dan kelelahan. Jaga pola makanmu! kamu dehidrasi karena kurang cairan dan asupan makanan."
"Sengaja, biar aku bisa cepat mati."
"Mau bunuh diri?"
"Aku ingin berkumpul dengan mama."
"Kalau kamu bunuh diri, yang ada kamu malah jadi hantu gentayangan dan masuk neraka, gak bisa bertemu mamamu. Kamu mau?" sahut Haidar sewot. "Tidak bisa dengan cara bunuh diri, yang ada kamu akan membuat mamamu bersedih."
"Hiks ,hiks ... Tadinya aku ingin bangkit pak, tapi kejadian tadi pagi sungguh membuatku ingin mati."
"Ada apa? Broto atau anaknya?"
"Bukan, hiks ...."
"Lalu apa?"
"Papa."
"Kenapa papamu?"
"Aku tadi pagi kerumah papa, bermaksud minta perlindungannya. Namun ia berucap bahwa setelah mama tiada, otomatis sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi diantara aku dengannya. Aku tidak mengerti mengapa papa bisa sebenci itu kepadaku, terlebih saat istri papaku mencaci maki aku dengan kata-kata kotor dan tidak pantas, mirisnya papa malah ikut tertawa seperti aku ini bukan darah dagingnya."
"Tegarlah! semua ini ujian bagimu. Kamu jangan menyerah, kamu harus bertahan hidup, buat mamamu tenang dan damai di sana."
"Apa aku bisa pak?"
"Bisa, kamu pasti bisa."
"Setelah mama tiada, tidak ada lagi tempatku berkeluh kesah. Huuu, huuuu...."
Haidar menarik nafas panjang, ia menatap iba kepada gadis muda yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan.

Sesaat kemudian Haidar mematikan televisi yang sedari tadi menyala namun tidak ditonton, ia berbalik dan berjalan mendekati Azzura yang masih terisak menangis.
"Azzura, jangan menyerah begitu. Percayalah, Alloh bersama hambanya."
Kali ini nada suara Haidar terdengar melunak.
"Mudah bicara pak, tapi saya sekarang sendiri. Saya sebatang kara, hidup tidak ada tujuan."
"Kamu tidak sendiri, ada aku bersamamu."
"Apa maksud bapak?"
"Menikahlah denganku!"

Azzura membalikan tubuhnya, memunggungi Haidar yang duduk di sampingnya.
"Jawab Azzura, kalau perlu ... Aku akan memintamu langsung kepada papamu."
Azzura menggeleng, tangisnya pecah lagi.
"Menikah bukan jalan keluar pak, aku tidak mau dinikahi karena dasar kasihan atau ingin menjalankan amanat. Tinggalkan saya sendiri pak, saya ingin tidur."
"Pikirkanlah baik-baik! ucapanku tadi. Walaupun kita tidak saling mencintai, namun setidaknya aku bisa menjagamu."
"Pergiiii." teriak Azzura histeris.

Haidar bergegas melangkah keluar dari ruangan, ia duduk di kursi luar. Kedua tangannya menopang kepala, ia terlihat sangat bingung dengan apa yang ia ucapkan barusan.

'Bodoh, karena terbawa perasaan kasihan, aku meracau yang tidak-tidak. Di hatiku hanya ada Arini, untuk saat ini dan nanti.'
***

"Lepaskan, hiks."
"Come on Yuana, aku tidak mau kehilanganmu."
"Aku bilang hubungan kita sudah berakhir, tidak ada lagi yang harus kita bahas. Aku lelah dengan semua ini Ga."
"Beri aku satu alasan yang masuk akal, lalu setelah itu ... Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."

Azzura menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya melemas terduduk di bangku halte bis dekat rumahnya.
Yoga, duduk menatapnya tidak berkedip. Pemuda berparas manis itu, masih menuntut jawaban dari gadis berambut panjang di hadapannya.

"Maafkan sikap kasarku kepadamu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku sangat mencintaimu, Yuana. Menikahlah denganku, aku tidak perduli walaupun papa tidak menyetujuinya. Setelah menikah, aku akan membawamu ke Malaysia. Kita akan hidup bahagia di sana sayang."

Azzura menggeleng, ia masih bersikukuh dengan pendiriannya. Ia tidak ingin menikah dengan Yoga, karena Broto.
"Maaf Ga, aku gak bisa. Carilah wanita lain, yang lebih baik dariku. Aku tidak ingin membuatmu menjadi anak durhaka."

Rahang Yoga mengeras, matanya membulat sempurna. Ia tidak dapat menerima kenyataan, kalau kekasihnya masih tetap menolaknya.
Yoga, menggenggam tangan Azzura. Dan memaksanya untuk masuk kedalam mobil, Azzura berusaha minta tolong, namun suasana sepi karena hari sudah mulai gelap.

Yoga menarik paksa Azzura, hingga tas slempang yang dipakai Azzura putus. Dengan cepat, Yoga mengambil tas tersebut sebagai sandera agar gadisnya itu mau masuk ke dalam mobil.

"Kembalikan Ga, di dalam tas itu banyak dokumen penting."
"Masuk dulu ke dalam mobil, baru aku akan memberikan tas ini."
"Hiks, tapi kita mau kemana? Aku sudah lelah, baru pulang kerja."
"Kita kawin lari, itu adalah jalan terbaik."
"Tidak, lepaskan aku! Aku mohon, tolooongggg ...."

Dari kejauhan sebuah mobil sedan hitam berhenti, laki-laki di dalam mobil tersebut turun dan melangkah cepat mendekati Azzura dan Yoga.
'Sudah kuduga, anak si bocah tua nakal akan mendatangi Azzura lagi.'

Tanpa bicara, laki-laki bertubuh tegap dan atletis tersebut menepuk pundak Yoga.
"Lepaskan dia!" ucap Haidar pelan.
"Loe lagi, bisa gak sih lo gak sok jadi pahlawan buat cewek gue!"
"Saya tidak sok pahlawan, saya hanya gak mau kamu menyakiti dia."
Telunjuk Haidar mengarah kepada Azzura.

Yoga terpancing emosi, dengan kedua tangannya tubuh Haidar didorongnya.
Haidar mundur beberapa langkah, namun sikapnya masih tetap tenang.
"Mau lo apa? Hah!"
"Jangan ganggu Azzura lagi, hargai keinginannya!"
"Cuih, jangan berlagak lo tahu segalanya tentang dia. Gue yang tahu apa yang terbaik untuknya, karena gue lebih lama mengenalnya."
"Weleh mas, woles aja!"
"Bangsaaat, aaargh."

Yoga melayangkan bogem mentah ke wajah dan perut Haidar.
Azzura menjerit dan menangis, ia berusaha melerai kedua pria di hadapannya, namun naas ia terkena hantaman bogem dari Yoga yang sebetulnya akan diarahkan kepada Haidar yang mulai tersungkur.
Yoga terkejut, lalu segera menghampiri gadis pujaan hatinya yang meringis kesakitan.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Pergi kamu, pergiiiii."
"Tidak Yuana, aku sangat mencintaimu."
"Hei bung, kau tuli ya?"
"Diam!!!"
"Dengarkan aku Yoga, mulai detik ini jangan pernah ganggu aku lagi! Aku tidak akan mungkin menikah denganmu, karena...." belum usai berbicara, Haidar langsung memotong ucapan Azzura.
"Karena dia akan menikah denganku."
Mata Yoga terbelalak, nafasnya naik turun dan tangannya mengepal.
"Benarkah Yuana, apa yang dikatakan bosmu itu?"
Tanpa menjawab, Azzura menganggukan kepalanya.

Sejenak kemudian, Azzura berjalan mendekati Haidar lalu memeluknya.
"Apa yang dikatakan mas Haidar benar adanya Ga, aku akan menikah dengannya. Jadi tolong, kamu jangan ganggu aku lagi!"
"Keterlaluan kamu Yuana, mencampakan aku dengan mudah demi laki-laki lain. Tidak ubahnya seperti wanita murahan, kini aku mengerti mengapa papaku menentang keras niatku untuk menikahimu, itu karena memang kamu bukan wanita yang baik. Apa bedanya kamu dengan pelacur, cuih."
Azzura menangis sesenggukan di pelukan Haidar.

"Jaga ucapanmu!"
"Sudah mas, sudah. Biarkan dia mencaciku sepuasnya, aku terima dengan ikhlas."
"Huff, baiklah. Kalau begitu, mari kuantar kamu pulang."

Tanpa memperdulikan Yoga yang masih berdiri sambil berkacak pinggang, mereka berdua berjalan perlahan masuk ke dalam mobil Haidar yang terparkir agak jauh di belakang mobil Yoga.
***

"Duduk pak, saya buatkan dulu minuman."
"Tidak usah Zura, aku pulang saja."
"Jangan menolak pak, saya mohon."
"Baiklah."

Beberapa menit kemudian, Azzura kembali dari dapur dengan membawa nampan berisi teh manis hangat.
"Silahkan diminum pak!"
"Terima kasih."
"Pak, sini saya obati dulu luka di pelipis dan sudut bibirnya."
"Tidak usah, ini gak sakit kok."
"Jangan keras kepala pak, diamlah!"
Azzura mengeluarkan kapas dari kotak P3K, lalu membasahinya dengan air yang ia bawa dari dapur tadi.
Perlahan dia membersihkan luka lebam dan lecet di wajah Haidar.
"Yang kamu ucapkan tadi benarkah Zura?"
"Entahlah pak, itu meluncur begitu saja dari mulutku. Demi terbebas dari Yoga."
"Baguslah, lagi pula aku juga tidak bisa menikahimu."
"Saya sudah tahu semuanya, bu Santi banyak bercerita pak. Bapak jangan takut, saya tidak akan menjadi pelakor seperti ibu tiri saya."
Haidar tertawa kecil, "mengapa tertawa?" tanya Azzura heran.
"Sensi sekali kamu sama ibu tiri kamu."
"Sampai saya mati, tidak akan hilang rasa benci ini pak. Gara-gara dia, keluarga saya hancur berantakan."
"Kamu punya kakak?"
"Ada satu, putra papa dari mendiang istrinya yang pertama. Kini ia tinggal di Miami, Amerika."
"Hubunganmu dengannya bagaimana?"
"Biasa saja, kami tidak dekat sejak kecil karena dia diurus oleh nenek, setelah masuk kuliah barulah ia tinggal bersama kami."
"Kamu tidak berencana tinggal bersama kakakmu? Minimal kamu ada yang menjaga, tidak sendirian."
"Saya tidak mau, kak Willy pasti memihak kepada papa dibandingkan aku."
"Hmmm, rumit hidupmu Azzura."
"Ya begitulah pak, sudah selesai pak. Lukanya sudah saya bersihkan dan sudah saya beri betadine."

Netra Haidar memandang wajah Azzura yang berjarak dekat dengannya, Haidar benar-benar menikmati pemandangan indah di hadapannya.
Wajah Azzura yang putih mulus tanpa cela, baru saja membius Haidar. Entah karena terbawa perasaan, atau memang karena Haidar menginginkannya.
Perlahan wajah Haidar mendekati wajah Azzura, tidak ada penolakan dari Azzura.
Dada Haidar bergemuruh, nafasnya naik turun tidak beraturan. Tanpa ia sadari, bibirnya kini sedang menyentuh bibir tipis Azzura.
Azzura memejamkan matanya, menikmati ciuman dari pria yang selama ini sangat ia hormati di kantornya itu.
Ciuman pertama diantara Haidar dan Azzura itu tidak berlangsung lama, Haidar tersadar dan segera melepaskan pagutan bibirnya.

"Ma-maafkan aku Zura, aku khilaf."
"Maafkan saya juga pak."
"Aku janji, hal ini tidak akan pernah terjadi lagi."
"I-iya pak, sebaiknya ... Bapak pulang, sudah malam."
"Terimakasih banyak, kalau begitu saya permisi pulang dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan pak."
Haidar mengangguk dan dengan cepat ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah kontrakan Azzura yang sederhana.

Di sepanjang perjalanan pulang, Haidar meracau sendiri.
Entah perasaan apa yang sedang ia rasakan kini, namun yang pasti Haidar menyesal telah berciuman dengan Azzura tadi.
"Maafkan aku Arini, aku tidak bermaksud mengkhianati dirimu. Aku berjanji akan selalu menantimu, aku sangat mencintaimu Arini Kusuma Dewi."
Berkali-kali, Haidar memukul stir mobilnya.
"Aaarrggghhh, bodoh kamu Haidar, bodoh!"

==========

"Huff, aku tidak bisa konsen bekerja kalau terus begini. Selalu mengantuk karena semalaman sulit tidur, disaat sudah bisa tidur pasti mama dari gadis tengil itu datang. Tuhan, aku harus bagaimana? Haruskah aku menjalankan amanat itu? Kalau memang harus, mungkinkah aku menikah dengannya tanpa ada rasa cinta sedikitpun di hatiku ini? Tapi, mengapa semalam aku terbawa perasaan sampai aku khilaf menciumnya, aarrggghh ...."

Haidar bangkit dari duduknya, ia berjalan menatap keluar lewat jendela dekat meja kerjanya sambil memegang secangkir kopi hitam manis pahit, untuk mengusir rasa kantuk yang kini menghinggapinya.
Ia menyeruput secangkir kopi hitam yang berbau harum khas arabika itu, ia memejamkan matanya mencoba menjernihkan hati dan pikirannya.

Tok...tok...tok...
"Masuk!"
"Maaf pak, saya mengganggu. Saya mau memberikan berkas laporan, yang bapak minta tadi pagi."
"Simpanlah di meja, setelah itu kamu boleh keluar."
"Lagian siapa juga yang mau berlama-lama disini." gumam Azzura pelan.
"Kalau berani di depan, jangan menggerutu begitu."
"Siapa yang menggerutu pak? Itu perasaan bapak aja, lagi galau kayanya."
"Sudah, sudah ... Sebaiknya kamu keluar sekarang!"
"Siap bos, jangan marah-marah terus nanti tensinya naik bos." ledek Azzura, tertawa kecil.

Haidar mendengus kesal dengan kelakuan anak buahnya yang satu ini, semenjak mereka dekat di luar kantor, Azzura lebih lepas dalam bersikap kepada Haidar, tentunya bila sedang berdua saja. Hal itu Azzura lakukan untuk menjaga imej sang boss yang killer namun baik hati.

"Saya permisi pak bos."
Azzura meninggalkan ruangan Haidar dengan senyum mengembang, sepertinya ia puas mentertawakan Haidar.

"Ada apa non Azzura, kok senyum-senyum gitu? Bagi-bagi dong." ucap Marsya.
"Permen kali ah dibagi-bagi, gak ada apa-apa Sya. Gue cuma lagi keinget sama nyokap gue, disaat gue masih suka berduaan sama beliau. Rasanya sangat indah."
"Ah, gak percaya gue. Mana ada orang cengar-cengir mengenang orang tersayangnya yang udah meninggal. Gue curiga...."
"Apa?"
"Lo naksir si kingkong brewok itu ya?" samber Tita sok tahu.
"Wew, ogah ah gue naksir sama doi. Bukan tipe gue kali, brewokan gitu."
"Ish, seandainya doi baik. Gue mau da jadi istrinya, keren tahu kaya aktor film Turki. Seksi, badannya atletis lagi. Kulitnya juga gak putih-putih banget, ih macho dagh." timpal Dilla.

Semua karyawan termasuk Azzura tertawa kecil saat Dilla berbicara seperti itu.
"Azzura, kamu ke ruangan saya sekarang!"
"Baik pak."

Azzura menutup gagang telepon dan bergegas masuk ke dalam ruangan Haidar.
"Ada apa pak?"
"Nanti pulangnya sama-sama ya, ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu."
"Hmm, ini gak ada hubungannya dengan ciuman tadi malam kan pak?"
"Ssttt, ingat, keep silent! Awas kalau kamu heboh, jangan geer untuk masalah yang sudah terjadi semalam. Aku ngajak kamu pulang bareng bukan karena aku bukan naksir kamu. Jadi jangan buat gosip."

Azzura memajukan bibirnya dan berlalu meninggalkan Haidar yang menatapnya lekat tak berkedip.
***

Pukul 17.10

"Azzura, lo masih banyak kerjaan?" tanya Marsya.
"Eh, anu ... Iya nih, kalian duluan saja. Aku masih rampungin dulu dua berkas nanggung."
"Ok, kalau gitu. Kita duluan ya!"

Setelah Marsya, Tita dan Dilla meninggalkan ruangan kerja. Azzura celingukan dan mengetuk pintu ruangan Haidar memberikan kode.
"Kamu masuk dan tunggu dulu disini!" perintah Haidar.
"Iya pak." Azzura duduk di sofa.

Setengah jam sudah Azzura menunggu Haidar yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Ia melirik jam dinding yang terpajang diatas pintu masuk, waktu menunjukan pukul enam sore.
Alarm adzan maghrib di ponsel Azzura berbunyi, dia berpamitan kepada Haidar untuk melaksanakan salat terlebih dulu.

Usai salat, Azzura kembali masuk ke dalam ruangan.  Haidar masih tampak sibuk berkutat dengan laporan-laporan.
"Salat dulu pak!"
"Hmmm."
"Pak."
"Apa?"
"Shalat dulu!"
"Iya sebentar lagi."
"Jangan tunda waktu pak, maghrib waktunya pendek."
"Cerewet."
"Harus pak, sebagai sama-sama muslim wajib saling mengingatkan."
Haidar menatap tajam wajah Azzura, dengan kesal ia berdiri dan melangkah keluar menuju mushala kantor.

Sepeninggal Haidar, Azzura cekikian sendiri.
"Laki-laki kok susah disuruh salatnya, ckckck."

Sepuluh menit kemudian, Haidar kembali masuk kedalam ruangan. Ia membereskan semua berkas yang berserakan di mejanya. Lalu mematikan PC dan AC.
"Mari kita pulang sekarang!" ajak Haidar.
Azzura mengangguk dan berjalan mengekor di belakang Haidar menuju lift.
Di dalam lift berduaan tidak serta merta membuat mereka berbincang akrab, mereka saling diam sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Azzura dan Haidar sudah berada di dalam mobil, dan segera Haidar menyalakan mesin lalu melajukan mobilnya.
"Kita makan dulu."
"Ok."

Satu jam perjalanan tanpa percakapan, sungguh membuat suasana menjadi sepi bagai di kuburan.
Mobil Haidar berhenti di sebuah warung angkringan kaki lima pinggir jalan.
"Kamu gak keberatan kan makan disini?"
"Tentu saja tidak pak, sering juga saya makan disini. Makanannya enak."
"Baiklah, mari kita turun."

Setelah mendapatkan tempat duduk, mereka berdua pun segera memesan makanan kepada pelayan warung.
"Kita bicara setelah makan."
"Terserah bapak saja."

Tidak lama kemudian, ikan bakar, cumi asam manis, dua gelas es jeruk dan dua piring nasi putih pun datang.
Baik Haidar, maupun Azzura ... Keduanya menyantap makan malam mereka dengan lahap.

Setengah jam kemudian, mereka sudah terlihat duduk bersantai di lesehan. Haidar meminta pelayan warung untuk membersihkan meja bekas makannya tadi.
"Azzura ... Aku mau minta maaf atas yang terjadi semalam, aku khilaf."
"Jangan dibahas lagi pak, aku juga salah."
"Aku bingung harus memulainya dari mana, setiap malam mamamu selalu datang ke dalam mimpiku. Beliau menangis, memintaku untuk menjagamu. Malah semalam, beliau mencengkram kedua bahuku dan memohon agar aku segera menikahimu. Huff, sampai-sampai aku sulit tidur dan alhasil kerjaku tidak fokus."
" .... "

Azzura menunduk, ia memainkan jari jemarinya. Ia pun sama seperti Haidar, bingung. Di hatinya, tidak ada perasaan yang spesial untuk Haidar.
Walaupun malam kemarin pernah terjadi ...

"Kok diam Zura?"
"Saya sama seperti bapak, bingung."
"Berilah aku solusi, agar dapat terbebas dari masalah ini. Aku hanya atasanmu, tapi kenapa mamamu selalu mendatangiku dan terus memaksa agar aku mau menikahimu. Padahal kan teman satu kerjamu banyak yang bujangan, seperti Dion, Irfan dan Hanggianto."
"Entahlah pak, tapi saran saya sebaiknya bapak abaikan saja. Rasanya tidak mungkin kita menikah, karena saya tidak mencintai bapak dan bapak juga kan sudah beristri."
"Hmmm, iya Zura. Aku tidak bisa menikahimu, aku tidak mungkin mengkhianati istriku."
"Iya pak, sudah abaikan saja. Lama-lama juga akan tenang kok pak, percayalah."
"Ok."

Setelah pembicaraan selesai, mereka pun segera meninggalkan warung makan angkringan yang makin ramai pengunjung itu.
***

"Bu Santi, saya ada dinas luar ke Surabaya. Saya titip rumah ya bu." tutur Azzura.
"Iya mbak, hati-hati di jalan, berapa hari di sana mbak?"
"Sekitar satu mingguan bu, ada training. Masing-masing divisi mengirim dua orang perwakilan berangkat kesana, di divisi pengadaan yang berangkat adalah saya dan pak Haidar."
"Oalah, serunya ya. Bekerja sambil jalan-jalan. Apalagi sama si ganteng, hehe."
"Apaan sih, bu."
"Loh, memang iya ganteng mbak. Kaya pemain film turki di Antv."
"Terserahlah, hehe. Saya pamit ya bu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."

Setelah mencium punggung tangan bu Santi, Azzura pun menaiki motor ojek online yang dipesannya.
"Bang, jalannya agak ngebut ya bang! Saya udah telat nih."
"Iya Neng."

Saat Azzura sampai di kantor, semua orang yang akan berangkat untuk pelatihan telah berkumpul menunggu kedatangan Azzura.
Azzura berlari tergopoh-gopoh saat ojek online yang ditumpanginya sampai di depan gedung kantornya.

"Maaf, maaf ... Saya terlambat datang."
Semua yang berkumpul di lobi kantor bersikap biasa saja, tidak mempermasalahkan Azzura yang terlambat datang, namun tidak dengan Haidar. Ia tampak geram dengan tingkah Azzura yang belum apa-apa sudah mencoreng nama divisinya.
Haidar memelototi Azzura, sikap Azzura pura-pura seperti tidak melihat. Dia cengar-cengir tidak berdosa.
Rombongan karyawan yang akan mengikuti pelatihan berbondong-bondong berjalan menuju mobil kantor, untuk selanjutmya diantarkan ke Bandara Soekarno Hatta.

Di dalam pesawat, Haidar dan Azzura duduk berdampingan. Azzura yang duduk di dekat jendela, mulai gerah dengan ocehan yang dilontarkan Haidar.
"Saya sudah minta maaf pak tadi, yang lain juga biasa aja. Toh kita sudah di pesawat sekarang."
"Iya, tapi kelakuanmu tadi secara tidak langsung sudah memberi kesan yang tidak baik kepada divisi lain. Mengerti!"
"Iya pak, saya minta maaf sekali lagi."
"Terus saja minta maaf, kaya lagi lebaran aja."
Azzura mengerucutkan bibirnya, melihat hal itu Haidar berdecak kesal.
"Ck! Kalau aku tidak kasihan kepadamu, sudah aku SP 3 kamu."
"PHK aja sekalian, aku kan memang mau resign."
"Ingat hutangmu, sisa sepuluh juta lagi."
"Ya ... Ya ... Ya ... Selalu itu yang jadi senjata. Huh."

Azzura segera memalingkan wajahnya ke jendela, menatap pemandangan di luar yang hanya ada awan berwarna putih menghiasi langit yang cerah.
Pesawat melayang tinggi dengan tenang, rasa kantuk mulai menyerang mata Azzura. Dengan bersandar ke tepi jendela, ia memejamkan matanya.
Sesaat akan terlelap, ia dikejutkam dengan sesuatu yang menimpa bahu kanannya. Azzura terbangun melihat benda apa yang mendarat di bahunya itu.
'Omaigot, kepala si brewok enak banget bersandar di pundak gue. Ckckck.'
"Pak, pak sadar pak. Berat pak."

Haidar bergeming, ia tetap terlelap tidur. Terdengar dengkuran halus, Azzura mendengus kesal kepada Haidar yang sudah menganggu ketenangannya beristirahat.
'Betul-betul ya si brewok ini, enak banget tidurnya sampai ngorok begitu. Kalau gue pegang pisau cukur, gue babat abis itu brewoknya, huh!'
Dengan kesal, Azzura menyalakan layar monitor di depannya. Ia menonton film kartun dengan terpaksa.

Sampai tiba di bandara Juanda, Haidar baru terbangun.Tanpa merasa tidak enak kepada Azzura, ia langsung merapikan pakaiannya.

Tidak lama kemudian, Haidar pun bergegas untuk turun. Azzura berjalan mengekor di belakang bosnya.
Azzura, Haidar dan rombongan diantar menuju hotel yang jaraknya tidak jauh dari bandara, sekitar setengah jam perjalanan.

Sesampainya di hotel, mereka pun beristirahat di kamarnya masing-masing.
***

Tidak terasa, waktu pelatihan sudah sampai di hari terakhir.

Hari Sabtu ini, semua peserta diberikan waktu free satu hari untuk sekedar berjalan-jalan atau membeli buah tangan untuk masing-masing keluarganya.
Haidar mendatangi kamar Azzura, ia memberitahukan kalau hari ini ia akan pulang ke rumah orang tuanya.

"Saya ikut pak."
"Tidak usah! Kamu bergabung saja dengan yang lain untuk jalan-jalan dan shoping oleh-oleh."
"Untuk siapa aku beli oleh-oleh? Mama sudah gak ada, hiks."

Haidar merasa bersalah, karena ucapannya telah menorehkan kesedihan kepada Azzura.
"Cengeng, cepatlah kalau mau ikut!"
Azzura tersenyum dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tas.

Di depan gedung hotel, Haidar dan Azzura dijemput oleh kakak Haidar.
"Apa kabar mas?" sapa Haidar sesaat setelah masuk ke dalam mobil.
"Alhamdulillah baik, Dar."
"Oh iya mas, kenalkan ini Azzura."
"Azzura."
"Haryanto."
Azzura dan Haryanto saling berjabat tangan.
"Ayu tenan, Dar." ucap Haryanto.
Haidar, memukul punggung kakaknya itu. Haryanto terkekeh, melihat adiknya salah tingkah.

Satu jam kemudian, mereka bertiga sampai di sebuah pekarangan rumah sederhana bercat hijau.
Haidar, Azzura dan Haryanto pun turun dan masuk ke dalam rumah, dimana seluruh kakak dan adik Haidar telah berkumpul menunggu.

Ibu Haidar yang stroke ringan, beliau duduk di kursi roda menyambut kedatangan putra kesayangannya. Haidar dipeluk dan diciumnya, melepaskan rasa rindu yang cukup lama tertahan karena jarak yang memisahkan.
Azzura menghampiri ibunda Haidar, ia kemudian mencium punggung tangan ibunda dengan takzim.
Wajah Azzura dipandangnya lama, lalu setelah itu ibunda Haidar memeluk Azzura dengan penuh keharuan.
Tangan kiri ibunda Haidar mengelus punggung Azzura, ia salah paham dengan kehadiran sosok wanita yang dibawa putranya, ia menyangka Azzura adalah calon istri putranya dan sengaja diajak untuk diperkenalkan kepada keluarga besarnya.

"Bukan bu, Azzura bukan kekasih ataupun calon istriku. Dia rekan kerjaku di kantor, tidak lebih."
"Kalaupun memang iya, ndak apa-apa toh mas." tukas Sarinah, adik Haidar yang usianya sebaya dengan Azzura.
"Diam, kamu anak kecil!"
"Yang dikatakan Inah, ada betulnya Dar." timpal Haryanto. "Arini sudah bukan istrimu secara agama, mungkin saja dia sudah menikah lagi dengan laki-laki lain."
"Hmmm, sudahlah mas jangan bahas itu lagi."
"Buka hati dan pikiranmu Haidar, kasihan ibu terus memikirkanmu. Mbak jodohkan dengan adik teman mbak, kamu gak mau. Ckck." protes Sartika, kaka sulung Haidar.

Haidar kabur, ia mendorong kursi roda sang ibu ke dalam rumah.
"Kepala batu, susah kalau dibilangin." Sartika kembali bersungut.

Hari menjelang malam,  Haidar beserta keluarganya sedang berkumpul makan malam bersama.
Ibunda Haidar, tidak mau jauh dari Azzura. Beliau terus saja mengelus punggung gadis berambut panjang agak kemerahan itu.
Dengan pelan, ibunda Haidar mulai berbicara kepada Haidar.
"Nang, kalau kamu mau menikah dengan Azzura ibu akan sangat bahagia."
Azzura tersedak menyemburkan makanan yang ada di mulutnya, ia terkejut mendengar ucapan ibunda Haidar.
Mata mereka saling beradu pandang, jantung Azzura tiba-tiba berdetak dengan cepat. Kedua tangannya terasa dingin, karena tegang.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER